05 Introspeksi, Komunikasi, Turunkan Ego

Hangover #2
The Unintended Aftermath

05 Introspeksi, Komunikasi, Turunkan Ego

Katakan saja aku nakal karena justru memejamkan mata dan mengimbangi manisnya dinamika bibir dokter McFord. Jemari kiriku meremasi kemeja bagian dadanya, demi menekan gejolak libido yang dimuntahkan tubuhku. Akal sehatku melemah dimanja gairah. Setiap lumat begitu lembut hingga kami sama-sama hanyut. Berbaur lentur tanpa ada yang mengatur.

Aku mengerang tertahan karena mendapat satu gigitan mungil di bibir. Dokter tertawa dalam desah yang menjalari permukaan lidahku. Desak dari lekuk bibirnya mengandung ekstasi yang nyaris membuatku lupa diri bahwa ada satu mata lain menyaksikan kami.

Segera kutangkup tangan kiriku di bibir dokter McFord karena dia hampir minta lagi. Dia terhenyak sesaat. Aku dibenamkan dalam kukuh dadanya hingga tak dapat melihat apa yang terjadi.

"Kecuali kamu siap lihat yang lebih provokatif dari ciuman, silakan pergi."

Telingaku berdenging.

Dok, apa...?

"Seprovokatif yang pernah gue lakukan, Dokter?"

"Nggak ada yang bisa lebih provokatif dari itu." Dokter tertawa, hampa. "Just let her live safe and sound, please?"

Otakku semakin tak bisa mencerna. Terdistraksi genderang jantung yang bertalu tak tahu malu akibat ciuman, serta gestur dokter McFord yang pelukannya sangat posesif. Tetapi kata-kata Garda berhasil menghadirkan tanda tanya besar yang mencuri semua perhatian dan oksigenku.

Garda pernah melakukan tindakan provokatif dan dokter McFord tahu sesuatu?

"Well, gue pamit. Pada dasarnya jauh di dalam hati kecil, elo pun paham siapa yang lebih berhak atas dia."

Berhak atas siapa?

Aku menggeser kepala sekadar untuk mengintip punggung Garda yang menjauh ke pintu. Aku menengadah, menemukan dokter McFord bermata nyalang yang bahkan tak pernah ditampakkannya saat OSCE. Garis pandangku kembali ke Garda yang tiba-tiba berbalik. Wajahnya semringah, terbentuk sabit di mata tunggal itu.

"Ah, Mpus, beha yang tadi simpen ya. Kapan lagi behamu dipegang sama infamous celebrity yang postnya kamu tungguin setiap hari?"

Bola mataku hampir mencelat. Dia lantas pergi menghilang dari sini. Dokter melepasku segera.

"I... need a valid explanation."

Aish!

Aku mengembus lelah.

Tanganku dikompres lagi oleh dokter McFord sambil menyusui Bumi, ditutup nursing apron. Aku menceritakan semuanya sementara Dokter mendengar dengan wajah ditekuk ke dalam. Sudah pasti dia tidak akan senang mendengar pacarnya berdua dengan lelaki lain dalam naungan satu atap.

Tetapi bagaimana pun, terluka karena kejujuran lebih baik daripada terbiasa bahagia dibuai kepalsuan.

Tetapi lagi, fakta bahwa saat ini dokter McFord memilih bungkam dan beku daripada meluapkan amarah, semakin membuatku terbebat rasa bersalah.

"Dok, saya udah minta maaf. Say something, please?" Aku menelaah iris birunya yang membeku setelah tanganku selesai dikompres. "Tadi udah ci--" Haish! Lidahku geli banget! "... udah nyosor, lama pula, keenakan, nambah-nambah lagi, masa' masih ngambek?"

Praktis aku dihadiahi pelototan.

"Excuse me? I wouldn't bother to do that if you were bold enough and kicked his fucking ass out immediately in the first place!"

Wha--?

Mataku tak kalah terbelalak.

"Jadi gitu cara ngusirnya? Ujug-ujug nyosor dan mengancam akan melakukan yang lebih provokatif dari ciuman?! Memangnya apa itu? Dokter berniat ngapain saya?!"

"I never meant to do anything cause I knew he would get the hell out of here in seconds."

"Tapi ciuman di depan dia, harus banget?!"

