16 Kontradiksi
⭐
Hangover #2
The Unintended Aftermath
16 Kontradiksi
⭐
Hidup bergulir terlalu cepat seperti dunia tak memberiku kesempatan untuk berpikir sebelum memilih. Sediamnya mulutku di dalam Audi merah, wajahku berpaling pada apapun di balik jendela penumpang yang bergerak semu melawan arah. Tak kuacuhkan orang yang juga bisu di kursi pengemudi sebelahku.
Aku memekakan hati yang sempat tumpul tergerus emosi. Sebiadab-biadabnya orang ini, tak kukira ada bagian nuraninya yang masih berfungsi. Berfungsi dan bersahabat dengan akal ketimbang aku yang mendahulukan ego daripada nyawa anakku. Kepalaku jatuh, terbenam di antara pipi dan leher panas Bumi yang matanya terpejam. Mengi tinggi bersahutan dari napasnya menambah beban siksa dadaku.
Maafkan Mama, Bum…
Maafkan Mama. Tetapi Mama janji, Bumi akan sembuh. Bumi kuat sejak mulanya. Dia tetap bertahan meski aku minum belasan botol cola untuk--secara jahanam--berniat menggugurkannya. Dia baik-baik saja dalam rahim meski aku memuntahkan semua sumber nutrisi dan hanya berbekal cairan infus. Dia tergelak ceria demi Mamanya yang nyaris dibutakan kegilaan, karena dia tahu, dialah sepercik harapan bagi Mamanya.
Dia sudah sekuat itu; maka kali ini giliran Mamanya harus lebih tangguh.
Tepat seperti dugaanku, IGD masih penuh dengan keluarga para korban kecelakaan kerja massal yang dikatakan dokter McFord. Semua brankar terisi riuh rendah pasien darurat. Meja resepsionis kosong tanpa penjagaan. Semua petugas tampak tergesa dengan memberi pertolongan medis.
Aku merapatkan dekap Bumi, membeku di tempat dalam panasnya atmosfer darurat. Tak seorang pun kelihatan dapat kudatangi untuk memohon. Aku tersentak karena sepasang bahuku dibimbing untuk duduk di kursi resepsionis.
"Tunggu di sini. Aku cari petugasnya."
Dan dia berlalu dalam sekejap mata. Begitu kalutnya aku hingga lupa bahwa aku tidak ke sini sendiri.
"Hngg…"
Bumi mengerang gelisah. Menggeliat seperti menahan sakit. Pelupuknya yang masih terpejam berdenyut gamang. Sekali lagi kulekatkan wajah di tubuhnya, mengemis tanda vital dari anakku yang sudah lebih dari lemas.
Udara keluar-masuk dari hidungnya, pendek dan cepat. Hatiku mengecil sebab merasakan sendiri penipisan oksigen di sekitar kami. Dadaku menyempit. Aku menggeleng untuk menghalau kabut panik yang dapat membutakan otakku lagi.
Hadapi. Berdamai. Selesaikan.
Kubendung tekanan air mata sekuatnya. Telapak gempal Bumi kutepukkan di pipiku. Jemarinya masih bereaksi rapuh, mencakari kulitku. Bumi masih sadar. Dia bertahan dengan kuncup bibirnya gemetar.
"Demam tiga puluh sembilan koma delapan bukan darurat?!"
Aku mengangkat kepala ke asal suara. Dia… ah, Garda… beberapa meter di depan, memaki salah satu perawat laki-laki. Perawat itu tampak berusaha tenang menjelaskan. Entah apa yang terjadi.
"Gue tau semua di sini darurat. Gue nggak bego-bego amat dan gue juga tau sistem triase kegawat daruratan. Tapi at least lu liat dulu bener-bener keadaan pasien sebelum mutusin status triase!"
Aku memejam pasrah. Kali ini aku harus setuju dengan apa yang diproteskan Garda. Tidaklah etis melabeli triase pasien yang datang ke IGD tanpa melakukan asesmen maksimal 5 menit pertama. Ini berefek terhadap tingkat kepuasan dan kecemasan pasien maupun keluarga pasien.
