17 Berdamai dengan Diri
⭐
Hangover #2
The Unintended Aftermath
17 Berdamai dengan Diri
⭐
"Bro… bro… apa tadi ya?"
Mbak Sari mengerucutkan bibir ke samping, tampak benar-benar lupa diagnosis yang disampaikan dokter Gina waktu visite. Sayang sekali waktu beliau visite aku sedang kuliah, jadi cuma Mbak Sari yang menerima diagnosisnya.
"Oh, saya inget. Kata dokternya paru-paru basah, Mbak. Istilahnya yang saya ndak inget. Ada bro-bro-nya."
Paru-paru basah adalah istilah awam untuk pneumonia. Tapi, 'bro'?
Aku mencium ubun-ubun Bumi yang tidur dan mengelusnya, lalu mengeluarkan foto hasil rontgen dari amplop. Menerawang plastik transparan hitam itu di balik lampu langit-langit, lantas bola mataku berkedut dan memipih.
Apaan nih?
Aku bisa mengenali pipa kelabu memanjang vertikal dan berbuku-buku ini sebagai trakea. Yang melintang adalah cavea thoracis, alias rusuk. Yang putih asimetris di kiri ini jantung. Seharusnya ada bronkus yang bercabang dari trakea. Tapi entah mataku turun visus, atau yang kulihat cuma bercak kelabu acak--Oh.
Kepalaku terangkat seketika.
"Bronkopneumonia?"
"Aah, iya itu kata dokternya!" Mbak Sari mengangguk-angguk. "Woah, Mbak Mel hebat bisa tau dari fotonya."
Senyumku drastis jadi ringisan. Padahal aku hanya tebak-tebak berhadiah menyesuaikan yang dikatakan Mbak Sari dengan hasil rontgen.
Tepat saat Mbak Sari beranjak pulang, dokter McFord datang. Kami memang ke rumah sakit bersama sepulang kuliah, tapi dia harus visite dulu. Pintu ditutup dari luar oleh Mbak Sari. Yang langsung dilakukan pacarku adalah melilitkan kedua lengannya di pinggangku dari belakang. Bed pasien tempatku duduk berkerut karena serangan tiba-tiba.
"Lihat apa?" bisiknya, di pipi kananku.
Anak nakal. Untung aku sayang.
"Hasil rontgen," tangan kiriku terangkat lagi, menerawang lembar plastik hitam. Satu tangan yang lain mengangsurkan selembar kertas pada dokter McFord yang reflektif menerima. "Sama hasil lab."
Dia mengangguk-angguk di bahuku dan demi apapun, ini geli!
Tangan kirinya menyusup dari bawah, di antara kedua lenganku. Menunjuk bercak yang tersebar acak di kedua sisi paru.
"Assymetrical-bilateral infiltrations. In sacs. Perhaps some fluids. Pleural effusion is negative, so it's not that complicated. [Infiltrasi asimetris-bilateral. Di alveoli. Mungkin cairan. Tidak ada efusi pleura, bukan komplikasi] Alhamdulillah. Jadi, apa kata Gina?"
Aku menoleh sedikit hingga nyaris saja mencium pipinya. Dia bisa membaca bahwa ada cairan di alveoli paru-paru Bumi bahkan sebelum aku mengatakan diagnosis dr. Gina. Dan ya, dia benar. Pneumonia secara gamblang berarti ada cairan di alveoli yang menyebabkan kesulitan penyerapan oksigen darah.
"Bronkopneumonia," jawabku.
"Bakterial? Atau viral?"
"Yang nerima waktu dr. Gina visite cuma Mbak Sari, dan Mbak Sari cuma inget paru-paru basah, Dok."
Kali ini iris biru itu mengamati hasil tes darah Bumi, sebelum berkata, "Bakterial."
Mataku membulat. "Tau bakterial dari mana? Bisa aja viral, 'kan? Ngaruh di farmakologi-nya lho, kalo ini infeksi virus nggak bisa sembuh dengan antibiotik, Dok."
