12 Help Me
⭐
Hangover #2
The Unintended Aftermath
12 Help Me
⭐
Cara tercepat untuk mengakhiri semuanya adalah mati.
Tapi bagaimana? Aku tidak bisa, terkungkung, karena Dokter terus memelukku.
Aku bukan hanya menangis. Aku merongrong hingga pita suaraku terjepit. Batu kepalku menggebuki rusuknya tanpa ampun. Setengah mati mencabik serat kemeja kerjanya, menodai kain itu dengan air mata, ingus, ludah, serta sumpah serapah.
Dokter membenamkanku, semakin dalam.
Aku menyerah. Mungkin lelah, mungkin memang menyerah. Pukulanku melemah dan berakhir sia-sia. Percuma. Hanya bibirku yang kerap meracau, memekik, menjerit. Memuntahkan lahar panas dari jantungku yang berdarah.
Tangan itu masih setia bersamaku. Setiap belainya mengandung obat penenang yang terserap kepalaku, melemaskan otot, melumpuhkan saraf.
Aku terbius, seperti bayi yang mengerucut dan sesengukan dalam dekap orang tuanya.
***
"Nggak papa, Mama. Melati cuma… capek… sedikit."
Aku ingin istirahat, Ma. Sementara saja. Pun kalau itu terlalu muluk, aku, dengan semua rasa, bersedia dimusnahkan dan berhenti dalam kekal.
"Nak… Nduk."
Di seberang sana, suara Mama bergetar. Genangan air di kantung mataku pecah kembali, meluruhi mukena yang masih membungkusku.
"Boleh, Melati boleh capek. Melati boleh istirahat. Boleh tidur, boleh makan, boleh main sama temen-temennya atau sama Pak Dokter. Melati harus sayang sama diri sendiri, Nak. Kamu tahu, Mel, biarpun jauh, Mama bisa ngerasain kalau kamu lagi sakit."
Mataku mengerjap. Basah.
Kuserahkan diri di hamparan sajadah. Meringkuk menyamping, mengizinkan leleh air mata kananku bersatu di mata kiri, dan jatuh bersamaan. Mataku terpejam lagi, bersama gawai yang kugunakan untuk mengatup telinga kiri.
"Kan… memang lagi sakit, Ma. Lagi flu."
Anggap saja, sajadah lembut ini adalah ribaan Mama. Meski tentu saja Mamaku selalu yang paling nyaman.
"Flu karena capek fisiknya… atau pikirannya? Atau dua-duanya?"
Aku tertawa serak. "Mama kok peka banget, sih?"
Aku mengelus kepala dengan satu tangan. Anggap saja, ini adalah belaian sayang Mama.
"Nak, jangan dipaksakan…"
Aku menyeka mata dan hidungku yang sembap. Anggap saja, ini adalah jemari Mama.
"Melati nggak harus belajar terus, pusing tentang Bumi terus, sampai lupa sama diri sendiri. Papa sama Mama nggak nuntut banyak, Nak. Yang paling penting, Melati sama Bumi di sana sehat-sehat selalu. Baik-baik saja, selamat semuanya, hatinya senang, ndak kekurangan apapun. Itu sudah cukup buat Mama, Nak…"
Aku mengangguk gemetar seraya menggigit bibir dalam. Kutepuk-tepuk pipi yang licin. Anggap saja, ini adalah sentuhan Mama.
"Melati juga nggak harus bisa semuanya, Sayang. Nggak apa-apa kalau memang harus remedi. Nggak apa-apa nilainya nggak semua bagus… nggak apa-apa. Mama percaya, selalu percaya… anak Mama sudah berusaha lebih keras daripada yang Mama tahu."
"Ma-makasih, Ma…"
"Mel, kamu nangis?"
Supaya Mama tak mendengar isakku yang pecah, kujauhkan ponsel itu di lantai. Bibirku kejang, tergugu tak karuan. Tinju demi tinju yang kulayangkan ke dada tak berdaya meredam sesaknya.
Maaf, Ma. Maaf, Melati nggak tahan.
Maaf, Melati semakin sering nangis, Ma.
Maaf, Melati nggak baik-baik saja, Ma.
Maaf, Melati bukan anak yang kuat, Ma.
Di sini nggak enak, Ma.
Tanpa Mama, Melati rusak.
Melati mau Mama, Ma...
