Ginger Cookies

Tangga di perpustakaan Mansion Gringercrumbs tiga kali lebih panjang, beralas roda, dan kokoh. Valerie sering mencuri pandang sejak bekerja di sini, tiga hari lalu.

Valerie melirik kepada Ethan. Pemuda jangkung berambut cokelat madu itu selalu menyendiri di meja besar, memilah buku-buku ke tumpukan yang sesuai sebelum dipindah Valerie ke rak-rak yang ditandai—selalu di deretan bawah. Selama tiga hari ini mereka hanya bertukar sedikit kata.

Lalu, tibalah saatnya: semua rak di bagian bawah terisi penuh. Ketika Valerie menghampiri meja Ethan, sudah waktunya untuk berbicara. 

"Hei. Apakah ini ditaruh di rak-rak atas?"

Ethan berhenti mengamati buku di genggaman, melirik tumpukan yang ditunjuk, lalu mengerling pada rak-rak buku berukir di sekelilingnya. Total ada sebelas rak buku yang menjulang kokoh. Perpustakaan di mansion ini memang gila besarnya.

"Ya."

Valerie merasakan jantungnya berdegup. Itu berarti ia mesti naik tangga.

"Jangan lupa pasang pengait tangga. Lantainya licin."

"Apakah itu yang membuat Luke jatuh?"

Ethan kembali berhenti membaca, tetapi kali ini sembari melempar buku ke tumpukan baru. "Bukan."

Valerie sedikit lega, karena itu berarti Lucas bukan jatuh dari tangga yang seharusnya tidak cukup membahayakan sang kakak. "Lantas? Tangga mana?"

Ethan tidak menjawab, tak peduli seberapa lama Valerie menunggu. Gara-gara itu sang gadis berlalu dengan jengkel. Ia setengah menghentak saat membawa tumpukan buku baru ke arah tangga.

Namun, kekesalannya reda seketika tiba di depan tangga beroda. Degup jantungnya bertambah cepat, berpacu dengan sebuah memori setahun lalu. Lutut Valerie mulai gemetar.

Matanya berkaca-kaca saat memandang ujung tangga yang bersandar pada rak atas. Tingginya mencapai tiga meter.

Setahun yang lalu, ia masih bisa memanjat pohon jangkung. Lucas biasanya mengajak berlomba akan siapa pemanjat tertinggi, dan itu berarti lebih banyak dahan yang perlu dipijak. Valerie sanggup. Ia mampu menaklukkan pohon ek, kemudian pinus Skotlandia, sebelum itu terjadi ....

"Waktunya minum teh!"

Suara sang pelayan menyentak lamunan Valerie. Sebagai satu-satunya pelayan di mansion tersebut, Olga kerap memasak segala hal yang wangi. Sayangnya baru hari ini Valerie berkesempatan mencoba. Sejak kemarin, Ethan menyibukkannya sampai-sampai waktu pulang sudah tiba, dan kue-kue tidak pernah tersentuh.

Valerie spontan menaruh tumpukan buku untuk menyongsong Olga. Sang pelayan tersenyum lebar. Rambut merahnya digelung rapi dan bintik-bintik di wajahnya begitu manis. "Kue jahe, Nona Gretel."

Valerie berterima kasih, dan Olga pamit ketika Ethan mendekat. Valerie menyesal. Padahal ia belum mencicipi kuenya untuk memuji, sebab abangnya saja terus mengigau kue jahe saat tak sadarkan diri. Namun, belum sempat Valerie bersantap, Ethan tahu-tahu mengeplak tangannya. Kue jahe pun jatuh menggelinding.

"Apa yang kau lakukan?" Valerie terkesiap. "Apa kau gila?"

Ethan menatapnya tajam. "Jangan dimakan."

Demi Tuhan, Valerie lapar, dan kau tahu apa hal yang paling dilarang saat menghadapi orang kelaparan? Ya! "Apa kau gila?" ulangnya. "Mengata-ngataiku di pertemuan pertama kita, mencegahku makan kue sampai pulang, dan sekarang kau berbuat seperti ini?"

Ethan menahan napas. "Aku tidak—"

"Ya, kau melakukannya!" Valerie berseru. "Astaga, padahal aku seharusnya memperlakukan klien toko kami dengan santun, tapi kau keterlaluan. Kau bahkan tidak berbuat apa-apa atas kecelakaan kakakku. Sudahlah. Aku muak denganmu." Valerie berbalik, tetapi baru beberapa langkah ia melaju, ia berbalik sejenak. "Kami tidak keberatan tidak menerima bayaran, tapi jangan beri penilaian buruk pada Bookmanship di Google. Itu segalanya buat Kakek."

"Valerie—"

Sang gadis meninggalkan perpustakaan dengan sebal. Saat ia bertemu dengan Olga di lobi, sang pelayan mengerut muram.