Jawabannya, dari hasil lab itu. Tes darah memang tidak mungkin mengetahui persisnya virus/bakteri apa yang menginfeksi, hanya bisa membedakan. Yang diberi highlight kuning oleh radiologi adalah jumlah leukosit, neutrofil, dan hemoglobin. Jumlah leukosit dan neutrofil yang di atas normal menandakan infeksi bakteri. Pada kasus infeksi virus, jumlah leukosit dan neutrofil tetap normal, tetapi limfosit meningkat.
"Hemoglobin rendah atau di bawah batas, artinya penyerapan oksigen Bumi terganggu," Pelukannya mengendur sedikit untuk menyentuh telunjuk Bumi yang disarungi pulse oximeter. "Sembilan puluh satu. Sudah normal, tapi masih batas bawah,"
Batas bawah, ya?
Mataku menatap buram pada si gemuk yang lemas karena masih enggan makan. Orang bodoh mana yang senang makan dengan selang tertancap di lubang hidung, bukan? Bubur saring halus dari rumah sakit hanya dimakan dua suap siang ini. Sisanya dipenuhi oleh ASI dan cairan infus. Kalau begini terus bisa-bisa anakku kurus.
Aku menggeleng cepat. Meski Bumi oversized, hati kecilku tidak rela kalau dia turun bobot.
Aku melenguh panjang. Paling tidak tadi kata Mbak Sari dia sudah tidak muntah sama sekali, walau demamnya naik-turun.
"Kenapa sih? Geleng-geleng sendiri, mendesah sendiri," Si manja yang masih bergelayut di belakang mencolek pipiku.
Kutautkan pandang kami. "Ada yang mau saya bicarakan,"
"Serius bener. Apa? Yang kemarin? Mau dilamar?"
Ya, aku memang serius. Karena itu aku melepaskan diri darinya dan memilih duduk di sofa. Dia mengikuti di sampingku.
"Kenapa Dokter bohong sama saya?"
Senyumnya memudar. Aku tahu. Berbohong bukan keahliannya.
"Bohong tentang?"
"Tentang beasiswa. Tentang tes TPA. Kenyataannya Dokter lulus, tapi bilang sebaliknya sama saya. Kenapa?"
Alih-alih menjawab, dia membuang mata pada Bumi dan malah balik bertanya, "Dari mana? Mom? Yuan? Oh, Li Yuanju pastinya."
Haish!
Hidungku mendengkus geram. Kenapa mempermasalahkan itu, sih?!
"Saya itu nggak habis pikir, sebenernya pacar Dokter itu saya atau dr. Yuan? Kenapa semua yang saya nggak tau tentang Dokter, di situ dr. Yuan pasti tau?! Jangan-jangan Dokter beneran pernah homo 'kan?! Ngaku deh! Pasti pernah tidur bareng!"
Sontak dia mendelik di depanku.
"Dia sering stay overnight di rumahku, dan kamu tau itu, Mel. Memangnya dia harus kusuruh tidur di teras?!"
"Nah tuh 'kan, membela partner homonya!" Dasar dokter-dokter belok! "Pasti pernah mandi bareng juga, hish!"
Mendadak dia pucat dan beku di tempat.
"Ngaku!"
"Uh... Ce-ceritanya panjang, Mel…"
Astagaaa!
"JADI BENER MANDI BARENG?!--hmph!"
Berontak adalah refleks yang kulakukan karena dr. McFord membekap mulutku dan meraih pinggangku. Otot mataku memelotot keras. Dia mendesis persis di balik bekapan, "Shut up!" dan andai tidak ada pembatas ini bibir kami pasti beradu.
Kukuku mencakari tangan besar di mulutku yang baru dilepaskan setelah aku sedikit tenang. Napasku semrawut gara-gara itu. Aku tak bisa menahan otot bibir untuk tak menekuk tajam.
Buka baju bersama. Saling melihat abs. Buka celana bersama. Melihat anunya satu sama lain. Membandingkan, 'Ih, punya kamu lebih gede ya? Tapi punyaku lebih panjang.' mungkin seperti itu. Lalu apa? Berdua di bawah satu shower? Atau berendam bersama di satu bathub? Oh, benar sekali, bathub di rumah Bu Helena ukuran double seperti standar kamar hotel kelas presiden. Pasti tidak terasa kalau sudah gosok-gosokan punggung di sana berjam-jam.
