14 Satu Toples Kenangan

Hangover #2
The Unintended Aftermath

14 Satu Toples Kenangan

"Ah, maaf."

Satu entakan berarti dan keras di pundak kananku berhasil menggebrak kesadaranku kembali ke dimensi Matos. Tubuhku terdorong ke depan dan andai tak berpegang kuat pada handle stroller pasti aku sudah oleng. Pelaku yang menyenggolku adalah segerombolan siswi berseragam SMU dengan cicitan haha-hihi yang melengking, heboh, dan tak tahu tempat. Tanpa mengacuhkan keberadaanku, mereka terus saja bergerak beriringan, makan banyak ruas jalan, dan sekali lagi, tak tahu cara menempatkan diri.

Sejenak, aku menggeleng heran terhadap kelakuan mereka, sampai kakiku memutuskan untuk sembunyi di balik tembok toko buku yang ada di depan. Punggungku bersandar dan memerosot, hingga aku jongkok dan menumpukan dahi di perut Bumi. Bayi polos itu mengacaki anak rambutku.

Tanganku sendiri terkepal, menghantami dada yang sakitnya kian nyata dengan mata terpejam kuat.

Mereka masih di sana.

Mbak Freya, dan seorang pria.

Pria yang sama dengan yang waktu itu menyusul Mbak Freya di toko suvenir, waktu kami tidak sengaja bertemu. Waktu aku membeli mug berubah warna untuk dokter McFord. Waktu aku belum tahu bahwa suami Mbak Freya dan pangeran cabul yang menghamiliku adalah orang yang sama.

Waspada, sangat, kurapatkan wajah di dinding, meloloskan pandang satu mata untuk mengamati keduanya yang masih menunggu lift. Pria itu merangkul protektif bahu Mbak Freya. Otakku berdenyut cepat, keras, menyusuri lekuk demi lekuk ingatan yang mengganjal. Ada keping puzzle yang hilang dan harus ditemukan segera. Dua kali aku melihat pria itu, dua kali pula kualami déjà vu.

Aku pernah mengenalnya. Sekurang-kurangnya, berinteraksi. Kusembunyikan diri lagi sebelum mereka menangkap presensiku. Kubekapkan telapak tangan kenyal Bumi di mulutku, sambil memejam dan mengeruk ingatan lebih dalam.

Satu tepuk jatuh di pundakku.

"Hei, Mbak. Kamu sakit?"

Bom di jantung meledak ketika aku menengadah.

Kusangka pria itu tapi bukan, dia orang lain. Seorang pemuda, sepertinya seumuranku, membungkuk bertopang lutut di sisi kanan stroller. Pupilnya bergerak acak mengamatiku, menyiratkan raut khawatir.

Dia membantuku berdiri dengan memegangi lenganku, padahal aku tak butuh itu. Aku sanggup berdiri sendiri, aku hanya… goyah, sedikit.

"Mbak pucat sekali. Ada yang bisa saya bantu?"

Outfit yang melekat di tubuhnya. Blazer hitam dan kaus merah. Ini rasanya familier. Tapi kenapa?

Curiga membelai bulu romaku. "Siapa kamu?"

Dia mengulurkan tangan. "Nama saya…" Bibirnya bergerak lamat melafalkan sesuatu. Aku menyambut salamnya namun tak terdengar apapun lagi. Telingaku berdengung.

"Maaf?"

"Kris. Nama saya Kris."

Sontak kutampik tangan itu.

Salah. Nama yang salah.

"Bukan. Bukan Kris,"

"Mbak, nama saya Kris. Maaf saya hanya--"

Ritme jantung yang kian kacau menggerakkan tanganku untuk mendorong stroller. Pontang-panting menjauh dari lift, toko buku, juga pemuda aneh itu. Kuabaikan napas yang makin pendek dan sesak. Samar tetapi nyata, kudengar derap kaki terseret mengiringi di belakang.

Maka kupercepat langkah betis yang mulai mati saraf. Menapaki lantai yang berangsur hitam dan menjerat kakiku dengan embusan asap dingin.

"Heh! Tunggu!"

Jangan berbalik.

Dingin itu juga menyapaku dari ujung jemari tangan, merayapi pori demi pori dan bercabang di pangkal lengan. Menjelajah turun untuk meremasi lambungku yang bertambah mual sekaligus naik melumpuhkan otak. Menyebabkan bola mataku berkedut nyeri dan setiap langkahku semakin berat.

