07 Hanya, Jangan Kalah

Hangover #2
The Unintended Aftermath

07 Hanya, Jangan Kalah

Matahari tergelincir di kubah barat samudera awan jingga. Pada sisi yang berseberangan, kelam tirai hitam meninggi, melambungkan pikiran pada Bumi di rumah. Sejak pagi, genap sepuluh jam lamanya aku meninggalkan anak itu. Seharusnya saat ini aku sudah di rumah. Merebahkan tubuh yang sendinya mulai berdecit, mendekap bayiku demi sedikit ketenangan.

Sedang apa dia? Apa Mbak Sari masih di sana? Mengapa tidak bisa kuhubungi? Atau Elia sudah pulang? Siapa yang dengan Bumi di rumah?

Kain bra bergesek dengan luka basah payudaraku, memercik perih.

Semoga sediaan ASIP yang menipis di freezer masih cukup mengisi lambungnya…

"Mbak, kita mau ke mana?"

Ini ketiga kalinya aku bertanya. Mbak Freya enggan menjawab. Matanya tetap fokus pada ruas jalan, tangannya memutar roda kemudi. Dia bergeming, mengatup bibir, memberi senyum pun tidak.

Dia agak… berbeda.

Kuperhalus suara, yang serak terganggu radang bengkak di tenggorokan. "Mbak, maaf. Bumi nunggu saya di rumah. Yang jaga mau pulang. Kalo kita bicara di tempat saya gimana, Mbak?"

Entah seurgen apa yang katanya harus dibicarakan segera itu. Detik selanjutnya, Mbak Freya tertawa. Pelan. Sumbang. Bukan jenis tawa yang menghiburku.

Sudut matanya meruncing.

"Anak itu nggak bisa bertahan lama dengan ibu seperti kamu."

Lubang dipaksa menganga di dadaku.

Kuletakkan satu siku pada door handle, untuk menopang kepalaku yang tak lagi mampu tegak.

Sakit. Sakit!

Rasa itu menjerat hebat. Aku memijit pelipis dengan ibu jari. Harus mempertahankan kesadaran dengan kelopak terjatuh separuh. Jaket milik Joko yang masih membalut di tubuhku tak mampu melawan serangan AC mobil. Dingin tetap menyeruak lewat lubang di tangan dan kerah, lantas mencungkil pori-pori. Celah demi celah.

"Kita mau ke mana… Mbak…"

"Ke tempat pacarmu."

Aku menoleh. Tubuhku menegak sendiri. Kabut putih dingin mengalir dari hela napasku.

"Pacar saya? Mbak kenal?"

Apa dia salah satu pasien?

"Kenal sekali. Karena dia suamiku."

Lagi, telingaku berdenging melengking.

Tidak mungkin dia bilang dokter McFord suaminya 'kan? Aku berhalusinasi karena demam 'kan?

"Maaf, Mbak, tapi... Mbak Freya salah orang. Pacar saya belum pernah menikah. Bukan duda apalagi suami orang. Saya nggak kenal suami Mbak."

Aku dirajam oleh mata itu di traffic light perempatan.

"Nggak kenal, tapi bisa punya anak. Gimana ceritanya? Donor sperma?"

Dahiku mengerut. Otakku kalut. Kusut.

"Maksud Mbak apa? Anak siapa? Anak saya? Demi Allah saya nggak tahu siapa--"

"Kita bicara di rumah."

Ketus. Mbak Freya membungkamku, melajukan roda empat ini lagi.

Ada yang tak benar. Aku merogoh smartphone di saku. Mengetik pesan.

Kepada pria yang hingga detik ini masih kupercaya ketulusannya. Kepada satu-satunya pria paling berani yang memintaku di depan Papa. Kepada pria kesayangan Bumi yang nomor satu. Kepada pria yang di hatinya telah kutaruh sebongkah cita-cita bahagia bersama.

Ini semua bukan tentang Dokter, 'kan?

Ketuk kukuku berderit di atas layar.

Mel
Apa kamu masih Dokterku?

***

Seorang pemuda berseragam security mendorong gerbang yang mendikte kesan penjara bagiku. Mobil bergerak memasuki halaman luas bergaya klasik yang sesuai dengan nuansa Mediterania istananya.

Ya, istana. Bagiku ini bukan rumah. Ini istana Versailles setidaknya dalam skala 10 kali lebih kecil.

Tetap saja, auranya bukan rumah biasa. Denging kembali pecah di liang telingaku. Buluku meremang saat mobil berhenti di drop zone.

