06 Start of an End

Hangover #2
The Unintended Aftermath

06 Start of an End

Dokterku
Hey, the apple of my eye
Aku lulus

Sesal merundungku karena telah membuka pesan di tengah skills lab. Seharusnya kuabaikan saja getar di saku jas putihku, bukan malah penasaran dan akibatnya konsentrasiku bubar barisan.

Lulus.

Ah, dia Lucas McFord. Titel spesialis disematkan pada namanya di usia yang masih sangat muda. Lulus seleksi beasiswa bukan perkara sulit, bahkan mungkin sama sekali bukan perkara.

Mel
Hey, Dokterku
Kapan berangkat?
I miss u already

Dokterku
??
Just.. lulus seleksi berkas administrasi
Belum berangkat, Sayang
How abt AHS s4 marathon tonight?

Senyum terkulum di bibirku. Haish, malah ngajak maraton American Horror Story. Ada 7 seasons, tapi kami baru marathon sampai season 3. Besar kemungkinan dokter McFord sudah nonton semuanya, tapi dia menonton ulang demi menemaniku. Setiap kami maraton dan belum setengah jalan, Elia meringkuk di karpet, sementara Dokter ketiduran berbantalkan pahaku. Ujung-ujungnya seperti biasa aku sendiri yang masih terjaga.

Setelah kuiyakan ajakan nontonnya, kusisipkan lagi gawai itu di saku jas. Aku kembali pada Ayudia yang sudah siap dengan palu refleks untuk melakukan tes Babinski dan Chaddok berpasangan denganku.

Lulus seleksi berkas administrasi?

Ada nyeri tak terdefinisi di dada. Kami selangkah lebih dekat dengan jauh.

***

Mendengar bel depan berbunyi, aku meninggalkan laptop begitu saja di atas sofa dan bergegas membuka pintu. Aku bergerak gesit menarik pacarku ke dalam, menutup pintu, dan melingkarkan kedua lenganku di dadanya. Kurengkuh erat sebelum dia sempat menaruh kresek beraroma gurih di tangannya.

Mataku memejam dalam benam.

"Mel..."

"Diem. Saya kangen."

Kudengar suara kresek dilepaskan, dan tangan Dokterku kini bebas membalas pelukanku. Aku meresapi setiap belai dan kecup ringan di puncak kepalaku. Kuhirup wangi citrusnya, memenuhi setiap lekuk paru-paru.

"Bumi dan L?" bisiknya, meniup poniku.

"Bumi tidur. Eli masih bikin terbul."

"Hmm... Yang paling cantik se-FK?"

Aku mengendur tanpa melepaskan diri, menatap lurus di iris birunya.

"Yang paling cantik se-FK lagi nunggu pangeran bubble wrap yang ngajak maraton AHS, sambil ngerjain ppt buat pleno tentang seorang pria yang dibawa ke UGD dalam keadaan kejang seluruh tubuh dengan keluhan mulut terkancing rapat, tidak bisa makan-minum, badan panas-dingin, dan opistotonus."

"Well," jantungku lompat ketika wajahku ditangkup lembut. "And your diagnose is..."

"Tetanus."

"Why?"

"Come in and see the rest."

Dia menurut saat kugiring ke sofa ruang tamu. Sementara fokusnya tertuju pada display jutaan pixel di pangkuannya, aku merunduk, mengalungkan lengan dari belakang sofa. Menangkap dadanya dan tungkaiku melompat ringan karena senang. Mengacak-acak dan menikmati wangi shampoo mint yang menguar dari rambut jagungnya. Sesekali, menciumi pipi dan tengkuk dinginnya.

Kangen.

Kami dalam jarak seintim ini, dan aku masih kangen. Aku ingin lebih dekat... entahlah. Dekat yang tak bisa kudeskripsikan.

"Kamu kenapa?" Kudengar embus resah panjang.

