Hansel dan Gretel
Judul: Hansel dan Gretel
Aktor
Aktor 1: Yeon - OC Salva (IG @slvky._)
Aktor 2: Ciya - OC Geovano (IG @kylaxstrexr)
Aktor 3: Gasta - OC Beomy (IG @artbeomy)
Aktor 4: Hujan - OC Rain (Wp @RaindeAlthera)
Tahun ini adalah tahun yang terburuk di Jerman. Kekeringan melanda seluruh eropa dan Jerman menjadi sangat terdampak.
Di salah satu desa pinggir hutan di Jerman, tinggal seorang wanita bernama Hujan dengan dua anak tirinya. Bekerja seorang diri untuk menghidupi tiga orang sungguh berat. Belum lagi dua orang lagi hanya anak tiri, bukan anak kandungnya.
"Bagaimana aku bisa bertahan hingga panen tiba? Bahan pangan habis dan anak-anak itu makan sangat banyak." Hujan bergumam pada dirinya sendiri.
Dia berjalan mondar-mandir di dapur. Bibirnya terus bergumam; kukunya digigit tanpa henti hingga luka.
Sebuah ide melintas di benak Hujan. Ide yang tidak pantas secara moral, tetapi sangat layak untuk dicoba.
"Ah! Aku buang saja mereka di hutan!" Hujan berseru semangat. Buru-buru dia menutup mulutnya; takut jika suaranya terlalu keras.
Di balik dinding yang membatasi kamar Hujan dan ruang keluarga, Ciya mematung. Dia tidak sengaja mendengar apa yang Hujan katakan. Tubuh anak yang masih berusia sepuluh tahun itu gemetar.
"Hah?! Kita mau dibuang! Gabisa dibiarin ni! Aku harus kasih tahu Kak Yeon!" Ciya mengepalkan satu tangan dan menepuknya dengan tangannya yang lain. Dia buru-buru meninggalkan ruang tengah kemudian kembali ke kamarnya dan kamar Yeon.
"Kak! Kak! Masa ibu tiri jelek itu mau buang kita? Gatau diuntung banget ya? Ini rumah padahal milik ayah. Dia mau ngusir kita dari rumah kita sendiri, cuiiih!" Geciya berseru kesal.
Dia memanjat ranjangnya. Kedua tangan gadis kecil itu menyilang di depan dada dan dagunya terangkat ke atas.
Di hadapan Ciya, Yeon menatap adiknya bingung. Anak laki-laki bersurai ungu itu hanya bengong dengan mulut yang membentuk huruf "o".
Setelah bisa memproses apa yang Ciya katakan, Yeon berujar, "Waduh, gimana ya ...."
Buliran keringat mengalir dari dahinya. Wajahnya cemas, khawatir, takut, bercampur menjadi satu. Namun, hanya ekspresi tersenyum kaku yang dapat dia berikan; kelihatan tak bisa menjawab apa apa.
"Kalau begitu bagaimana kalau kita buang balik ibu tiri ... maksudku kabur saja? Daripada di sini, kan. Lebih baik kita di hutan menyatu dengan alam," ujarnya dengan senyum berandai-andai pada adiknya.
"Hmmm ide bagus! Ayo pergi dari ibu tua jelek itu!" Wajah Ciya bersinar. Dia menganggukkan kepala dengan semangat dan kemudian menyambar tangan Yeon.
Anak laki-laki bersuraiungu itu tersenyum. Dia turut menganggukkan kepala pada sang adik.
"Hum! Baiklah." Ia tersenyum dan akhirnya mengangguk kepada sang adik,
"Hum! Baiklah," ujarnya seraya mengandeng balik tangan adiknya, lalu tiba tiba ia berhenti sejenak, memikirkan sesuatu ... sesuatu yang sangat penting.
"... letak hutan dimana, ya?" tanya Yeon bingung.
Dia memandangi Ciya dengan kepala yang miring. Satu tangan Yeon menjeput dagunya sendiri, seolah sedang memikirkan sesuatu.
