10b (A Date With) The Boy Who Lost His Childhood Identity

Hangover #2
The Unintended Aftermath

10b (A Date With) the Boy Who Lost His Childhood Identity

"Dokter bisa ice skating?"

"Bisa, kalau cuma sekadar berdiri, jalan, atau meluncur."

"Ntar ajarin saya? Oke?"

Dia mengedipkan sebelah mata. "Apa sih yang nggak buat kamu?"

Tiba-tiba ada desakan dari lambungku untuk muntah kupu-kupu. Dari spion, kulirik Elia bergidik jijik dengan dengkus 'iyuuhhh'. Bu Helena menoyor kepala putranya dari belakang sambil mencebikkan bibir. Untung jidatnya nggak kepentok setir.

Untuk ukuran orang yang (ngakunya) belum pernah pacaran, dokter McFord termasuk berani. Terlalu berani. Terang-terangan memintaku di depan Papa, Mama, Fikar. Terang-terangan menggombal receh untuk aku di depan ibunya. Terang-terangan menciumku di depan orang yang dia anggap sebagai pengganggu, Gar--

Stop.

Hari ini aku harus bersenang-senang, memerdekakan pikiran dari masalah itu. Katakan saja aku melarikan diri, tidak apa. Aku hanya ingin tetap waras demi Bumi.

Ajakan kencan Dokterku itu sebenarnya cuma untuk aku dan Bumi. Bertiga. Tapi mendengar kami mau pergi, Elia...

"Ha? Malang Snow World? Mau! MAU!"

Dan Bu Helena...

"Mom juga belum pernah. Itu arena di Batu yang cuma buka sebulan 'kan? Okay, let's kuy! Luke, kita ambil jaket dulu di rumah."

Dokter McFord menganga. Aku tersenyum lega. Bukan apa-apa, sungguh, aku maluuu semalu-malunya. Malu pake u-nya ada tiga. Kami belum pernah kencan hanya berdua sebelumnya. Yang pertama ada Ezra-Elia, yang kedua ada dokter Yuan. Kalau sekarang cuma berdua rasanya canggung. Aku bisa mati bahagia campur malu.

Bumi nggak masuk hitungan, 'kan dia belum akil baligh.

Bumi masih nyenyak sepanjang perjalanan ke kota Batu, yang dipadati arus weekend. Dokter mengembus bosan karena kakinya harus bermain di tiga pedal: gas, rem, kopling sementara mobil meluncur semeter, berhenti semeter. Bu Helena ramai berceloteh soal Ezra dan Elia sewaktu SD.

"Dulu ya, waktu hari pertama Ezra pulang dari sekolah barunya, dia ngamuk nggak mau sekolah. Dia minta home school just like Luke. Alesannya karena di sekolah itu nggak ada yang bisa English, sementara dia nggak bisa ngomong dalam Bahasa. Yang bisa English dengan fasih cuma ada satu, cewek, kecil mungil, ranking satu, tapi judes minta ampun. Katanya dia dipanggil Giant sama anak itu, trus dia bales manggil si anak cerewet itu Suneo... padahal itu cewek. Trus gelut deh ya di sekolah."

Elia melengos jengah. "Dia memang babon, Mom. Heish, duduk sebangku sama anak Mom yang satu itu, dua pantat Eli nggak bisa duduk. Cuma yang kanan. Yang kiri di luar kursi. Jadi pantat Eli nggantung sebelah masa'! Kan gendeng!"

Bibirku menyembur udara, ngempet ketawa. Emang iya Ezra pernah segendut itu? Kok sekarang bisa jadi roti sobek? Berarti Bumi pun masih ada harapan untuk sixpack 'kan?

Bumi sixpack... wow, bayangkan gagahnya.

Tapi, Elia itu akrab sekali sama Bu Helena. Sampai menuding Ezra sebagai babon di depan hidung beliau, dan beliau sama sekali tidak tampak tersinggung. Justru Bu Helena ikut menguatkan argumen Elia bahwa memang benar Ezra dulunya overweight.

Mungkin karena mereka sudah kenal bertahun-tahun. Mungkin karena Bu Helena ingin anak perempuan, namun perbedaan rhesus darah jadi penghalang. Mungkin karena selucu itulah Elia di mata seorang Ezra, jadi dia tidak bosan menceritakan tentang Elia pada ibunya.

