13 Meski Harus Mati
⭐
Hangover #2
The Unintended Aftermath
13 Meski Harus Mati
⭐
+6281222xxxxxx
Gw pikir, peringatan kmrn lo denger
Lo resapi
Dan lo amalkan
But then I was wrong
Lo pinter
Oh gw lupa, calon dokter pasti pinter
Lo manfaatin status pra cerai gw
Lo masih gatel cari muka sm laki orang
Dan itu buat gw ngebatin, sebenernya lo punya muka ga sih?
Atau gw perlu nyumbangin belerang supaya lo ga gatel2?
But then I realize, bukan disitu masalah lo
Lo bahagia ngerebut laki org, just like
Anak kecil yg suka ngerebut punya org lain
Yang lo cari bukan laki gw
Tapi kepuasan dan prestise
Bahwa lo lebih cantik kemana2 drpd gw
Bahwa lo lebih menarik keman2 drpd gw
Bahwa lo lebih 'layak' nerima sperma laki gw drpd gw sebagai istrinya
Bahwa lo lebih sempurna segalanya di atas gw
Sempurna sebagai pelakor
Sekali pelakor, selamanya pelakor
Aku heran kenapa waktu SMA aku dapat nilai jelek di mapel olahraga basket. Padahal pagi ini aku bisa melempar ponsel dari jarak sekian meter di meja makan, lalu benda itu sukses masuk ke panci kaldu ayam mendidih di atas kompor. Hebat 'kan aku? Kalau tidak salah namanya three points?
Dia berhenti berdenting. Akhirnya.
Berisik sekali. Memecah konsentrasiku sarapan, menyusui, dan belajar untuk ujian akhir blok saraf yang kurang dari satu jam lagi. Memiliki akses terhadap ponsel pintar tidak lantas menjadikan penggunanya pintar. Aku rindu masa kecil di mana telepon rumah adalah satu-satunya alat komunikasi bagiku dan teman-teman.
Jiwa terpisah dari jasad pasti enak, ya.
Maksudku, setelah sebulan berada di blok saraf dan jiwa, bisa kurumuskan bahwa hidup tanpa jasad itu enak. Jasad itu membelenggu ruh, mengekang eksplorasi.
Bukan rahasia lagi bahwa jasad manusia tersusun atas milyaran sel saraf, alias neuron, yang sangat peka terhadap impuls apapun--terutama, sakit. Impuls sakit itu diterima dan dijalankan oleh neurotransmitter, melalui ruang antarneuron yang disebut sinapsis. Neuron demi neuron dilalui sampai impuls tersebut tiba di otak, dan otak meresponnya sebagai... sakit.
Kan.
Punya jasad itu beban. Beban merespon impuls berupa sakit. Karenanya, memisahkan ruh dari jasad itu sah-sah saja untuk benar-benar mendapat kesembuhan.
Selama ini orang salah kaprah, mengira bahwa kematian itu kegagalan medis. Andai mereka berpikir lebih jernih, mati adalah sembuh yang sebenarnya.
Mati. Tidak seseram itu.
"... di ruang makan, Mas."
Mataku mengerjap.
Suara Elia dari arah depan. Disusul derap langkah dokter McFord yang mendekat kemari. Dia sudah siap berangkat?
Aku belum. Kupercepat gerak siku naik-turun menyuapkan bubur ayam ke mulut. Masuk, telan, masuk, telan, masuk, telan. Ini bukan sempol, cuma bubur hancur, kenapa lama sekali?!
"Sebh-hentarp--" suaraku tersumbat oleh penuh bubur ketika kulirik dokter McFord muncul di ambang pintu. Dia berhenti di situ. Gerak lenganku semakin gesit.
"Easy, no need to rush..."
Aku mengangguk segera. Mengunyah biji kedelai. Telunjuknya terarah padaku.
"Buburnya jatuh ke Bumi..."
Aku tertunduk. Panik menyergap karena dua hal: (1) bubur melengketi wajah Bumi, yang makin serabutan karena tangan kecilnya mengusapi wajah, dan (2) satu dadaku terbuka, polos, karena diminum Bumi. Susah payah kuputar posisi duduk membelakangi Dokter.
Lekas kulepas mulut kecil Bumi. Aku menghapus tumpahan bubur itu dengan tisu dari meja makan. Wajah bundarnya, lalu jemari gempalnya. Terakhir dadaku sendiri, sebelum akhirnya membenahi bra dan mengancingkan kemeja yang kusut.