Seorang pria lain menghampiri mereka dan setelah beberapa penjelasan, pria itu yang ternyata dokter Yuan, menoleh padaku. Dia bergerak ke arahku bersama Garda dengan wajah serius, diikuti si perawat.
"Sempol, kenapa?"
"Demam, muntah, malaise, dispnea… dan dehidrasi, Dok, saya rasa. Nafsu makan minum hilang."
Dokter Yuan meminta stetoskop, termometer, dan penlight dari si perawat, lantas menarik salah satu kursi dan duduk di hadapanku. Tidak sampai 10 detik dokter Yuan mendapat apa yang dimintanya, aku membenahi posisi Bumi, memberi akses agar anakku bisa diperiksa. Persis seperti yang kulakukan di rumah, dokter Yuan membuka kancing Bumi, menyelipkan termometer di ketiak, dan melakukan auskultasi paru dengan stetoskop. Setelahnya, dia menggunakan penlight untuk menilai pupil Bumi bergantian.
Tak butuh lama untuk dokter Yuan menoleh kepada si perawat, "Ambilkan pulse oximeter. Siapkan oksigen, nasal cannula low-flow."
"Tapi bed-nya penuh--"
"Siapkan dengan atau tanpa bed. Yang saya butuhkan flowmeter, bukan bed," penekanan kalimat dokter Yuan membuat si perawat merapatkan bibir. "Kamu koass, ya? Siapa supervisor-mu? Suruh ke meja saya setelah ini."
Tanpa babibu lagi si perawat--ehm, koass--berlalu, menyisakan dokter Yuan yang menggeleng dengan mata memicing. Selang beberapa detik, si koass kembali lagi dengan sebuah pulse oximeter kecil yang langsung dipasangkan dokter Yuan di ujung telunjuk Bumi. Aku diminta menjaga agar instrumen itu tidak lepas, untuk memonitor kadar oksigen dalam hemoglobin.
Selagi menunggu terapi oksigen, dokter Yuan menjelaskan sedikit bahwa Bumi mengalami distress pernapasan. Dari frekuensi pernapasannya yang sekitar 60 kali per menit, chest-indrawing, serta kondisi Bumi yang menolak asupan, dokter Yuan khawatir berujung pada hipoksemia. Nilai 90 yang ditunjukkan oleh pulse oximeter juga di bawah batas normal.
Koass itu datang lagi setelah semuanya siap. Aku digiring ke salah satu bilik yang disekat tirai, dan yah, benar saja tidak ada brankar. Tidak masalah, aku bisa duduk dan kurasa Bumi juga lebih nyaman dalam dekap Mamanya. Dokter Yuan melakukan pengecekan terakhir pada flowmeter di dinding sebelum akhirnya memasang nasal kanul pada kedua lubang hidung Bumi dan melingkarkan selangnya.
Koass itu diperintah lagi untuk menganamnesis Bumi dan kali ini dia tidak menyela. Aku menjawab semua pertanyaan sesuai adanya, sementara dokter Yuan keluar untuk meneruskan kasus Bumi ke dokter pediatri. Sampai di riwayat penyakit keluarga, aku menjawab bahwa tidak ada sejarah penyakit saluran napas turunan dalam keluargaku.
"Dalam keluarga ayah?" tanyanya, secara impulsif melirik Garda yang berdiri di sampingku.
"Yang gue tau ayahnya meninggal dan nggak punya penyakit semacam itu."
Koass itu mengangguk kikuk ketika menulis catatannya, sedangkan otakku dipenuhi belasan tanya terkait kebohongan Garda barusan. Bukan tentang riwayat penyakit. Tentang ayah biologis Bumi.
Pertanyaannya adalah, 'kenapa'?
Dr. Yuan datang lagi dan berkata bahwa setelah ini Bumi ditangani dokter Gina, yang memang dokter anak Bumi. Beliau belum bisa datang, tetapi memberi arahan agar Bumi mendapat rontgen dada dan cairan infus intravena.
