15 Professionally Unprofessional
⭐
Hangover #2
The Unintended Aftermath
15 Professionally Unprofessional
⭐
"Selesai. Letakkan kembali semua alat tulis."
Klop sekali. Ketika dokter McFord mengakhiri pre-test untuk skills lab, pulpenku meluncur dari genggaman. Berdenting membentur lantai, lalu bergulir ke arah Joko di depan. Setelah menyerahkan kertas jawaban pada Mbak Dona yang berkeliling, aku mencondongkan badan untuk minta tolong Joko.
Aku dan teman-teman sekelompok segera mengerubungi meja Mbak Dona untuk diberikan demonstrasi singkat. Karena instrumen pemeriksaan visus yang jumlahnya terbatas (terutama trial lens dan trial frame), kami harus praktik bergantian.
"... anamnesis, pemeriksaan tajam visus dan buta warna, pemeriksaan lapang pandang, dan pemeriksaan otot ekstraokuler. Untuk memperoleh anamnesis, bisa dimulai dengan menanyakan keluhan utama. Lihat daftar keluhan utama di modul masing-masing."
Secara spontan mataku tertuju pada modul dalam genggaman, membaca poin yang diinstruksikan dokter McFord di depan.
"Kenali detil yang harus digali dari keluhan utama, karena beda keluhan beda pemeriksaan."
Suara dokter McFord mengisi ruangan sempurna ketika dia bergerak, memencarkan pandang ke seantero praktikan, lantas berkeliling mengamati persiapan bersama dokter lain.
Kuarahkan mataku memberi perhatian khusus pada demonstrasi Mbak Dona dan trial lens, mengabaikan dokter McFord. Sudah seminggu lebih di blok mata, tetapi otakku--atau tepatnya hatiku--belum mampu membedakan apakah dia Lucas McFord koordinator blok mata, atau Lucas McFord yang biasa memelukku.
Lucu sekali. Semester 2 tahun lalu, rasanya biasa saja melihat dokter McFord sempat mengajar Farmakologi. Dia sama dengan dokter lain. Bahkan dokter lain lebih keras, misalnya, dokter Yuan yang bermuka dua itu. Anehnya semester 4 ini, dokter McFord yang sedang mengajar di mataku tampak lebih... senjang?
Dia seperti di luar jangkauanku.
"... dan gejala neurologis seperti gangguan motorik-sensorik, gangguan saraf kranial, dan lainnya." Kuserap baik-baik imbauan darinya yang sekarang ada di kelompok belakangku. "Selidiki riwayat penyakit terdahulu dan faktor genetik, karena komplikasi seperti diabetes, hipertensi, dan jantung berpotensi menyebabkan pendarahan subkonjungtiva, merusak fotoreseptor. Hei, Mbak."
Entah siapa yang ditegurnya. Kupilih memerhatikan penjelasan hitung skor visus Mbak Dona.
"Hei."
Kelas mendadak lebih senyap. Lenganku disikut, yang praktis membuatku menoleh ke Sandra, yang memberi kode berupa lirik aneh. Kepalaku berpaling ke arah berlawanan dan menemukan dokter McFord menatapku lekat.
Aku meneguk ludah kental.
"Maaf. Saya, Dok?"
"Ya." Iris biru di balik lensa semi-rimless itu berkilat. "Sebutkan poin kelima tata tertib clinical skills lab di sini."
Kutahan mata untuk tidak terbeliak. Dadaku bertalu heboh sementara otakku lekas menggali ingatan tentang tata tertib, yang sebenarnya tak pernah kubaca lebih dari sekali.
"Panjang kuku tidak boleh lebih dari 1 milimeter."
"Itu poin keenam," koreksinya. Napasku tersekat. Mataku memejam sesaat. "Poin kelima, mahasiswi dengan rambut panjang wajib diikat satu di belakang dan menjepit rambut yang menutupi dahi, jika ada."
Jemariku mendingin. Secara reflektif meraba dahi dengan poni terjurai. Poni baru hasil tataan ibu kandung dokter yang menegurku ini.