Aku bukan tipikal yang talkative seperti Elia. Apa mungkin bisa seakrab itu dengan beliau?

***


Malang Snow World. Adalah taman bermain salju di atas lahan semi permanen yang mengusung tema salju. Secara keseluruhan, ada dua tempat terpisah: outdoor dan indoor. Arena outdoor adalah taman bermain pada umumnya sejenis Jatim Park, tapi dalam skala jauh lebih kecil. Arena indoor adalah inti dari Malang Snow World.

Berdasarkan informasi dari brosur yang kugenggam, ada beberapa yang menarik perhatianku. Snow castle. Itu pasti istana salju, entah bagaimana bentuknya. Snowy field. Dari deskripsinya, itu adalah lapangan luas dari tumpukan salju, untuk perang bola, membuat snowman, atau sekadar berguling. Ice rink. Sudah pasti untuk ice skating. Cable car. Alias kereta gantung yang melintasi seluruh arena indoor sehingga pengunjung dapat menikmati salju dari ketinggian.

Untuk menangkal hawa dingin, pihak pengelola membuka persewaan jaket, topi, syal, sarung tangan, dan boots. Kami tidak menyewa karena sudah bawa sendiri dari rumah Bu Helena. Sedikit repot tapi bukan karena pelit nggak mau nyewa. Lebih ke alasan higiene.

Masalahnya, sebelum kami masuk ruang ganti, seorang petugas laki-laki menghentikan kami, mengamati Bumi yang digendong Dokter.

"Mas, mohon maaf putranya usia berapa?"

"Delapan bulan," jawab dokter McFord kikuk. Bumi dikira anaknya.

"Anak di bawah dua tahun disarankan masuk tidak lebih dari 30 menit, untuk menghindari risiko hipotermia."

"Hah?"

Aku melongo. Kami berempat melongo. Dengan kata lain kami tidak boleh di dalam lebih dari 30 menit? Mana puas?

"Bumi mah 80 persennya gelambir lemak. Udah panas banget lah. Ada juga saljunya yang kasian melepuh kalo ngenain dia."

"Ya! Ayayayayaa!"

Bibirku mengerucut tak terima. Bumi justru terkekeh seolah mengiyakan hinaan Elia barusan. Dokter masih setenang air, menatapku dan Bumi bergantian seperti memikirkan sesuatu. Sampai akhirnya, dia membuka mulut.

"Kita gantian. Aku sama Melati masuk duluan, kalian bertiga main dulu di taman luar. Kalau kami hampir selesai, kalian masuk, kita main dulu sama Bumi sebentar. Setelah itu aku, Melati, Bumi keluar, L sama Mom boleh di dalam sampai puas. How's that?"

Elia dan Bu Helena jelas setuju. Standar prosedur operasi Malang Snow World seolah tidak memberiku pilihan selain harus main di dalam berdua dokter McFord.

Mateng kon, Mel. Kencan kuwi piye?

***


Di dalam sini, nuansanya adalah warna kesukaanku. Putih. Langit-langitnya bercat putih, dengan sedikit arakan warna dokter McFord--biru. Tanahnya putih--oke, bukan tanah. Pohon-pohon cemara, lampu-lampu, patung-patung ornamen, semuanya bertopi salju putih.

Cantik... sekaligus dingin.

Dingin menggigit kulit dan menusuk tulangku yang terbungkus jaket super tebal. Tetapi hawa dingin tidak menyurutkan semangat pengunjung untuk menjelajah semua arena dan tentu saja aku. Senyumku mengembang lebar. Kapan lagi ada salju di Indonesia?

"Come on. Hati-hati, licin."

Aku tidak menyambut uluran tangan Luke, tapi tidak menampiknya juga. Kujejalkan tanganku di kedua saku jaket tebal. Aku bergegas di depan, mendahuluinya.

"Saya bukan anak kecil. Nggak perlu dipegangin. Bisa jalan sendiri."

Nenek-nenek pake tongkat juga bisa kalo cuma jalan di lapangan salju. Pegangan tangan untuk menjagaku, apanya? Memang dasar dosen tukang modus!

