19 Siaran Langsung
⭐
Hangover #2
The Unintended Aftermath
19 Siaran Langsung
⭐
Waktu tempuh normal Surabaya-Malang via darat adalah 2 jam, kecuali kalau terjebak macet seperti dokter McFord. Jam 11 malam dia baru datang, masih disempatkan menjengukku, dengan oleh-oleh kue lapis dan bolen keju. Melihat wajah kuyunya, senyum yang dipaksa mengembang demi aku, kuputuskan untuk mengurungkan rencana itu.
"Serius mau ngelakuin itu? Di kamar?"
Elia masih cemas bahkan setelah dokter McFord pulang. Aku mengunci pintu dan mengangguk kecil tetapi mantap.
"Besok aja. Kasian dia udah capek banget."
"Tapi…" Elia mencomot sepotong kue lapis, menimbang-nimbang. "Hish! Pokoknya kalo sampai kenapa-napa, aku nggak ikut-ikut!"
Aku menepuk bahunya, kue lapis itu hampir jatuh.
"Kamu jagain Bumi aja, oke?"
Elia tidak menyahut lagi. Mulutnya sibuk mengunyah kue lapis dan bolen bergantian. Setelah satu telan, dia tersenyum kecut. Pertanda iya meski setengah hati.
***
Malam Sabtu yang kutunggu sudah datang. Selesai makan malam dan minum antibiotik, Bumi tidur, kutempatkan di kamar Elia. Aku mematut diri di depan cermin sebelum dokter McFord datang. Dia baru pulang praktik dan langsung kuminta kemari setelah mandi.
Ah, itu dia.
Bel baru berbunyi sekali, aku langsung melesat membukakan pintu untuknya. Saling menatap, beberapa detik kami terdiam di pintu.
Dari semua kondisi, aku paling lemah iman dengan dokter McFord yang baru selesai mandi. Kulit bersihnya yang kesat. Wangi segar sabun yang menguar. Dan, aroma shampoo menthol dari rambut ikal yang masih sedikit meneteskan air.
Dia sama sekali tidak serapi di kampus, cuma, kalau dia seperti ini--aku meneguk ludah--pikiranku otomatis kotor.
"Are you… wearing make-up?"
Aku tersadar karena pertanyaan itu. Buru-buru menarik pacarku masuk dan menutup pintu. Kami menuju ruang keluarga.
"Iya saya pake make-up," kuanggukkan kepala. "Dokter nggak mau muji saya cantik?"
"Kamu nggak pernah jelek, actually." Cuping hidungku dicubit. "Cantik. Tapi ini jam 10 malam. Why?"
"Karena ada sesuatu yang istimewa, dari saya untuk Dokter."
Sebelum dia bertanya, aku mendorongnya masuk ke kamar. Aku menutup pintu, segera kukunci. Jemari dokter McFord menyusup di sela jemariku. Menggenggam keras.
"Apa… ini?"
Matanya beredar resah ke dinding, ranjang, meja, atap, dan semua titik yang sudah kumodifikasi. Sudah bisa kubayangkan reaksinya akan begini. Aku menggiringnya ke tengah kamar, di bawah lampu.
"Stiker fluorescent," jelasku, membingkai wajahnya, meminta fokus matanya terpusat untukku. "Stiker yang bisa menyala dalam gelap. Dokter belum tau?"
"Ah-I know, but… wha-what do you want to do?"
Darah terkuras dari wajah kaukasianya. Bibir gemetar itu meracau. Aku berjinjit, mencium pipinya sekilas, berbagi ketenangan.
"You know exactly what I'm going to do."
Aku bergegas mengambil potongan stiker-stiker kecil yang tersisa di atas meja. Berbentuk hati, bintang, sabit, matahari, bunga. Melepaskan lapisan penutup lemnya, lalu menempelkan satu-persatu di dahi, hidung, kedua pipi, dagu, dan telapak tanganku.
Kulakukan sama persis di wajah dokter McFord. Sedikit sulit karena licin keringat dingin sudah menyimbah. Rahangnya mengetat. Aku meneduhkan senyum, mengimbangi ketegangannya.
"Dok, nggak papa. Kan ada saya. Ini bagus banget jadinya, udah saya coba. Dokter pasti suka."
"Really, uh-I can't..."