"Hmm?" Aku balas berbisik, sekali lagi mencium cambang halus yang belum sempat dicukur di pipi kanan. Geli-geli enak. "Nggak papa. Saya kangen. Nggak boleh?"

"Boleh. It's just... kamu nggak seperti biasanya. Kamu baru selesai menstruasi sekitar seminggu?"

Aku tercenung, menjauhkan wajah yang langsung panas. "Kok tau?" Seingatku nggak sampai tembus deh. "Iya... lima hari lalu."

"Pantesan." Dia meringis geli.

Lha? "Pantesan apa sih, Dok?"

"Kamu lagi ovulasi."

Ovulasi adalah bagian dari siklus menstruasi ketika sel telur yang sudah matang dikeluarkan dari ovarium ke tuba falopi untuk dibuahi. Trus kenapa?

"Trus kenapa?"

"Mau penjelasan panjang atau pendek?"

"Pendek aja." Aku sedang malas mendengar penjelasan klinis. Aku maunya ndusel-ndusel enak begini. Aku harap Elia masih lama di dapur, karena aku belum puas.

Kenapa dokter McFord jadi terlalu ganteng ya? Maksudku, biasanya juga ganteng, tapi malam ini... dia kelihatan lezat.

Lebih lezat dari sempol dan ingin kucaplok.

Dokter melirik dari sudut mata, begitu manis, merangsang urgensi untuk menggigit bibir dan lidahnya--dalam fantasi liarku--yang kemudian berbisik lemah, "aku nggak tahu kamu sadar atau nggak, but your body is instinctively wanting to have sex with me, which is dangerous."

Apa--

Tanganku menolak sofa sampai tubuhku terhuyung. Punggungku menubruk lemari dan sesuatu menimpa kepalaku.

"Aduh--"

Kugigit bibir dalam supaya tidak menjerit karena ini sudah malam. Aku bersimpuh mengusap-usap kepala yang sakitnya minta ampun karena kejatuhan... aku memungut benda itu.

Miniatur candi Borobudur dari kristal yang pecah jadi keping.

"WOY! APA ITU PECAH?! PERLU DIBANTU NGGAK?!" seru Elia cempreng dari dapur.

"No, no. It's okay, L! I'll clean it!"

Pada akhirnya, dokter McFord yang berlutut memunguti pecahan kristal itu. Aku tidak diizinkan membantu dan diminta duduk saja karena menurutnya aku masih syok. Bagaimana bisa aku tidak jantungan ketika seorang pria menuduhku ingin melakukan... apa tadi? Seks?

Dan yang menuduhku itu pacarku sendiri!

Kaset otakku memutar kembali kejadian beberapa menit lalu ketia dokter McFord baru datang. Oke, aku memang langsung memeluknya. Erat. Dan memaksa.

Di sofa tadi aku juga bergelayut manja. Memainkan rambutnya yang menggemaskan itu. Menciumi pipinya. Mengendus tengkuk dan lehernya seperti kucing kelaparan. Tetapi dokter McFord hanya bergeming, tak bereaksi, tak membalas kelakuanku. Dia fokus pada ppt tetanusku.

Aku meremas wajah frustrasi.

Oke fix, dia jijik. Aku menjijikkan.

"Mel."

Dia kembali di sampingku. Aku bergeser lantas membatasi kami dengan tiga tumpuk bantal sofa. Aku sudah tak punya muka lagi untuk sekadar meliriknya. Mendengar suaranya pun aku tak layak.

"Mel, it's okay, it's a natural habit. I just want you to gather some awareness concerning this, because if you're not, people--especially a normal guy, like me--they might take advantages and do something bad to you."

Pergelangan tanganku bergerak menggesek mata yang basah.

Mengambil kesempatan dan melakukan sesuatu yang buruk... haha, itu sudah pernah terjadi.

Dokter benar. Karena aku kurang kesadaran. Karena aku tidak mengerti tubuhku sendiri. Karena aku memang jalang yang begitu mudah diperbudak nafsu binatang.