"Luke baru keluar dari OK. Aku sudah bilang kamu di IGD. Anak ini punya BPJS atau asuransi apapun? Kalo ada aku pinjam kartunya untuk administrasi, sambil nunggu perawat anak ke sini."
Aku menggeleng pias. "Saya bayar umum saja, Dok." Dan rasanya sungkan kalau dosenku mengurus administrasi untuk Bumi.
"Di mana ngurus administrasinya?"
Aku diam saja karena memang tak sudi administrasi Bumi diurus Garda, yang itu artinya dia akan membiayai semua perawatan Bumi. Tetapi dokter Yuan memerintah si koass untuk mengarahkan Garda, lantas mereka berdua meninggalkan bilik.
Aku mendengkus lelah, menatap nanar pada angka pulse oximeter yang konstan menunjukkan 90. Jemari itu digamit pelan oleh dokter Yuan yang sudah duduk di depanku.
"Sianosis," dia menyentuh area kuku mungil yang bergradasi biru-putih. "karena kurang pasokan oksigen. Aku punya dugaan pneumonia, tapi kita tunggu rontgen dan tes darahnya. Pilihanmu langsung bawa dia ke IGD itu bagus, Sempol."
Saat aku genting begini dia masih bisa memanggilku Sempol. Terserahlah.
"Bukan saya, Dok."
Dokter Yuan membulatkan mata. "Jadi? Dia?"
Paham bahwa yang dimaksud 'dia' adalah Garda, aku mengangguk.
"Hmm." Dokter tionghoa ini kembali menegakkan duduk lantas melipat tangan di dada. "I see. Pasti ada hubungannya sama Luke menolak panggilan wawancara tahap pertama."
Hah?
"Panggilan wawancara?"
"Wait. Jadi kamu belum tau dia lulus TPA tapi nggak mau ikut wawancara?"
Apa lagi ini? Dia lulus tapi bilang sebaliknya? Dokter McFord berbohong padaku?
Debur jantungku mengeras. Bumi sakit. Garda aneh. Dokter McFord berbohong. Semua kontradiksi dalam sehari bersatu mematikan rasaku.
"Sepanjang aku kenal Luke, Harvard selalu jadi incaran utamanya. Semua risetnya selama ini dipersiapkan untuk itu, sampai dia dapet LoA dari profesor di sana. Aku nggak tau ada apa, tapi kalau dia ngelepas semua usaha kerasnya dengan cara seperti ini… artinya ada kondisi yang lebih darurat."
Kuhimpun suara untuk bertanya, "Dan menurut Dokter, dokter McFord melakukan itu karena saya?"
"Nggak juga." Dia menggeleng pelan. "I mean, iya, setengahnya aku berpikir ke sana. Track record Luke soal pacaran sama sekali kosong. LDR apalagi. Tapi, yah," dia mengangkat bahu, "kalian yang menjalani. Kalian yang tau pasti hubungan itu. Sebagai orang luar, bukan porsiku menilai apapun tentang kalian. Luke pasti punya alasan valid."
"Baik." Tenggorokanku sakit menelan ludah pahit. "Terima kasih karena Dokter tau diri dan sudah seharusnya begitu."
Kutapuk bibir pelan. Astaga kalimat kurang ajar macam apa barusan?!
"Ma-maaf, Dok--"
"Heish, untung pacar temen sendiri!" Dia menyela dengan tawa. "Oh God… seandainya aja bukan,"
Aku mengerut di kursi. "Maaf, Dok."
"Kenapa kamu nggak tanya, 'Sendainya bukan, Dokter mau apa?' ?"
"Kenapa saya harus tanya begitu?"
"Ayo tanya,"
"Nggak."
"Kamu nggak penasaran?"
"Nggak." Sama sekali nggak.
"Ayo tanya, Sempol."