"Percaya sama saya. Dokter kalo op di kamar gelap kenapa nggak takut, hayo?" Aku terkekeh pelan.
"OR is not that dark, Melati. Kamu terlalu banyak nonton horror!"
Heish, bukan begitu maksudku. Ah sudahlah.
Daripada berdebat, aku melepasnya sesaat, memutar lagu dari ponselku di atas meja, yang terhubung dengan bluetooth speaker.
I found a love, for me
Darling just dive right in
And follow my lead
"Mel... no. Please… uh. I don't think this is…"
Aku meraih jemarinya lagi. Dingin. Kaku membeku. Tapi tak mengurungkanku mendekati saklar lampu. Pelan, aku memutar saklar separuh.
Well I found a girl,
Beautiful and sweet
I never knew you were
The someone waiting for me
Cahaya menyusut separuh, pudar, menerawang di mode lampu tidur, sampai benar-benar hitam. Aku memfokuskan diri lagi pada lelaki dalam gelap yang deru napasnya diburu kengerian. Dia memejam keras. Menggeleng kencang di antara tangkup tanganku.
Cause we were just kids
When we fell in love
Not knowing what it was
"Hey, Luke, it's okay. Open your eyes. It's me, Melati. You know me. You can see me…"
I will not give you up this time
Darling, just kiss me slow
Your heart is all I own
And in your eyes you're holding mine
Ratusan pijar hijau, biru, merah, kuning mulai menampakkan kecantikannya di antara temaram. Batas dinding dan atap telah lenyap. Ini bukan lagi kamar tidurku.
"Luke…" Aku berjinjit, menyatukan stiker bintang di keningnya bertemu stiker hati di keningku. Ibu jariku mengusapi bulir peluh di pelipis licin itu. "Come. Come and see me. It's just me, and you, us! We are in the sky full of stars. It's gorgeous and I'd love to share it with you!"
Baby, I'm dancing in the dark
With you between my arms
Barefoot on the grass
Listening to our favorite song
Mata gamang itu perlahan terbuka. Samuderanya tidak lagi biru, tetapi hitam. Aku meraih telapaknya, menangkup kedua pipi berbintangku dengan telapak beku itu.
"Feel me." Pelan, ibu jarinya menyapu parasku. Setengah mencubit karena kaku. "Yes, yes, I'm right here. This is my nose. My cheeks. Oh, well, those are my lips and that's ticklish..."
Ini agak aneh saat jemarinya menjamah bibirku.
When you said you looked a mess
I whispered underneath my breath
But, you heard it
Darling, you look perfect tonight
Hidung kami bersinggungan. Pelupuk itu hampir terpejam lagi, bersamaan dengan kikisnya jarak kami. Secara reflektif kuselipkan jemari, membekap bibirnya sebelum mendarat di bibirku.
Well, I found a woman
Stronger than anyone I know
She shares my dreams
I hope that someday I'll share her home
Demi pampers Bumi, tidak bisakah dia mengendalikan fobianya tanpa menciumku?!
I found a lover
To carry more than just my secrets
"I'm sorry…" erangnya, rapuh.
To carry love,
To carry children of our own
Air bening berkilat merembes dari bulu mata, meluruhi stiker hati yang berpendar di pipinya.
We are still kids
But we're so in love
Fighting against all odds
I know we'll be alright this time
"Uh-I… I'm a good kid, sorry… Dad… promise, I… I won't do that anymore..."
Darling, just hold my hand
Be my girl, I'll be your man
I see my future in your eyes
Oke, cukup.
Sekejap aku melepaskan diri, menyalakan lampu, menghempas kami dari dimensi lautan bintang kembali ke kamar. Semua warna kembali. Begitu pun aku, kembali merengkuh pria yang terisak dengan punggung melengkung.
Baby, I'm dancing in the dark
With you between my arms
Barefoot on the grass
Listening to our favorite song
When I saw you in that dress
Looking so beautiful
I don't deserve this, Darling
You look perfect tonight
Maaf, Dok. Maaf.
***
Alih-alih americano, aku membawa air mineral dingin dari dapur. Pucat dokter McFord berangsur tergantikan oleh merah kesal karena aku tidak meracik kopi yang dimintanya. Besok pagi waktunya ke dokter Tamara, aku tidak mau dokter McFord terjaga gara-gara kopi. Meski begitu dia tetap menerima air yang kubawa dan menenggaknya habis. Dehidrasi banget kayaknya. Keringetan iya, nangis iya.