"Maaf kalau kata-kataku tadi kelewatan. Kasar. Bukan kalimat yang sopan untuk perempuan..."

"Nggak." Kuberanikan diri menatapnya, meski sekilas. "Dokter bener. Saya harus bisa jaga diri. Saya menjijikkan--"

"Hmph." Dia menahan tawa. "Ini déjà vu, inget nggak? Kita pernah begini sebelumnya."

"Hah?" Aku mengucek mata.

"Libur semester lalu? Di rumah Mom? Mati lampu? I was in the bathub... naked?"

Ngg... "Apanya yang sama?"

"Kita sama. Aku tau perasaanmu sekarang, Mel. Apa kamu tahu gimana sebulan penuh aku merasa jadi dosen paling cabul sedunia, setelah telanjang di depan mahasiswaku dan nyaris meniduri dia gara-gara aku phobia gelap? Karena entah gimana, dengan adanya mahasiswa yang satu itu, semua jadi lebih terang..."

"Itu," sejujurnya, tidak selintaspun aku memikirkan tekanan batin dokter McFord saat itu. Kukira dia hanya syok sesaat.

Syok?

Ah, benar... aku juga syok karena peringatan Dokter. Dan Dokter syok karena bahunya kugigit... begitukah?

"Apa waktu itu kamu berpikir aku menjijikkan?"

"Nggak, sih..." Aku menggeleng lemas. "Dokter nggak sepenuhnya sadar. Di mata saya, Dokter semacam lagi mencari pengalihan ketakutan. Tapi sekarang ini beda. Saya nggak punya ketakutan apa-apa, tapi saya malah--"

"No, no, nothing's wrong with you, Mel. Kamu memang begini. Semua manusia memang begini. Semua yang bernyawa, bahkan nanoorganisme, memang begini. Bereproduksi untuk mempertahankan eksistensi. It's a natural gift, perempuan maupun laki-laki.

"Ada masanya perempuan jadi lebih sensitif, lebih suka cemberut, mood changes fast, terutama waktu menstruasi. Ada masanya perempuan jadi lebih cantik, lebih manis, lebih manja, lebih bergairah, terutama waktu ovulasi. Kamu makin senang karena sekarang kamu sadar, kamu punya pasangan... aku.

"Sekali lagi, yang kamu lakukan natural, bagiku nggak menjijikkan. In fact, I want it too... a lot. Tapi kalau kita lakukan sekarang, kamu paham, aku bisa merusak kamu."

Lagi, kepalaku mengangguk, samar. Begitu tulus iris birunya saat memberiku pengertian, dan aku merasakan inti sayangnya, tetapi tetap saja ada yang mengganjal. Aku benci, sangat, dengan perilaku hina ini...

"Kamu tahu kenapa kita ini cocok? Selain karena aku ganteng kamu cantik?"

Kupaksakan senyum tipis. "Karena kita punya perasaan yang sama."

"Alasan lainnya?"

"What is it?"

"Because you know exactly how to stop me when I don't wanna stop, and vice versa."

Aku meringis. "And you can stop me when I don't wanna stop?"

"Nah, itu kamu tahu."

Masih terpisah tiga tumpuk bantal sofa, tangan dokter McFord terulur mengacak puncak kepalaku.

"Apa cuma aku di sini yang gemes setengah mati kepingiiin buanget nget nget nget ngeliat kalian langsung nikah?"

Kepalaku berputar cepat ke arah pintu dapur, di mana Elia bersandar di kusen dengan mulut penuh mengunyah terang bulan.

"Aku juga mau." Luke mengedipkan sebelah mata padaku. "Aku siap menafkahi lahir-batin. Mau ikut aku PhD di Massachusetts? Bisa diatur."

Bola mataku hampir mencelat.

Elia tertawa menghampiri kami, menoyor kepala Dokter. Sopan banget dia memang. Tiga tumpuk bantal disingkirkan asal dan anak itu meletakkan pantat di tengah kami.