"Why not? You even kissed me back. You like the way I kissed you, just admit it."

"Saya suka itu pasti! Tapi bukan begini, Dok!"

"Kamu punya ide lebih baik? Kamu yang aku cium atau dia aku habisi di sini?"

"Kan bisa ngomong baik-baik!"

"Baik-baik seperti yang kamu lakukan dan akhirnya dia kembali lagi, lagi, lagi, dan lagi ke rumah ini?!"

"Nggak gi--"

"Well sorry, I'm not that generous. Aku bukan laki-laki yang hatinya seluas alam semesta sampai bisa menerima pacar yang sangat aku sayangi berduaan dengan laki-laki lain, pegangan tangan, bahkan pegang beha meskipun itu cuma talinya!"

"TALI BEHA NGGAK ITU NGGAK 'CUMA'!"

Napasku jadi berantakan diacak-acak emosi. Dan samudera Dokter yang membara, juga hawa panasnya yang ikut membakar kewarasanku. Kenapa... kenapa kami saling memaki begini...?

Demi Tuhan, tidak bisakah kita bicara sehangat biasa, Dok?

"AHH!"

Sakit. SAKIT!

Areolaku digigit Bumi. Perih!

"Eh! Eh-eh-eh-aah!"

Keluar dari persembunyiaannya di balik nursing apron, Bumi semringah. Tangannya terulur mencari-cari dokter McFord yang segera menyambut si gempal. Mereka saling menggesekkan cuping hidung, lantas sama-sama tertawa lepas.

Dokter menghibur hatinya dengan bermain bersama Bumi, tanpa sedetikpun mengacuhkanku. Dia membangun dinding angkuh membentengi dunianya dan Bumi, dengan aku terpisah di luar.

Ada yang jauh lebih perih, tergurat nyata di bilik jantungku, daripada sekadar areola yang digigiti gerigi bayi.

***

Kolam raksasa di muka perpustakaan pusat universitas memang kerap menjadi spot eksekusi ulang tahun. Entah dilempar tepung, telur, air selokan, diceburkan ke kolam, atau yang paling sering gabungan keempatnya. Bayangkan malunya.

Geng Sora Aoi--walau namanya nggak banget--kami merayakan ulang tahun dengan cara yang lebih manusiawi. Makan-makan. Biasa banget. Tapi lebih berfaedah daripada merogoh kocek percuma untuk beli berkilo-kilo tepung dan telur yang ujung-ujungnya dibuang ke tanah. Belum lagi mengotori sarana kampus. Lebih afdol kalau dibuat tart saja sekalian. Ya 'kan? Iyain aja.

Lagipula, siapa tidak suka makan-makan gratis? Di Pizza Hits pula. Franchise pizza ternama dari negeri surganya pasta, Italia, yang buka cabang di Matos.

Nggak gratis-gratis amat, sih. Fathir memang mentraktir kami, tapi aku juga ikut urunan uang untuk beli kado dan tart. Tentu saja kado dan tartnya tanpa sepengetahuan Fathir, biar seru. Kadonya adalah persediaan bolpoin selama setahun.

Ho oh, bolpoin. Setahun.

Karena si cowok Arab itu hampir setiap hari bergumam, "Rek, ada yang liat pulpenku?" sambil meraba saku kemeja dan celananya. Jangan heran dengan anak-anak otak geser ini. Kemarin waktu aku ulang tahun, mereka sengaja memberi kado agak terlambat, setelah Bumi lahir: pampers bayi ukuran M, L, dan XL masing-masing 5 pak.

Bukan kado ulang tahun yang lazim, tapi jujur saja aku senang. Semua pemberian mereka pasti, garis bawahi, pasti terpakai. Benar-benar tepat guna.

"Nuwus, Rek. (Makasih, Rek)"

Sambil mengulum lidah, Fathir menerima 20 pak bolpoin yang masing-masing paknya berisi 20 bolpoin. Semuanya dikemas jadi satu dalam kardus PS4 PRO. Waktu menerima kotak itu, wajah Fathir langsung secerah mentari pertama di musim semi. Begitu melihat isinya, detik itu juga dia sadar, teman-temannya memang komplotan kampret profesional.