Bagaimana tidak, aku mengajaknya olahraga malam-malam. Olahraga mental, ya. Olahraga ranjang belum boleh.
Aku meletakkan diri di sofa bersamanya. Menghapus sisa keringat dari wajahnya dengan tisu kering. Bibir itu tersenyum kecut setelah meletakkan gelas di nakas.
"Dok, saya boleh tau nggak?" bukaku, sejak tadi penasaran. "Dokter bilang 'I'm sorry, I'm a good kid, I won't do that anymore,' itu kenapa? Dokter teringat apa?"
Iris biru itu menelitiku sejenak. Kemudian tertunduk dengan kelopak jatuh separuh.
"He was a heavy smoker. Rumah selalu penuh asap tembakau. Suatu hari aku muak, diam-diam aku membuang satu kotak rokok itu di akuarium, then… I was busted." Dia memandangku lagi, bersama luka yang berusaha ditutup rapat. "You know the rest."
Bukan sesuatu yang pantas diingat, tentu saja.
Kubawa lengannya melingkari pundakku. Membenamkan kepalaku di dadanya. Dia terkesiap, meski kesal dengan kejutanku tapi tetap senang memeluk. Ya, dia memang selucu ini. Selalu membuat hatiku tersenyum.
"Besok dicoba lagi, mau nggak? Not so horrible, right?" tanyaku, berbisik.
Dia berdesah di puncak kepalaku.
"Why… did you do this?"
"Because I love you."
Dia menghela panjang, lagi.
Karena telingaku rapat terhimpit rusuknya, bisa kudengar intensitas pacu jantungnya menguat dan sangat berisik, tanpa stetoskop.
Polos banget sih ah. Serius ini umurnya 27 tahun? Bukan 7 tahun?
"Baik." Kudengar dia meneguk saliva. "Karena kamu yang minta."
Aku mengendurkan diri. Menatapnya lekat. Rasa senang meluap dari mata dan mulutku.
"Beneran? Dokter mau?!"
"Yah…" Dia tersenyum berat.
Tak apa, pokoknya dia mau dulu. Aku menggamit jemarinya yang mulai hangat. Membalas senyumnya dengan kerelaan, walau sedikit terselip perih.
"Nanti, kalau Dokter berangkat ke Amerika, atau kemana pun itu… Dokter nggak perlu takut lagi sama penerbangan malam. Dokter nggak perlu takut sama ruang tertutup yang gelap. Karena di dunia ini nggak ada yang benar-benar gelap. Dulu saya pikir, masa depan saya adalah hal yang paling gelap. Jauh dari rumah, hamil, dikucilkan… saya rasa nggak ada tempat lagi untuk saya.
"Sampai saya ketemu temen-temen saya. Saya ketemu Dokter. Sebenarnya saya tetap berada di dalam gelap, tapi ini nggak semenyeramkan itu. Ada cahaya Dokter di sini bersama saya. Ini cukup--lebih dari cukup--untuk menyadarkan saya, bahwa nggak ada yang benar-benar gelap. Kecuali lubang hitam supermasif di pusat galaksi."
Rambutku diacak-acak seketika. Aku baru mau mengelak, dia menarikku lagi dalam pelukan. Erat. Lebih dalam. Aku terjebak tanpa berniat melepaskan diri. Tempatku kembali adalah di antara dua lengan dan dada bidang ini.
"Daritadi kamu cuma bilang gelap, gelap, gelap!" omelnya galak. "Baik. Baik. Hai, kamu yang sudah lama di kegelapan. Ratu penguasa kehidupan tanpa cahaya. Tolong bimbing hamba. Ajari hamba bersahabat dengan gelap, supaya kita bisa selalu sama-sama, baik dalam terang maupun gelap…"
Hish, apaan coba?
"Lebay!" Aku mencubit dadanya, dan otomatis menggeliat kegelian.
"A cheesy talk with the loved one is sometimes required."
Beberapa detik aku terdiam sebelum tertawa pelan.
"Dok, belum ngantuk, 'kan? Ada yang mau saya sampaikan."