Kepalaku berputar lagi karena kudengar patik dari kompor yang dimatikan. Dokter mengaduk kaldu yang di panci itu dan mengeluarkan... benda persegi panjang pipih dan berasap, yang dijepitnya berbalut serbet. Lalu, dia menoleh kemari.
Marah. Pasti.
Dia akan marah.
Bibirku terkatup keras. Darahku beku dan buluku meremang. Kurapatkan Bumi sebagai bentuk defensi ketika dokter McFord mengambil tempat di sampingku, menatapku lurus.
"Hari ini pulang jam berapa?"
Kuhempas pandang pada jejari kaki yang bergerak resah.
Dia tidak marah? Atau belum marah? Mungkin dia akan memarahiku setelah ujian karena takut mengganggu fokusku? Aku tahu aku bodoh, aku goblok, dan semakin idiot karena mental yang tak lagi cantik...
"Mel."
Daguku diangkat pelan. Dia tersenyum seteduh biasa. Bumi diambil dari pelukku untuk diberikan morning kisses.
"Pulang jam berapa? Setelah ujian?"
"Ada pra blok mata sampai jam 3." Alisku berkerut, kelopakku mengerjap tak paham. "Bukannya Dokter yang ngisi nanti? Kok lupa? Dokter 'kan koordinator bloknya?"
Refleks mulutku terbuka karena disodori sesuap bubur. Dia meringis miring.
"Aku diminta ikut jemput keynote speaker di airport untuk simposium besok, setelah itu meeting sebentar. Pra bloknya diisi Prof. Rahmani."
Bibirku mengerucut. Agak kecewa. Dokter mendekatkan wajah dan matanya yang menyipit. Membawa tangan Bumi dipukul-pukulkan ke hidungku.
"Kangen ya? Mau lihat aku ngajar? Awas ngantuk, cause they said I'm boring."
"Saya nggak bosen." Aku menjulurkan lidah.
"I know. Kamu satu-satunya yang nggak bosen sama aku. Itu aneh." Sekarang, tangan Bumi ditepukkan ke ubun-ubunku. Pipiku panas-dingin. "Setelah pra blok sudah kosong? Aku punya misi khusus untuk kamu."
"Apa itu?"
"Mencuri resep rahasia Krabby Patty! Muahahahaa!"
Aku bergeming.
Ngg... kayak ada jangkrik terbang.
Oke itu garing. Sumpah. Tapi pada akhirnya aku tetap tergugu membendung tawa. Bukan karena jokesnya. Lebih karena wajah kaukasia di depanku yang mengembang-kempiskan hidung karena otomatis tersadar bahwa melawak bukan kompetensinya.
Telapak tangan Bumi disapukan ke pipiku. Aku menyudahi tawa. Dia tersipu selagi mengulum bibir lucu.
"I need you to help me choosing glasses."
Mataku membulat. "Dokter mau pake kacamata?"
Dia menganggukkan kepala Bumi. "Visusku turun. Belakangan mataku nyeri dan cepat lelah kalau lihat dekat. Aku cek, hiperopia."
"Dokter rabun dekat?? Kok bisa?"
"I think it's in my gene." Dia mengulas tersenyum tipis. "from Father."
Aku mendesah. Untuk alasan yang tak mudah kudeskripsikan, melihat dokter McFord menyinggung soal ayahnya berhasil menyentil batinku. Kadang kuharap waktu bisa diputar seperti film-film fiksi ilmiah, menyelamatkan masa kanak-kanak dokter McFord, atau menghentikan diriku sendiri dari minuman haram malam itu.
"Leave it to Mel!" Kutepuk dada jemawa. "Dokter pasti ganteng pake kacamata, kayak Papa saya."
Tubuhnya bergidik aneh lantas mengusap leher belakang. "Kok merinding," Aku melahap bubur lagi disertai dengkus jengah. Apa Papa memang sehoror itu? "Habis dari optik, kita cari hape. Mungkin kita ke Matos, gimana? Di sana ada optik dan toko hape."
Ponsel?
Darahku berdesir kasar. Lagi. Lidahku mencecapi bibir yang kelu.
"Hape buat saya?"
