09 Sepasang Permintaan Maaf

Hangover #2
The Unintended Aftermath

09 Sepasang Permintaan Maaf

Mau apa lagi berengsek satu itu.

Belum kah cukup dia mengoyak himen dan hidupku? Apa lagi yang tersisa dariku yang diinginkannya? Aku tahu manusia adalah makhluk yang dibekali akal dan nafsu. Tidak pernah puas adalah cacat kami. Tetapi ini… tetapi dia, sudah lebih dari keterlaluan.

Kurasa semua sudah jelas.

Maka, aku berbaring kembali, memunggungi Mbak Sari dan mendekap anakku.

"Saya nggak mau ketemu, juga nggak mau bicara. Tolong minta dia jangan datang lagi, Mbak."

Hanya sepenggal permintaanku, Mbak Sari menyanggupi, lalu kudengar pintu ditutup pelan. Aku memejam bersamaan dengan embus resah.

Tanganku terulur menggapai smartphone yang tergeletak di belakang Bumi. Lekas kubuka ruang chat dengan Dokter, begitu senang karena statusnya online.

Mel
Dok, lagi apa?
Pulang jam berapa?
Saya di rumah
Kangen

Dokterku
Just finished the assesment for today
Wth setelah ini asesornya minta dianter jalan2 keliling Malang
Im not sure pulang jam brp, sry
Masih demam? Sudah makan?
Mau sempol?

Hanya dengan perhatian sederhana semacam ini, darahku sudah berdesir hebat. Bibirku mengeriting menahan senyum.

Mel
Mau Luke
Please :(

Tolong. Tolong aku.

Garda di sini, aku takut…

Dokterku
Wait
Aku cari org lain yg bisa gantikn aku
Is everything alrite?

"Mbak."

Aku berbalik lagi mendengar Mbak Sari. Mataku membesar karena dia menggenggam dua gagang sapu ijuk dengan satu tangan.

"Gimana, Mbak?"

Mbak Sari tampak menahan napas. "Masnya mau tetep nunggu. Aduh ngeyel pol pokoke. Apa ndak sebaiknya Mbak Melati sendiri yang nolak?" Dia mengangkat kedua sapu. "Kalo Masnya tetep ngotot, digeplak aja, Mbak. Ojo kuatir pasti saya bantuin."

Sepertinya aku tidak diberi hak memilih. Selain cabul, dia juga kepala beton. Komposisi lengkap.

Kuminta Mbak Sari menunggui Bumi di kamar. Kusiapkan telinga mendengar bualan bedebah itu, namun menutup rapat pintu hati, menggemboknya, dan meremukkan kuncinya dengan amarah hingga jadi serpih.

Maka disitulah dia, si berengsek. Duduk di sofa tanpa armrest dekat pintu keluar. Tak minat berlama-lama, sengaja aku tidak duduk. Aku memilih berdiri di balik sofa yang berseberangan dengannya.

Satu matanya memandangku. Masih bisa tersenyum. Hah. Penuh sekali stok nyalinya.

"Sehat?"

Bukan pertanyaan yang kuinginkan. "Langsung intinya. Bilang apa maumu, cepet pergi, jangan kembali."

"Mel…"

"Stop." Napasku terpenggal. Telunjukku mengacung cepat karena dia berdiri dan hendak mendekat. "Duduk, ngomong di situ. Jangan ke sini, atau aku panggil sekuriti!"

Aku membatukan rahang. Dia mematuhiku. Mengembalikan diri di tempat semula dengan sorot mengiba belas kasih, jika memang benar.

Terlambat. Aku tidak semulia emas 24 karat. Persetan dengan belas kasih.

"Aku nggak ngerti harus mulai darimana, karena ini terlalu complicated. Aku sangat ngerti kalau kamu muak sama aku. Karena nggak hanya kamu. Semua orang, termasuk aku, benci melihat diriku sendiri."

Aku tidak punya belas kasih, itu benar.