"Heleh. Kalo Ezra denger Masnya ngomong kayak percakapan kalian barusan, auto mencret dia. Aku nggak. Aku malah baper. Udah, Mel, nikaho. Trus insem supaya punya anak sepuluh, jadinya sebelas sama Bumi. Buat tim sepak bola. Ngurusnya gimana nggak usah dipikirin, Mas Luke pasti sanggup sewa 2 lusin baby sitters. Biar saingan sama Nia Bakrie. Etapi kalo nggak sanggup, utang sama Mom pasti boleh lah. Atau sama Ezra. Ah malah nggak usah utang sih kalo sama dia. Porotin lah telek pithik satu itu. Porotin hartanya, bukan sempaknya."

Sekarang aku yang menoyor kepala jamurnya. Beneran deh itu mulutnya Elia kalo nyerocos kayak keran jebol. Padahal kalau bisa mingkem sedikiiit aja, aslinya dia cute banget, dan cenderung kawaii.

"Ngomongmu sing genah titik! (Ngomongmu yang beneran dikit!)"

"Kurang genah piye seh? (Kurang bener gimana sih?) Mas Luke lho iya-iya. Sumpah aku ngeship kalian banget. Aku suka chemistry kalian. Aku suka kamu yang manja cuma ke Mas Luke. Aku suka cara Mas Luke ngomong sama kamu. Awas ya kalian nggak nikah! Aku tuh nggak terima di sad ending in!"

Heish! Aku mengibas geram. Kemudian menyunggingkan senyum miring.

"Bukan cuma kamu yang nggak terima sad ending. Aku juga nggak terima kamu sad ending sama Ezra."

Alisnya melengkung. "Aku sama Ezra nggak pernah starting something kayak kalian jadi nggak perlu ada ending apapun."

Sekarang Dokter yang mendorong kepala Elia. Songong banget memang bocah satu ini. Entah dia memang nggak peka atau cuma pura-pura bego.

Setelah makan malam dengan ayam saus keju pedas, kami maraton American Horror Story sambil minum jus dan ngemil terang bulan. Elia kuminta tetap di tengah, mengkarantina aku dari Dokter. Sama sekali nggak lucu andai tiba-tiba aku memperkosa Dokter.

***

Remedi post test pleno adalah cara paling buruk untuk mengawali semester 4. Bukan post test pertama semester ini, memang, tetapi ini masih awal. Masih awal, dan aku sudah remedi untuk kedua kalinya dalam sejarah pendidikan medis.

Ini buruk. Sangat buruk.

Sebab aku berjanji pada Papa Mama untuk tidak remedi lagi. Aku tak mau Bumi jadi alasan atas penurunan nilaiku. Bukan Bumi. Ini murni kesalahanku.

Salahku, tidak fokus memahami materi neurologi, terbias oleh banyak faktor. Garda. Baik, coret masalah itu. Dia sudah diblokir. Dari akun maupun hatiku.

Dokter.

Yang kutakutkan dari pacaran, salah satunya adalah ini. Hatiku masih, terus, dan selalu... tidak bisa tersenyum ikhlas atas rencana kepergian Dokter. Lebih dari separuh konsentrasiku yang seharusnya digunakan untuk belajar, justru habis disita hal itu.

Jika tahu akan begini akhirnya, aku tidak mau pacaran. Menyusahkan. Menyiksa. Menyakitkan...

Andai kami tidak pacaran.

Andai kami tetap seperti biasa.

Andai kami masih dosen-mahasiswa biasa...

Kalau kami tidak memutuskan bersama, apa rasanya masih seperih ini? Pelan, tetapi pasti, sesuatu berusaha menyelisihi kami. Bukan jarak fisik. Apa hanya aku yang menyadari ini?

Dokterku
Aku rapat akreditasi sampai malam
Km lagi apa?
Bisa pulang sendiri?
Sorry

Nah. Benar 'kan kataku?