Kerut keningku bertambah lagi. Kenapa aku harus bertanya sesuatu yang retoris? Sudah pasti dia akan menjawab dengan sejenis ancaman untuk nilai blok THT-ku yang akan dimulai setelah blok Mata. Dan tentu saja aku tidak ingin mendengar itu.
Aku mengangkat wajah. Aku lelah. Kesialanku sudah dimulai sejak aku lupa menjepit poni pagi tadi, diikuti dengan rangkaian kesialan lain. Kumohon, jangan ditambah lagi dengan dokter Yuan mengancam nilaiku.
"Dok, saya benar-benar minta maaf. Saya lancang, dan… terima kasih banyak, Dokter mau menolong Bumi. Maaf, dan terima kasih."
"Ck, kamu nggak seru." Dia berdecak lidah dibuat-buat. "Dalam situasi tadi, cewek normal pasti langsung mikir, 'Hmm, dia mau ngapain nih seandainya aku bukan pacar temennya?' sejenis itu. Tapi kamu nggak. Aku jadi sedikit paham kenapa Luke mau terikat sama kamu."
Sebenarnya aku tak terlalu mengerti arah pembicaraan ini, jadi aku hanya tersenyum tipis. "Terima kasih, Dok."
"Aku ngomong gini kamu mudeng nggak, sih?"
"Sedikit," jujurku.
Dia tertawa lagi, segera menular padaku berupa tawa yang lebih rikuh. Setidaknya aku lega, nilai blok THT-ku masih aman. Dengan mimik gemas, dokter Yuan menangkup kedua pipi Bumi dan serta-merta menciuminya.
"Heh, bola kolesterol. Cepet sembuh, ya. Papa Yuan cedih kalo kamu lemes gini."
"Apa mencium pasien termasuk batas interaksi medis dokter-pasien?"
Aku dan dokter Yuan sama-sama menegakkan duduk kami. Dan meski aku duduk, tanganku pegal menopang beban 10 kilo dalam dekapan. Garda mendesis masam pada dokter Yuan yang masih tetap cengengesan.
"Hmm, bukan." sahutnya ringan. "Ok, my bad, mencium pasien berlawanan dengan kode etik. Tapi mencium Mamanya pasien nggak perlu kode etik, 'kan?"
Aku tersedak ludah. Garda mendelik.
"Say that once again and I'll burn you down to ashes, Li Yuanju."
Geram rendah itu terdengar bersama tirai yang disibak dari luar oleh dokter McFord. Dia menarik kerah belakang kemeja dokter Yuan menjauh dariku, seperti menarik anak kucing yang berdecih.
"Si dokter kasmaran ngegas amat."
Seorang perawat perempuan yang menyertainya membuka lebar tirai dan seorang perawat laki-laki lain mendorong brankar kosong tepat di bawah flowmeter. Dengan hati-hati, mereka memindahkan Bumi ke brankar itu.
Aku mengibas tanganku yang kebas, sampai dokter McFord menangkap tanganku dan duduk di sisiku. Lenganku dipijati, sementara tepat di depan mataku, prosedur pemasangan infus Bumi dimulai.
Ketahuilah, tidak ada ibu yang mampu membendung sesak air mata saat menyaksikan malaikat kecilnya merongrong putus asa dalam bebatan selimut.
***
"Hngg…"
Untuk kesekian kalinya aku tersentak dari tidur karena erangan Bumi. Tidak bisa dibilang tidur juga karena hanya tidur-tidur ayam; badan duduk di kursi, kepala merebah di samping Bumi. Yang langsung kulakukan adalah menghapus sisa air mata yang lolos dari sudut mata anakku.
Tiga jam berlalu sejak pemasangan infus, tetapi Bumi masih kerap merintih, tersedu dalam tidur. Bagaimana tidak, jika memasang infus Bumi perlu dua jam sebab kedua perawat itu kesulitan mencari vena Bumi. Penyebab utamanya karena vena itu kecil sementara Bumi terlalu gemuk. Bahkan perawat anak yang biasa menginfus anak kesulitan mencari venanya.