"Turun."

Tergesa aku menyandang ransel, memeluk modul, dan menjinjing tas ASI. Saat memijakkan kaki, daratan menjadi dunia trampolin.

Goyang. Goyah.

Lenganku ditarik kasar. Sangat sulit menyejajarkan langkah dengan Mbak Freya ketika lantai pun tak terasa ditapak. Aku digiring. Dihempas di sofa hitam doff.

Rangka punggungku bergelegak kala menubruk bantalan. Aku memejam sekadar untuk membenahi ritme napas yang amburadul.

Dan kubuka mata lagi, menyusuri setiap lekuk kubah tinggi nan angkuh. Ludahku semakin pahit. Bulir-bulir gelisah mulai mengguyur, menelusup kulit kepala, meraba, menggerayang luruh ke bawah hingga ujung kutikula kaki.

Mataku tak berkedip sampai perih.

Potret bisu dalam bingkai keemasan, dengan dimensi nyaris seukuran manusia, berdiri tegak di dinding. Seorang pria duduk di kursi, dipeluk oleh wanita di belakangnya. Wanita itu sudah jelas Mbak Freya.

Dan laki-laki itu pasti suaminya.

Hatiku dibanjiri luapan syukur karena laki-laki itu bukan dokter McFord. Dia masih Dokterku. Dan lelaki itu… Garda. Ketika matanya masih sepasang.

Tunggu.

DIA BERISTRI DAN KEMARIN MENGEJAR AKU?!

"Kenapa bengong? Kaget pacar lo ternyata suami orang?"

Mbak Freya berkacak panggul di depanku. Bara intimidasi menyala lewat sorot mata itu. Aku meremas ujung rok, memunguti kesadaran demi mengulas senyum tipis.

Ini cuma salah paham. Pasti.

"Mbak, maaf. Saya memang kenal suami Mbak. Tapi dia bukan pacar saya. Pacar saya orang lain, dan saya kira suami Mbak pun kenal sama pacar sa--"

Tapi, pening menamparku jutaan kali.

Aku buta. Kepalaku jatuh ditahan tanganku yang bertopang pada lutut. Sepasang ibu jariku mengurut pelipis yang siap meledak. Dadaku menyempit karena kurang pasokan oksigen.

Apa ini… sakit sekali…

"JANGAN BELAGAK PENYAKITAN! " Lengking itu mengoyak gendang telinga. "GUE BUKAN COWOK DAN GUE NGGAK TOLOL JADI JANGAN HARAP LO BISA NGANDELIN TAMPANG BIDADARI SURGA LO!"

Sakit...

"JELASIN INI KALO LO MEMANG SESUCI NAMA LO!"

Sesuatu dibanting di sampingku. Aku berjengit. Membuka mata, namun dunia masih temaram. Cepat kuraih tumpuk kertas yang dibanting wanita terbakar cemburu itu.

Kuregangkan otot mata yang mati rasa untuk memindai kertas demi kertas. Foto demi foto. Denging bising di telingaku makin memiting dan bersahutan dengan gemeratak gigi.

Aku dan Ito di belakang dome, malam hari, kami pertama kali bertemu. Kami lekat sekali. Ada banyak.

Aku dan Ito di BNS. Dia memelukku. Rapat. Terlihat… kencan? Baiklah, haha. Dulu kuanggap kami kencan.

Aku, Garda, dan Bumi. Di rumah. Dia begitu intim. Bumi begitu lepas. Ada banyak.

Mataku seakan berasap diasah puluhan foto itu. Semua berserak setelah meluncur begitu saja dari tanganku.

Aku mengangkat mata. "Dari mana Mbak dapat--"

"Kalo mau jadi pelakor, pinter dikit. Suruh pacar lo beli hape terpisah khusus buat lo dan itu bayi, jadi gue nggak nemu foto-foto mesra kalian waktu mergokin hape laki gue dan hati gue nggak mungkin sesakit ini!"

"Mbak!" Cukup! Darahku mendidih. "Saya memang nggak punya bukti untuk meyakinkan Mbak, tapi saya nggak ada hubungan apapun itu yang Mbak tuduhkan dengan suami Mbak!"

"Oh ya? Foto-foto itu? Pesan-pesan lo yang care setengah mampus sama laki gue? 'Kamu kenapa? Kenapa nangis? Cerita sama aku. Jangan sedih, aku kepikiran' dan semacam itu. Eh, bener 'kan... Mpus?"