***
Kelopakku yang lengket terangkat lagi karena gesekan kecil dan lembut. Aku membuka mata penuh, mengucek mata karena visualku buram, dan bertemu jari mungil yang mencakari pipiku.
Siapa... anak ini? Gemuk.
"Hello, Melatiku."
Siapa... laki-laki ini? Rambut pirang?
Aku menegakkan diri. Celingukan kanan dan kiri. Ah, ya, aku ketiduran di atas sajadah. Bahkan masih terbungkus mukena.
"Aku baru masak sama Bumi. Mau cream soup?" tanya si pria.
Bumi?
Oh, astaga. ANAKKU! Anak gemuk itu anakku. Dan pria itu dokter McFord. Ya, aku sudah ingat.
Kenapa aku lupa?
Otakku belum siap bekerja. Sudut mataku melirik jam dinding. Jam 7 malam. Setelah maghrib, aku ketiduran lagi satu jam?
Saat daguku diangkat pelan, sosok dokter McFord makin sempurna. Tanganku tergerak meraih telapak bidang itu, membingkaikan wajahku, memejamkan mata barang sesaat. Meresapi hangat yang tersalur ketika ibu jarinya bergerak lembut mengusapi tulang pipi kananku.
Ketika sentuhan lain mendarat di pipi kiri, aku membuka mata. Bumi, dan jemari gempalnya menggaruk wajahku. Seolah tak mau kalah dari dokter McFord dalam hal menyemangati, sekarang dia meremasi cuping hidungku.
"Ya ya ya yaa."
Mendengar tawanya yang menular, lekas kutanggalkan mukena dan mengambil Bumi dari Dokter. Membenamkan pipi gembilnya di pelukanku adalah satu usaha lain yang berhasil memantik ketenangan jiwa.
Bumi tidak rewel meski Mamanya sudah di ambang batas kewarasan. Bumi pintar, merupakan anugerah yang patut kusyukuri.
"Bumi sudah makan malam, barusan aku suapi. Mamanya mau disuap juga?"
Tersadar akan sesuatu, aku menengadah lagi.
"Dokter bukannya malam ini praktik? Kok masih di sini?"
Dia tertawa kecil. "Aku swap sama dokter lain. Ada pasien cito."
"Siapa?"
"Ini." Keningku dicium sekilas dan aku berjengit. "Case lain bisa dihandle dokter lain. Tapi khusus yang satu ini, specifically harus aku."
Bola mataku beredar salah tingkah. Cih, kalau dia sudah semanis ini, sulit bagiku membendung agar darah tidak berkumpul di wajah.
Kami makan malam bertiga di sofa ruang keluarga… yah, Bumi cuma ngemil biskuit sambil nonton nursery rhymes karena sudah makan. Aku menolak disuapi karena memang setengah hati memakannya. Bukan sup Dokter tidak enak--enak sekali, sebenarnya.
Aku kepikiran, Mama pasti bertanya-tanya karena aku hilang tiba-tiba. Tanganku menarik ponsel di himpitan sofa, ingin mengirimi pesan, tapi Mama selangkah lebih cepat.
Mama
Mama barusan trf, nanti dicek ya
Buat makan, main2, sm buat Bumi
Jgn memaksakan diri
Mama cm mau Melati sehat
Boleh beli sempol
Aku tersedak sosis. Dokter merapat untuk kepo sambil menepuki punggungku.
Mel
Beneran boleh beli sempol?
Mama
Boleh
JANGAN BANYAK BANYAK
Sekarang Dokter yang menertawakanku, atau mungkin juga ngetawain Mama. Aku mengulum senyum kecut.
"Your mom called me. Katanya kamu hilang di tengah telepon sambil nangis-nangis. Waktu aku intip, kamu memang ketiduran di lantai sesengukan."
Kan. Mama begitu, terlalu mengkhawatirkan aku. Aku tertawa nanar.
"Mama nggak ngerti, Dok. Saya bukan mau uang… saya… mau Mama."
"Mama cerita, katanya mau ke Malang bulan depan sama teman-teman kantornya."
Sontak aku menoleh. Dadaku berdentum kencang. "Serius? Kapan?! Kok malah ceritanya ke Dokter, bukan saya?"
Dokter mengangguk, sejenak meletakkan mangkuknya di nakas, dan menyesap air putih.
"Tadi. Kamu 'kan tidur. What's wrong with beliau ceritanya ke aku? Aku juga nanti jadi anak Mamamu, right?"
Bibirku jadi keriting. Geli.
"Mau banget jadi anak Mama saya?"