Aku menjambaki rambut berang.
Persahabatan yang menjijikkan!
"Bisa kita berhenti bahas Yuan?" Tepuk halus jatuh di kepalaku, membuatku menoleh. Dia tersenyum pahit. "Kalau kamu masih penasaran, baik. Itu cuma satu kali karena terpaksa. Ingat, satu kali!--waktu masih PPDS. Kami dituntut kerja keras bagai jingle Ramayana. Seminggu kami cuma pulang ke rumah dua kali. Sisanya tidur di rumah sakit. Kamar mandi dokter jumlahnya terbatas jadi, yah…"
Rahangku yang masih ketat ditangkup kedua tangannya. Perlahan, jemari itu menyisir anak rambut di dekat telingaku.
"Kamu akan paham kalau nanti koass, internship, dan PPDS."
Aku menurunkan tangan itu tanpa melepas genggaman kami.
"Ya sudah," putusku, setengah tidak ikhlas. "Yang penting sekarang jawab. Kenapa Dokter bohong sama saya soal hasil tes itu? Kenapa Dokter nggak mau ikut wawancara?"
Kepalanya tertunduk. Punggungnya melengkung saat menghela napas panjang.
"Sederhana. Aku nggak mau jauh dari kamu, Mel."
"Bohong." Ya, aku tahu dia masih bohong. Mengingat dua minggu lalu dia masih bersemangat dengan rencana sekolahnya ini. Tidak mungkin dia drastis menjadi menye-menye seperti ini dalam sekejap. "Dokter nggak mau jauh karena saya yang minta, 'kan? Karena hari itu saya stress. Saya nangis sampai mau gila dan mohon-mohon supaya Dokter nggak pergi. Bener, 'kan?"
"Mel, bukan. Bukan itu…" Dia mengangkat wajah lagi. "Ini keputusanku sendiri. Aku mau di sini sama kamu. Ya, benar alasan krusialku adalah kamu, lalu kenapa? Sesalah itu kalau aku mau tetap di sini, di samping orang yang aku sayangi?"
"Salah. Salah besar!" Kutekankan kalimatku. "Karena… bukan begini seharusnya. Saya nggak mau berperan sebagai sekat antara Dokter dan cita-cita Dokter. Hubungan kita sudah nggak sehat. Dulu Dokter pernah bilang sama saya, cinta nggak seharusnya membuat seseorang jadi lebih buruk. Cinta yang benar membuat keduanya jadi lebih baik… Dokter ingat?"
"Kenapa kamu memosisikan diri sebagai sekat? Mel, aku bukan membuang cita-citaku demi kamu. Aku menunggu waktu yang tepat, dan itu bukan tahun ini. Masih ada tahun depan, atau depannya lagi kalau kamu sudah lulus. Kamu nggak harus koass di rumah sakit ini. Come with me, kita belajar sama-sama. Untuk pendidikan dokter pindah negara memang ada masa adaptasi, mungkin sulit tapi bukan mustahil…"
Aku menggeleng segera sebelum anganku dilambungkan kalimat-kalimat manis itu. Dokter mengatup bibirnya.
"Dok, saya mau realistis. Lihat keadaannya sekarang. Tahun ini persiapan Dokter untuk itu sudah sangat matang, sedangkan saya belum. Dua tahun lagi kalau saya lulus, belum tentu Dokter sesiap hari ini. Jadi, tolong…"
Kuberikan senyum termanis yang benar dari hatiku. Tangan kananku terulur untuk menyisir rambut halus di sekitar rahangnya. Iris biru itu masih menyorotku dengan aura tak suka.
"Tolong ikut wawancaranya. Minggu depan di Surabaya, 'kan?"
"Mel, no..."
Aku menarik tangan dan juga senyumku. "Oke, kita putus."
"What?!"
Dia memelotot lebar, berbanding terbalik denganku yang justru memicing.
"Saya bilang, kita putus. Dokter bukan pacar saya lagi. Kita selesai sampai di sini."
"Why? What do you want from me?!"