"TUNGGU!"

Jangan.

Lari!

Bulir keringat asin basah bersarang di dahi dan atas bibirku. Takut yang menggelagak justru memicu dorongan gerak semakin ganas. Parau tangis Bumi terdengar di antara guncang keras stroller, bergaung menghantam liang telingaku, namun kakiku tak tahu caranya berhenti.

Sebab ini semua demi Bumi. Demi dia. Harus kuhindarkan putraku dari ancaman bahaya.

"Mel."

Terlambat.

Lenganku dicekal. Langkahku dimatikan paksa. Kehangatan telapak lain membingkai wajahku, lalu dunia kembali seperti mulanya. Dunia mall.

Kutemukan seorang wanita dengan mata biru yang menghipnosis. "Mel, what's wrong?"

Rahangku membuka, menutup, bahkan bibirku tergigit kacau. Sekacau napasku yang kini tipis di ambang habis. Keinginan untuk menjawab tak dibarengi dengan kemampuan.

"Mbak, sebentar…"

Refleks tubuhku lompat mencari benteng perlindungan di belakang ibu dokter McFord. Aku mengerutkan wajah di punggung yang kain blusnya kutarik kuat-kuat. Mataku memejam terlalu rapat, hingga nyeri bedengung menggerung di rongga tengkorak.

Kejang ototku semakin hebat.

Takut. Aku takut. Tapi tak tahu pada apa.

"ARH--"

Tanganku terlepas. Tanpa sempat berpikir aku telah dipeluk sepasang lengan Bu Helena. Wangi lavendernya mengurai satu per satu ikatan yang membelenggu dadaku. Belai halus dan intens di puncak kepalaku meredam getaran di sekujur tubuh.

"Sshhh, it's okay, it's okay. He's gone. Dia sudah pergi. Dia cuma mau mengembalikan tasmu,"

Kepalaku menggeleng tersaruk. "Dia jahat… dia orang jahat…"

"No, he's fine. See?" Lengan itu mengendur untuk menunjukkan sesuatu padaku. "Ini tasmu. Dia mengembalikan ini. Nggak ada apa-apa, Mel, dia sudah pergi…"

Bu Helena mengusapi peluh yang menganak sungai di wajah dan leherku dengan tisu. Aku bergeming menatap tasku yang tergantung di stroller. Bumi masih sesengukan.

Bukan. Bukan pemuda itu yang jahat.

Tapi, pria yang bersama Mbak Freya. Dia penjahat.

***

Minggu pagi ini dokter McFord merencanakan konsultasi psikiatri untukku, mengingat antidepressanku juga akan habis malam ini. Pertama kalinya dalam hidupku bertemu psikiater demi membahas kejiwaan. Bukan teori, bukan kuliah, tapi kejiwaanku sendiri.

Demi pagi ini, semalam aku minum air putih lebih banyak, dan mengenakan masker wajah saat tidur. Semua itu agar aku tampak cerah berseri. Agar aku tidak didiagnosis GILA oleh dokter Tamara. Tapi kenyataannya, ketika bangun perasaanku tetap sama. Kosong. Pantulanku di cermin tetap redup.

Tetap tak ingin nanti didiagnosis GILA, maka selepas subuh aku mencuci baju ditemani playlist berisi lagu-lagu ceria.

Hai hai apa kabar kawan
Siapkah kau untuk melangkahi masalahmu
Hadapi esok pagi
Hai hai apa kabar kawan
Siapkah kau untuk melangkah kemasa depan
Menantikan pelangi

Percayalah kawan esok kan berbeda
Pasti kan engkau mencoba
Buat mimpimu jadi nyata oh nyata
Kita semua pasti bisa asalkan kita melangkah
Sambut hari yang indah

Marilah kita mensyukuri
Semua berkat dalam hidup ini
Kita bahagia kita bahagia
Bersama hangatnya mentari
Nikmati dan lukiskan memori
Kita bahagia
Kita bahagia

Duduk di anak tangga dekat mesin cuci, aku menumpukan dahi di genggaman kedua tangan. Frasa-frasa tersebut itu hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri tanpa sempat singgah, apalagi terendap. Hawa beku khas Malang dinihari mengorek tulang; bertameng jaket dan memeluk diri tiada gunanya.