"Bukan. Untukku. Yang sekarang sudah turun performa. Tapi kalau kamu mau ganti hape juga, kita cari sama-sama."
"Hape saya... apa masih hidup?" Lirihku semakin tipis. Berkali-kali pupilku mengerling ke arah panci kaldu.
"Gagal booting. Masih bisa diperbaiki, I guess." Pipiku ditepuk lagi dengan telapak Bumi. Iris samuderanya berkilat cerah. "Tapi kamu nggak bosen sama hape itu? Ganti juga, kuy? Kita kembaran. Beli merk sama, tipe sama, kalau perlu casing dan strapnya juga couple. Mau?"
Ah.
Binar tulus itu, serta bagaimana responnya terhadap transisi kewarasanku, sungguh di luar prediksi. Saat aku gelisah dia akan marah, tidak, dia justru tersenyum merekah. Saat aku cemas dia akan menginterogasi, tidak, dia hanya sekadar berbasa-basi dengan solusi.
Kulingkarkan lengan memeluknya dan Bumi. Nggak cukup. Tanganku kurang panjang. Tapi, menghirup dalam aroma dadanya, senyum legaku mengembang.
Kalau diingat lagi lucu sekali, bagaimana rasanya kemarin aku masih kalang kabut karena melempar sekotak kondom ke wajahnya. Sekarang, kami telah sedekat ini. Sehangat ini.
"Makasih, Dok. Makasih, karena nggak meninggalkan saya."
***
Membahas kembali soal dan skenario ujian akhir blok bahkan setelah ujiannya berakhir, menurutku itu namanya gagal move on. Gagal move on dalam artian sebenarnya.
Maksudku, sudah lebih dari cukup kami, mahasiswa, bertopang dahi dan menguruti pelipis selama 3 jam ujian. Keluar dari ruang ujian, bukannya minum asetaminofen untuk meredakan gejala cephalgia, sebagian peserta justru membahas kembali, meratapi kesalahan, dan mempertajam pemicu sakit kepalanya.
Mulutku melengos gerah.
Paling tidak, itu bukan geng Sora Aoi. Mereka berencana merayakan kegagalan ujian blok tadi dengan makan siang di kedai Jepang yang sedang mengadakan promo all you can eat. Aku diajak juga, tapi kutolak dengan sopan karena ada hal lain yang lebih urgen.
"Mau ngembaliin kitabnya Mbak Anggun," jelasku lugas, "sekalian minta maaf."
"Aku ikut, deh. Yang pinjem bukan cuma Melati. Kita juga ikut ngopi 'kan?"
"Iya tapi yang ngerusakin cuma aku. Udah makan sana, San. Aku juga masih harus pumping. Aku titip aja, bento biasa." Sudut bibirku terangkat. "Kalo bisa, saus teriyaki."
"Aku titip juga kalo gitu. Sushi, Rek. Apa aja tapi jangan crab. Ojo lali."
Mulutku hanya bisa terbuka mengagumi kegigihan Sandra.
"Oke. Bento saus teriyaki ama sushi no crab. Nanti kalo Mbak Anggun ngamuk, bilang ke aku, habis ini kita bawain..." Fathir memutar bola mata.
"Ramen?" terkaku.
"... foto mas-mas waiternya. Ganteng, lho. Kayak Joko."
"Gantengan aku, Cuk." runtuk Joko lempeng.
Aku mengunyah lidah. Iya deh, mereka memang ganteng semua, persis personil Boys Before Flower dengan keanekaragaman hayati. Beda suku, tapi selalu satu, biarpun hobinya berkata 'asu'.
Mbak Anggun tidak bisa kuhubungi sebab smartphoneku tewas, tapi mencari kakak tingkat satu itu cukup mudah. Sudah kebiasaannya bersarang di markas sekretariat himpunan. Dan karena ada Sandra yang salah satu pengurus himpunan, aku tidak terlalu canggung masuk ke ruang itu. Dia mencarikan Mbak Anggun, mengintip bilik demi bilik.
Ah. Jangan-jangan, Sandra sengaja menemaniku karena ini? Karena dia tahu kalau sendirian aku pasti bingung mencari Mbak Anggun?
"Eh, Melati? Mana dedek emeshnya yang kemaren?"
Yang menegurku adalah Mas Desta, sekretaris himpunan. Tadinya sedang konsentrasi di depan PC, tapi tiba-tiba memiringkan kepala padaku. Aku membungkuk kaku.