"Mau saya?" Kulunakkan senyum lagi. Tentu saja aku tidak benar-benar ingin semuanya selesai. "Sederhana. Saya mau selalu ada Dokter di hari-hari saya, terlepas dari Dokter ada di samping saya atau nggak. Jangan tinggalkan saya, Dok. Telepon atau kirimkan saya 'Good morning' walaupun di sini malam. Bahkan satu emotikon hati, asalkan pengirimnya Luke, itu napas buat saya..."
Dia menerawangku, seperti ada kata yang harus terucap tapi tertahan di tenggorokan. Kuberanikan diri menggamit jemarinya sekali lagi.
"Saya bisa egois seperti yang Dokter mau, tapi rasanya itu sama sekali bukan saya. Dokter boleh berdiri di manapun, tapi yang saya minta hanya satu. Tolong… jangan usir saya dari hati Dokter. Saya mau ruang spesial dan satu-satunya di hati Dokter cuma diisi nama saya. Am I asking you too much, Dok?"
Beberapa detik terdiam, lalu dokter McFord meraihku dalam dekapnya. Selanjutnya pun masih hening, aku tak mendengar kecuali debur jantungnya yang mengalami percepatan. Tanganku tergerak mengusapi tengkuk beraroma citrus itu.
"I love you," lirihku. "to the moon and back."
Balasan yang kudapat berupa rengkuhan yang semakin kuat. Semakin dalam. Secara sembunyi-sembunyi, aku mengembangkan senyum. Aku pernah jatuh cinta tapi tidak sekompleks ketika dengan pria ini. Banyak hal yang diajarkannya untukku--selain karena dia dosenku.
Hubungan ini bukan berdiri hanya dilandasi ikhlas menerima, tetapi juga ikhlas melepaskan. Sebab keberhasilan hidup tidak selalu tentang cinta, cinta, dan cinta sesuai standar masyarakat. Cita-cita, passion, dan sosialisasi juga punya porsi sendiri yang tidak bisa digantikan cinta. Memangnya bisa menikah cuma modal cinta? Mamam tuh cinta.
Dokter McFord tidak boleh kehilangan cita-cita yang sudah jadi identitasnya demi aku. Dia harus tahu bahwa dia bisa memiliki keduanya--cita-citanya dan aku--bersamaan.
"Aku akan ikut wawancara dengan satu syarat."
"Hmm?" Aku membulatkan mata. "Apa itu?"
"Jangan berhenti percaya bahwa ruang spesial dan satu-satunya di hatiku cuma terisi nama Melati."
Satu kalimat yang mengandung magis. Detik ini juga kehangatan menjalar dari dadaku ke seluruh tubuh, termasuk mata yang sontak berkaca. Kubenamkan wajah di kemeja batik Fakultas Kedokteran itu, meremasi punggung lapangnya, seraya mengangguk kecil. Menahan buncahan bahagia yang mencuat bersama setitik perih.
"Saya percaya sama Dokter."
Setitik perih. Sekali lagi, kami selangkah lebih dekat dengan jauh.
***
Jumat siang setiap dua minggu selalu jadi momok bagi mahasiswa jurusan Pendidikan Dokter. Pasalnya, hari itulah dilaksanakan post test setelah presentasi pleno. Pulang dari kampus, selama di mobil bibirku tak tahan untuk tak mengerucut, maju semaju-majunya.
Karena aku remedi. Pacarku tersayang cuma memberi nilai 70.
"As you said, I need to be professional. Remember?"
Aku tersenyum kecut. Iya iya, profesional banget emang. Saking profesionalnya, satu angkatan yang lulus cuma 16 kepala. Entah standar soalnya dokter McFord yang ketinggian atau kapasitas otak kami yang bermasalah.
Satu pesan Mama yang masih kuingat adalah agar jangan terlalu keras pada diri sendiri. Baik, kucoba memaafkan diri. Kenyataannya tadi malam memang aku tidak bisa belajar.
Tidur? Jangan mimpi.