Dia baru ingat hal yang sangat penting. Mereka selama ini tidak pernah ke hutan. Mereka hanya pernah bermain di sekitar rumah sehingga tidak mengetahui wilayah sekitar.
"Aku juga kurang tau. Coba kita ngasal aja?" Ciya mengutarakan sarannya.
Gadis kecil itu juga tidak tahu. Namun, baginya ke mana pun mereka pergi pasti akan lebih baik daripada menunggu dibuang oleh Hujan.
"Oh!" Hujan berseru semangat.
Dia bergandengan dengan Ciya serta mulai berjalan tanpa arah. Namun, ia berhenti sejenak. Keraguan menyelimuti hatinya, merasa apa yang akan mereka lakukan akan berakibat buruk.
"Kita beneran ngasal, nih?" Raut wajah Yeon terlihat tak yakin.
"Um ,bagaimana kalo kita ambil kerikil lalu jatuhin setiap di jalan jadi kalau kita perlu apa apa bisa balik ke rumah?" tanya Ciya.
"Oh! Ide bagus!" Ia mengambil beberapa kerikil lalu mengantonginya di sakunya; memberikan sebagian pada adik kembarnya.
"Kuharap dengan ini kita takkan tersesat, sih, ... yah, tanah di sini kan banyak bercampur dengan kerikil lain," ujar Yeon tidak yakin. Dia melihat tanah di sekelilingnya yang dipenuhi dengan kerikil dan berharap hal serupa tidak ada di hutan.
Ketika mereka masih sibuk mengantungi kerikil, Hujan telah berada di belakang mereka.
Hujan berdiri dengan tangan bersilang di depan dada. Dia menatap tajam anak tirinya yang tengah mengumpulkan kerikil. Dengan langkah lebar Hujan berjalan ke arah mereka.
"Ayo ikut Ibu!" Hujan membentak.
Wanita itu menarik tangan kedua anak tirinya. Dia berjalan menyusuri hutan hingga bagian yang sangat dalam. Begitu tiba, Hujan melepaskan tarikannya dengan kasar, tidak peduli apakah anak tirinya akan jatuh tersungkur karena perbuatannya.
"Tunggu di sini. Kalian Ibu hukum karena berkeliaran tanpa izin!" Hujan berseru nyaring. Setelah itu dia berbalik dan meninggalkan mereka berdua.
Tanpa Hujan ketahui, sepanjang jalan Ciya menjatuhkan beberapa kerikil.
"Huuh! Dasar ibu ngeselin!" Ciya mendengkus.
Dia berbalik menoleh ke arah kakaknya kemudian berbisik, "Kak jangan khawatir kita bisa balik lagi! Aku tadi menjatuhkan beberapa kerikil di jalan!"
"Orang aneh," ujar Yeon sembari menggerutu dengan apa yang dilakukan ibu tirinya, lalu kembali menatap ke arah adiknya.
"Oh? Baiklah kalau begitu! Tapi sebenarnya aku lapar." Yeon berujar lirih sembari memegangi perut.
Dia mendongakkan kepala ke atas. Di sana hanya terdapat kanopi pepohonan yang telah menutupi langit. Cahaya hanya masuk di sela-sela dedaunan.
"Hmm, kira-kira jadi tarzan dalam kurun waktu 1 hari tak apa, kan?" Yeon bertanya pada dirinya sendiri; meyakinkan dirinya dan adiknya jika tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi.
"Iya, ya, aku juga laper, huhu, makanya ayo kita cepat-cepat ke rumah." Ciya menarik tangan Yeon.
Dia mulai mengikuti kerikil-kerikil di jalan. Namun belum ada setengah jalan mereka lalui, kedua anak-anak itu bertemu dengan seorang wanita tua.
Rambut wanita itu masih berwarna hitam dengan beberapa helaian yang berwarna merah. Jika bukan karena kulitnya yang keriput, tidak akan ada yang menyangka dia susah tua.