"Di rumah, Mas. Nggak dibawa."
"Mel, Mel... jangan takut-takut. Macem masih maba, tau? Heish, maba-maba sekarang malah ngelunjak sih, gak habis pikir. Kemaren ada yang minta foto bareng dokter Yuan dokter McFord, katanya tugas PK2 dari kita, panitia. Nguawur tenan."
Aku meringis tertahan. Tak tahu harus merespon seperti apa. Jadi aku cuma, "Oh, iya, Mas."
Mas Desta menerawangku dari bawah. Karena tak nyaman, aku menegakkan tubuh. Mas Desta meniru gerakanku, ditambah cebikan bibir.
"Gak cemburu? Itu pacar kamu, Dek, yang diajak foto."
Tak perlu berpikir bagiku untuk menggeleng. "Nggak, Mas."
"Nggak sedikit pun?"
"Memang kenapa harus cemburu, Mas?"
"Normalnya, Mel, cewek pasti cemburu kalo cowoknya dideketin cewek lain. Minimal ngerasa kesentil. Kalo nggak, patut dipertanyakan tuh perasaannya."
Dahiku mengerut. Kenapa dia yang sewot ya?
"Maaf, Mas, ini sekadar pemahaman pendek saya. Saya rasa masih banyak yang lebih penting untuk saya kerjakan daripada cemburu buta." Misalnya, minta maaf sama Mbak Anggun. "Dan kalaupun ada yang mendekati dokter McFord, saya cukup percaya dokter McFord setia sama saya."
Detik itu, darah mengepul di bibirku yang lancang. Aku merunduk lagi, kali ini semakin dalam. Mati-matian kutahan lengan yang sudah terkepal ingin menonjok wajah sendiri. Mataku memejam keras.
Tololnya aku. Menahan tangan bisa, sementara menahan licinnya lidah tidak. Bodoh.
"Aaah, Mel..." desah putus asa Mas Desta memberanikanku membuka mata. Dia bertopang wajah dengan satu tangan, lemas. "Andai semua cewek di muka bumi sepengertian kamu."
Sekarang dia bilang aku pengertian. Aku makin tak paham. "Bukannya Mas bilang cemburu itu normal?"
"Ya. Tapi cemburu dia udah nggak normal lagi."
Oh, ini tentang pacarnya?
"Sebenernya, saya nggak paham apa masalah Mas. Tapi dokter McFord bilang saya nggak harus normal untuk bahagia. Saya hanya perlu orang-orang yang bisa membuat saya merasa 'normal' waktu bersama mereka. Kalau Mas Desta nggak bisa menerima ketidak normalan dia, saya rasa mungkin Mas Desta bukan orang yang dia butuhkan."
Kulirik dari sudut mata, Sandra keluar dari bilik bersama Mbak Anggun. Aku segera pamit dari Mas Desta sebelum dia membuka mulut untuk menimpali. Juga, sebelum lidahku terpeleset lebih jauh. Bisa-bisanya aku bilang Mas sekretaris himpunan ini bukan orang yang dibutuhkan pacarnya, padahal aku sendiri baru sekali punya pacar.
Ah, tapi kuharap aku tidak punya pacar lebih dari sekali.
Di sudut ruang yang lumayan sepi, aku menyerahkan kitab Mbak Anggun. Isinya sudah kuperbaiki semaksimal mungkin. Aku mengopi ulang semua halaman yang rusak, plus catatan kaki yang ditulis tangan oleh Mbak Anggun, juga kusalin.
Sepasang pupil Mbak Anggun fokus meneliti perbaikanku. Kuremasi jemari yang terkepal jadi satu di depan perut dengan kepala tertunduk.
"Udah, sip. Udah bener, Mel."
Kelegaan berembus di benakku. Aku mengangkat wajah, tersenyum tipis. "Alhamdulillah. Ntar kalo masih kurang apanya bilang aja, Mbak, aku perbaiki lagi. Sekali lagi maaf, Mbak."
"Udah, sih, udah lengkap ini. Malah kamu tambahin skenario angkatanmu, 'kan aku jadi enak." Senyum Mbak Anggun terkembang lebih lebar; telunjuknya mengetuk cover si kitab. "Eh iya, bentar."