"Belum. Apa itu?"
Aku melepaskan diri. Sebagai gantinya, aku menggamit jemari dokter McFord. Mengunci fokusku pada iris birunya. Malam ini kuceritakan semua kejadian di rumah sakit yang membuatku merasa bersalah. Dia mendengar dalam bisu. Isyarat kecewa tersirat di senyum itu. Aku meminta maaf serendah-rendahnya. Tidak mudah menerima ini, aku tahu. Karena itu, dia hanya bergeming. Mendekapku dalam bisu hingga kami tertidur di sofa sepanjang sisa malam.
***
"You look good."
Dipuji begitu oleh dokter Tamara, seringaiku terbit. "Iya, Dok. Lumayan baikan."
Beliau mengulurkan tangan. "Mana PR-nya? Saya mau lihat."
Aku mengaduk isi sling bag, menemukan mini diary, menyerahkan benda itu. Dari balik kacamatanya, dokter Tamara mengangguk kecil membaca tulisanku yang persis jaring laba-labanya Spiderman. Karena senyumnya, aku tahu taraf keabstrakan tulisanku masih dalam batas toleransi beliau.
Ibu tiga anak itu tidak berkata banyak. Pada intinya, aku menunjukkan perkembangan ke arah positif. Aku menyetujui itu. Apalagi setiap mengingat kurang lebih dua minggu lagi Mama akan datang, bunga-bunga hatiku semakin mekar.
Selesai dengan dokter Tamara, dokter McFord membawaku ke rumah sakit untuk kontrol Bumi, sekalian baby spa, selagi menunggu dokter McFord visite pasiennya. Bumi hampir tenggelam di kolam karena ban leher tidak kuat menanggung berat tubuhnya. Untungnya bisa diatasi dengan ban lengan yang membuat si gendut mengambang.
Sabtu ini kuhabiskan bersama mereka, liburan satu hari penuh yang hanya bisa terjadi sebulan sekali.
***
Denting itu mulanya kecil, seiring waktu mulai mengeras. Kelopakku enggan terbuka. Jemariku meraba kain tebal, mungkin selimut atau bantal, berusaha meraih ponsel. Menekan tombol volume down, lantas alarm itu berhenti dan kulempar asal si ponsel.
Sampai, aku sadar ini hari Senin.
Badanku melompat sendiri. Mengambil lagi ponselku yang sudah di bibir ranjang, oh, astaga. Jam 5 lewat! Aku belum sholat subuh!
Sekilas fokusku lewat di panel notifikasi yang membludak. Bukan hanya Instagram, medsos lain seperti Facebook yang jarang kubuka juga bersaing pemberitahuan. Terakhir kali aku dapat notifikasi sebanjir ini waktu dokter McFord terang-terangan memproklamirkan hubungan kami.
Aish, nanti saja ini.
Kutinggalkan gawai itu di meja belajar dan segera ke kamar mandi, mengambil wudhu. Selesai sholat, aku tak tahan untuk menoleh ke belakang, karena pada rukuk rakaat kedua aku mendengar derit pintu dibuka.
Elia duduk di ranjangku. Gemetar tanpa suara.
Tergugu membekap mulut dengan satu tangan. Satu tangan lain menggenggam ponselku. Matanya terlalu fokus ke layar sampai tidak menyadari aku yang sedang melipat mukena.
"Li?"
Sebenarnya aku menegur biasa. Tetapi dia berjengit pucat, berusaha menyembunyikan ponselku, dan itu artinya ada yang salah.
Aku duduk di sebelahnya.
"Li, kenapa?"
Tidak menjawab, Elia hanya menggeleng kaku dengan senyum aneh. Mataku memipih. Aku bergerak gesit merebut ponsel yang sempat dia jauhkan dari jangkauan.
"Mel, jangan…"
Mengabaikan Elia, aku membuka notifikasi Instagram. Ada ratusan mention dan DM, hanya sedikit yang kukenal, sebagian besar entah siapa. Semua merujuk ke satu post yang… lagi-lagi, entah siapa ini. Dari username-nya kupikir akun gosip tidak jelas.
♡
158,740 likes
lambearema_ Owalah iki tah pelakore? Onok sing kenal a jess?? Kodew ayu saiki golekane bojo wong liyo, mbok yo saaken karo aku sing jomblo :(
.