"Maaf, Dok. Saya lupa."
Segera kujatuhkan mata pada ujung sepatu, sementara tanganku merogoh saku jas lab. Kemudian bulir keringat dingin menuruni pelipisku.
Tidak ada. Aku lupa bawa jepit lidi.
Tunduk dan suaraku semakin rendah.
"Maaf, Dok. Saya tidak bawa jepit."
Desas-desus mengudara dari bibir praktikan lain. Tentang 'pacar', 'dosen', dan 'bodoh'. Mengerucutkan nyali. Mengeratkan sabuk tak kasat mata yang menjerat kepalaku.
"Pinjam temanmu."
Bawah sadarku berusaha mengingat sesi konsultasi dengan dokter Tamara. PR nomor tiga.
Hadapi, berdamai, selesaikan.
Aku berbalik. Sandra langsung menggeleng pasi, yang artinya dia tidak bawa jepit cadangan. Namun pucatnya segera reda, begitu pula cemasku, karena Ayudia menghampiri bersama sebuah jepit lidi. Hanya lirih terima kasih yang bisa kusampaikan untuknya, sambil menyampirkan poni dan menjepit anak rambut itu.
"Kesalahan berpakaian umumnya dilakukan mahasiswa baru. Tolong diingat, kalian sudah semester empat."
Dokter McFord berlalu dari kelompok kami tanpa segarispun mengerling padaku lagi, mempersiapkan checklist penilaian bersama dokter lain. Meninggalkan aku dan sisa gemerisik kelompok lain akibat kejadian barusan.
"Kirain jadi pacar koordinator blok bisa otomatis resisten tata tertib."
Aku memutar leher. Dada dan mataku terbakar kalimat yang disulut Disya barusan.
Berengsek.
Sudah kubuat jidatnya berciuman dengan lantai, tapi masih berani juga. Perlukah kututup bibir merah itu selamanya dengan membunuhnya? Melenyapkan nyawa Disya tidak mungkin sulit. Dia pernah babak belur satu lawan satu di tanganku.
Atau kuracun, mungkin? Tinggal mencampur sianida di matte lip cream-nya. Gampang.
Satu tepukan berarti di punggung menyadarkanku untuk kembali fokus pada Mbak Dona yang mulai mengabsen kami berpasangan. Sandra merapatkan tubuhnya, berbisik di bahuku.
"Let her be, Mel. Spesies Disya itu mati satu tumbuh seribu. Kalopun kamu tadi nggak kena tegur, pasti tetep dinyinyirin juga kek gini nih, 'Pacar koordinator blok resisten tata tertib, boleh skills lab pake poni'. Nggak ada bedanya. Dan aku pikir dokter McFord negur kamu udah bener banget. Tandanya doktermu itu profesional, sebagai dosen maupun pacar. Anjir, ini ngemeng apaan deh aku?"
Aku terkekeh tertahan mendengar kelakar Sandra. Dia benar. Semua yang kulakukan akan selalu salah bagi mereka yang antipati. Bahkan andai aku tidak salah, akan dibuat bersalah. Yang mereka hendaki bukan kebenaran sikapku; tapi kepuasaan dari mencemoohku.
Menunggu giliran dengan Sandra, kusempatkan untuk membuka mini diary dari saku jas. Sebentar saja, aku mengerjakan PR nomor satu dokter Tamara.
Rabu, 28 Maret
RKB Fakultas Kedokteran
Belakangan aku makin sering lupa
Aku lupa kalau Bumi anakku
Aku lupa aku punya pacar
Aku lupa menjepit poni waktu CSL
Kata dokter McFord aku seperti maba
Aku diketawain satu angkatan
Dokter jahat...... aku benci!
Ah bukan
Mereka benar, aku yang bodoh
***
Baru saja aku selesai cuci tangan, mengeringkan dengan tisu, ketika pintu ruang koordinator riset diketuk tiga kali dari luar.
"Melati?"
Pemilik ruangan datang. Kupercepat mengemasi peralatan ASI dan berseru, "sebentar, Dok."