Mbak Anggun membuka kitab itu lagi. Jarinya berhenti di beberapa skenario lecek korban keganasan tanganku yang kuselipkan di paling belakang. Dengan hati-hati, Mbak Anggun merobek kembali lembar demi lembar, yang padahal tadi malam setengah mati kususun ulang dengan menyusuri alur robekannya.
Aku melongo.
Empat lembar robekan itu diberikan padaku. "Ini buat kamu."
"Kok...?" Aku menerima dalam bingung.
"Supaya kamu ingat, Mel, sesulit apapun keadaan yang kamu hadapi, pasti masih ada orang yang bersedia memberi bantuan, meskipun kelihatannya itu kecil. Kamu masih di sini. Kamu masih bagian dari ekosistem FK, jangan lupa itu."
Mataku membulat. Lidahku masih beku untuk menjawab. Dadaku berderu dan deru darahku dapat merasa, bahwa Mbak Anggun bersungguh-sungguh dengan kalimatnya. Kemudian, Mbak Anggun menunjuk bagian yang sudah kukopi dan dibendel jadi satu di kitab itu.
Dia menatapku lembut. Mencairkan kehangatan hatiku.
"Nah yang ini, supaya aku ingat. Aku pernah punya adik tingkat yang aneh. Setelah aku tau dia hamil di luar nikah dan nggak ada ayah, aku yakin seratus persen dia nggak akan bertahan di FK lebih dari setahun. Lalu dia buktikan kalau aku salah. Dia jaga kehamilannya, sebagaimana dia masih ngejaga kuliahnya. Dia ngelahirin dan ngerawat anak itu sebaik-baiknya... masih, sambil pontang-panting kuliah. Aku sering ngeluh tentang beratnya bawa laptop, modul, laprak, sampai kadang harus pake tas tambahan selain ransel.
"Tapi setiap ngelihat adik tingkatku yang ini, aku tuh auto malu gitu. Dia bisa ngebawa semua yang aku bawa, plus, tambahan lagi satu tas cooler bag dan alat tempur ASI. Padahal badannya lebih ringkih daripada aku. Tapi imunitasnya di atas rata-rata. Dan sekali lagi, ngelihat dia masih bertahan meskipun udah kayak mayat hidup sekarang ini, bikin aku berpikir dua kali untuk mengeluh tentang lelahnya belajar medis, Mel."
Aku setia bergeming.
Sampai, Mbak Anggun memelukku yang seketika melemas. Rongga dadaku semakin hangat. Normalnya, dan selalunya, aku harus memenjara semua indra terhadap rangsang negatif yang terpancar dari mereka pembenciku. Siang ini aku belajar bahwa terus-menurus bersikap insecure dan menutup pintu tidak menuntunku ke penyelesaian.
Dokter McFord benar. Aku pernah jatuh. Aku pernah putus asa. Tetapi, aku juga pernah bangkit. Aku pernah mampu bercita-cita kembali. Dan selama aku memiliki segelintir hati yang peduli, seharusnya, aku bisa sembuh.
Sembuh yang bukan mati.
Ya, buka dirimu, Mel. Buka untuk Mama dan Papa. Buka untuk Dokter. Buka untuk Bumi. Jangan lupa, ada teman-teman gilaku.
Lenganku membalas pelukan Teletubbies Mbak Anggun. "Makasih, Mbak. I owe you."
***
Keinginan besar untuk sembuh membuatku muntah curahan hati di mobil sepanjang jalan ke Matos. Dan bagaimana satu-satunya alat komunikasi elektronikku bisa tenggelam di kaldu mendidih. Dokter hanya membisu, fokus kedua lensanya tak beralih dari aspal dan markah lalu lintas. Walau begitu, telinganya mendengarku lebih peka dari pendengar manapun.
Bagaimana aku tahu? Tentu saja, karena dia Dokterku.
Dia tertawa sesaat luapan emosiku terjeda karena Bumi menggeliat sebagai tanda ingin diberdirikan. Terselip nada mengejek di sela tawa itu.
"Kenapa, Dok?"
"That was nonsense." Setelah tangannya mengganti perseneling, dia menyambung, "Pelakor, orang ketiga, or whatever it is. Kamu sudah lebih dari tegas menolak Ringgarda, bahkan sebelum kamu tau dia sudah beristri. Kamu berani menyerang dia tepat di... uh, umm..." Aku melirik, saat jakunnya bergerak naik-turun. "yah, genitalia vital. Kamu setia; the one and only one that you love is me."