Aku tersenyum tipis, mengusapi wajah bundar sembap di depanku.
Ya, seistimewa itulah Bumi. Amukannya di dalam selimut begitu liar hingga dua perawat saja tidak cukup menahannya. Akhirnya dokter McFord dan dokter Yuan turun tangan, ikut meredam kekuatan Bumi yang meski bayi, masuk kategori Hulk atau mungkin Thanos. Setelah tiga suntikan di lengan kiri dan empat suntikan di lengan kanan, infus terpasang dengan baik.
Berhasil dengan infus dan bidai yang menguras keringat Bumi, juga air mataku, Bumi masih harus menjalani foto rontgen dada di instalasi radiologi. Saat dibaringkan di atas meja, hatiku berdarah melihat dada polosnya terkulai lemas seperti mainan rusak. Cadangan energinya dia habiskan untuk berontak selama pemasangan infus.
"Sayang," panggilan lembut itu menyadarkanku. "Ayo pindah. Kamarnya siap di lantai 4. Aku bawa Bumi, barang lain dibawa suster."
Aku menolak. Maksudku, aku menolak tas Bumi dibawakan suster karena sungkan. Sudah cukup panggilan 'sayang' barusan membuat praktisi medis satu IGD menoleh.
"Itu pacarnya dokter Luke?"
"Cantik sih. Tapi udah punya anak?"
"Masih muda banget."
"Itu yang digendong anaknya dokter?"
"Ah, nggak ada mirip-miripnya sama dokter Luke."
"Mungkin adiknya, bukan anaknya?"
"Iya adiknya pasti. Nggak mungkin lah dokter Luke mau sama cewek yang punya anak dari orang lain."
Entah mereka yang berbisik terlalu keras, atau pendengaranku yang terlalu peka. Sepanjang jalan menuju lift ke lantai 4, desas-desus seperti itu tertangkap daun telingaku. Dan entah dokter McFord budeg atau memang nggak peka, dia malah memancing tangan kiri Bumi untuk meremas rambut pirangnya. Untuk pertama kalinya setelah muntah, Bumi dapat tertawa meski lirih.
Aku merapat pada keduanya saat keluar lift menuju nurse station, dan secara sadar mengeraskan suara.
"Dokter sayang sama saya, 'kan? Cinta setengah mati tanpa ada tapi?"
Alisnya naik sebelah. "Hah?"
"Nggak usah hah-hoh-hah-hoh. Jawab!"
"Kamu mau kulamar? Baik, kita planning setelah Bumi sembuh."
Aku meraup wajah gemas. Kenapa dia mikirnya kejauhan, sih? Maksudku bukan begitu juga. Tapi ya sudahlah, aku hanya ingin dunia tahu dokter McFord menerimaku sebagaimana aku. Jadi monggo saja kalau mereka mau jungkir-balik menggunjing hubungan kami.
Para perawat di nurse station menyambut kami dengan senyum dan sesekali menggoda si dokter bule yang baru sekali ini menampakkan sosok pacarnya kepada orang-orang rumah sakit. Salah satu dari mereka mengantarkan kami ke sebuah ruang VVIP 1--ya, pilihan Ringgarda sekali.
Setelah memastikan infus dan nasal kanul Bumi terpasang dengan benar, suster itu kembali ke station. Bed pasien ini berukuran lebih besar dari umumnya hingga aku bisa tidur berdua Bumi. Ketika aku berbaring menyamping untuk menyusui Bumi, seseorang membuka pintu dan langsung masuk.
"Bumbumku mana, Bumbum?!"
Elia segera duduk di sisi bed, mengelus-elus punggung anakku yang bergerak naik-turun sesuai isapan mulut. Matanya berair saat memindai selang oksigen yang tertancap di hidung Bumi, serta bidai kayu dan bermeter-meter plester yang membebat kaku tangan kanannya.
"Kata dokternya kenapa…?" Dia bertanya serak.