Daripada diam menunggu mesin cuci, seperti biasa aku memproses makanan Bumi. Udara panas dari slow cooker berisi bubur matang rupanya lebih bisa menghibur hatiku. Setelah membagi jadi 3 porsi, selanjutnya menggoreng irisan bawang merah dan putih, yang akan dihaluskan dan praktis jadi bumbu tabur. Bumi selalu suka bumbu bawang goreng halus ini.

Matahari merangkak naik dengan cepatnya. Bumi sudah bangun. Kakiku mondar-mandir antara dapur dan tempat cuci baju demi menyuapi Bumi, jemur baju, sekaligus masak mie instan rebus telur untuk sarapan. Elia datang merebut telur yang akan kupecahkan di mangkuk.

"Udah putra mahkotanya dulu diurus. Marah besar dia kalo telat disuapin," diktenya tegas, yang segera kupatuhi. Setelah satu suapan penuh yang membuat pipinya makin gembung, aku menjemur beberapa celana Bumi lagi. Membelah hening, Elia bertanya, "Janjian ama psikiater jam berapa sih?"

"Masih jam sembilan, sih."

"Elaaahh," Elia mendengkus di sela ketuk irisan wortel pada papan talenan. "Masih jam enam ini. Kok kesusu ae."

Apa boleh buat, karena… "Aku mau dandan, Li. Ntar bantuin, oke?"

"Emang psikiaternya ganteng ya? Ganteng mana sama Mas Luke? Ish Mas 'kan juga ikut, kasian entar hatinya sirosis."

Aku terkekeh samar saat mendekati Bumi lagi. "Psikiaternya ibu-ibu senior, Li. Aku cuma nggak mau divonis gila. Ciri-ciri depresi salah satunya mengabaikan kebersihan dan penampilan."

"Hmm." Dia manggut-manggut merebus mie. "Trus kamu kira dengan kamu dandan bisa nipu psikiater senior itu?"

Degup dadaku mengeras.

"Jangan denial, Mel. Semakin kamu denial, semakin membuktikan bahwa memang ada yang salah sama kamu. Bahkan kalopun memang ada yang salah, then what? Toh kamu konsul ke psikiater untuk memperbaiki diri, bukan minta pembenaran, 'kan?"

Kepalaku lunglai setelah Bumi menolak suapan, mungkin karena sudah kenyang. Aku tersenyum pahit. Yang dikatakan Elia sepenuhnya benar.

"Lagian ya, Mel. Bukan masalah dandannya. Kamu tuh udah nyaris sempurna. Kamu cantik, manis, pinter, kalem, idaman cowok-cowok lah. Kamu gila dikit boleh menurut aku, eh gila banyak juga oke, biar seimbang jadi manusia. Jadi gak cuma kelebihan, kamu juga punya kekurangan."

Aku mendelik lantas memutar leher. "Jadi kekuranganku gila?"

"Nah tuh tau!"

"Kampret."

"Bodo. Ngelempar hape ke kuah mendidih. Apa lagi coba kalo nggak gila? Ya 'kan? Untung ya kamu nggak cuma gila tapi juga miskin. Hapemu jelek. Nggak sampe meledak kaya yang kasus hape mahal di pesawat itu,"

Elia tertawa sarkastik. Aku tercenung, mau tak mau tertawa juga meski kesal. Iya sih, kalau dipikir-pikir apa gunanya berusaha mengelabuhi psikiater? Dan terkadang, menertawakan kebodohan sendiri seperti saat ini memang diperlukan.


***

Kediaman dokter Tamara terbilang pas, bahkan sangat pas untuk seorang konsulen senior. Rumah ini tidak tampak mewah dari luar, tetapi dalamnya terasa lengang dan hidup, meski aku tidak bertemu anggota keluarga yang lain.

"Anak-anak main ke Surabaya. Bapaknya dinas. Saya tadinya diajak tapi, haduuuh! Punggung masih sakit kemarin habis ditendang pasien skizofrenia." Beliau terkekeh, selagi mengusap pinggang atas yang dimaksud. "Saya mau bicara berdua aja. Bumi di sini dulu ya, sama Om." Kedua pipi Bumi dicubiti, bersama lirikan penuh arti untuk dokter McFord. "Bumi manggilnya Om atau siapa nih?"