"Hai anak manis. Kalian mau ke mana?" tanyanya.
Yeon dan Ciya mundur dua langkah. Mereka saling berpegangan tangan. Nenek tua itu datang secara tiba-tiba. Rasanya agak menyeramkan.
"Jangan takut. Nenek bukan orang jahat, kok. Kalian bisa panggil Nenek Gasta." Gasta menyunggingkan senyuman.
Dia mengambil bunga mawar yang diselipkan di rambutnya dan menyelipkan bunga itu pada Ciya.
"Cantik," ujarnya.
Mendapatkan perlakuan lembut, kewaspadaan Ciya menurun drastis.
"Tadi nenek dengar kalian lapar, ya? Kebetulan sekali, nenek habis membuat kue yang banyak di rumah. Apakah anak manis mau ikut kerumah nenek? Rumah nenek tidak jauh dari sini." Gasta mengelus rambut kedua anak itu.
Mendengar kata kue, mereka berdua kembali berpandangan. Setelah beberapa waktu berpikir, Ciya dan Yeon menganggukkan kepala.
Mereka memang sangat lapar. Sudah dari kemarin kedua anak itu tidak makan karena ibu tiri mereka tidak memberikan makanan. Setelah berkeliling mengumpulkan kerikil dan diseret ke hutan, kini mereka sangat kelelahan dan kelaparan.
"Uh, iya kita lapar, Nek." Ciya menggaruk rambutnya yang kini telah basah oleh keringat.
Dia tersenyum malu kala perutnya terus berbunyi semenjak mendengar kata kue. Sudah lama dia tidak makan kue. Terakhir hal yang dia makan adalah roti dingin yang telah keras.
"Kok nenek itu bisa tau ya? Daritadi aku tidak melihat siapa siapa, deh, tapi yasudah lah ya lumayan," ujar Ciya berbisik pada Yeon.
Dia sebenarnya cukup curiga. Akan tetapi, rasa lapar menghalau semua kecurigaannya. Hal paling utama adalah mengisi perut yang sedari tadi sudah berdisko minta diisi.
Yeon terdiam sejenak. Dia hanya menatap Gasta dengan ragu ragu. Namun, adiknya sekarang sangat lapar. Dia bisa mendengar jelas suara perut Ciya yang telah memberontak minta diisi makanan. Mau tidak mau Yeon mengikuti Gasta.
Gasta pun berhasil membujuk dua anak manis di depannya. Dia tersenyum senang. Senyum yang lebar tanpa bisa dilihat kedua anak yang kini berjalan di kanan dan kirinya.
Mereka berjalan beriringan menuju rumah Gasta. Rumah kue miliknya ... yang sebenarnya rumah itu adalah rumah nenek sihir.
"Kita sudah sampai di rumah nenek, masuklah dan duduk lah di sini. Tunggu, akan segera nenek ambilkan kuenya ya." Dia menepuk bangku panjang di depan rumah.
Ciya dan Yeon pun duduk. Mereka memandangi sekeliling.
Melihat mereka berdua sudah duduk, Gasta mengambil kue yang sudah diberi racun untuk mereka berdua
"Nah ini kuenya, cobalah." Gasta meletakkan berbagai macam kue di sebelah Ciya dan Yeon.
Ciya menatap kue itu dengan pandangan berbinar. Seutas liur mengalir dari sudut bibirnya. Buru-buru dia mengusap liur itu dengan pakaian yang dia kenakan.
"Terima kasih, ya, Nek!" Ciya berseru senang.
"Aku akan mengambilkan susu dahulu," ujarnya melanjutkan. Senyuman yang Gasta tampilkan kini telah berubah menjadi seringaian.
"Kak, ayo makan!" Ciya menarik-narik ujung lengan Yeon. Namun, kakaknya masih menatap kue dengan ragu.
"Kakak ... tidak tahu," ujar Yeon lirih.