"It's ok. Take your time."
Membran pompa ASI belum kering sempurna. Biarlah. Toh sesi pumping siang ini juga sudah selesai; tiga jam lagi aku pulang. Semua kujejalkan dalam tas dan lekas kukancing.
Yang langsung kutemui ketika membuka pintu adalah senyum semringah dokter McFord, dengan iris birunya berbinar. Dia masuk dan menutup pintu kembali. Sedikit membuatku jengah berduaan di ruang kerjanya, tapi rautnya begitu lugu. Justru membanting diri di sofa dan menepuk ruang kosong di sebelahnya; aku disuruh duduk.
Tanpa perlu disuruh pun aku belingsatan duduk dan menghimpun dua kantung penuh ASI di atas meja yang lupa kusimpan. Segera kutulisi tanggal hari ini, dan secara instingtif aku memunggunginya. Sudah puluhan kali dia menyuapi Bumi dengan ASIku, tetap saja aku risi kalau dokter McFord melihat ASI-ASI ini.
"Kamu lupa?"
"Lupa apa?" Aku beranjak menuju freezer, memasukkan kedua kantung ASI itu.
"Lupa bahwa Bumi anakmu dan aku pacarmu?"
Kututup pintu freezer perlahan. Beberapa detik lamanya aku diam, sampai kukumpulkan kembali nyawa untuk berbalik dan duduk di sisi Dokter. Mini diary-ku ada dalam genggamnya. Sepasang mata itu menuntut jawaban.
"Honestly, saya bingung, Dok. Kemarin malam saya lupa apa sudah makan malam atau belum, jadi saya cuma minum susu. Hari ini saya lupa kalau saya punya poni. Kenapa saya jadi bodoh gini, Dok?"
"Kamu nggak bodoh, Mel."
Aku mendengkus sarkastik. Mengerucutkan bibir. "Saya nggak bodoh, cuma seperti maba."
"Kamu marah karena itu?"
"Nggak." Kukembangkan senyum. Sungguh, aku bukan ingin merajuk. "Dokter justru harus begitu sama saya kalo di kampus. Profesional," seperti kata Sandra.
Dia tersedak tawa renyah. "Me... professional?"
"Are you not?"
"I am--" tengkukku diraih. Dia membubuhkan jejak bibirnya pada tepi bibirku. "--professionally unprofessional."
Uhh... agak geser ke tengah dikit bisa, Dok?
Bibir itu melumat lembut. Kelopakku merendah. Otakku dikuasai oksitosin berlebih hingga tak mampu membedakan apakah itu di pipi atau bibirku.
"Objektivitasku sebagai evaluator hanya membatasi nilaimu E sampai A," bisik aroma mint yang menggelitik. "Tapi subjektivitasku sebagai lelaki, dalam skala yang sama... nilaimu S."
Dunia semakin manis, sampai lentik bulu mata dokter McFord menggelitik pelupukku, dan sesuatu menggedor kesadaranku.
Belingsatan kutolak dadanya tepat di emblem Fakultas Kedokteran, sedangkan mataku terbeliak nyaris melompat dari rongga. Begitu pula lambungku yang mendadak terbelit usus.
"Ini di kampus, Dok!"
"Terus?"
"Kalo terciduk gimana?!"
"CCTV masih off?"
"Masih. Belum sempat saya nyalakan lagi, tapi--"
"Tapi kamu suka. You kissed me back."
Aku membekap mulut. Seringai setannya merekah sempurna. Sungguh aku tak tahu kalau aku sempat membalas ciumannya. Magnet dokter McFord itu daya tariknya terlalu... ARGH! Tak bisa kujelaskan.
"Lagi, yuk? Seru 'kan, ciuman di kampus? Such a guilty pleasure. Feels wicked right and wrong at the same time."
"ENGGAK!"
Kubenamkan wajah yang panas di tangkup kedua tangan. Dia tertawa puas melihat reaksiku. Aku mengintip dari sela jemari.