"Mana saya tahu dia suami Mbak?!"

"Artinya bener lo ada hubungan!"

Ya Tuhan…

Kepalaku mengentak. "Bukan." Tenang, Melati. Tidak menang, jangan kalah. "Jujur saya kagum sama suami Mbak, tapi cuma sebatas itu. Demi anak saya, justru suami Mbak yang ngejar-ngejar saya! Sekali lagi, saya kagum. Dan ya, betul--tanpa saya tahu bahwa dia suami orang--saya senang ketika orang yang saya kagumi punya perasaan lebih untuk saya. Tapi saya nggak membalas itu karena perasaan saya memang cuma sebatas tertarik!"

"Melati, tolong."

Wanita itu bersimpuh di hadapku. Mencengkram sepuluh jemariku. Darahku terkuras ketika wajahnya merapat. Menegaskan sorot iba berselaput kaca yang mengiris nadiku.

"Jangan bawa anak itu dalam sumpah kamu. Kasihan, Melati. Kasihan dia…"

Tu-tunggu. Kenapa dia yang menangis?!

"Aku… aku nggak ngerti, Mel… kenapa?"

Apa? Apa yang kenapa?

"Anak itu nggak bersalah!" Dia meraup udara parau. Tersengal. Bibir itu meracau. "Anak itu bukti tegas bahwa suami aku nggak mandul. Dia bisa punya anak dari kamu... dia bisa, Mel…"

Wanita rapuh itu luruh.

Remasan jemarinya makin meremukkan buku tulangku. Keningnya jatuh bertumpu kepalan jariku. Bahunya terguncang. Kencang. Naik-turun mengerikan.

Parau tangisnya, membuatku mengemis pada Tuhan agar telingaku ditulikan.

"Lima tahun, Mel. Lima tahun aku berusaha. Lima tahun… kenapa? Kenapa harus kamu?!"

Bumi…

"Kenapa bukan aku? A-aku… istri sahnya…"

Bumi adalah…

"Kenapa!? Kenapa kamu! Aku yang selama lima tahun menangis dan berdoa sampai gila setiap malam!"

Bumi adalah anakku…

"Kenapa kamu tega…? Kalian tega--"

Bumi adalah anakku dan Garda?

"KENAPA KALIAN TEGA?!"

Garda yang memberiku alkohol?

"JAWAB! KITA SAMA PEREMPUAN TAPI DI MANA HATIMU?!"

Garda yang menanam benih Bumi?

"Mel…"

Garda mengkhianati istrinya?

"Melati, apa dosaku…?"

Sudah cukup.

Jemariku menarik diri.

Wanita itu menengadah. Tak tampak jelas rautnya karena pandangku tertutup selaput air. Udaraku terperangkap di paru-paru. Gemeletuk gigiku menyesaki rongga tempurung. Rahangku membuka kaku.

"Bukan urusan saya."

Bukan urusanku. Sama sekali.

"Apa maksud--"

Aku menampik lengan yang hendak mencekalku. Aku meremas wajah. Kupaksa diri mengakhiri air mata dengan dua kali usapan kasar. Kutelan gumpal ludah pahit sebelum berkata lagi.

"Itu masalah Mbak dan suami Mbak. Bukan urusan saya, apalagi Bumi. Untuk terakhir kali, saya nggak salah. Saya nggak pernah ada hubungan spesial dengan suami Mbak. Dan saya nggak peduli siapapun ayah biologis Bumi, meski itu suami Mbak."

Aku menghindari wajah perempuan itu.

"Saya dan Bumi nggak butuh orang yang sudah mencampakkan kami."

Sudah cukup.

Tanganku bergerak cepat meraih kedua tas beserta modul. Kupaksa sendi kaki-kaki lumpuhku beranjak dan lari. Gagal.

Sesuatu meremas otakku. Fungsi mata dan telingaku dirampas. Tungkaiku seakan dipelintir dan badanku limbung.

Kesadaranku kembali untuk sesaat karena ada yang menangkapku. Hangat. Mencengkram aku kuat. Dengan sisa tenaga terakhir, kuangkat lemah kelopak mata.

Dokter?

Oksigen musnah, dan semua hitam.

◇ BERSAMBUNG ◇

 

Aqu tak tau harus berkata apa. Semoga masih menghibur aja 😅


Luv u to the moon and back, MeLuk 💕

Malang, 16 Juli 2018.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top