Hanya, mengapa… hanya dengan melihatnya, aku merasakan sesak. Panas di dalam sini. Fokus mataku berpendar bersama ritme napas yang kian pendek.

Semua memori malam bencana itu berputar kembali bagai kronologi film di kepalaku. Taman. Air mancur. Tarian. Sentuhan. Pelukan. Ciuman. Lapis demi lapis pakaian terlucuti.

"Benar malam itu… itu kamu?"

Tolong jawab 'bukan'. Kumohon.

Persetan siapapun ayah Bumi, itu benar.

Hanya, mengapa aku masih bertanya? Mengapa aku menyiksa diri, mencungkil luka lama dengan cakarku sendiri?

"Benar, itu aku. Aku ayah biologis Bumi."

Oh.

Yah.

Lubang dadaku kembali menganga. Aku menahan tubuhku di sandaran sofa agar tidak limbung. Tak sempat kuhapus air mata yang harus luruh lagi untuk belasan kalinya dalam 24 jam terakhir.

Mengapa… "Kamu setega itu, kenapa?"

"Mel,"

"Di mana dosaku sama kamu…?"

"Mel…"

"Kita bahkan nggak saling kenal…"

"Mel, aku…"

"Kenapa… kamu hancurin aku?"

Ledak emosi terwujud sebagai denyut semrawut di pelipisku. Sesak air mata dan darah yang berkumpul di wajah. Bibirku memuntahkan semuanya.

"Bukan cuma malam itu, tapi juga besoknya. Dan seterusnya. Bahkan detik ini ketika aku rasa udah nggak ada lagi yang bisa dihancurkan dari aku… kamu datang. Kamu menginjak tanganku yang mencoba mengumpulkan debu sisa itu. Sakit, Gar… sakit.

"Jauh lebih baik seandainya malam itu, setelah nafsumu terpuaskan, kamu langsung membunuh aku dan bakar aku. Supaya nggak ada jejak dan kamu bisa lepas tangan. Supaya kewarasanku juga nggak harus tersayat setiap hari seperti--"

"Melati, nggak bisa. Nggak bisa begitu, karena aku benar cinta sama kamu..."

Sialan. "Dan anehnya perbuatan bejatmu berbanding terbalik sama ucapanmu."

Hah.

Kukira akulah orang paling munafik di jagat raya. Ternyata ada yang lebih di atasku.

"Bukan aku."

Aku mengerjap berat. Basah. Tak percaya dengan bagaimana orang satu ini bersuara lebih serak dari aku, sementara aku lah korban di sini.

"Koktail campuran rum yang kamu minum, bukan dari aku. I never meant to get you high, Mel."

Terserah. Itu sudah terjadi.

"Antonio namanya. Aku ragu apa kamu ingat dia, tapi dia yang memberikan kamu koktail itu. Dia yang berniat meniduri kamu malam itu… at least, in the first place."

"Lalu apa?"

Tadinya aku akan dinikmati dua penjahat kelamin sekaligus, begitu? Maka aku harus sujud syukur karena akhirnya hanya ada satu juara sejati yang berhasil membobol pertahananku?

"Lalu aku hentikan dia, Mel. Karena aku hapal di luar kepala kelakuan dia... Dia… dia senang mengincar one night stand dengan cewek polos nggak bersalah seperti kamu. Tapi faktanya, aku jauh lebih biadab dari dia, Mel…"

Aku tak tahu mana yang lebih lancang, deras air mataku atau racaunya yang memenuhi kepalaku.

"Setelah mengusir dia dari kamu, aku lihat kamu diam karena mabuk, dan entah, Mel. Kamu… indah.

"Indah. Kesan pertamaku untukmu. Aku besar dikelilingi, dan setiap hari aku berinteraksi dengan perempuan-perempuan cantik, bahkan lebih dari kamu. Mungkin juga karena aku habis minum-minum. Tapi kamu malam itu, di hatiku... kamu indah.

"Kamu polos. Kamu lugu. Kamu bersih. Kamu belum tersentuh. Senyummu manis, matamu teduh, pipimu merah, bicaramu lucu dan melantur di bawah pengaruh alkohol. Kamu indah, Melati, bukan di mataku... tapi di hatiku.