Aku mengunci layar tanpa membalas pesan. Aku sedang memompa ASI dan tidak boleh terganggu oleh hal semacam ini. Belakangan, hasil pompanya menurun. Biasanya sekali sesi pumping aku bisa dapat 4 kantung dari kedua payudara, belakangan hanya 3. Lalu, semakin miris hanya 2. Kurasa ada hubungannya dengan isi otakku yang sangat semrawut.

Aku meraih smartphone lagi. Bukan untuk membalas pesan, tapi untuk browsing di forum ibu menyusui. Aku lebih fokus ke moderator yang memberikan saran-saran.

Makan dan minum. Ibu menyusui boleh makan dan minum apapun yang diinginkan, tetapi perhatikan jika timbul reaksi alergi pada anak... Bumi tidak pernah alergi, seingatku. Aku juga selalu makan sesuai seleraku, dan tidak pilih-pilih: selalu lapar.

Perbanyak istirahat. Ibu menyusui perlu istirahat cukup untuk... abaikan. Tidak banyak waktu untuk aku istirahat. Rasanya tubuhku juga sudah biasa tidak istirahat.

Pijatan relaksasi. Pertimbangkan untuk melakukan pijatan seluruh tubuh yang dapat memperlancar metabolisme. Terutama di sekitar bahu, punggung, dan payudara yang dapat menstimulus produksi ASI. Libatkan kerjasama suami untuk melakukan pijat... AKU BELUM BERSUAMI.

Liburan. Luangkan waktu untuk berlibur atau sekadar me time... skip. Sudah kubilang, waktuku sedikit.

Seriusan, apa tidak ada saran memperbanyak ASI untuk ibu menyusui yang belum bersuami dan masih sibuk kuliah?

Marmet. Alias memerah dengan tangan. Tinggalkan pompa Anda, pelajari teknik marmet, mulailah memerah dengan tangan bersih. Pengosongan payudara lebih maksimal dengan teknik marmet. Libatkan kerjasama suami... sekali lagi dia bilang 'suami', kutabok bener.

Tapi teknik marmetnya perlu disimpan. Akan kupelajari meski tanpa suami.

Jaga pikiran. Jaga pikiran dari segala yang mungkin membuat Anda stress. Tonton acara yang Anda senangi. Dengarkan musik yang menenangkan Anda. Baca buku yang menghibur Anda. Berkumpul dengan orang-orang tersayang yang membawa aura positif untuk Anda... aku stress, hahaha, iya benar.

Minta dukungan orang-orang terdekat. Terutama, dari keluarga dan kerabat dekat yang mengisi hari-hari Anda. Suami punya peran besar dalam membangun kondisi hati ibu menyusui. Berdasarkan hasil pengamatan, rutin berhubungan seminggu dua kali dengan suami dapat meningkatkan hormon... ASU-dahlah.

Pererat bonding dengan si kecil. Terus berada di sisi si kecil adalah tempat terbaik Anda. Tetapi jika rutinitas memaksa Anda berpisah sementara, sering-seringlah melihat fotonya. Tonton rekaman aksi menggemaskannya. Jika sempat, lakukan panggilan video. Tidak hanya Anda, si kecil pun akan senang melihat wajah Ibunya.

Segera kututup browser, mencari nomor Mbak Sari. Di sela nada sambung, aku melirik satu tangan yang masih bergerak, menekan tuas pompa putus asa.

Siang ini, tidak sampai satu kantung.

Ada apa? Apa yang salah dengan ASI-ku?

"Assalamuaalaikum."

"Waalaikumsalam. Mbak Sari, Bumi mana?"

"Tidur, Mbak. Ada apa?"

"Ngg... nggak papa, Mbak. Bumi sudah makan? Mbak Sari sudah makan?"

"Sudah, Mbak. Ini lagi umbah-umbah. Mbak Mel sakit tah? Kok suarane bindeng. (Kok suaranya serak.)"

Astaga.

"Ndak papa, Mbak. Ya sudah makasih, Mbak, assalamualaikum."