Bahkan di mimpi terindahku, tak pernah terlintas bahwa dokter dan dosen absurd ini kelak akan jadi kekasihku. Dadaku selalu jumpalitan dibuatnya. Tetapi lebih dari itu, dia adalah satu dari sedikit sekali orang yang selalu memahamiku.
Hubungan normal seperti inilah yang selalu kudambakan. Kami tertawa bersama tanpa hambatan. Akan berangsur membosankan pada waktunya, tapi percayalah, membosankan jauh lebih baik daripada terus-menerus disambangi derita.
Hambar jauh lebih bisa diterima daripada pahit, bukan?
Lalu, jika dipaksa merasa tanpa dokter McFord di sisiku, aku tak tahu apakah itu hambar atau pahit.
"Dok." Aku melirih samar, tetap terdengar olehnya. "Gimana hasil TPA-nya? Dokter lulus? Wawancara tahap satu kapan? Kapan berangkat ke US?"
Bukannya menjawab, sepasang matanya menerawangku dengan sorot yang tak mampu kuartikan.
"Aku nggak lulus."
"Hah? Apa?"
Aku mengerjap dua kali. Aku pasti salah dengar, karena suara dokter McFord mendadak turun.
"I failed, Mel. Aku nggak lulus."
Dan aku kehilangan kalimatku.
Nggak lulus? Luke McFord yang dua kali ikut penyetaraan kemampuan dan dua kali pula disejajarkan dengan yang lebih dewasa, tidak lulus Tes Potensi Akademik?
Sebagai kekasih yang suportif, aku turut berduka. Sebagai kekasih yang egois, aku bahagia. Ya, hatiku yang benar-benar tak tahu malu.
***
Pengapuran ingatanku terjadi lagi. Aku lupa berpesan pada Mbak Sari kalau Bumi hangat sejak kemarin malam. Sudah kuberi paracetamol dan suhunya normal kembali. Namun, nafsu makannya turun drastis. Dia hanya mau ASI dan setengah keping biskuit untuk makan malam.
Dan sore ini sepulang kuliah, pelupuknya jatuh separuh. Hatiku susut melihat mata sayu dalam dekapanku.
"Tadi siang sudah saya minumkan obat, Mbak. Tapi tetep nggak mau makan, cuma dua suap. Trus minum susu malah muntah, Mbak..."
Ya Tuhan.
"Banyak muntahnya, Mbak?"
"Lumayan, Mbak. Saya ngepel dua kali. Saya suapi air putih juga cuma mau sedikit."
Aku mengangguk kelu. Setelah kuucapkan terima kasih dan maaf karena merepotkan, Mbak Sari bergegas pulang. Aku tak bisa mengantar ke depan karena mengeloni Bumi.
Matanya memejam, tetapi refleks pipinya masih bekerja di dadaku, mengisap sangat lemah. Panas. Kuncup mulut dan pipi yang melekat di payudaraku seakan membakar kulit. Gurat merah padam menguasai wajah anakku.
Gelisahku menggelagak. Segera kuulurkan tangan meraih smartphone di samping bantal.
Mel
Dok, Bumi demam
Saya takut
Last seen 3 hours ago. Dia masih di rumah sakit, aku tahu. Dia mendapat panggilan op cito terkait korban kecelakaan kerja massal sebuah proyek pembangunan, karenanya kami tidak pulang bersama. Aku pulang diantar anak-anak.
Isapan di dadaku berhenti sempurna. Mulut panas itu terlepas dan segera kubenahi posisi tidur Bumi. Kubersihkan hati dari segala impuls negatif, lantas membanting otak seperti seorang dokter.
Bumi, Mama periksa sedikit, ya.
Aku beranjak, menyambar kotak stetoskop, dan berlutut di sisi anakku. Sebelum mengenakan alat itu, sejenak kuamati kepala Bumi yang terangguk lemah. Kuasah pendengaran untuk menangkap suara aneh yang dia hasilkan.
Apa ini wheezing? Kurasa ya, meski samar.
Segera kubuka kancingnya satu persatu. Memindai dadanya yang naik-turun dalam tempo cepat. Napas yang pendek. Dinding dada bawah susut ke dalam oleh setiap tarikan udara.