Detik selanjutnya, begitu cepat kakiku hilang pijakan. Keseimbanganku melayang. Mataku terpejam. Aku pasrah pantatku terjerembap di antara tumpukan salju.

"Uhmp--BAHAHAHAHAA!"

Aku memejam lebih keras. Sialan.

Bukannya nolongin berdiri kek, dokter McFord justru tertawa sejadi-jadinya. Memegangi perutnya yang terguncang hebat. Kutekuk muka sedalam-dalamnya.

Selesai terbahak, lagi-lagi bukannya nolongin berdiri kek, dia menyentakku.

"See? Apa kubilang? STAND UP!"

Heh?

Dan langsung berbalik meninggalkanku. Kakiku melompat bangkit. Pontang-panting mengejar dokter McFord yang berjalan santai sekali di atas salju super licin. Tanganku yang dibalut sarung tangan berhasil mencengkram belakang jaketnya. Tapi dia terus melangkah tanpa mengacuhkanku.

"Dok! Pegangin saya!"

"Kamu bukan anak kecil. Nggak perlu dipegangin. Bisa jalan sendiri."

Nah lho? "Seriously, Dok. Cuma gitu doang ngambek?!"

Deham keras dan tangan dijejalkan ke saku jaket adalah tanda bahwa Dokterku benar-benar ngambek. Yaelah, tidak kusangka juga dia bisa bertingkah sekekanakan seperti ini, mengingat record masa kecilnya yang gelap.

Masih berusaha mengimbangi langkahnya, kulingkarkan lenganku di lengannya. Bergelayut seperti anak monyet. Memamerkan senyum selebar-lebarnya, semanis-manisnya, semanja-manjanya. Dia pasti leleh dong?

"Dokterku? Sayangkuuu...?"

Kemudian, aku tahu.

Salah. Aku salah.

Ekspresinya masih sama. Rahangnya masih kencang. Sorotnya masih keruh. Bibirnya masih terkunci rapat. Aku meneguk saliva yang membatu.

Jadi beneran marah...?

Kepalaku telanjur berkabut. Aku mengentak dan kami berhenti di tempat. Tak berpikir panjang, aku meraih kerah jaket dokter McFord. Harus berjinjit untuk dapat mengecup pipinya secepat kilat.

Dia masih bergeming. Aku meneliti iris birunya.

"Jangan marah. Ya?" Kumohon, Dok. "Maaf karena saya menyebalkan. Maaf karena saya selalu bikin Dokter capek. Maaf karena saya selalu bikin Dokter repot. Maaf... karena saya ini manja, karena rasanya senang sekali kalau Dokter perhatian sama saya..."

Entah apa yang ada di pikirannya, sebab dia masih bungkam ketika melepas cengkramku dari kerah jaketnya. Matanya memipih tajam, semakin melemahkan nyaliku. Sebaliknya, menguatkan keputus asaanku.

"Aku sudah lelah."

Kepalaku lunglai. "Iya. Saya paham. Maaf, Dok. Maaf sekali."

Uh... kenapa begini jadinya?

"Aku sudah lelah pura-pura merajuk sama kamu. It feels weird. Rasanya bukan aku. Tapi kalau bisa dapat ciuman, mungkin aku harus merancang peta konsep seribu satu alasan untuk ngambek setiap hari."

What the--?

Aku mendongak. Seringai licik sudah menghiasi wajahnya yang tadi kelabu. Jantungku mencelus. Lubang hidungku melebar geram.

Dasar dosen modus! "DOSEN KARDUS!"

Aku merangsek ingin memukul. Dia tergelak lantas mundur gesit. Keseimbanganku hilang lagi dan harus terpelatuk kembali di atas salju. Terkampret memang.

Bugh.

Sesuatu dilempar mengenai kepalaku dan hancur jadi serpih putih. Dingin! Aku segera duduk, meraup segenggam salju, melontar bola itu gemas dengan raut tengil dokter McFord sebagai sasaran tembak.

Tapi meleset. Dia berkelit. Menjulurkan lidah sarat ejek dan tantangan. Lalu, dalam sekejap menghantamkan bola salju yang disembunyikan di balik punggungnya... ke jidatku.

"Double headshots! Dua kosooong!"

Aku baru saja meremas wajah dengan berang, sudah datang lagi serangan bola salju ketiga, keempat, dan kelima. Haish. HAISH!