"Sama-sama. Tau nggak siapa yang ngusulin isinya?" celetuk Joko. Aku cepat-cepat buang muka memeluk Bumi.

"Siapa?"

"Emaknya Bumbum."

Hish. Terkutuk kau, Joko Tingkir!

Benar sekali, hadiah itu atas usulku. Aku tersenyum rikuh sebab Fathir tertawa sumbang. Semoga Fathir tidak berpikir aku pelit karena menyarankan hadiah murahan begitu. Putra tunggal pemilik perusahaan farmasi masa' cuma dikasih 20 pak bolpoin? Secara finansial Fathir bisa beli satu truk bolpoin kalau dia mau.

"Tahun depan kalo masih kebiasaan ngilangin pulpen, kita kasih ini lagi. Mau request warna apa, Thir?" canda Sandra, diikuti tawa kami.

"Merah. Biar nantangin dosen," jawab Fathir asal, menuang cola dari jar ke gelasnya.

"Heleh, gayamu." Danny melirik sinis. "Dosen mana mau ditantangin?"

"Tim dosen blok mata. Hahahahaa--ehem."

Roman langsung kicep setelah Fathir memelotot sebesar bola tenis. Sebentar. Roman cuma bercanda 'kan? Nggak mungkin Fathir masih...

"Tim dosen blok mata? Kenapa?" Sandra bertanya polos.

"Urusan cowok, cewek gak boleh tau. Hush!" Joko mengibas songong dan kontan Sandra mencebik.

"Tim dosen blok mata ketuanya suamimu ya, Mel?"

Aku tersedak lemon tea. Bumi bergoyang gesit menggebraki meja. Ngawur banget Sandra kalau bertanya.

"Siapa?" Aku mendengkus.

"Lucas McFord. Siapa lagi memangnya?"

"Iya dia, tapi bukan suamiku," tegasku.

"Bukan 'suamiku' tapi 'dokterku'. Iya 'kan? Nama kontaknya 'dokterku' 'kan?"

Diketawai satu meja, aku cuma bisa meraup wajah.

"Dokter McFord aslinya gimana, Neng?" Joko melipat tangan di atas meja, menatapku antusias. Atau kepo. "Baikan mana sama Abang? Kalo gantengnya udah keliatan sih gantengan Abang, Abang 'kan masih satu garis keturunan ama Jungkook," dan dihadiahi toyor pelan dari Roman.

"Yaa gitu." Alisku melengkung sebelah. "Nggak gimana-gimana. Biasa aja, Jok."

"Kalo ke kamu juga biasa-biasa aja nggak mungkin dong kamu mau."

Aku tersenyum bingung. Tau aja si Danny ah.

"Beda sih." Kepalaku bekerja cepat mencari jawaban. "Gimana ya? Yah, kira-kira seberbeda Roman di depan kita sama Roman di depan Wanda."

Roman meringis. "Emang kamu tau aku di depan Wanda gimana?"

"Nggak tau. Tapi pasti beda. Dan yang manapun itu, dua-duanya memang juga tetep kamu."

Kami ber-highfive. "Exactly!"

"Ish, aku masih penasaran!" Sandra bersemangat sekali. "Pasti beda dong gaya pacaran dokter McFord-Melati. Yang cowok udah dewasa, yang cewek udah jadi ibu. Pasti beda sama Roman-Wanda yang masih bocah."

"Woy sontoloyo, bocah teriak bocah!"

"Noh! Mana ada orang dewasa ngambek cuma gara-gara dikatain bocah sama bocah lain?"

Roman mingkem semingkem-mingkemnya. Udah deh, Rom, jangan melawan cewek. Kebenaran haqiqi sudah jadi hak asasi setiap cewek.

"Kalo gaya pacaran, karena aku belum pernah pacaran sebelumnya, jadi aku nggak tau gaya pacaran aku sama Dokter sebenernya gimana. Apa kita ini dewasa, apa kita ini masih bocah, aku nggak ngerti. Kita nggak berbeda jauh dari sebelum dan saat sekarang berstatus pacaran. Aku tetep aku, Dokter tetep Dokter."

"Nih, Rom," Sandra menudingku dan Bumi. "Gini nih pikirannya kalo dewasa, masuk akal dan enak didenger. Nggak asal naik tensi."