Dia menatap sejenak jamuan yang diberikan. Ada berbagai macam kue di sana, bahkan kue yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Kue itu terlihat sangat menarik dan menggugah selera. Dalam mimpi pun rasanya Yeon tidak mungkin bisa melihat kue-kue ini.
"Rumah ini terasa sangat janggal. Kenapa terbuat dari kue bukannya dari kayu, ya?" tanya Yeon.
Pertanyaan Yeon menarik perhatian Ciya. Dia meletakkan kembali biskuit yang hendak dia makan. Gadis kecil itu melihat sekeliling mereka.
Apa yang Yeon katakan benar. Temoat ini seperti mimpi atau negeri dongeng. Rumah Gasta sepenuhnua terbuat dari kue dari lantai hingga atapnya. Aroma jahe dan kayu manis tercium samar-samar dari setiap sisi rumah.
"Hum, iya juga, ya. Kira-kira rasanya enak gak ya? Mau coba gak, sih, Kak?" tanya Ciya antusias.
Ciya yang penasaran pun lalu mengopek sedikit rumah penyihir dan memakannya.
"Humm enak! Rasa kayu manis! Kakak mau coba?" Ciya kemudian mengopek lagi dan menyodorkan ke kakaknya.
Pemuda itu hanya diam sejenak saat melihat kue yang disodorkan oleh adiknya.
"Rasa kayu manis ya ... sepertinya enak."
Ia perlahan mengambil serpihan kue tersebut lalu memakannya dan matanya berbinar saat memakan kue tersebut.
"Oh! Enak! Rasanya berbeda dari toko kue kebanyakan!" serunya antusias.
Ia turut mengopek dinding rumah yang berwujud kue.
Gasta melihat Yeon dan Ciya yang sedang memakan serpihan kue rumahnya.
"Hey anak-anak, apakah kalian sangat lapar?" tanya Gasta.
"Jika kalian sudah kenyang, kalian boleh mandi. Nenek sudah buatkan air panas untuk kalian."
Gasta menyeringai senang karena dia akan menipu anak-anak itu dan bersiap untuk memakannya.
"Hey anak manis, kalian boleh masuk kedl dalam air ini, sebelum dingin kembali," ujar Gasta.
Ciya melihat kuali yang berisi air mendidih. Dia mengernyit.
"Masuk ke sini, Nek?" tanya Ciya ragu.
"Gila kali ya?" batinnya kemudian.
"Sudah cepatlah, kau hanya tinggal masuk ke dalam! Itu tidak susah!" Gasta berteriak dan memarahi gretel dan hansel di dekat air yang mendidih
Yeon diam sejenak dan langsung menggandeng Ciya.
"Dek …," panggilnya.
"Dari hitungan tiga … dua … satu, lari ya," bisik Yeon pada Ciya.
"Tiga … dua …."
Dia langsung lari sambil menarik Ciya tanpa menghitung angka satu.
"Kak! Bentar!" seru Ciya.
Ciya melepas gandengan kakaknya dan mendorong Gasta.
"Huh! Rasain nenek gak jelas!" serunya sembari melihat Gasta yang berteriak kepanasan.
Ciya lalu menyusul Yeon keluar dari rumah Gasta.
"Kak kita bakar aja, deh, ni rumah. Nanti kalo dia ternyata masih hidup, kan, berabe," ujar Ciya kemudian mereka berdua membakar rumah kue Gasta.
Mereka berdua berhasil melarikan diri dari nenek sihir itu dan kembali ke rumah mengandalkan kerikil yang mereka jatuhkan. Namun, begitu mereka tiba di rumah, keadaan rumah ramai dengan para tetangga.
Hujan menatap anak tirinya dengan tajam. Iris aqua-nya berkilat.
Ketika kembali, Hujan mengadukan tentang kemalangan yang dia alami. Dia mengumumkan anak tirinya hilang di hutan. Namun, sekarang mereka berdua kembali dengan selamat di depan seluruh tetangga. Mau tidak mau, Hujan tidak bisa membuang mereka lagi hutan.
-SELESAI-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top