"Olga, kuemu sangat enak." Valerie mencoba menyunggingkan senyum terbaik.

"Kau mencicipinya?" pertanyaan Olga membuat perut Valerie mulas. Lihatlah harapan yang berseri-seri di kedua mata sang pelayan. Entah apa yang Ethan perbuat padanya hingga Olga bersikap seperti ini.

"Aromanya luar biasa. Kau mesti memanggang lagi," kata Valerie menyemangati, tetapi dengan hati nyeri. Padahal ia takkan kembali. Biarlah. Biar Ethan yang terpaksa menghabiskan semua kue itu, dan belajar cara bersosialisasi dengan baik!

Kakek benar—Mansion Gingercrumbs dan pemiliknya bermasalah!
 

+ + +

 
"Kue jahenya enak."

"Sayangnya Ethan tidak mengizinkanku memakannya. Kau tahu? Aku takkan kembali."

"Tapi, Ethan."

Valerie menatap Lucas lekat-lekat. Kondisi fisiknya memulih, tetapi pandangan pemuda itu masih kosong ke arah langit-langit. Berbeda dengan dokter, Kakek tetap mengotot bahwa Lucas telah melihat hantu.

"Tapi, Ethan."

"Dia bahkan tidak peduli padamu." Valerie mengernyit. "Kenapa kau mengigau soalnya?"

"Tapi, Ethan."

Valerie mendesah. Ia mengecek jam yang menunjukkan pukul lima sore. Sudah dua jam semenjak ia pergi dari Mansion Gingercrumbs.

"Tapi, Ethan."

Valerie beranjak. "Aku akan ke sana lagi," ujarnya dongkol. "Aku cuma ingin tahu apa yang menyebabkanmu begini. Setelah itu semuanya usai."

Saat Valerie mencapai ambang pintu, Lucas kembali mengulang igauan. Selama sesaat, Valerie menangkap getaran kuat di suaranya.

 
+ + +

 
Karena Mansion Gingercrumbs tidak dikunci, Valerie mengendap-endap ke perpustakaan. Olga tidak terlihat, tetapi wangi kayu manis merebak di udara.

Ethan sedang menata buku-buku di puncak tangga saat Valerie datang. Gadis itu tidak tahu apakah mesti merasa bersalah atau tetap mengabaikan. Bagaimanapun perangai Ethan jelek sekali.

"Hei."

Ethan berputar, dan—di luar nalar Valerie—cepat-cepat memanjat turun. "Valerie." Desakan di nadanya membuat sang gadis mengerjap. Tatapannya sayu dan penuh penyesalan. "Aku meminta maaf atas tadi siang."

"Uh ...?"

"Aku tahu aku bersikap tidak sopan." Ethan menghampiri. Sekarang nampak jelas wajahnya yang pucat. "Kau berhak marah. Aku mengerti. Tetapi, kumohon, tetaplah bekerja di sini."

"Ada apa denganmu?" Valerie menyipitkan mata. Sayangnya, Ethan lagi-lagi tidak menjawab. Sang pemuda hanya menurunkan pandangan. "Hei." Valerie melipat tangan. "Apa kau tahu kondisi Luke, dan mengapa kau mesti peduli? Dia mengigau. Aku tak mengerti apa yang terjadi padanya, tetapi aku yakin kau tahu sesuatu."

Ethan berbisik amat pelan. "Jika aku memberitahumu, apakah kau akan memercayaiku?"

"Memangnya apa?"

Butuh waktu lama bagi Ethan untuk menimbang-nimbang. Selama itu, ia berulang kali melirik keluar ruangan. Valerie ikut menoleh ke arah yang sama. Olga sedang menyapu lorong luar.

Valerie menatap Ethan curiga. "Dia takkan mendengar." Pancingnya.

Ethan menggeleng.

Paham bahwa pemuda itu bakal menutup mulut sekali lagi, Valerie bergegas menyeretnya keluar perpustakaan melalui pintu lain. Ethan membisiki Valerie untuk berhenti, tetapi sang gadis menolak, berpikir bahwa taman di samping perpustakaan akan menjadi tempat mengobrol yang tersembunyi.

Namun, ketika mereka melewati pintu dan Ethan terhenti, sang gadis menyadari ada yang salah.

Valerie sudah berada di seberang. Tangannya menarik Ethan, tetapi sang pemuda tersendat. Satu langkah maju melewati ambang pintu dan ia kembali terdorong mundur. Valerie mengernyit. Ia menyentak lebih kuat, tetapi Ethan justru terdorong makin keras, seolah-olah ada perisai kasat mata yang mencegahnya keluar dari bangunan.

"Tidak bisa, Valerie," kata Ethan lesu. Matanya memandang nanar ke arah sesemakan segar dan sinar matahari yang benderang. "Aku—maksudku, rumah ini ...." Ia menelan ludah bulat-bulat, seolah meneguk kembali kebenaran. "Dikutuk."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top