"Awalnya aku cuma mau kita have some dance. Aku ingin mengenal kamu. Kita dekat setelah dansa itu dan… aku serakah. Cuma menggenggam tanganmu, aku nggak puas. Dadaku harus memeluk kamu. Bibirku haus ciumanmu. Hidungku candu aroma manismu. Ada rasa panas meledak-ledak di badanku yang hanya bisa didinginkan dengan tubuhmu--"

"Jadi… semua cuma…"

Kusela ucapannya. Sebab, aku mual. Jijik mendengarnya. Jijik dengan fakta bahwa tampilan luarku mampu mengasah berahi sembarang lelaki. Tenggorokanku kebas setelah belasan kali menelan ludah pahit, bersama napas tersendat.

"Ini… cuma karena… aku cantik?"

Ya. Haha.

Bukan otakku. Bukan pribadiku. Bukan inner beauty. Semata hanya karena aku menarik secara fisik.

Karena cantik, aku diminumi.

Karena cantik, aku ditiduri.

Karena cantik, aku dihamili.

Aku mengusap mata. Tolol sekali. Sejak semula, terlahir cantik tidak lantas membuatku dicintai banyak orang. Terlahir cantik tidak menjauhkanku dari fitnah. Terlahir cantik tidak membantu meringankan sakit mentalku barang sejentik pun.

Hari ini, terlahir cantik membuka mataku bahwa aku memang layak dilabeli pelacur.

"No. Bukan, sama sekali bukan, Mel!"

Kedua telinga kukatup rapat. Kedua mata kupejam hingga nyeri. Sayang, melumpuhkan suatu indra berarti mempertajam indra lain. Indra bernama hati.

"Kamu cantik. Baik, itu benar. Tapi bukan itu. Ada sesuatu di kamu, Mel. Entah apa itu, ada di kamu. Ada di kamu, hanya di kamu, dan ini belum pernah aku temui dari perempuan manapun, Mel…"

"BULLSHIT!"

"Even when it came from my heart, it did sound like one, Mel. Kamu boleh nggak percaya, karena sejauh ini, yang aku tampilkan di depanmu hampir semuanya adalah palsu. Dan hari ini, aku akan jujur.

"Aku bukan sekadar bukan anak kandung Ayahku. Aku dibesarkan dengan cara-cara abnormal yang nggak layak untuk disebut 'membesarkan anak', karena Ayah memang mengangkat aku sebagai anak bukan untuk jadi manusia.

"Ayah mendidik aku sebagai tumbal. Sebagai generasi penerusnya di bisnis gelap dengan raksasa kartel narkotik dari Meksiko. Demi Bumi, darah dagingku yang pertama dan besar kemungkinan yang terakhir, aku ingin hidup diperlakukan sebagai manusia, Mel…"

"BUMI BUKAN ANAKMU!"

Bedebah!

"Kamu terima atau nggak, Bumi ada karena kesalahanku, Mel. Kesalahan paling fatal dan paling manis… dari laki-laki yang divonis azoospermia oleh 10 androlog dalam 5 tahun terakhir. Waktu kamu bilang kamu hamil tanpa tahu siapa yang pelakunya, dan satu-satunya yang pernah tidur dengan kamu cuma orang itu, aku nggak tau harus berperasaan seperti apa.

"Aku marah. Kenapa aku harus merusak kamu? Kenapa harus dari rahim selain istriku? Tapi di sisi lain, setan dalam hatiku bahagia, Mel. Anak. Anak. Anak! Aku bisa punya anak dan aku bukan mandul. Aku mematahkan vonis dari 10 androlog goblok itu, dan yang lebih goblok adalah aku sendiri nggak tau alasannya kenapa. It was just beyond my control."

Aku mengangkat kepala. Sosoknya masih di situ, sekalipun tak terlihat karena tumpukan air membatasi pandangku. Aku tersedak oleh cairan asin yang menyumbat hidung dan membuat tawaku sengau.