DINGIN!

"DOKTEEERRR!!!"

***


Perang bola salju itu mudah. Aku bisa mengalahkan Luke dalam 15 menit, atau mungkin saja dia hanya mengalah. Terserah. Yang jelas permainan satu itu ternyata seru bukan main, saking serunya hingga aku lupa kalau di sini dingin.

Lain perang bola salju, lain pula ice skating. Di atas lantai kristal es halus ini aku tak bisa berkutik. Lebih tepatnya, takut meluncur.

"Aaa--tolong! D-dok, i-ini gim--"

"Bend your knees. Lean forward. Don't look down, here, look at me..."

Dokter maju, bermaksud menangkapku, tapi terlambat. Untuk keseratus kalinya aku jatuh terduduk di lantai es keras. Kuraih uluran lengannya seraya memajukan bibir semaju-majunya, sampai offside.

"Kan saya bilang jangan dilepas dulu!"

"You learn fast, Mel. Buktinya kamu cuma butuh 10 menit, langsung lancar meluncur."

"Tapi itu karena saya pegangan sama Dokter! Kalo nggak ya gitu, kepleset!"

Dia malah tertawa cerah, kembali berseluncur mundur demi jadi pegangan bagiku. Sesekali menoleh ke belakang supaya tidak menubruk pengunjung lain.

"Jatuhmu tadi bagus, Mel. Nggak langsung, dan nggak keras. Halus. Refleksmu sudah mulai panas. Hey hey Honey, don't look down."

Aku menegakkan pandang lagi. Panggilan Honey yang tidak terduga itu berhasil menyita gemetar sepasang lenganku.

"But still, jatuh itu nggak enak, Dok..."

"Yet, it is necessary. Aku pikir jatuh, tertimpa tangga, terperosok lubang, dan bangkit kembali memang spesialisasimu?"

Entah itu pujian atau sindiran, namun aku suka bagaimana dia menyatakannya. Bagaimana iris biru itu menyorotku jernih. Bagaimana sudut bibir itu menarik tersenyum tulus. Bagaimana ekor matanya menyipit perlahan. Oke ini berlebihan, namun di tengah udara dingin, Dokter adalah segelas cokelat panas yang manis untukku.

"Dok, sebenernya..." Dia menatapku antusias, kali ini membimbingku hanya dengan satu tangan. "Tidur saya masih nggak nyenyak. Saya masih sering mimpi yang aneh-aneh. Pikiran saya akhir-akhir ini sering melantur. Misalnya, kemarin saya--"

Ah.

Apa iya harus kuceritakan hal ini? Apa dia tidak akan menganggapku sakit jiwa?

"Speak up. I'm all ears, I won't judge."

Terkutuklah aku dan segala aura negatifku. Sudah punya pasangan separipurna ini dan aku masih sering sangsi?

Aku menceritakan semuanya. Bagaimana impuls-impuls toksik seringkali mencuat begitu saja di otakku. Bagaimana bayangan tembok kukuh menjulang di hadapanku, sangat menggoda untuk dihantam tempurung kepalaku. Bagaimana pisau dapur yang biasa kugunakan untuk masak kerap berkilau memukau, akan semakin cantik jika berlumur darah segar, potongan daging, dan irisan kulit dari tubuhku.

Dan, bagaimana fantasi itu seolah merangsang produksi dopamin yang menimbulkan rasa bahagia.

Sampai pada akhirnya aku kembali di titik yang sama, di medan perang batin antara akal sehat melawan benih psikopat.

"Amitriptyline? Habis?"

Aku mengeratkan lengan, dan mengangguk. "Habis. Tapi rasanya belum ada perubahan. Kecuali saya lebih mudah ngantuk."

"Hampir semua kasus terapi psikotropika memang nggak menunjukkan perbaikan hanya dalam 2 minggu, Mel. Paling cepat sebulan, rata-rata dua tiga bulan atau malah tahunan, dan jangan menghentikan pengobatan tanpa anjuran psikiatermu karena berisiko drug withdrawal."

Aku mengangguk lagi. Jadi begitu. "Trus apa saya harus konsul lagi?"

"Exactly. Kita coba bertemu dokter Tamara face to face. Kalau aku nggak sempat nganter, Mom pasti mau dengan senang hati."