"Mbah."

Ibu tiga anak itu tertawa lagi menanggapi kelakar dokter McFord, sebelum menggiringku ke ruang praktik pribadinya. Ruang praktik rasa rumah, tanpa bau desinfektan ataupun obat khas rumah sakit. Tanpa kursi formal pasien-dokter dengan meja pemisah di tengah. Hanya dua buah sofa jumbo, sepaket dengan meja yang menyuguhkan permen, air mineral, dan sekotak tisu. Seperti ruang tamu biasa, tetapi lebih privat.

Kami duduk berhadapan di masing-masing sofa. Aku memilin-milin jemari di sela kedua paha sementara dokter Tamara menulis sesuatu di bukunya. Ketika beliau tersenyum, aku membatu.

"Mel, relax. Kita cuma ngobrol. Kerjaan saya ya begini, ngobrol sama orang. Enak tho, ngobrol thok dibayar," celetuk wanita itu, menjentikkan jarinya. Aku tertawa meski tetap saja rahangku kaku. "Kamu sehat, Mel?"

Entah bagaimana arti pertanyaan itu sebenarnya. Bibirku hanya tersenyum samar. Berikutnya, dokter Tamara menanyakan beberapa hal kecil tentang keluargaku, yang praktis menyemai benih rindu. Aku berusaha meredamnya karena Mama bilang beberapa minggu lagi akan datang.

"Jadi, kenapa akhirnya kamu mau ke sini?" selidik beliau lagi, setelah menulis sedikit di bukunya. "Disuruh Luke? Atau memang kamu yang ingin ketemu saya?"

"Saya disuruh…" suaraku menurun. "tapi saya rasa, saya juga perlu ketemu dokter Tamara langsung."

"Kenapa perlu ketemu saya?"

"Karena…" Pita suaraku terjerat. Dadaku dipenuhi sesuatu yang masif. Hanya dengan sekali berkedip, pandanganku membayang berkaca. "Karena saya takut saya gila."

"Kenapa kamu pikir kamu gila, Mel?"

Air mataku menitik pada kedipan kedua.

Perlahan, dibantu arahan pertanyaan dokter Tamara, aku mengungkapkan semua sakitku. Diawali dengan tanda fisik berupa dadaku sering sesak. Kepalaku sakit seolah dipecahkan, dicabut, dan diremas isinya. Nafsu makanku yang sama sekali tidak ada--aku makan sebatas untuk hidup, jika satu suap saja mampu membuatku bertahan seharian maka aku tak ingin makan lebih lagi. Tubuhku yang sering gemetar dan sangat rentan dingin; mungkin karena kurang asupan.

Dan air dari mataku yang keluar sesukanya. Aku hilang kuasa atas indra yang satu ini. Dia bisa berair, deras begitu saja saat aku di kelas, dan aku kerepotan menutupinya dengan tisu. Dia bisa berair ketika aku menyusui. Bahkan sering kudapati terbangun mendadak dari tidur dengan wajah sembap, licin, dan kelat oleh air mata.

Pun detik ini aku menangis. Aku tak tahu apa dokter Tamara masih jelas mendengar suara cengengku. Beliau diam saja. Tapi bibir dan lidahku juga hilang kendali, meracaukan semua perih yang terasa.

Tentang malam bencana tak terlupakan itu. Tentang tatapan dan ujaran sinis yang makin intens kudapat setelahnya. Tentang jam biologis yang kacau setelah Bumi lahir. Tentang mimpi-mimpi buruk, juga, tentang pria berengsek yang telah beristri dan mengaku ayah kandung Bumi.

"Saya ingin membunuh dia, Dok," luncurku lancar begitu saja. "Ingin sekali. Biarpun harus masuk penjara, nggak apa-apa, asal dia mati. Supaya dia tahu, dia nggak bisa begitu saja tidur sama perempuan, menghilang, diam-diam datang lagi dan mengaku sebagai ayah anak saya. Tapi, tapi…"

Dengungan keras menghantam kepalaku. Aku menumpukan dahi. Mencabiki kulit kepala. Menjambaki akar-akar rambut yang meninggi dan tercabut dari kulit. Mataku terpejam rapat, namun air mata selalu berhasil meyeruak dari celahnya.