"Kamu membanggakan anak yang bukan hakmu. Anak yang seumur hidup nggak akan memanggilmu 'Papa'!"

"Bahkan sekalipun aku ingin dipanggil 'Papa', akan jauh lebih aman bagi Bumi untuk nggak tahu siapa ayahnya. Seenggaknya, untuk saat ini… sampai aku menceraikan Freya sesuai permintaannya, dan hilang selamanya dari hidupku yang sekarang. Hidup yang nggak layak untuk disebut 'hidup'."

"Dan kamu pikir setelah semua perbuatanmu, hidupku masih layak disebut 'hidup', Ringgarda?"

Dia bungkam.

Tanganku bergerak meraupi wajah. Meremas geram untuk menyingkirkan air mata. Kali ini dapat kulihat jelas semuanya. Dia tetap bungkam. Menatapku hampa dengan satu matanya yang mengucurkan air, menuruni wajah yang sewarna mayat.

Aku mengendalikan isakku, meski suaraku masih goyah.

Aku sakit kepala, lagi, tetapi kebencianku jauh lebih berkuasa.

"Di mana kamu waktu aku bangun sendirian di kamar itu?! Di mana kamu waktu aku berkali-kali mencoba bunuh diri setelah tahu aku hamil?! Di mana kamu waktu aku dirawat karena hyperemesis?! Di mana kamu waktu orang-orang meneriaki aku sebagai pelacur?! Di mana kamu waktu aku diambang hidup dan mati menahan kontraksi persalinan?! Di mana kamu ketika setiap malam aku terbangun karena harus menyusui Bumi?! Di mana kamu ketika Bumi dicap sebagai anak haram?!

"Di mana kamu saat aku sama Bumi butuh perlindungan dan kasih sayang? Di mana?!"

Akhirnya aku bisa menghirup udara. Sesak di dada telah kumuntahkan bersama semua racau dan air mata. Tapi, aku belum selesai.

"Indira namanya, dia perempuan."

Dengar 'kan? Dia menyelaku lagi dengan lirih mengibanya ketika aku membuka mulut.

"Adik kandungku. Umurku 7 tahun dan dia 4 tahun… waktu dia pergi selamanya."

Aku turut berduka untuk adiknya. Tapi, tidak untuk kakaknya. Bagaimana pun aku akan jijik memiliki kakak yang sesuka berahinya menanam benih di rahim seorang gadis.

"Dokter puskesmas bilang karena keracunan makanan dan terlambat ditolong. Aku sama Bu Mirah pasrah dan berusaha ikhlas. Tapi kemudian, di perjalanan pulang waktu aku cuma berdua Ayah di mobil…

"Sambil tertawa, Ayah bilang tentang Dira yang sebenarnya. Dira meninggal diracuni orang suruhannya, karena seminggu sebelumnya aku membangkang. Aku mempermalukan Ayah di depan teman bisnisnya. Hanya karena itu.

"Bagi Ayah, nyawa manusia nggak pernah lebih dari alat untuk menekan manusia lain. Setelah Dira, Ayah sadar sekarang aku nggak punya siapapun untuk dijadikan ancaman. Maka Ayah mengambil bola mata kiriku. Mungkin besok tangan atau kakiku. Mungkin daun telingaku. Mungkin sebelah ginjalku. Yang jelas, Ayah nggak akan berhenti di sini."

Aku membeku dengan gigi menancap di bibir. Buluku meremang.

"Kadang… ah, jarang. Sebenarnya cuma sekali. Sekali waktu aku bersyukur dengan vonis infertil ini, Mel. Karena sungguh, aku nggak terbayang akan seperti apa jadinya anakku dengan kehidupan Papanya seperti ini. Sekali waktu lain, aku bersyukur karena anakku lahir dari kamu dan bukan Frey. Jadi Ayah nggak pernah tahu tentang ini. Tentang Bumi, dan juga kamu. Dengan aku merahasiakan kalian, hidup kalian jauh lebih aman.