Bumi gelisah sepanjang malam karena lapar. Lapar, tetapi enggan makan. Hanya ASI yang dia mau. Praktis semalaman aku terjaga dengan anakku menempel di dada. Dan aku harus siaga satu 24 jam karena sewaktu-waktu Bumi berusaha mencabut selang infusnya.
Aku lelah. Begini lelahnya, hingga ingin menangis pun sudah tak mampu.
Lelahku terbayar ketika aku masuk kamar ranap dan menemukan nasal kanul tidak lagi terpasang di hidung anakku. Mereka memutuskan untuk melepasnya karena kadar oksigen Bumi sudah 93%. Aku bergegas mencuci tangan sebelum menyerbu bayiku yang sedang makan puding jeruk camilan sore dari RS.
Iyaaa! Si bayi raksasa sudah mau makan!
Mbak Sari pulang dan dengan senang hati kewajiban menyuapi Bumi kuambil alih. Setiap sendok yang kusodorkan di depannya dicaplok bersemangat. Bayangkan saja, tiga hari dia belum makan!
"Hamm! Mmamamammaahhh!"
Aku menangis.
Sungguh, bulir air ini merembes sendiri. Air mata duka masih bisa kutahan, tetapi air mata haru di luar kuasaku. Secengeng inilah hati seorang ibu. Anakku mengangkat tangan kanannya, hendak menepuki pipiku, namun kutahan dan kuganti dengan tangan kirinya yang tidak tersentuh infus.
"Mamma maa maammaa!"
Jemarinya mencakari hidungku. Setengah menampar. Satu tanda bahwa Bumiku sudah kembali menemukan ruhnya. Katanya, anak sakit pertanda 'mau pinter'. Aku percaya karena bibir mungil di depanku semakin jelas melafalkan 'Mama'.
Perhatianku terbagi karena ketuk tiga kali dari pintu. Kukira mungkin perawat atau dokter McFord selesai visite, tetapi bukan.
Bulu romaku menegak. Yang datang adalah sumber utama semua kesakitanku.
"Boleh masuk?"
Kebekuan bergerak menyelubungiku. Butuh beberapa detik untuk aku mengingat bahwa kamar VVIP ini sepenuhnya ditanggung olehnya, kemudian aku mengangguk kaku. Dia masuk, menutup pintu, menghampiri aku dan Bumi bersama sebuah keresek hitam. Satu matanya membesar untuk Bumi.
"Sudah kuat duduk? Sudah bisa makan?"
Debar jantungku semakin gila, maka kupalingkan wajah ke TV yang menyiarkan acara kuis. Menjaga agar tidak melemparkan mangkuk puding kosong yang masih kupegang ke wajah si berengsek ini.
"Bumi mau alpukat?"
"Baru selesai makan puding," sergahku, meski pertanyaan tadi lebih ditujukan untuk Bumi.
"Tapi alpukat belum."
Telingaku mendengar gemeresak keresek dan otomatis menoleh. Dia sudah duduk di kursi lipat sebelah bed bersama sebuah wadah tertutup yang ketika dibuka isinya puree hijau muda. Sudah pasti alpukat.
Merasa tidak perlu meminjam sendok, sebab wadah plastik mahal yang kabarnya diterima di Pegadaian itu sepaket dengan sendoknya. Dia mengangsurkan sesuap puree di depan Bumi, bersama senyum jenaka. Anakku mengendus sebelum melahap sendok itu.
"Ah yayayaa yayayaa!"
Bumi memberi sinyal persetujuan dari anggukan semangat yang membuat pipinya terpantul. Garda tertawa penuh kemenangan sedangkan aku menahan wajah supaya tak menekuk terlalu dalam.
Heish, dasar bayi gentong. Semua-mua diembat!
Ah, astagfirullah.
Menatap binar mata Bumi, batinku terketuk. Tidak sepatutnya aku kesal seperti ini. Dia menyukai alpukat dan tidak ada yang salah dengan itu. Semestinya aku bersyukur karena alpukat itu mendongkrak nafsu makan Bumi.
"Aak… jes-gujes-gujes-gujes ayo pesawaaat, landing position…"
Garda memutar sendok di depan Bumi, menirukan pesawat, dan sudut bibirku terangkat sebelah. Sejak kapan pesawat landing bunyinya jes-gujes-gujes?
