Caramel Coast

Lutut Valerie gemetar tiap melihat tangga kayu. Namun tangga kayu di toko buku Kakek menimbulkan getaran berbeda di hati. Ia ingin memanjat itu.

Lagi, seperti dulu.

"Jangan bengong saja, Vallie. Cepat angkut buku-buku untuk Kakek." Lucas, abangnya, berseru dari arah pintu. Bahkan setelah ia berlalu untuk mengambil sepeda, suaranya masih terdengar memenuhi ruangan. "Biar Kakek saja yang naik tangga."

Bahu Valerie melorot. Ia menyingkir saat Kakek datang dengan senyum lebar. Paham bahwa beliau akan mengulang penghiburan yang sama setiap harinya, Valerie memutuskan untuk membuka obrolan. "Luke pergi ke mansion itu lagi, eh?"

"Ya. Perpustakaannya sangat besar. Ada jutaan buku yang mesti Luke tata." Kakek mencengkeram tepian tangga. Seperti Valerie dahulu, beliau memanjat dengan lincah. Padahal usianya hampir menyentuh delapan puluh. "Dan juga—ini." Kakek memberi isyarat dengan kedua jari. Uang saku. "Kalau bukan karena itu, aku takkan mengizinkan Luke ke sana. Mansion menyeramkan!"

Valerie tersenyum tipis. Andai lututnya tidak gemetaran melihat tangga, ia ingin sekali menemani Lucas. Memanjat tangga tiga meter, menelusuri rak-rak berukir setinggi langit-langit, dan tenggelam di antara jutaan judul buku adalah impiannya seumur hidup. Ia bosan memanjat rak-rak buku di rumah, atau rak-rak buku di Bookmanship setiap liburan musim panas. Tak hanya rak buku, ia memanjat segala jenis pepohonan di rumah, di pekarangan sekolah, atau di tepi pantai Caramel Coast. Cewek-cewek kerap menyeretnya agar ikut kelab pemandu sorak, sementara cowok-cowok menyebutnya monyet. Valerie tidak suka keduanya.

Dia cuma ingin memanjati rak-rak berukir, kemudian mengambil buku misterius yang tersimpan tiga meter jauhnya dari lantai.

"Luke bilang ada teman di sana," kata Valerie, mencoba mengalihkan topik. Hatinya sakit mengingat tidak bisa ikut serta.

"Oh, ya. Pemilik mansionnya datang. Sepertimu, untuk berlibur musim panas." Kakek menerima sodoran buku dari Valerie, lantas menatanya satu per satu di rak tertinggi. "Seumuran Luke."

"Kukira ia lebih tua?"

"Ya, Tuan Hansell," kata Kakek. "Tapi ia tak pernah datang lagi sejak tiga tahun lalu, dan tahun ini putranya yang berkunjung."

Valerie mengangguk-angguk. Wah, kalau Lucas mampu berkawan baik dengan pemuda Hansell itu, uang saku Lucas pasti bertambah dua kali lipat. Para cowok suka sekali saling mentraktir saat liburan begini. Kau tahulah—bir dingin, dua karcis untuk layar tancap, dan sejenisnya. Valerie tadi sempat melihat abangnya membawa sekantong besar camilan. Lucas memang suka hal begituan. Dia lebih senang mengajak berkenalan cewek-cewek baru, bersenandung di pesta api unggun, atau parkur.

Kemudian, lagi-lagi, Valerie dahulu sering mengikuti abangnya melompati pagar, berputar-putar di udara saat melompati trampolin, atau terjun bebas ke kolam dari ketinggian empat meter.

Sekarang lututnya gemetaran dan Lucas mencegahnya untuk naik tangga kayu yang hanya setinggi tubuhnya.

Dua jam Valerie dan Kakek habiskan untuk menata buku-buku baru hasil kiriman dari London. Gadis berusia enam belas itu baru diizinkan menata buku-buku yang dipajang dekat jendela. Saat Valerie menyandarkan sebuah novel pada dudukan kayu, dua orang pejalan kaki sempat berhenti. Mereka menunjuk buku itu, tersenyum kepada Valerie, dan masuk. Bookmanship pun mendapatkan kunjungan pertama di pukul sepuluh pagi.

Selebihnya Valerie melayani tiap pelanggan, atau menggantikan Kakek di kasir saat beliau kelelahan. Ketika tiba waktunya untuk tutup toko, kira-kira jam enam sore, ia menggerutu.

"Luke belum pulang, Kek!" serunya. Ia menempelkan wajah pada kaca jendela pintu. Tak ada tanda-tanda sepeda Lucas meluncur dari arah tikungan.

"Dia akan pulang sebelum makan malam."