"Ini salah, aku tahu. Aku berdosa sangat besar. Tapi bagiku, kamu dan Bumi adalah dosa paling indah yang pernah aku lakukan. Maaf.

"Maaf, karena aku nggak ada di saat kamu dan Bumi butuh aku. Maaf, karena aku terlalu pengecut untuk bertanggung jawab, bersembunyi di balik alasan Ayahku, walaupun itu memang kenyataannya. Maaf, karena aku nggak bisa jadi Papa untuk Bumi. Maaf… atas semua yang nggak mungkin bisa dimaafkan dariku…"

Maaf? Ya.

Haha. Semua sudah jadi masa lalu. Bisa apa dia selain minta maaf? Bisa apa aku selain memaafkan dengan lapang dada?

Tidak. Air mata dan rintih memohonnya justru menumbuhkan sesak baru di kepalaku. Sesak meletup-letup melalui sepasang rongga mataku. Sesak yang menimbulkan gelombang denging aneh di liang telingaku. Sesak yang menghambat saluran napasku.

Sesak yang menipiskan suara dan kesadaranku.

"Keluar."

"Mel…"

"Keluar." Mataku mengatup. Sungguh, tolong. "Kepalaku sakit."

Satu menit.

Dua menit.

Menit berikutnya, tak kudengar lagi suara itu. Hanya deru mesin mobil yang perlahan mengecil dan hilang bersama jarak. Aku memerosot di balik sofa, memeluk lutut dan membenamkan wajah. Ingin meredam kejang hebat ototku, namun tak kuasa.

***


Ada yang menjawil pipiku, lantas refleks kupisahkan kelopak yang masih kelat. Seorang bayi bundar dalam posisi tengkurap mengenduskan hidungnya di pipiku berkali-kali.

"Eh! Yayaya! Yaa!"

Aku menggeliat dan menegak ditopang siku. Kusisihkan beberapa detik untuk menciumi Bumi yang masih antusias meremas hidungku. Aroma oleum cocos dan oleum cajuput itu selalu bisa menenangkan hati.

Aku menyandarkan punggung di kepala ranjang dan mengambil anakku. Berat sekali. Ototku masih nyeri namun alhamdulillah masih dapat menyangga tubuhnya, untuk menyusui.

Pintu kamar dibuka, aku melihat Mbak Sari masuk bersama nampan berisi mangkuk dan gelas. Dia menutup pintu dan segera duduk di ranjang denganku. Denyut di pelipisku berkurang setelah Mbak Sari tersenyum, menunjukkan mangkuk berisi belasan tusuk sempol.

"Mas Dokter baru dateng. Ini dimakan dulu katanya."

Tentu saja kusikat dengan senang hati. Setelah pengeluaran air mata dan ASI tak putus-putus, sempol jadi semacam antidepresan alternatif yang bersifat sementara. Dalam lima menit, camilan itu habis kecuali batang lidi dan mangkuknya. Mbak Sari menggeleng takjub lalu menyuruhku minum jus mangga encer dingin di gelas, yang langsung habis juga.

Dokter McFord masuk setelah aku selesai menyusui dan Mbak Sari keluar. Tanpa banyak berkata, dia merangkumku dan Bumi sekaligus di antara sepasang lengannya. Kelakuan manis dan polos seperti ini selalu berhasil memantik hangat di dada. Aku tersenyum tipis.

"Kamu kurus banget."

Aku tersentak dan melepaskan diri, memasang bibir bawah lebih maju daripada yang atas. Dia tertawa tanpa suara dan duduk bersamaku, lantas mengambil Bumi yang menggelinjang heboh menginginkan rambut jagungnya.

"Saya kurus udah dari lahir," gerutuku.

"Tapi tambah ceking, sadar nggak?" Dia menangkap pergelanganku dengan satu tangan, menunjukkan celah antara lingkar jari-jari panjangnya dan kulitku. "Ini kemarin jaraknya masih 3 senti. Sekarang 4 senti. Tambah kurus."