Entah itu pujian, atau wujud asli narsisme diri, yang jelas aku mengerutkan hidung. Tak kuasa membantah juga karena, ya, benar. Dia satu-satunya lawan jenis tanpa ikatan darah yang kucintai.
"Ayayaamm mamamamaa!"
Bumi melompat-lompat di pahaku yang kesemutan karena ditempa bobot seberat ini. Aku menghela berat di sela ketiaknya.
"Tapi, Dok, sisi lain saya kadang merasa sebaliknya. Sebagai sama-sama perempuan, kami takut perasaan ditinggalkan. Mbak Freya takut ditinggalkan orang itu, seperti saya takut ditinggalkan Dokter."
Kali ini dia tersenyum, menoleh sekilas. "I won't leave you."
Bohong. Harvard School Medical menunggumu, Dok. Cepat atau lambat Dokter akan pergi dari saya. Semoga ini benar hanya semata raga yang diceraikan jarak.
Aku melukis senyum getir di antara sesak dada. Jawaban semacam itu hanya akan menginisiasi konflik baru. Seperti kata Mama, kalau aku benar menyayangi dokter McFord, aku harus percaya. Percaya pada hubungan kami. Percaya bahwa semua aral yang mungkin menjadikan kami ketidak mungkinan, itu terjadi demi kebaikan kami.
Percaya bahwa aku bukan rantai pemberat yang membelenggu dokter McFord dari cita-citanya.
Tiba di Matos, dokter McFord mendorong stroller Bumi ke arah salah satu toko seluler. Jantungku, atau tepatnya dompetku, ketar-ketir sendiri karena dokter McFord langsung bertanya ke stand smartphone berlogo apel cuil, yang sudah pasti aku tidak mungkin mampu kembaran jika pilihannya gawai semahal itu.
Kutarik lengan kemejanya ketika pramuniaga mengambilkan stok yang ditanyakan Dokter. Dia merapat.
"Dok! Kenapa milih seri S yang paling baru, hah? Yang tahun lamaan dikit kek! Saya mahasiswa. Secara finansial saya belum semandiri Dokter," desisku, disertai pelototan.
"Pakai uangku dulu," itu jawaban yang sudah kuduga. Kesal, dia melontarkan seringan itu. "Ntar kalau si korban kaldu sudah selesai service, bisa dijual, uangnya kembali. Problem solved."
Problem solved gundulmu, Dok. Cinta sih cinta, tapi bukan dengan menghamburkan uang demi aku juga. Secara hukum dan agama kami masih dua orang asing; itu nasihat Mama yang selalu kuingat.
Gemas segemas-gemasnya, kujewer daun telinganya. Dia mengaduh tertahan.
"Hape saya laku dijual berapa, sih? Itu udah saya pake hampir tiga tahun. Pas saya beli juga udah keluar setahunan. Udah lawas banget! Dan masih jauh banget buat bisa nutupin harga hape pilihan Dokter!"
"Is that so?" Iris birunya membesar. "Aku sudah lima tahun lebih dengan merk ini. Bukan perkara mahal-murah, baru-lama, atau gengsi. Kalau performa dan daya tahannya bagus, aku nggak keberatan bayar sedikit lebih tinggi. Lebih awet. Usia pemakaian lebih panjang."
Bibirku terkunci. Dalam hal ini, doktee McFord persis sis sis sekali dengan Mama. Mahal nggak papa, yang penting bagus dan awet. Sementara prioritasku dalam mempertimbangkan barang mirip Papa: sesuai kebutuhan dan ketersediaan budget.
Satu hal yang sama dari aku dan Dokter, kami benci kalau harus berselisih hanya karena hal sepele semacam memilih ponsel. Kami tidak jadi kembaran akhirnya mengambil jalan tengah 'bagimu hapemu dan bagiku hapeku'.
Selesai dengan urusan unboxing, unit test, dan garansi, kami keluar dari gerai seluler bergegas menuju optik. Kami berlomba dengan laju waktu yang semakin sore, karena Dokter harus praktik malam ini. Sampai di optik, dr. McFord menyerahkan resep kacamata dioptri +0.75 dan +1.00 pada petugasnya. Dia yang rabun, dia pasiennya, sekaligus dia sendiri dokter yang nulis resepnya. Petugas itu tercengang.