Tidak. Lucas pasti ke pesta api unggun sialan itu lagi. Duh, Valerie kan juga ingin! Ia bahkan belum menginjak pasir pantai hari ini!

Telepon berdering di konter kasir. Kakek menjawabnya. "Ya, dengan Freddie Gretel di Bookmanship! Kami baru saja tutup." Dahi Kakek yang berkerut berangsur-angsur melonggar seiring dengan penuturan panjang lebar dari seberang. Valerie mengawasi dengan alis terangkat, sementara kedua mata Kakek membulat.

Ada yang tidak beres.

"Cucuku? Lucas Gretel? Di klinik?" suara Kakek kian melengking. "Jatuh dari tangga?"

Tanpa pikir panjang, Valerie berlari keluar toko.

Lucas jatuh dari tangga adalah hal mustahil. Maksudnya—ya, tentu saja itu bisa terjadi—tetapi Valerie yakin tulang Lucas sekuat baja. Abangnya pernah jatuh dari lantai dua, menggelinding dari tangga , serta terperosok saat melompati pagar, dan masih baik-baik saja.

Jadi kenapa ia berakhir di klinik?

Jarak Bookmanship ke klinik dekat. Karena itulah Valerie bisa tiba lima menit kemudian. Dengan tersengal-sengal ia menemui abangnya.

Kulit Lucas pucat menghijau—membuat Valerie sempat mengira abangnya sudah tewas. Tidak. Lucas masih bernapas, tetapi bibirnya ungu dan matanya kelabu. Dokter sedang mengecek kakinya sementara jari-jari tangannya menyentak-nyentak. Kata dokter, Lucas diantar oleh seorang penduduk yang melintas di depan mansion.

"Apa yang terjadi padamu?" Valerie nyaris menangis.

Luke menatap dengan mata membulat. "Kue jahenya enak."

Valerie terperangah. "Luke?"

"Kue jahenya enak." Lucas kembali memandang langit-langit. "Tapi, Ethan."

"Siapa Ethan?"

"Tapi, Ethan."

Lucas terus mengulang-ulang dua jawaban itu. Tidak lebih. Bahkan setelah Kakek datang, Lucas masih tak mengubah ucapannya. Dokter bilang Lucas mengalami gegar otak ringan, tetapi Kakek yakin Lucas baru saja melihat hantu.

"Kau cari tahu apa yang terjadi pada Luke," bisik Kakek. "Sekaligus tuntaskan pekerjaannya dengan cepat. Astaga. Sejak awal aku memang tidak suka mansion bermasalah itu."

Valerie mengernyit. Apa yang salah dengan Mansion Gingercrumbs?

 
+ + +

 
Valerie tiba di Mansion Gingercrumbs keesokan hari. Berdiri di atas tebing yang menghadap Caramel Coast, letaknya terpisah jauh dari keramaian kota kecil. Gagak berkaok dan pepohonan bergemerisik amat riuh. Jalan pavingnya retak dan jendela-jendelanya kusam.

Valerie mengernyit. Apakah tak ada yang mengurus semua ini?

Ia menggedor pintu dengan keras. Tak lama kemudian muncul seorang pemuda. Wajahnya muram. Valerie mengambil langkah mundur untuk memerhatikannya lekat-lekat. Ia nyaris tersipu-sipu.

"Siapa?"

"Um ... apakah kau Ethan Hansell?" Valerie membasahi bibir. Kata Kakek, itu nama si tuan muda Hansell. Saat Ethan hanya mengangkat alis, Valerie menunjuk dirinya sendiri. "Valerie. Adik Lucas Gretel. Kau pasti kenal."

Ekspresi Ethan sempat melunak. Berbagai ekspresi berkelebat di wajahnya—rasa bersalah, harapan, serta keraguan. Dan, ada begitu banyak pertanyaan yang ingin diajukan, tetapi pada akhirnya hanya satu yang terucap. Yang jelas, nadanya melembut. "Oh, ada keperluan apa?"

"Aku kemari untuk menggantikan Lucas mengurus perpustakaanmu."

Ethan tahu-tahu melotot. Ia kembali menggerutu. "Kau?" matanya refleks memerhatikan Valerie dari ujung rambut hingga kaki. Ia melengos. "Kau pendek. Memangnya apa yang bisa kau lakukan?"

Tanpa bertanya apa-apa lagi, Ethan membanting pintu.

"Hei, jangan begitu!" Valerie menggedor. Kemudian, menyadari bahwa pintunya tidak terkunci, ia menyerbu ke dalam. Valerie lantas disambut seorang wanita pelayan alih-alih Ethan, yang tersenyum mafhum seolah-olah ini sudah biasa.

Valerie terpana. Apakah itu berarti Ethan mengizinkannya masuk?

Valerie menarik napas dengan tajam. Wow. Pemilik mansion yang bermasalah!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top