"Mau." Dia tersenyum lebar.
"Mama nggak berencana ngangkat anak, sih. Saya juga nggak mau tuh punya kakak."
"Aku nggak bilang mau jadi kakakmu."
"Oh, yaudah," cibirku, dibuat-buat. Aku melirik, dibuat-buat juga, menyelami biru irisnya. "Dokter belum punya adik perempuan 'kan? Dokter yakin nggak mau punya adik secantik ini? Udah terbukti lho, saking cantiknya dinyinyirin terus sama lambe-lambe sirik."
Keningku disentil pelan.
"Justru karena kamu semenarik itu, lebih baik disahkan jadi pendamping hidup daripada sekadar adik angkat."
Ehe. Nyehehehehehee.
Gemesin banget nggak sih orang ini?
Aku berpindah duduk di antara kedua pahanya, dan melanjutkan makan sup. Sepasang lengannya melingkar di pinggangku. Aku bergidik ketika dr. McFord meletakkan dagunya di bahu kananku. Cambang halusnya itu, memercik sensasi gelenyar lucu setiap bergesek dengan kulitku.
Punggungku dapat mendengar genderang jantungnya. Aku suka. Bahkan walau Luke diam saja, aku merasakannya. Setiap hela udaranya, kerlip matanya, dan deras aliran darahnya tak pernah putus berbagi nyawa untukku.
Aku sangat berarti baginya, 'kan?
Aku boleh egois, 'kan?
"Dok…"
Desah napasnya menggigit lembut kulit leherku. "Mmh?"
"Dokter mau janji sama saya?"
"Hmm. Name it."
Dia mengendus di sela rambut belakangku. Terima kasih pada ndusel-ndusel nakal ala Dokterku seperti ini, aku terperagkap di antara geli, bahagia, dan bimbang.
"Janji… jangan tinggalkan saya. Mau?"
"That's it? Cuma itu?"
Sepertinya dia belum paham yang kumaksud. Aku menumpuk mangkuk kosongku di atas mangkuk Dokter, menyerongkan tubuh dan sedikit berputar ke belakang, mengaitkan pandang pada sepasang matanya.
"Janji… selama saya bernyawa, jangan tinggalkan saya, bagaimana pun kacaunya saya."
Dahinya berkerut. Lidahku kaku namun terus kuseret.
"Semua orang boleh benci sama saya. Semua orang boleh menuduh saya jahat. Semua orang boleh menganggap saya barang rusak. Semua orang boleh melupakan saya. Semua orang boleh pergi dari saya... tapi jangan Dokter."
Aku meraih satu tangannya. Membingkai wajahku sediri dengan telapak dingin itu. Pemiliknya hanya mengamatiku dalam bisu.
Gemuruh meradang akalku lagi.
Bibirku terus meracau, sehancur-hancurnya, mengemis pada satu-satunya pria tempatku menggantung semua asa.
"Tolong… jangan putus asa menghadapi saya. Saya mohon jangan buang saya. Tolong selamatkan saya. Tolong… jadilah rumah buat saya. Tempat saya pulang dan berisirahat. Tempat saya mencari rasa aman dan berlindung. Tempat saya mencari ketenangan dan kenyamanan. Tempat saya mengobati semua luka. Tempat saya menyambung nyawa, dan… tempat saya mencintai dan dicintai…"
Sekuat apapun kutahan, tangis bodohku kembali pecah. Aku terisak kepayahan dan merendahkan wajah. Dia segera meraihku lagi dari belakang, mengunciku, semakin kukuh.
Ha. Hahaha.
Berapa kali aku harus menangis dalam sehari? Menangis karena halusinasi. Menangis karena amarah. Menangis karena rindu. Menangis saat mengemis. Andai besok aku menangis saat melihat Fitri si ular piton kampus, itu tidak aneh.
Tapi, aku tak mau kehilangan orang ini. Orang yang kini merangkum jemariku dengan erat genggamnya. Kuciumi jemari dingin itu, dengan bibir tergerak kaku, disayat rasa takut.
Takut mati.
"Dan sekalipun dunia menolak eksistensi saya, saya mohon… sisakan saya sedikit celah, untuk bisa tetap hidup dengan Dokter sebagai dunia saya."
Jangan tinggalkan aku.
Jangan hilangkan aku.
Jangan bunuh aku.
Dok,
Aku ingin bertahan. Aku ingin bersama. Aku ingin hidup...