"Injih, Ndoro Putri,"

Roman memutar bola mata gerah. Sejujurnya aku sendiri tidak paham di mana sisi dewasanya jawabanku barusan. Aku hanya mengeluarkan isi kepalaku, bahkan tanpa dipilah-pilah.

"Punya pacar lebih dewasa pasti adem-adem manis kayak es kepal Milo. Pengertian dan mengayomi. Nggak ada bertengkar-bertengkar nggak penting."

Di jidat Sandra sudah ada tulisan capslock, "AKU JUGA MAU KAYAK GITU SAMA DR. YUAN"

Hanya senyum satir yang bisa kutampakkan. Gara-gara Sandra, pembicaraan di meja berbelok ke topik pertengkaran dengan pasangan.

Seandainya Sandra tahu, sejak insiden ciuman dan setrika itu, hubunganku dan dokter McFord antara ada dan tiada. Kami masih berangkat ke kampus sama-sama, kadang juga pulang bersama, tetapi hanya sebatas itu. Komunikasi kami masih direnggangkan egoisme tak berkesudahan. Siang-malam percakapan kami hanya sebatas,

"Sudah sarapan?"

"Sudah. Dokter?"

"Sudah. Bumi?"

"Disuap Mbak Sari."

"Hmm."

Sekurang-kurangnya, dokter McFord pasti bertanya menu yang kusuguhkan untuk Bumi. Lalu, dia akan berkomentar, apa saja, walau hanya sebatas pujian kecil sambil mengacak puncak kepalaku. Hal-hal sederhana seperti itu di pagi hari, asalkan dari Dokter, adalah mood booster sebagai bekal menjalani hari.

Ketika semua itu hilang keesokan harinya, esoknya, esoknya, dan esoknya lagi... aku hampir gila. Aku mengulang semua kisah antara kami sejak awal aku mengenalnya di cafetaria FK, hingga detik ini, di mana kami menjadi lebih asing daripada mulanya. Malamnya, setelah Bumi tidur, aku memandangi galeri yang dipenuhi potretku, Dokter, dan Bumi, lantas membasahi seprai dengan air mata yang meluap sendiri.

Sering, aku bertanya, apa dokter McFord tidak keberatan dengan kondisi kami sekarang ini? Dia sibuk--sangat sibuk--sampai tak lagi ingat memberi ruang untukku barang sedikit? Atau dia tak ingin fokus untuk HMSnya terbias oleh pertikaian yang (baginya) hanya menguras energi sia-sia?

Jadi... aku hanya rindu sepihak?

"Aku sama Wanda kalo berantem nggak bisa langsung baikan. Kita pasti diem-dieman dulu beberapa hari, kadang minggu, untuk introspeksi diri. Aku belajar memahami kenapa dia bisa semarah itu, dia belajar memahami kenapa aku sekecewa itu. Tapi kita usahakan jaga komunikasi, whatever it is, biarpun cuma sekedar nanya sudah makan belum."

Kalimat sepintas Roman sedikit menyentil hatiku. Introspeksi, dan jaga komunikasi. Apa itu yang dilakukan Dokter lima hari ini?

"Habis diem-dieman gitu, trus gimana?" tanyaku, serius. "Apa bisa tiba-tiba sayang-sayangan lagi padahal kemarin masih canggung?"

"Yaa, harus ada yang turun ego salah satu atau salah dua, Mel. Karena hubungan yang sehat landasannya cinta, bukan ego. Kalo ego lebih tinggi dari cinta, bisa ditebak dong endingnya gimana?"

"Bubar jalan?" terka Fathir.

Roman mengangguk. "Nggak ada salahnya nurunin ego meskipun posisinya kita nggak sepenuhnya salah. Lagipula dari setiap cekcok pasti ada pelajaran yang sama-sama bisa diambil, baik untuk aku atau Wanda. Jadi kedepannya, nggak ada lagi ribut-ribut tentang masalah yang sama. Problem dalam hubungan itu mirip patogen vaksin; sama-sama untuk imunitas. Kalo kita menang semakin kuat, kalo kalah ya mati."

Sementara yang lain melempari Roman dengan bola tisu, bungkus sedotan, bahkan Bumi ikut mencubiti lengan Roman, aku justru terkesima. Digit usia memang tidak dapat dijadikan patokan kedewasaan. Nyatanya, mungkin aku dan dokter McFord perlu banyak belajar dari Roman.