Asumsinya, dokter Tamara mungkin akan memintaku menjalani beberapa tes untuk menegakkan diagnosis dan memutuskan treatment yang sesuai. Aku tidak keberatan. Demi kesehatan mentalku, dan Bumi-ku. Tapi sedikit sungkan rasanya kalau sampai harus diantar Bu Helena segala.

"Mom juga pasti banyak job, Dok. Saya bisa kok order ojol."

"You know, Mel," kali ini dia menahanku. Kami berhenti dan merekatkan pandang. "I'm so glad that you're finally willing to share your thoughts with me. Kecenderungan bunuh diri itu abnormal, kamu sadar akan itu, dan kamu nggak menyangkal bahwa kamu memang butuh diselamatkan. You're brave enough to seek helps, and I'm proud of you."

Aku tertawa sejenak. Dilihat dari manapun, aku ini sakit jiwa. Bisa jatuh cinta pada perempuan gila, artinya kamu sendiri gila, Dok.

***

Pemandangan barusan benar-benar mengiritasi sklera. Dan meskipun sekarang kami sedang dibentengi megahnya snow castle, panas dalam mata dan hatiku tetap tidak hilang. Coba, cewek mana yang nggak gondok ketika lagi duduk-duduk istirahat di kejauhan memandangi cowoknya berselancar di skate rink, tiba-tiba gerombolan cabe ganjen menghampiri cowoknya dan dengan gestur manja menggelinjang minta diajari ice skating?

"Mel, some of them are my patients... dan sebagian juga pelanggan Helen and Co."

Aku tersenyum kecut, melempar mata ke panorama putih di bawah dari puncak menara kastil.

"Ya terus Dokter mau aja dipegang-pegang?"

Dia langsung kicep. Menggaruk tengkuknya dengan tangan telanjang. Kami memang melepas sarung tangan karena basah kuyup.

"Namanya juga baru belajar ice skating..."

"Alesan. Dokter mikir nggak sih? Itu di pinggir rink banyak pelatih ice skating profesional yang disediain gratis. Kenapa minta diajarin Dokter yang jelas-jelas pengunjung biasa? Mereka pasti nggak tau Dokter punya pacar!"

"Mereka tau." Hmm, benarkah? "Mereka tanya aku kemari sama siapa, lalu aku bilang sama pacar dan menunjuk kamu, and then they were just... gone."

Hidungku mendengkus. Yaiyalah mereka pergi. Mereka harus pergi malahan, karena pacarnya si Dokter cantik alami nan abadi, jelas mereka tersingkir dari kompetisi.

Malas berdebat lebih jauh, aku merapatkan jaket dan bergegas menuruni anak tangga salju. Kastil salju ini indah, indah sekali, sekaligus dingin mematikan. Bayangkan berada di dalam sebuah rumah berlantai, berdinding, beratap, bahkan perabotnya dari es. Pantas tidak banyak yang tahan berlama-lama di spot satu ini. Tadinya ada lima orang termasuk aku dan Dokter, sekarang tinggal kami.

Kami bergerak ke halaman belakang kastil di mana terdapat danau es buatan dan jembatan. Aku berhenti karena ditangkap sepasang lengan besar dari belakang. Bibirku menekuk keras agar tak menampakkan senyum, walaupun, tentu saja dia tak bisa melihatnya dengan posisi ini.

Dasar, langsung meluk aja mentang-mentang cuma berdua.

"Maaf."

Hanya kabut putih dari napasnya yang dapat kulihat. Aku mengangguk samar, mengeratkan kalung lengannya demi kehangatan nyaman di tengkuk.

"Pasti Dokter dari kecil udah banyak yang naksir ya?" selidikku.

Dia berdeham di sela tawa. "Nggak. Malah seingatku nggak ada sama sekali."

"Bohong."

"Aku bohong atau nggak, kamu juga nggak tau bedanya. Dan nggak ada pengaruhnya dengan hubungan kita. A past is a past, Mel."

Bibirku mengerucut. Iya sih, bener.

"Berarti..." Tanya nggak? Tanya nggak?? Tanya ah. Dengan suara mencicit rendah. "First kiss Dokter dari saya dong."