"Bagaimana bisa aku seapatis itu kalau duniaku adalah kamu sendiri, Mel?"
Aku menggeleng lemah.
Hari ini, mungkin, aku dunianya. Tapi besok? Lusa? Minggu depan? Bulan depan? Tahun depan?
"I do not need you to beg. I will never stop even when you ask me to."
Sebenarnya, ada satu firasat buruk yang sukses memperkosa liang kewarasanku hingga bernanah seperti ini.
Firasat tentang semakin dekatnya masa di mana semesta, Tuhan dan neraka akan mengharamkan keberadaanku. Tidak ada alternatif kecuali pasrah dijemput eksekusi. Hitung mundur telah dimulai. Aku akan tersadar dan jadi satu-satunya orang yang meratapi ketiadaanku; karena Melati bukan seorang.
Realitas tidak pernah jadi hak bagiku.
Mati?
Kematian hanya milik mereka yang hidup. Terlalu mewah untuk jiwa fana sepertiku.
Kematian jijik padaku.
"Ayaa! Mamamammaa yayayaa!"
Dan mungkin juga, suara itu. Yang kerap terdengar setiap aku memulung sisa kekuatan di palung keputus asaan.
"You hear that, he said 'Mama'."
Dokter menggiringku, berlunjur kaki di permadani lembut yang jadi alas menggelinding Bumi. Bayi tengkurap itu menyeret perut dan kakinya, melambaikan kedua tangan yang segera kusambut dengan mengangkat tubuhnya. Dia menubrukkan bibirnya di pipiku berkali-kali, membasahi dengan ludah.
Berat.
Maksudku, bukan karena bobotnya yang hampir 11 kilo. Berat, karena dia alasan terberatku untuk bertahan hidup, meski tanpa jiwa dan harus gila. Karena, kalau bukan aku, siapa lagi yang bisa…
Dengan sendirinya, kepalaku berpaling pada pria yang tersenyum bersama sorot biru hangatnya.
"Dok, kalau besok saya mati, Dokter mau jaga Bu--"
Kalimatku tertelan, karena Luke membungkamku dengan bibirnya. Dia mundur perlahan setelah berhasil membekukanku. Dengan bibir pucatnya, dan mata lelahnya yang berkaca entah sejak kapan.
"Don't--" Dia memenggal napasnya, seperti tersangkut sesuatu. Kedua tangannya terulur, merangkum wajahku dan Bumi. "Don't you ever speak to me like that. Kamu jatuh, kamu putus asa, kamu ingin menyerah. Aku tahu. Jatuhlah. Putus asalah. Tapi jangan menyerah; aku mohon.
"Aku selalu memegangi kamu, atau menangkap kamu, dan menyambung asamu. Bahkan kalau itu bukan aku, aku pastikan, selalu ada orang lain yang bersedia untuk itu. Papa-Mamamu. Fikar. L. Teman-temanmu. And even when you're too blind to see it… Bumi will never leave you."
Ada luka yang luruh bersama air mataku, ketika dia meraih tubuhku dan Bumi sekaligus dalam peluknya. Ada hidup yang terpercik bersama setiap kata yang disisipkan lirih itu di telingaku.
"Tolong ingat ini, Melati. Meski kamu menutup mata, telinga, dan hati, akan selalu ada orang yang berusaha mendobrak itu semua. Akan selalu ada orang yang berusaha menemukanmu. Dan akan selalu ada, orang yang mati-matian berjuang demi menyelamatkanmu."
◇ BERSAMBUNG ◇
Haduh. Kok capek aku 😭
Ini nggak panjang lho. Tapi ngetiknya capeeekkk banget. Nempatin perasaan jadi Melati itu capek. Melatinya mau nyerah. Mudah2an yang nulis nggak nyerah juga.
Yang baca capek juga kah? 😅
Capek nggak papa. Wong yg nulis juga capek. Emang cerita ini secapek itu.
Part part melelahkan begini masih ada buanyaaaakkk lagi... tapi aku janji, yang ngikutin perjalanan MeLuk dari A-Z nggak akan nyesel bercapek-capek, karena aku hadiahin ending yg sepantas-pantasnya dan semoga berkesan 💕
Aku mau double up, jadi tungguin aja malem ini, part 12.5
Jangan lupa baca Alisa dan Prof. Gera, bakal ada clue Hangover di situ 😎😎
Luv u to the moon and back, MeLuk 💕
Malang, 16 Agustus 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top