***

"Hoaa! Hoaaa! HOAAHHH!"

"Sudah, sudah! Bum, haduh ini dibayar dulu!"

Semakin hari semakin barbar. Itulah Bumi.

Segera kuurai jari-jari gempalnya dari tangkai maracas kayu itu. Rapat sekali genggamnya. Mas pramuniaga itu sampai bergidik ngeri, khawatir almari etalase kacanya pecah akibat dihantam maracas oleh bayi gendut.

"Maaf ya, Mas," cicitku malu, menyerahkan maracas itu pada si Mas untuk dibayar.

"Hahah, ndak papa, Mbak. Untung situ cakep."

"Hah?"

"Anaknya cakep." Dia menunjuk Bumi. Aku mengangguk sepakat; Bumi memang cakep. "Tambah apalagi, Mbak? Belanja di atas seratus ribu, diskon sepuluh persen."

"Saya lihat-lihat dulu."

Sebenarnya tujuan awalku masuk ke stand cendera mata ini ingin mencari kado ulang tahun Elia, dan sesuatu yang spesial untuk baikan dengan dokter McFord. Introspeksi, jaga komunikasi, turunkan ego. Jika diingat lagi, penyebab pertengkaran kami memang salahku. Seharusnya aku berterima kasih, dokter McFord berkepala dingin dan masih menjaga komunikasi kami.

Kalau sudah begini, tugasku adalah menurunkan ego. Aku tidak boleh pasif, selalu menunggu dokter McFord datang. Kali ini aku yang maju duluan.

Karena, aku mencintainya dan tak mau semua berakhir hanya sampai di sini.

Untuk Elia, aku memilih block notes kecil yang bisa dikalungkan bersama bolpoin mini yang merangkap recorder. Semoga bermanfaat untuk UKM jurnalistiknya. Untuk Dokter, aku memilih mug putih polos yang bisa berubah warna, tergantung temperatur dan derajat keasaman (pH) cairan pengisinya. Semoga Dokter selalu mengigatku di setiap sesap kopinya.

Menunggu dua hadiah itu dikemas, pandangku beredar berkeliling stand, dan berhenti di satu titik saat menemukan satu sosok wanita muda yang tidak tampak asing. Dia bertopang dagu di almari etalase kaca. Aku menghampiri untuk memastikan.

"Mbak Freya?"

Dia menoleh, tersenyum ramah, namun sedikit linglung. "Siapa..."

"Melati, Mbak. Kita ketemu di BBM?"

"Aah, future doctor dan single mother." Mbak Freya memejam sesaat, lantas menepuk pundakku. Kali ini senyumnya terkembang sempurna. "Sori, sori, Mel. Lagi kurang akua. Kamu apa kabar? Sama siapa ke sini?" Tangannya berpindah mengacak rambut sarang Bumi. "Ini anak kamu? Duh, endutnya..."

"Baik alhamdulillah, Mbak. Sama temen-temen, tapi lagi pada mencar. Iya ini Bumi, hehehe."

Risiko punya anak gemuk ya begini ini, setiap yang melihatnya ingin menggendong, memeluk, mencubit dan menciumi pipinya. Apalagi bagi seorang wanita yang dalam 5 tahun rumah tangganya belum dikaruniai keturunan sebab si suami divonis azoospermia. Aku tidak ingin mengorek tentang itu karena aku yakin, Mbak Freya merasakan hal yang sama seperti aku saat ada yang membahas ayahnya Bumi. Sama-sama ingin mati saja.

"Mbak beli apa?" Aku menilik sedikit paperbag yang diberikan Mas pramuniaga pada Mbak Freya.

"Matryoshka, pesenan mertua. Tuh kado buat siapa?" Mbak Freya ganti menunjuk paperbagku.

"Yang ini... buat temen. Yang ini buat seseorang."

"Asik, calon papa Bumi--"

"Fre, udah?"

Seorang pria jangkung datang, merangkul Mbak Freya di pundak. Kuperkirakan belum kepala tiga. Mungkin suaminya?

Mbak Freya tersenyum pada orang itu. "Udah, ayo. Mel, Bumbum, duluan ya. See you soon."