Iya 'kan? Iya dong.

"Mmh... bukan."

Sontak kucubit pipinya. Dia mengaduh tertahan.

"Nggak ada yang naksir tapi dicium! Penipuan publik!"

"Dicium bukan berarti naksir, Mel!"

"Terus apa, hah?"

"It was a bet. Taruhan."

Aku mendongak. Dia balas menatapku dari atas, tiba-tiba menciumku di kening. Kontan kuturunkan wajah kembali sebelum jantungku meletus.

"Waktu itu aku kelas 6, elementary school. She was my classmate. Aku nggak tau gimana detailnya, tapi hari itu dia kalah taruhan sama teman-temannya. Hukumannya adalah mencium si culun dengan banyak bekas luka menjijikkan. You know who."

Hatiku menggeram. Bukan cemburu.

"Jahat," parau umpatanku tidak bisa ditutupi. "Seandainya saya di sana, saya... saya..."

"Kamu bisa apa? Aku 10 tahun, artinya waktu itu kamu masih ngompol di pampers, just like Ezra did."

Kucubit pipinya lagi. Dia justru tertawa.

"Saya bisa jadi second kiss Dokter supaya Dokter nggak sedih lagi," ketusku gemas.

"My second kiss wasn't you, actually. You're third."

Refleks aku mendongak lagi. Keningku dicium lagi. Buru-buru tertunduk lagi.

"Second time, it was my high school graduation. She kissed me and said she had a crush on me for around 3 years. I didn't realize it because she was an alpha girl, while I was the nerd out of her league."

Kami saling meremas jemari yang dingin di depan dadaku.

"Dasar nggak peka," desisku, putih. "Jadi dia cinta pertama Dokter?"

"No. Aku nolak dia. Bukannya aku pernah bilang, kamu cinta pertamaku?"

Oh ya?

Hehehe, hangat.

Tumitku melompat kecil kesenangan.

"Kenapa saya, sih?" gumamku, dan ini sungguh-sungguh. Jujur aku memang bingung. "Di mata saya, dari segala aspek, Dokter itu sempurna. Dokter pantas dapat yang lebih baik dari saya. Yang masih virgin, yang sehat jasmani-rohani, bukan seperti saya."

"Dan di mataku, dari segala aspek, Melati itu sempurna. Kamu pantas dapat yang lebih baik dari aku. Yang pemberani, yang nggak kecanduan bubble wrap, yang bersih dari bekas-bekas luka menjijikkan, bukan seperti aku."

Dahiku mengernyit. Kali ini menoleh dengan tubuh sedikit dimiringkan. Pandang kami tersambung.

"Saya nggak ngerti apanya yang salah dari semua itu. Cuma takut gelap. Cuma obsesi sama bubble wrap. Cuma bekas luka kering. Kalo cuma itu saya rasa nggak mengurangi nilai Dokter sebagai manusia."

Bibirnya tersenyum. "Aku juga nggak ngerti apanya yang salah dari kamu. Kamu cuma bukan gadis lagi. Cuma perubahan fisik biasa. Cuma tekanan mental karena problem. Itu nggak mengurangi nilai seorang Melati sebagai manusia."

Ah. Begitu.

Sedikitnya, aku mulai paham apa yang ingin dia tanamkan padaku. Kami ini sama. Kami memiliki 'cacat' yang disadari oleh diri sendiri dan orang lain. Tapi sayangnya--ah, atau... ajaibnya?

Ajaibnya, kami sama-sama buta akan 'cacat' satu sama lain. Aku tidak sadar Luke itu 'cacat' bahkan sampai detik ini. Dan dia tidak sadar aku ini 'cacat'. Bagiku, Dokter sempurna. Baginya, aku sempurna.

Perlahan, kami berhadapan di jarak intim. Dia melingkarkan lengannya di pinggangku, dan aku harus sedikit berjinjit. Sementara tangan yang lain mengangkat daguku. Hmm, gestur ini lagi.

Dia menutup mata, sekaligus menutup bibirku dengan bibirnya.

Dingin. Semua yang ada di sini dingin, kecuali ketika Luke McFord menciumku. Hangat merebak berkat adrenalin yang berpacu cepat menguasai aliran darahku. Bahkan setelah dia melepas ciuman kami, panas itu masih tertinggal di bulu mata panjangnya yang menyapu pelupukku.