"Tapi…" Aku memunguti suara yang tipis. "Tapi saya juga tau, itu nggak mungkin saya lakukan. Nyali saya ciut. Jadi saya hanya nangis, nangis, dan nangis. Dan saya rasa, Dok… kenapa harus dia yang mati? Akan lebih mudah kalau saya yang mati. Toh saya di sini. Saya ada di diri saya sendiri. Saya cuma perlu minum obat tidur dari Dokter yang banyak, lalu mengantuk, lalu memotong nadi saya. Sakit… ya. Bisa saya bayangkan sakitnya, Dok. Tapi itu cuma sebentar, karena setelahnya saya akan tidur. Darah saya habis, dan… saya… bisa sembuh… saya mau mati asal bisa sembuh, Dok…"

"Melati, mati bukan kesembuhan."

Aku mengangkat wajah. Sosok dokter Tamara buram tapi aku cukup mengerti bahwa beliau mengangsurkan tisu, yang langsung kuterima untuk menyerap air mata berlebih. Aku diminta berhenti sejenak untuk minum supaya tidak dehidrasi.

Setelah kurasa agak tenang, beliau mengawali kembali.

"Saya selalu mengapresiasi keberanian orang-orang yang datang ke dokter jiwa seperti saya," Senyum tulus tercetak di bibir dokter Tamara. "Karena stigma yang masih lekat di masyarakat, orang yang berobat ke dokter jiwa itu gila. Padahal bukan begitu. Justru orang-orang seperti itu--seperti kamu, Mel--masih punya akal dan kesadaran untuk mempertahankan akalnya. Atau yang bisa dibilang, sembuh."

Kontak mata kami semakin lekat. Seolah terbius hipnosis, aku mengangguk paham.

"Tapi sembuh yang saya maksud bukan mati, Mel. Sembuh secara medis, artinya sehat jasmani dan rohani. Sekarang kita gali satu-persatu. Katamu, kamu bisa nangis dan punya pikiran aneh-aneh ini setiap hari. Bisa lebih dari 3 kali sehari. Waktu gejala-gejala itu muncul, kondisi di sekitar seperti apa? Ramai? Sepi? Atau sendirian?"

"Bisa tiga-tiganya, Dok. Dan kalaupun ramai, di dalam sini saya merasa kosong. Tempat saya bukan di antara mereka, nggak seharusnya saya ada di sana…"

"Kamu nggak berbaur sama mereka, Mel? Apa kamu dikucilkan?"

Aku menggeleng. "Kalau teman-teman dekat, mereka baik, mereka nggak mengucilkan saya. Cuma, saya rasa… saya nggak pantas ada di dunia mereka, Dok."

"Hmm." Beliau merapatkan bibir santai, mengangguk kecil. "Kalau pacar? Kamu punya pacar, Mel?"

Mataku membesar. Ya, memang sejak awal dokter McFord mengenalkanku masih sebagai mahasiswanya, bukan kekasih. Lagipula dokter Tamara bukan dosen, wajar beliau belum tahu.

"Saya punya, Dok."

"Jadi kalau sama dia, gimana? Apa bisa kambuh juga seperti itu? Apa kamu tetap merasa nggak pantas ada di situ bersama dia?"

Aku mengangguk. "Ya, Dok. Malah kalau sama dia, saya bisa nangis lebih sering, tapi… entah kenapa setelah itu, saya bisa lebih tenang."

Kutepuki pipi yang mulai kering. Kenapa, ya? Apa karena aku sering dipeluk?

Dokter Tamara menulis sesuatu lagi di catatannya, "Pacarmu boleh juga ya, Mel," lantas tertawa renyah. "artinya, kamu bisa minta bantuan dia. Kalau kambuhnya pas sama temen, atau sendiri, gimana redanya? Tiba-tiba reda begitu aja? Gimana perasaanmu setelahnya?"

"Kalau sendiri, saya capek lalu ketiduran, waktu bangun saya makin pusing dan sakit kepala. Saya bisa nangis lagi, atau cari minum di dapur."

"Hmm. Kalau sama temen?"

"Sama temen-temen," ketika wajah Elia, Sandra, dan yang lain terlintas, otomatis senyumku tercetak. "Temen-temen saya istimewa, Dok. Mereka nggak jijik sama saya. Kalau mereka lihat gelagat aneh saya, mereka nggak diem aja. Mereka berusaha hibur saya, dan sejujurnya meskipun jokes mereka lucu, saya nggak terhibur… Tapi saya bisa berhenti nangis karena senang, ada yang perhatian sama saya."