Kamis sore di foodcourt Sotam.
View all 16,553 comments
5 hours ago
[Owalah, inikah pelakornya? Ada yang kenal?? Cewek cantik jaman sekarang nyarinya suami orang, nggak kasian sama aku yang jomblo :( ]
Video sudah berjalan otomatis sejak aku membuka post itu. Hanya dari caption seharusnya aku sudah paham bahwa tidak seharusnya kusaksikan video ini. Otakku memerintah, menjerit, meraung, pada ibu jariku untuk menyentuh tombol back. Tapi tidak. Anggota gerakku telah lumpuh.
"Menanggung semua biaya? Oh, nggak heran ada biaya rawat inap dalam rincian tagihan CC laki gue bulan ini. As most third person will definitely do: begging money."
"Mbak, tolong diingat. Saya nggak satu sentipun mendekati suami Mbak. Dia, suami Mbak, yang mengejar-ngejar saya. Dia yang membayar itu semua tanpa saya minta. Saya bahkan nggak tau itu semua sudah dibayar di muka. Kalau memang di sini masalahnya uang, baik, akan saya ganti semua biaya itu!"
Srak!
"Gue nggak butuh lo ganti, Melati… just… please. Berhenti jadi benalu dalam rumah tangga gue… bisa?"
Ponselku berpindah tangan. Video dimatikan. Kekuatanku kembali untuk merampas kasar benda itu lagi dari tangan Elia. Kali ini, begitu bodohnya jariku membuka notifikasi Facebook. Akunku disebut ribuan kali pada kolom komentar sebuah live video yang sudah selesai.
Live stream dari akun bernama Freya Ferdinand S.
Freya Ferdinand S
7 hours ago
Karena aku lelah dan telah kalah. Memilikimu secara sah, di antara hatimu yang terbelah.
Mulanya wajah itu tampak dekat. Mengatur posisi kamera depan. Make-up tidak lagi menghiasi wajahnya. Remuk dan hancur yang melumuri di raut itu. Sendu matanya ketika di Matos berganti dengan hampa. Cantik nan hampa, tanpa rasa dan asa.
Dia menjauh dari kamera yang posisinya telah statis. Tampilan sebuah kamar. Sebuah bangku lipat. Tepat di atasnya, lampu gantung mewah dengan seutas tali tambang yang ditautkan pada besi kukuhnya.
Tali tambang dibentuk lingkaran dengan simpul di tengahnya.
Perempuan itu menaiki bangku. Tegak, menghadap kamera. Matanya mengarah, menghunus tepat di pusatku. Menghentikan laju darahku. Merampas semua oksigenku.
Jangan. Jangan. Jangan…
Perempuan itu menggenggam lingkaran tali. Mengalungkannya di leher. Tancap gigi pada bibir bawahku semakin dalam. Kemudian, kedua kakinya menolak bangku. Bangku itu tumbang.
Sepuluh kuku mengaisi temali yang menjerat kulit leher jenjangnya. Rambut menyelubungi seluruh wajah karena tunduknya kepala. Tubuh itu terayun dan berontak. Menggelinjang kacau bersama kejang. Kaki menggasak segala arah.
Cakaran itu melemah. Berhenti. Kedua lengan luruh lemas, menjuntai perlahan. Bersama sepasang tungkai yang tak kuasa lagi menendang udara. Peregangan nyawa telah usai.
Gravitasi memakan sisa-sisa energi ayunan jasad tanpa jiwa yang kini tergantung sempurna.
Dia diam, selamanya.
◇ BERSAMBUNG ◇
Dibalik judul Hangover #2: The Unintended Aftermath
Unintended: tidak direncanakan; tidak diperhitungkan; tidak pernah dibayangkan; tidak diinginkan; tidak diharapkan
Aftermath: (setelah Matematika 😂 bukan) akibat, konsekuensi, efek domino, dampak dari kejadian-kejadian buruk sebelumnya.
Unintended Aftermath: dampak yang tidak pernah diperhitungkan dari rentetan kejadian buruk.
Udah bisa nebak cerita ini mau dibawa kemana? 😈
🔥The game is officially ON🔥
Semoga masih betah menunggu 😁
Luv u to the moon and back, MeLuk 💕
Malang, 3 Oktober 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top