Ada chest-indrawing.
Kukenakan earpiece dan melakukan auskultasi dengan menempelkan bell di bawah klavikula kiri, mencari pusat di mana suara terdengar berat. Mendengarkan satu periode ekspirasi dan inspirasi. Turun ke bawah sedikit mencari jejak suara napas tambahan lain, dan bergeser ke rongga sebelah kanan.
Crackles ketika inspirasi. Entah itu halus atau kasar, yang jelas gesekan aneh terdengar setiap Bumi menarik napas. Dan ronchi ketika ekspirasi, aku yakin basah, karena adanya suara gaduh kontinyu. Hanya, aku tak yakin apakah itu basah halus atau kasar. Tidak bisa kusimpulkan asalnya dari saluran napas atau badan paru. Tidak mungkin Bumi kubangunkan dan memintanya batuk hanya untuk mengetahui itu, tetapi satu hal sudah pasti.
Infeksi saluran pernapasan bawah.
Belum beranjak dari posisi, kurapikan stetoskop di kotaknya dan mengancingkan lagi piyama Bumi. Sapuan tanganku tak bisa berhenti membingkai wajah padamnya. Satu kepalan tangannya kuremas, kuciumi, dan kugunakan untuk menyeka air yang menitik di sudut mataku.
Bronkitis? Bumi tidak terpapar rokok, mana mungkin PPOK, 'kan? Allah... yang mana?
Kata Mbak Sari, Bumi muntah dua kali. Sputum-nya bagaimana? Ada tidak? Apa Mbak Sari ingat soal ini, atau lupa dan langsung membersihkan saja?
Kubenamkan wajah di perut Bumi, sejenak menggeluti frustrasi, bersama doa kesembuhan yang kurapalkan mati-matian dalam benak. Mengemis kepada Sang Pemberi Kesembuhan. Sampai kudengar denting bel dari pintu depan, mengetuk kesadaran.
Aku beranjak, menguceki mata, membuka pintu yang kuharap sekali akan menemukan dokter McFord. Tapi bukan.
Bulu romaku mencuat.
Itu dia.
Si keparat nomor wahid, perusak cerita hidupku.
"Mel--"
Tanganku bergerak defensif mendorong gagang pintu. Dia menahan dengan tekanan berlawanan, serta selipan jemari di celah pintu dan kusen. Bagus. Kemudian kudesak kasar daun pintu dengan lengan dan berat tubuhku.
"Ah!"
Jarinya terjepit. Seringaiku merekah. Semakin kutolak daun pintu, ada perlawanan dari arah luar. Kuda-kuda kakiku menjejak lantai kuat. Aku enggan mengalah. Jemari cabul ini harus kuhancurkan, atau minimal putus! Akan kutulis di mini diary sebagai prestasi.
"Mel--ARGH! Mel, please... kita bisa ngomong baik-baik--"
"Kamu punya kesempatan ngomong baik-baik sama aku sejak awal kita ketemu, dan kamu sia-siakan itu!"
Dia menjerit lagi. Dia lengah dan kumanfaatkan keadaan untuk menggasak jejari yang bercucur darah itu. Tekanan melawan dari luar datang lagi.
"UHUKKK! UHH--AAAHHH!"
Itu bukan dia.
Sontak kujauhkan diri dari pintu dan tergopoh-gopoh ke kamar. Bumi yang menangis. Kencang, histeris. Aku menghampirinya. Detik itu juga tungkaiku lumpuh total, memelorot di sisi ranjang. Otakku menolak kenyataan di hadapan.
Bumi muntah.
Aku belingsatan menyambar belasan lembar tisu sekaligus di atas nakas. Kuseka bibirnya yang terus meraung dari amis ASI dan--itu dia sputum-nya. Kuning, pekat susu, dan kental. Frekuensi menengah.
Aku terkesiap oleh tangan lain yang datang mengusap kening anakku. Dia berjengit, membagi pandangan, dan meraih termometer digital di atas kotak stetoskop. Dia berjongkok di sisiku yang masih beku, menyelipkan stick itu pada ketiak kiri Bumi. Lengan Bumi ditahan oleh sikunya agar tetap mengapit termometer.