Antusiasme dokter Tamara meningkat bersama senyumnya. "Mel, sampai sini saya jelaskan sedikit dulu. Kamu boleh menyela kalau ada yang nggak pas." Aku segera mengiyakan. "Saya bisa simpulkan kamu mengalami depresi yang tarafnya menengah sampai berat, karena kamu mampu dan nggak takut untuk menyakiti diri. Penyebabnya, residu dari rangkaian pengalaman buruk."

Aku menyipitkan mata, mengasah kepekaan menerima informasi.

"Begini. Psikis manusia, analogi saya, ibarat toples." Beliau mengangkat toples permen dari meja. "Bisa menampung yang enak, misalnya permen, dan yang nggak enak, seperti sampah. Kalau isinya permen, kita senang. Mau banyak juga nggak masalah, malah makin enak. Tapi kalau isinya sampah? Siapa yang suka?"

Aku menggeleng.

"Kalau toples isinya sampah, apa yang kamu lakukan, Mel? Buang sampahnya atau toplesnya?"

"Buang sampahnya."

"Itu juga yang dilakukan manusia setelah pengalaman traumatis, dan itu otomatis." Beliau meletakkan toplesnya kembali. "Buang sampah setelah pengalaman traumatis. Ayo coba, apa maksudnya?"

Aku memerah otak sejenak. "Melupakan?"

"Mengikhlaskan," ralat beliau, praktis aku bungkam. "Pada dasarnya, apapun yang pernah terekam nggak bisa dilupakan, Mel. Mengikhlaskan, itu bisa mengurangi volume sampahnya. Tapi untuk dihapus semua, nggak bisa. Ada sisa endapan, residu, berupa kenangan buruk. Jadi urutannya, pengalaman traumatis, ikhlas, kenangan. Begitu terus berkali-kali, endapan menumpuk, toples penuh. Dan yang kamu alami, saya bilang itu udah tumpah-tumpah. Itu mbleber."

Aku tersenyum tipis, meresapi kebenaran setiap kalimat dokter Tamara.

"Kalau toplesmu kepenuhan endapan, apa yang bisa kamu lakukan?"

"Buang endapannya, Dok."

"Endapan berupa ingatan nggak bisa dibuang, Mel."

Tidak bisa dibuang, artinya tidak bisa dilupakan. Jadi apa?

"Toplesnya diganti yang lebih besar?" terkaku asal.

"Hampir. Toplesnya di upgrade. Diperbesar daya tampungnya. Caranya gimana? Banyak. Fokus dengan hal-hal positif di sekitarmu. Bumi. Teman-temanmu. Lu--" Beliau memejam sekejap. "--ah, pacarmu."

Aku menganga. Dokter Tamara tertawa jahil.

"Habiskan waktu bersama mereka yang menghargai kamu, Mel," sambung beliau lagi. "Lakukan kegiatan yang... eh, sebentar. Kamu punya hobi?"

"Ngg… tidur?"

"Tidur bukan hobi, Mel." Beliau melengos. Aku bingung. "Makan, mandi, juga bukan hobi. Itu kebutuhan primer. Hobi itu misalnya membaca, menulis, menggambar, olahraga, jalan-jalan…"

"Kalau ada banyak waktu untuk itu, saya lebih suka tidur, Dok. Saya capek. Pulang kuliah juga masih harus ngurus Bumi. Harus belajar juga karena sering ujian dadakan. Belum lagi kerjaan rumah."

Beliau mengangguk. "Saya kasih hobi, mau? Yang gampang aja, nggak menyita waktu."

"Apa, Dok?"

"Nulis. Nulis buku harian. Semua orang bisa. Sehari satu tulisan. Cukup hari, tanggal, waktu, dan lokasi kamu nulis. Isinya terserah kamu. Satu paragraf, boleh. Cuma satu kata, boleh. Nggak diisi kata, tapi gambar, coretan, juga boleh. Mau nulis satu novel juga boleh. Yang jelas harus diisi sesuatu semaumu, nggak boleh kosong."

Diary? "Pernah, Dok, waktu SD. Tapi saya cepet bosen."