Aku menggeleng lelah, menjelaskan perlahan bahwa hasil rontgen dan tes darah Bumi baru keluar besok. Elia tidak bertanya lebih banyak dan memilih untuk beranjak ke sofa pengunjung, memberiku dan Bumi privasi untuk menyusu.
Selesai dengan ASI, Bumi kembali tidur dan otomatis melewatkan jam makan malam. Dengan ini genap 24 jam tidak ada asupan yang masuk ke lambung kecilnya kecuali ASI. Aku mengenyahkan suara-suara yang berbisik, 'Melati, sebagai ibu kamu telah gagal.' dengan makan malam bersama Dokter dan Elia.
Aku tidak gagal. Ingat itu.
Aku lalai, dan Tuhan, demi apapun aku berjanji. Aku janji akan mengutamakan Bumi di atas kepentingan apapun, termasuk kuliah.
Elia mengeluarkan laptop dan modul yang kupesan untuk dibawa dari rumah. Tak mau tenggelam dalam stress, aku berniat mengerjakan laporan tutorial. Aneh sekali rasanya menulis laporan, dengan dosen tutormu duduk tepat di sebelahmu.
Tetapi sebelum itu, ada hal lain yang harus kulakukan.
Aku beranjak menghampiri Bumi lagi, mengambil dua foto. Swafoto aku dan Bumi, dan satu lagi Bumi sendiri. Keduanya kukirimkan ke Mama yang tidak sedang online--Mama pasti syok melihat ini. Dan satu foto Bumi sendiri, kukirimkan untuk Garda.
Baiklah, aku pembohong.
Aku berbohong pada dokter McFord.
Selepas waktu isya', setelah semua kepanikan mereda, aku melihat Garda pulang tanpa berpamitan. Punggung bekunya menjauh dariku dan dokter McFord. Hilang seperti kabut di balik pintu IGD. Dan secara sadar, tanpa paksaan, aku meng-unblock kontak pria itu.
Aku hanya ingin. Aku tak tahu mengapa. Aku menuliskan ini bersama foto Bumi.
Mel
Bumi sudah masuk kamar
Tanganmu gimana? Masih luka?
Kenapa td ngga sekalian diobati di IGD?
Astaga! ASTAGA!
Gelagapan ibu jariku menganulir dua pesan terakhir sebelum berubah jadi centang dua. Aku mengganti dengan kalimat yang lebih sederhana. Kalimat yang seharusnya dia terima dari mulutku sebelum pergi meninggalkan IGD.
Mel
Terima kasih
Aku melirik pada dokter McFord yang serius menekuri layar laptop di sofa. Kacamata bertengger anggun di hidung lancipnya. Syukurlah, dia tidak sadar.
◇ BERSAMBUNG ◇
1. Triase kegawatdaruratan. Prioritas penanganan pasien yang dateng ke IGD berdasarkan tingkat keparahannya. Jadi pasien yang dateng belakangan kalo dinilai lebih sekarat dari yang dateng duluan, dia bakal didahulukan. Umumnya dilabeli dengan warna, tapi ada juga yang pake nomer.
2. Nasal cannula / nasal kanul. Liat gambar aja langsung wkwk
3. Pulse oximeter. Liat gambar aja. Beberapa ada yang pake kabel terhubung ke USB jadi bisa di-record. Berhubung Bumi masih bayi bakal ga nyaman kalo kebanyakan kabel nempel di badan, jadi pake yang untuk monitor realtime udah cukup
4. Flowmeter. Liat gambar aja
🌟
Apa yang kalian rasakan di bab ini?
Buat Mel?
Buat Garda?
Buat Mas Luke?
Buat Bumbum?
BUAT DOKTER YUYU?
Mudahan gak bosen ya kalo aku banyak nyeritain medis juga, kan masih ada kaitan ama konflik hehehe. Koreksi aja kalo salah, gapapa, ntar kumasukin catetan revisi. 😁
Luv u to the moon and back, MeLuk 💕
Malang, 14 September 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top