"See you, Mbak."

Aku melambai padanya, belum bisa pergi karena masih menunggu kembalian uangku. Mataku tak putus mengikuti kedua orang itu, sebab sesuatu terasa janggal. Bukan Mbak Freya, tetapi lelaki itu.

Sepertinya pernah lihat. Bukan sekadar lihat, tapi berinteraksi. Siapa ya?

***

Dicintai seorang Lucas McFord adalah senyata-nyatanya mukjizat yang pernah terjadi padaku. Bagaimana tidak, meski di masa perang dingin begini, dia masih mendatangiku dengan sebungkus sempol sepulang dari klinik.

Walau, dia tidak banyak bicara. Hanya berdiri di depan pintu, menyerahkan sempol, lalu berbalik lagi. Aku menahan lengannya, tersenyum, dengan gestur paling manis yang bisa kulakukan.

"Saya kangen."

Hanya dengan dua kata, dokter McFord bersedia masuk dan duduk di sofa ruang keluarga bersamaku dan Bumi. Belum apa-apa, tawa renyah Dokter berderai menghangatkan atmosfer akibat dipukuli maracas baru Bumi. Aku mengambil kotak karton cokelat di atas nakas dan memberikannya untuk Dokter.

"What is this?"

"Buka aja. Ini untuk Dokter."

Seulas senyum telah terbit sebelum membuka kotak itu. Setelah membuka dan mengeluarkan isinya, rona wajah itu kian merekah cerah, meskipun...

"Is this for me? Ah, thank you!"

... yang dia ambil bubble wrapnya.

"Bu-bukan--" Aku mengusap tengkuk. Duh, polos sekali pacarku saat memitas biji demi biji bubble wrap. Jadi nggak tega, gimana bilangnya? "Bukan itu hadiahnya..."

"Bukan?" Kelopaknya membesar.

Aku merapatkan bibir, menggerutu gemas. "Bukan. Itu cuma wrapnya,"

Tentu saja dokter McFord juga tampak senang menerima mug yang bisa berubah warna itu. Dia berjanji akan menggunakannya untuk ngopi di ruang kerjanya di kampus. Tapi entah memang begitu atau hanya perasaanku saja, sukacita dokter McFord lebih nyata saat menerima bubble wrap ketimbang si mug.

Kalau tahu begini, harusnya kubelikan bubble wrap satu roll, lalu kutimpuk ke hidung mancungnya biar pesek sedikit.

Ya sudahlah. Asal dia senang, aku juga senang. Lebih mudah untuk mengatakan, "Maaf, Dok."

Dia tertegun sesaat. Gerak memitasnya jadi lebih lambat saat memandangku tulus.

"Me too. Maaf sudah bersikap kekanakan dan mencium kamu tanpa memikirkan privasi."

Aku menggeleng, mengeratkan peluk Bumi. "Dokter nggak salah. Sama sekali. Saya yang salah karena nggak tegas sama diri sendiri. Sekarang saya bakal lebih tegas. Harusnya saya melakukan ini sejak resmi jadi pacar Dokter."

"Melakukan apa?" Matanya memipih.

"Memblokir semua yang berpotensi mengganggu hubungan kita..." Aku menahan napas. "... termasuk Garda."

Saat kusebut nama Garda, aku tahu dokter McFord akan diam sejenak. Sejurus kemudian, dia tersenyum lagi.

"Jadi kamu blokir dia?"

Aku mengangguk mantap. "Sudah. Dari nomor hp dan semua akun sosmed saya. Ntar kalo dia tiba-tiba datang, saya kunci pintu, pura-pura lagi nggak di rumah."

"Huh?" Dokter terkekeh pelan. "Kalau dia ngotot mau masuk?"

"Saya telpon Dokter... atau Pak Setya dan Mas Novanto di line 101."

"Good girl." Cuping hidungku dicubit. "I trust you."

Dengan senyumnya semanis ini, ditambah gemerecing ceria maracas Bumi, aku tahu kami sudah kembali seperti semula. Namun masih ada yang aneh.

Aku kangen. Masih kangen. Meski sekarang kami duduk bersisian. Aku mencari topik pembicaraan supaya tetap dapat menikmati senyum itu.