"Sekarang coba lagi. Itu PR saya buat kamu. Pertemuan selanjutnya, saya mau ada buku harian Melati."

Aku memberi senyum, mengiyakan. Tidak susah. Toh diisi apapun boleh.

"PR pertama, buku harian. PR kedua, amati orang-orang terdekatmu, Mel. Bisa digabung jadi satu, kamu boleh tulis buku harian tentang mereka dari apa yang kamu amati. Gampang, 'kan?"

"Insya Allah, Dok."

Sugesti itu tertancap tepat di otakku. Kurasa cukup tepat untuk menyibukkan pikiran dari sinyal-sinyal negatif.

"PR ketiga, ini seandainya kamu bertemu masalah, atau orang-orang yang bermasalah sama kamu. Hadapi, Mel. Tapi bukan dengan melupakan masalahnya, atau membunuh orangnya. Hadapi dengan kepala dingin. Katakan baik-baik apa yang perlu dikatakan. Berdamai dengan keadaan. Selesaikan apa yang belum selesai."

Untuk yang satu ini, aku tak bisa merespon apa-apa. Karena itulah bagian tersulit dari semuanya. Berdamai.

"Sulit ya?" dokter Tamara seperti bisa meraba ekspresiku. "Nggak papa. Itu tadi PR jangka panjang. Kalau itu sulit, mengerjakan PR boleh dibantu, lho. Dibantu sama orang yang paham. Coba minta bantu si pacar, mungkin? Dia bisa meyakinkan kamu untuk ketemu saya, artinya dia memahami kamu."

Aku tidak bisa tidak tersipu, meringis, menggigiti bibir dalam. "Dokter kok tau pacar saya?"

"Dosen mana mau repot-repot buat janji sama psikiater demi satu mahasiswa, kalau bukan karena mahasiswanya spesial?" Seringaiku makin jadi. "Jadi, kamu si anomali fobia itu?"

Apa itu… "Anomali fobia?"

"Fobianya hilang kalau dia bersama seseorang, dan fokus ke orang itu. Everything's crystal clear with her around, begitu katanya. Mel, kamu kunci kesembuhannya. Jadi jangan berpikir untuk mati. Kamu berarti untuk Luke, lebih dari yang bisa kamu bayangkan."

Terbiasa dengan pandangan sebelah mata beberapa pihak terhadap hubungan kami, membuatku selalu tersentuh ketika seseorang memberi apresiasi. Hatiku hangat terpapar senyum dokter Tamara yang segera menular padaku.

Sebagai penutup, beliau me-review hasil sesi pertama ini. Dari semua gejala, beliau menyimpulkan bahwa aku depresi, dan memiliki trauma. Tapi apakah itu PTSD (post-traumatic stress disorder) atau bukan, tidak bisa ditegakkan tanpa tes psikologi. Obat yang diresepkan untukku masih sama, namun kali ini ditambah tiga PR psikoterapi dan psikososial.

Menulis. Mengamati. Menghadapi dan berdamai.

Keluar dari kediaman dokter spesialis jiwa itu, langkahku serasa lebih ringan. Punggungku lebih tegap, visualku lebih jernih, akalku lebih bersahabat. Dokter McFord membawaku ke toko buku untuk beli buku harian yang unyu-unyu, katanya, supaya semangat nulisnya.

Waktunya mengerjakan PR.

◇ BERSAMBUNG ◇

Truth is aku sendiri belum pernah main-main ke psikiater 😂. Jadi ya gitu, berbekal riset online aja. Monmaap kalo kurang meyakinkan. Monmaap juga kalo bertele2, karena aku mau Mel dapet penjelasan detil. Aku mau dia bener2 paham tentang gangguan jiwanya, beserta terapi penanganan dari ahlinya.

Ahlinya dalam hal ini adalah psikiater ya, bukan psikolog. Kebanyakan case yg aku baca, pasien kecewa ketika ke psikiater karena merasa dokternya nggak bersahabat, kurang responsif (jadi kayak cuma anamnesa teori saklek), malah ada yang berusaha menanamkan doktrin2 sesat. Akhirnya banyak pasien lari ke psikolog, yang padahal nggak berwenang menangani gangguan jiwa.



Luv u to the moon and back, MeLuk 💕
Malang, 2 September 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top