"Aaah ah aah haaa ahmp--"
Satu suap, Bumi diam karena mulutnya penuh. Hidungnya berkerut, mendengkus gemas pada Garda yang tertawa dan… menangis… tertawa dan menangis di saat bersamaan.
Hatiku lemas.
Seperti cermin di mana aku melihat bayanganku, ketika menitikkan air mata syukur karena Bumi akhirnya kembali makan. Pemandangan yang memanaskan bola mataku. Ada sesak yang meronta ingin kumuntahkan, tetapi Bumi bereaksi lebih cepat.
"Mamma. Mamama mamma," celoteh Bumi, meremasi pipi basah pria di depannya.
"Bukan, ini bukan Mama. Mama Bumi yang itu tuh," Garda menunjukku, dengan telunjuk yang dibungkus perban... Apa itu luka yang kemarin? Karena aku? "Yang ini Om."
Om?
"Mamammaa."
"Ini Om. Om bukan Mama, tapi Om sayang Bumi. Om sayang Bumi, Om juga sayang Mama."
Kubuang mata pada jendela di samping kulkas yang berlawanan dengan pintu. Deras darahku melonjak. Kalimat macam apa barusan?!
"Mamma mamama!"
"Mama sedih kalo Bumi sakit. Bumi harus sehat, jadi anak soleh, nurut sama Mama supaya Mama seneng hatinya. Oke?"
"Amma ma?"
"Bumi sayang Mama, 'kan? Hari ini Bumi masih kecil. Bumi dirawat dan dijaga sama Mama. Tapi kalo sudah besar nanti, Bumi anak pinter harus bisa bantu Mama. Harus bisa jagain Mama. Harus jadi pahlawannya Mama. Nggak boleh buat Mama nangis lagi, karena Mama sudah terlalu banyak nangis waktu Bumi masih kecil…"
"Mama mamma!"
"Mama Bumi adalah Mama paling hebat yang Om pernah kenal. Mama banyak diuji sama Allah, tapi Mama tetep bertahan buat Bumi. Makanya, Bumi juga harus sayang sama Mama. Harus jauuuh lebih besar daripada rasa sayang Om buat Mama. Bumi nggak boleh ninggalin Mama sendirian, karena Mama juga nggak akan ninggalin Bumi. Bumi harus selalu ada buat Mama… Janji sama Om?"
Aku mengusap gusar kedua mata yang sudah sembap. Aku benci hatiku yang lemah. Aku benci harus menyerap kehangatan dari interaksi anakku dan… dan dia… seperti ini.
Aku benci bahwa mereka memiliki mata hitam yang sama--serupa sabit saat tertawa. Aku benci bahwa mereka memiliki rambut lebat pekat yang sama. Aku benci bahwa setiap tawa, setiap kata, dan setiap sentuh mereka terhubung dengan sesuatu yang belum kurasa ketika Bumi bersama dokter McFord.
"Kenapa?" serakku basah. "Kenapa 'Om'?"
Dia menoleh separuh. "Secara hukum dan agama, Bumi nggak perlu tahu siapa ayah biologisnya."
"Oh..."
"Dan jauh lebih aman untuk keselamatan Bumi kalau dia nggak mengenal siapa ayahnya," tersenyum, dia mengacak rambut Bumi. "Ya, Bum? Ini Om. Om kenalannya Mama. Sekarang Bumi belum punya Papa. Nanti kalau Mama sudah menikah sama Pak Dokter, Bumi punya Papa yang baik. Bumi harus sayang Papanya… Oke, sip?"
Getar halus dalam suaranya yang berusaha dia sembunyikan nyatanya tetap menyusup di telingaku. Dadaku bedenyut hebat. Sakit. Sakit yang berbeda dengan ketika aku ingin memusnahkan orang ini. Sakit baru yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Aku menggigiti bibir dalam.
Jangan.
Jangan menangis di depannya. Kumohon.
"Kalau sudah selesai, tolong pulang," tegasku.