"Dia mau makan? Mau minum?"
Dia bertanya lemah, membungkus asal jemarinya dengan tisu. Darah merembes dengan cepat. Mengubah serat putih menjadi merah.
"Mel, jawab aku. Kamu sendiri gimana? Kamu juga kelihatan sakit, Mel."
Jemari kirinya yang bersih menyentuh dahi di balik poniku. Beberapa detik lamanya aku terhipnosis satu mata lelah itu, sebelum tersadar dan menampik tangan berengsek itu. Kusibukkan diri menyeka sisa muntah di sela leher Bumi yang sempit.
Kalau dia berusaha mengambil hatiku lagi, maaf saja. Terlambat.
Termometer itu menjerit, segera ditarik oleh tangan terbebat tisu. Aku buru-buru melepas kancing piyama Bumi, namun kemudian tersentak mendengar penuturan pria ini.
"Tiga puluh sembilan koma delapan."
Tidak mungkin.
Kurampas benda itu. Dia benar. Kukembalikan termometer pada tempatnya dan lanjut membersihkan anakku dengan tisu basah, mengabaikan hati yang kian kelonjotan.
"UH-HUK! HUKKK!"
Muntah. Lagi. Licin serta dingin sputum melengketi jariku. Dan detik ini parau tangisnya mengiris rasaku.
"Ayo ke IGD. Aku bersihkan Bumi. Kamu siapkan semuanya, Mel."
Mendengar ujaran itu, kakiku sontak beranjak. Entah sejak kapan dia sudah membawa sebaskom air, waslap, dan sepasang baju Bumi. Dia pikir dia siapa? Lancang sekali!
"Nggak. Kamu pergi. Aku bisa ke IGD sendiri."
Bukan mengindahkanku, dia justru duduk di sisi Bumi. Membuka seluruh pakaian anakku. Hendak mengelapi dada Bumi dengan waslap basah, tapi kucekal lengannya. Dia menatapku dingin. Aku tak mundur. Mataku memipih.
"Kamu budeg? Aku bilang pergi!"
"Melati. Anakmu sakit. Kali ini saja, buang egomu..."
Banyak bacot!
"PERGI!"
"URGH--URGH--HUKKK!"
Semburan kuning, kental, kelat menghujani tangannya yang dibalut waslap. Terpencar tegas pada air baskom yang mengotor. Nyawaku melayang melalui mulut yang jatuh terbuka.
Cengkraman panas dari jemari berdarah menyucuk lenganku. Bulir air mata jatuh dengan mudah meluruhi pipiku. Satu iris hitamnya menyedotku dalam pusaran amarah.
"Kalau kamu benar ibu yang melahirkan Bumi, stop being fuckin' childish and save him first!"
◇ BERSAMBUNG ◇
1. Wheezing (a.k.a mengi): suara tinggi kayak bersiul saat bernapas karena penyempitan saluran napas.
2. Chest-indrawing: tarikan dinding dada bawah ke dalam ketika inspirasi (tarik napas) pada anak-anak, tanda adanya gangguan pernapasan.
3. Auskultasi: mendengarkan suara bagian dalam tubuh, umumnya pake stetoskop.
4. Klavikula: tulang selangka
5. Crackles: suara diskontinyu, kayak ledakan-ledakan kecil. Bisa juga berupa bubbling (blukutuk-blukutuk? Apa sih bahasa Indonya auk ah 😂😂), rattling (berderit), atau clicking (klik-klik).
6. Ronchi: suara kontinyu, rendah kayak ngorok.
7. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis): ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang kronis. Bisa mengacu pada dua: bronkitis akut atau empiema. Muncul bertahap dan bertambah buruk seiring dengan waktu. Penyebab umumnya rokok atau paparan rokok.
8. Sputum: dahak
Sumber: webmd.com
🌟
Luv u to the moon and back, MeLuk 💕
Malang, 8 September 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top