"Dua-satu," bisiknya, di sela kabut napas putih kami.

"A-apanya?"

"Aku dua kali, kamu satu kali, di pesawat."

Aku tersentak. Dokter mengurai pelukan kami dengan seringai jemawa menghias wajahnya. Aku tertawa sarkastik.

"Dua-satu? No. Dua sama, Dok. Pesawat? Itu yang kedua, bukan pertama."

Kedua pupilnya melebar. "What?"

Aku berjinjit untuk berbisik di telinganya. Entah mengapa juga aku harus berbisik? Padahal kami benar-benar hanya berdua di belakang kastil ini.

Setelah tahu kebenarannya, dia menggerutu tertahan. "That is unf--"

Kumatikan protesnya dengan satu ciuman kilat. Lantas dia termangu. Aku memamerkan senyum nakal, mendesis, "Tiga-dua!" kemudian berlarian menuju luar kastil.

Asyik sih, dingin-dingin dicium. Tapi udahan ah, takut tercyduk. Bumi, Elia, dan Bu Helena pasti menunggu kami.

***


Ini sudah ketiga kalinya Elia berteriak kesakitan karena Bumi memukul kepalanya dengan tongkat. Dan setiap Elia mengaduh, Bumi bergolak kesetanan.

"AH! UAH-HAHAHAA! UAAHHH!"

"Bum! Ya buset! Keplak emakmu sendiri napa?!"

"HUHAHH! YAYAYAYAAAH!"

Aku mengunyah keripik tak acuh. Sibuk mengirimkan foto-foto kami dari Malang Snow World untuk Mama. Lagian sudah tau bakal dipukul, cewek ini masih doyan aja deketin Bumi. Sama dengan menyerahkan jidatnya untuk dipentung secara sukarela.

"Argh--!"

Ponsel itu terlepas dariku. Aku mengusap titik kepala yang tiba-tiba dipentung Bumi. Iya, ternyata lumayan sakit. Padahal bola di ujung tongkat itu terbuat dari karet bening dengan rongga berisi kristal salju di dalamnya. Merchandise yang dibelikan Bu Helena siang tadi untuk Bumi.

Aku mengurai jari-jari gendutnya dari tongkat itu. Sedikit memaksa karena genggamnya sangat erat. Langsung kuisi tangannya yang kosong dengan potongan wortel kukus sebelum dia ngamuk. Pipinya menggembung sebelah karena dijejali wortel.

Elia cekikikan di sebelah Bumi menatap layar ponselnya. Aku menjulurkan kepala sedikit karena kepo. Lagi chatting sama Ezra.

"Seneng amat, Buk, chatting sama Iron Man kaleng-kaleng," sindirku jahil.

"Oh." Dia menoleh, masih tersisa ringisan. "Lagi ngobrolin satu foto sensasional yang nggak sengaja aku jepret tadi siang."

"Foto apa?"

"Ini. Tadi dapet di belakang castle."

Aku menerima ponselnya dan otomatis juling mengetahui foto apa yang dibicarakan.

◇ BERSAMBUNG ◇

Drug withdrawal: a.k.a gejala putus obat a.k.a sakau adalah gejala tubuh yang terjadi akibat pemberhentian pemakaian obat secara mendadak, atau akibat penurunan dosis obat secara drastis sekaligus.

Oke. Udahan nih manis2nya ya 😂

Setelah ini bakal lebih banyak konflik pait. Mudah2an Melati makin tegar aja.

Aku udah netapin endingnya. Ending yang gak biasa. Menurutku sih gak biasa, gak tau nanti readers gimana 😂 Dan semoga ini bisa membuat kalian tercengang, dan ada hikmah yg bisa dipetik dari endingnya.

Ngomong2 soal hikmah, ini tolong dijawab ya 😁😁

Sebenernya cerita ini ada faedahnya gak sih? (Selain bikin aku lega krna nuangin isi kepala)

Trus ada perkembangan nggak sih, dari awal2 Hangover sampai bab ini? Makin teratur, apa makin ngelantur gitu? 😂

Semoga masih betah mantengin ya

Luv u to the moon and back, MeLuk 💕

Malang, 3 Agustus 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top