Mataku memindai setiap lekuk frame yang tersedia di etalase, lalu telunjukku mengarah pada satu frame yang kurasa pas. Aku sudah browsing sebelum kami ke Matos, dan kubayangkan dokter McFord memakai ini pasti... wow.
"Itu, Dok," Kukuku mengetuki kaca tepat di atas frame itu. "Itu cocok buat Dokter."
Begitu cekatan, si petugas mengambil frame yang kumaksud. Dokter mencobanya dengan senyum antusias. Sedikit merundukkan kepala, iris biru samudera itu menyelisikku dari balik lensa. Pipinya merona. Aku meneguk ludah sementara jantungku bertalu gila.
"How do I look?"
Tampan. Dan terpelajar.
"Biasa." Bibirku mengerucut ke samping.
"Hmm." Dia mengangguk, menengok dekat pada Bumi di dalam stroller. "What do you think, Bum?"
Tak tanggung-tanggung, satu tendangan kaki Bumi mendarat di hidung dokter McFord. Aku berjengit. Dia segera menjauh dan menanggalkan frame semi-rimless itu. Sudut bibirnya meringis miring.
"Pilih lagi."
"Lha?" Mataku membeliak. "Jangan. Itu aja, Dok. Katanya buru-buru mau praktik? Udah itu aja!"
"Katamu biasa?"
"Justru itu! Jangan ganteng-ganteng amat karena saya nggak mau Dokter makin banyak yang suka!"
Kuputar tubuh sekejap. Meremasi wajah yang kutangkupkan di telapak. Dih, dih, dih. Onderdil lidah ini bisa diganti nggak, sih? Udah ngegas pol, rem blong pula!
"Mas, saya ambil frame yang ini. Tolong set lebih rapat. Lensa organik. End-nya ditambah per, bisa?"
Aku tersenyum puas ketika dokter McFord menuruti pilihanku. Kacamata itu baru bisa diambil besok, karena pihak laboratorium butuh waktu untuk mengerjakan lensanya. Sambil menunggu nota pengambilan barang, dokter McFord menolehku lagi.
"Mom mau ke sini. Katanya belanja sebentar dan mau bermalam di rumah, sama kamu dan L. Mau nonton drama Korea judulnya Kill...--uh, kill whatever, lupa."
Senyumku merekah. "Beneran? Mau nginep?"
"Ya. Jadi kamu pulang sama Mom, oke? Aku harus langsung ke rumah sakit, maaf."
Kepalaku mengagguk senang. Senang, rumah akan lebih ramai. Dokter melirik arloji yang melingkar di pergelangannya dan mengembus gelisah. Kuulurkan tangan untuk meraba rambut halus sekitar rahangnya. Dia tertegun.
"Dokter pergi, deh. Biar saya tunggu notanya."
Dia menurunkan tanganku tanpa melepas. "Kamu yakin? Bisa cari Mom sendiri?"
Aku mengeraskan wajah. "Saya bukan anak kecil ilang. Udah deh Dokter kerja aja yang rajin. Cari uang yang banyak. Saya mau nikah di Disneyland dan honeymoon ke Bulan."
Dia terkekeh karena celotehku. Dahiku mengerut. Dikira aku bercanda mungkin ya?
Akhirnya dokter McFord memercayakan notanya padaku dan dia pergi. Sekitar dua menit berselang, nota itu selesai lalu tujuanku dan Bumi selanjutnya adalah nursing room di lantai dua. Menyeberangi atrium kosong, berbelok di tikungan toko parfum, dan beberapa meter di depan mataku menemukan lift.
Bahwa lo lebih sempurna segalanya di atas gw
Di detik itu pula, kakiku dan rotasi roda stroller terhenti.
Sempurna sebagai pelakor
Udaraku dijegal. Jantungku seperti diperas. Semesta dalam pandangku hampa kecuali pada dua sosok di depan pintu lift.
Sekali pelakor, selamanya pelakor
Mbak Freya, dan seorang pria.
Segenap diriku babak belur dihantam siksa demi siksa ini. Keinginanku tidak muluk. Hanya sembuh, meski harus mati.
◇ BERSAMBUNG ◇
Luv u to the moon and back, MeLuk💕
M
alang, 26 Agustus 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top