"Kalo Dokter di Boston, berarti nanti tinggal sama Ezra?"

"Aku belum berpikir kesitu. Boston itu area metropolitan, apalagi--kalau aku diterima--kami beda sekolah. Biarpun sama-sama Harvard, lokasi HMS terpisah lumayan jauh dari kampus utama. Kampus utama Harvard-MIT ada di Cambridge, HMS ada di selatannya, di Longwood, seberang sungai Charles. Tapi salah satu pertimbanganku mencoba HMS juga karena punya saudara satu area lebih baik daripada sendirian."

Aku tersenyum, iya-iya, manggut-manggut nggak paham. Maaf Dok, nilai Geografi saya dulu ngepas KKM. Yang penting lolos.

"Saya mau doain Dokter tapi ada syaratnya."

Alisnya melengkung sebelah. "Nggak ikhlas dong doanya?"

"Iyalah! Saya terancam LDR beda benua! Saya akan ditinggal pas lagi sayang-sayangnya! Dokter mau saya ikhlas gimana?!"

"Ck." Dokter mengulum lidah, kemudian tertawa. "Name it, Mel."

Namun, aku tak mampu membalas tawa itu.

Dengan seluruh sorot mengiba dan mengemis yang kupunya, aku menatap dokter McFord.

"Jangan lupakan saya."

Tolong. Saya mohon...

"Jangan lupa saya pacarnya Dokter. Jangan lupa saya calon istrinya Dokter. Jangan lupa saya yang bisa bikin Dokter penasaran bahkan waktu kita belum saling kenal. Jangan lupa saya yang ngerti takaran kopi Dokter. Jangan lupa saya yang bisa nenangin Dokter di ruang gelap tertutup. Jangan lupa Dokter sayang, cinta, dan mau nikahnya cuma sama saya. Sekarang saya mau egois... dan jangan... per--"

Jangan pergi.

Kepalaku lunglai.

Aku butuh jeda mengatur napas yang kian memburu. Naik-turun tak tentu. Bibirku bergetar di tengah kelu. Nyeri dada ini memeras air mata meluruhi blus dan celanaku.

Tak bisa. Kata-kataku tersangkut.

Aku menyerah. Aku berserah saat dokter McFord meraihku dan Bumi dalam peluknya. Cicit dan isakku terus menggempur dadanya, namun belai kasih tak habis dia berikan melalui usapan kepala.

Jangan pergi.

Dua kata.

Itu hanya dua kata. Dua kata gamblang dan sederhana. Dua kata yang hampir sepekan ini muncul secara berkala dalam situasi acak. Dua kata yang merongrong hatiku sepanjang dokter McFord berbicara tentang Harvard Medical School. Dua kata yang sudah ada di ujung lidahku, siap dimuntahkan, tetapi sesuatu mengekangnya.

Mengapa harus sesulit ini untuk menjadi egois...?

"Tiga puluh lima ribu kaki di atas permukaan laut, 31 Desember. Saya, Lucas McFord, berjanji untuk mencintai Melati Pusparana dan setia terhitung mulai hari ini. Berlaku selamanya."

Dokter mengendurkan diri. Satu tangannya mengacak rambut Bumi di pelukku, lantas membingkai parasku, menyeka pipi sembapku. Kemudian segalanya tampak jelas kembali. Aku bisa melihatnya. Senyum dokter McFord, raut lugu Bumi yang tak mengerti apa-apa, dan perasaanku.

Bukan saatnya menangis cengeng lagi. Bukan saatnya meratapi nasib. Bukan saatnya mengasihani diri. Ini saatnya membuktikan janji tiga puluh lima ribu di atas permukaan laut.

"Dok... Jangan pernah menyerah. Jangan mundur. Dokter pasti bisa. Saya selalu mendukung di belakang Dokter."

"Kok di belakang?"

"Jadi?"

"Di samping. Katamu kita saling menjaga, remember?"

Bulu mataku mengerjap. Masih basah. Tapi sekarang kami benar-benar tertawa. Tawa penuh kasih yang hanya untukku dan Bumi.

Tawa yang besar kemungkinan tidak lagi kurasa hangatnya tujuh bulan ke depan.


◇ BERSAMBUNG ◇



Love you to the moon and back, MeLuk 💕

Malang, 9 Juli 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top