Aku mengangakan mulut. Ya ampun, yang beginian dariku dia hitung?

"Bukan saya tambah kurus. Jarinya Dokter tambah panjang," ejekku kesal, tapi tersenyum juga karena senang diperhatikan.

"Kalo kamu sekurus ini, I feel guilty to your parents."

"Haish. Yang kurus saya, kenapa Dokter yang ngerasa bersalah?"

"Karena ini artinya aku belum bisa menjaga kamu sebaik Papa Mamamu, Mel."

Aku merapatkan bibir agar tidak senyum terlalu lebar.

"Dokter nggak punya kewajiban apa-apa terhadap saya."

"Indeed." Dia mengunci sela jemariku, mempertajam fokusnya di irisku. "Aku mewajibkan diri sendiri."

"Yayaa! Yayayaayayaayy!"

Gempal kepal tangan Bumi memukuli tangan kami. Dokter tergelak dan menciumi gemas si bayi yang selalu nggak mau ketinggalan itu.

"Dok, Dokter belum ngasih tau Papa Mama saya soal ini, 'kan?" tanyaku, dengan penekanan khusus pada kata ini.

"Belum," sahutnya segera, dan aku mengembus lega, karena aku tidak ingin Papa Mama membahas soal ini. Ingin kuhapus permanen dari ingatan tentang siapa ayah Bumi. "Sejak aku tahu, tentang yang satu ini memang nggak kuceritakan ke siapapun."

"Hmm." Aku mengangguk.

Tunggu.

Rasa tak nyaman menggerayang. Mataku memipih.

" 'Sejak aku tahu'? Jadi selama ini Dokter sudah tahu sebelum saya?"

Dia tidak pandai berkelit, aku tahu. Rahangnya mengeras dan permainan dengan Bumi dihentikan. Sepasang lensanya menatapku lurus.

"Ya."

Ap… "Mulai kapan?! Kenapa Dokter nggak bilang sama saya?!"

"Setelah aku pulang dari Dubai."

Jawabannya masih tenang sementara aku sudah nyaris berteriak. Dia pulang dari Dubai itu ketika Bumi lahir. Tujuh bulan yang lalu. Dia tahu ini selama tujuh bulan dan memilih bungkam?!

"Mel."

Aku bersikap defensif, menarik tanganku yang hendak disentuhnya. Aku memejam tak percaya.

"Kenapa Dokter sembunyikan dari saya!"

Gemuruh meradang lagi di dadaku. Aku tak tahu mana yang lebih dominan menguasaiku. Amarah. Sakit. Kecewa. Benci. Semua saling berlomba menghitamkan otakku.

"Did you really want to know about him? Did you happy knowing that someone you adore so much is also the same person you curse for your entire life?"

Aku menggeleng. Bukan. Bukan begini...

"Dan menurut Dokter lebih baik saya tahu semua ini dari istrinya dan dicap sebagai perusak rumah tangga, daripada saya tahu dari Dokter sendiri?"

"No, no, Mel…"

Kali ini kubiarkan sesukanya menggenggam tanganku. Terserah. Hatiku terlanjur mengeras.

"Maaf. Maafkan aku. I was wrong, totally wrong. Aku nggak berpikir akan jadi sejauh ini. Aku nggak mau membuka lukamu, dan juga… ya, aku takut. Aku pecundang."

Iris biru itu meremang.

"Aku takut kehilangan kamu, kalau kamu tahu siapa orangnya. Aku takut kamu pergi dariku."

Sekali lagi, kulepas genggamnya. Kulempar pandang pada pantulanku di cermin yang membisu. Hari ini aku mendapat sepasang permintaan maaf yang meremas jantung.

Sekarang, siapa lagi yang masih bisa kupercaya?

◇ BERSAMBUNG ◇

Garda salah. Mas Luke salah. Yaudah dah Mel semerdekamu aja emang cowok mah selalu salah 😂



Love you to the moon and back, MeLuk
Malang, 24 Juli 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top