Tepat setelah sambungan terputus, air mataku luruh. Rongga hidungku basah menyebabkan sulit bernapas. Tapi tak bisa begini. Tak boleh berakhir begini.

Bumi harus dapat ASI. Harus.

Aku melepas tuas pompa dan hanya mengambil botol penampung ASInya, yang terisi separuh.

Satu. Dada, kumohon. Satu kantung saja, kumohon...

Satu tanganku mengarahkan bibir botol di ujung payudara, satu tangan lain memijit pabrik ASI yang layu itu. Menekan. Meremas. Menggerus gumpal demi gumpal kelenjar yang teraba ibu jariku. Andai mampu, aku bersedia mengoyak organ ini dan mengeluarkan ASI sebanyaknya...

"Uhh--"

Pandangku diredupkan selaput air mata. Ironis. Begitu lancarnya air dari mataku, mengapa tak setetes susu pun menitik dari payudara? Mengapa?

Ini tidak adil untuk Bumi!

Sekilas nyeri menyengat dari setiap urut yang dilakukan ibu jariku. Tak apa, demi Bumi. Kukeraskan lagi hujaman jari-jariku. Sedalam-dalamnya mengeruk habis kandungan organ itu. Tak akan berhenti sebelum satu kantung.

Nyeri menjadi perih. Perih menjadi... darah.

Darah segar merembes dari beberapa titik yang terkoyak kukuku sendiri. Merahnya menodai tisu yang kugunakan untuk menghapus jejak luka basah itu. Begitu pula dengan lima ujung jemariku yang terkena darah.

Pelipisku sesak nyaris meledak.

Jangan. Jangan kambuh di ruang kerja dokter McFord.

Jangan. Jangan begini lagi. Papa kecewa. Mama menangis. Aku tak mau sakit jiwa...

Segera kurapikan pompa ASI dan membuang ASI hasil perah di wastafel, sebab warnanya tak lagi putih emulsi susu. Merah jambu, seperti susu strawberry. Hanya saja ini bukan strawberry; ini campuran darah.

Sebelum keluar, kupastikan tidak ada bercak darahku di ruang ini. Kupastikan pula wajahku yang kumal ini tidak sembap, sebab aku tak mau orang berprasangka. Berjalan keluar, aku membuka satu pesan baru.

Dokterku
I love you

Tiga kata yang membuatku menekan bibir agar tidak tersenyum terlalu lebar.

Tidak apa. Tidak apa-apa. Pasti ada cara untuk mempertahankan ASI. Kuatlah. Demi Bumi.

Mel
To the moon and back

***

"Panas."

"Hah?" Kali ini Joko yang mengusap keningku. "Iya, panas."

Fathir membungkuk untuk melihat wajahku. "Nggak usah order ojol. Kita anterin. Lagian searah."

Aku mengangguk, menurut saja digiring ke parkiran. Mataku mulai berkunang. Telingaku berdenging. Wajahku penuh sesak. Ototku nyeri, tak mampu menggenggam. Joko membungkus tubuh atasku dengan jaketnya karena menurutnya aku pucat dan menggigil.

Bagaimana ini?

Aku tidak boleh sakit. Aku tidak boleh izin kuliah. Aku sudah kena kartu kuning karena adu jotos waktu itu.

"Mel."

Belum sempat membuka pintu mobil Fathir, badanku berbalik pada asal suara wanita yang menegurku.

"Mbak Freya?" Otot mataku meregang lemah. "Ada apa, Mbak? Lagi nyari orang?"

Dia tersenyum. "Kamu. Bisa kita bicara berdua?"

BERSAMBUNG ◇

Kalau kalian cringe sama depresinya Melati karena nggak bisa ngeluarin ASI, don't.

I told you, banyak yang mengalami lebih parah dari itu bahkan sampai suicide.



Btw kasian kau Mel, padahal lagi sakit tapi bakal di "perkosa" 😂




Luv u to the moon and back, MeLuk 💕

Malang, 12 Juli 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top