"Aku belum selesai," kali ini, satu mata itu lurus untukku. "Aku tetap mau maafmu, Mel. Seandainya aku harus mati untuk maaf itu, aku nggak keberatan. Kamu boleh membunuh aku, dan aku nggak akan menuntut apa-apa di akhirat nanti."
"Hah." Aku tertawa serak. "Memangnya aku bisa apa selain memaafkan? Apa ada pilihan lain?"
"Kamu bisa dendam untukku seumur hidup, tapi aku tahu Melati lebih baik dari itu."
Aku menunduk. Dalam. Menyembunyikan air mata yang tak mampu lagi kubendung. Aku membesarkan, melapangkan, merelakan hati dan mulut menyuarakan keputusan ini.
"Aku maafkan."
Aku maafkan. Aku ikhlaskan. Aku lepaskan.
"Aku maafkan... tolong… pergi… aku mau… sendiri."
Yang mampu kulakukan hanya menghapusi air mataku dengan pergelangan kemeja yang sudah kusut. Meski tak melihat, bisa kurasakan dia beranjak dan kini berada di dekatku.
"Sebelum pulang… boleh aku peluk kamu? Cuma sebentar."
Ada gumpalan pahit tersangkut di tenggorokan. Mulutku tergugu kaku, kesulitan membuka. Terlebih tubuhku semakin panas ketika dia benar-benar meraihku dalam pelukan.
"Kamu benar, aku punya banyak kesempatan untuk jujur, dan aku sia-siakan itu. Aku terlalu pengecut untuk membawa kamu dan Bumi dalam hidupku. Tapi… kesempatan untuk berterima kasih masih ada, 'kan?"
Gemetarku bertambah. Aku tak mampu, atau mungkin tak ingin melepaskan diri saat dia mengusap rambutku.
"Terima kasih karena nggak menggugurkan Bumi. Terima kasih karena melahirkan Bumi dengan selamat. Terima kasih… karena selalu ada untuk Bumi. Terima kasih karena nggak pernah menyerah demi Bumi..."
Itu semua bukan untuk kamu!
"Terima kasih karena kamu selalu kuat. Terima kasih karena memberi aku kesempatan bertemu Bumi. Terima kasih karena menjadi ibu yang sempurna. Terima kasih… atas kesediaanmu memaafkan semua masa lalu yang nggak seharusnya dimaafkan…"
Itu semua demi aku. Demi aku dan Bumi, bukan kamu!
"I love you... both. I really do. Dan sebesar apapun aku mencintai kalian, sejak awal aku sudah kalah. Aku kalah dari yang lebih berani memperjuangkan kalian. Aku kalah dari yang nggak pernah absen menjaga kalian. Aku kalah dari yang lebih sempurna mencintai kalian. Aku akrab dengan kekalahan, tapi belum pernah sesakit ini."
Kuhimpun sisa tenaga untuk menolak dada pria ini. Dia berhenti membelai rambutku. Sebaliknya, mengendurkan lengan dan tanpa bisa kucegah mencium keningku.
"Kamu harus bahagia, Mel. Kamu layak untuk itu, karena kamu paling cantik waktu tersenyum," seraknya begitu dekat, memenuhi liang telingaku. Jemarinya berpindah, beberapa usapnya menyita air mataku yang licin. "Cukup aku yang selalu buat kamu nangis begini. Dokter itu jangan. Dia harus buat kamu bahagia. Kalau dia buat kamu nangis, bilang sama aku, pasti aku buat dia menyesal."
Satu tanganku menolak dadanya lagi. Satu tangan lain menggigil, membekap mulut yang gemeratak giginya dapat kudengar sendiri. Dia melepaskanku kali ini; benar-benar melepaskanku. Aku merasakan hawanya menjauh saat kuraup wajah kasar untuk mengenyahkan air mata.
Namun detik berikutnya, aku merasa langkahnya berhenti karena sesuatu.
Aku menoleh untuk memastikan. Pandangku masih berkabut ketika menangkap sesosok lain berhadap-hadapan dengannya.
Seseorang yang paling tidak kuharapkan untuk melihat ini semua.
◇ BERSAMBUNG ◇
Tercyduque.
Luv u to the moon and back, MeLuk 💕
Malang, 20 September 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top