04 Insiden Setrika

Hangover #2

The Unintended Aftermath

04 Insiden Setrika

Harvard Medical School.

Salah satu sekolah medis tertua di dunia, di Amerika Serikat. Sekolah prestisius impian hampir semua praktisi medis. Tempat lahirnya jawaban-jawaban rasional dan saintifik atas segala macam penyakit yang dahulu dianggap sebagai kutukan, ilmu hitam, dan sejenisnya.

Tidak aneh kalau sepasang iris samudera itu berkilau karena menerima LoA dari seorang profesor di sekolah itu. Sebagai kekasihnya, aku ikut senang.

Iya 'kan?

Harus senang 'kan?

Lalu mengapa… ada sesak menggasak?

"Kapan… berangkatnya?"

Bukan. Seharusnya, 'Selamat, Dok!' atau 'Dokterku memang hebat!' atau 'I'm proud of you, Dok!' atau--

Seharusnya aku tersenyum, bukan mematung dengan air mata.

"Mel," satu ibu jarinya bergantian mengusap bawah mataku. Bibir itu tersenyum. "Belum pasti berangkat. Itu baru LoA dari professor, semacam tiket undangan yang menyatakan beliau mau jadi pembimbingku… jika, dan hanya jika aku apply, ikut tes, lulus, dan resmi di terima di HMS," ada penekanan khusus pada kata 'jika, dan hanya jika', "tapi aku belum."

"Oh."

Aku tertawa samar, tertunduk lemas, memejam keras menyadari kedunguanku. Sesakku mulai terurai. Ternyata belum, masih rencana. Baru semacam undangan. Huft, syukurlah.

Tunggu. Aku lega?

Kenapa?

Melati, kamu tidak berencana jadi penghalang antara orang yang kamu cintai dan passionnya 'kan?

Bukan begitu?

"Ah! Aaah! AAAHH!"

Terlalu syoknya aku sampai lupa bahwa Bumi masih dalam sesi makan sore. Dokter merebut perlahan mangkuk mungil dari tanganku dan menyuapkan sesendok ke mulut Bumi. Padahal tinggal dua suapan, Mamanya malah meleng.

Dokter memperagakan pesawat-pesawatan dengan sendok karena Bumi hampir menangis. Aku menghapus jejak air mata dengan lengan kaus. Segala statement penguatan diri kurapalkan dalam benak demi menjadi kekasih yang suportif terhadap cita-cita pasangan.

"Kalo gitu…" Kutatap matanya lagi. "Dokter harus apply. Harus tes. Saya doakan semua yang terbaik untuk Dokter. Saya mintakan doa dari Papa Mama juga. Jangan lupa belajar. Jangan lupa istirahat. Jangan lupa makan yang cukup…"

Dan jangan lupakan saya, Dok…

"Thanks," dokter McFord tersenyum--tipis sekali. "Aku harus bicarakan ini sama kamu, Mel, karena namamu sudah ada dalam rencana masa depanku."

"HEH! Aaahhmmp--"

Menutup mulut Bumi dengan suapan terakhir, lantas dia tertawa lepas, mencubit gemas hidung anakku. "Yes, yes, I know. You too, Bum. Don't be mad, here, grab my hair."

Dengan gelak riang Bumi dan Dokter seperti ini, mana bisa aku tidak ikut tertawa?

Ya, benar.

Aku dan Bumi ada dalam rencana masa depannya. Karena itu semua keputusan besar harus didiskusikan bersama. Perasaan Dokter, aku tidak meragukannya sedikitpun. Lagipula dengan padatnya jadwal penelitian dan konferensi, Dokter tidak mungkin sempat main hati. Sempat merebahkan badan saja sudah alhamdulillah.

Aku hanya ingin Dokter masih sempat mengingatku, setidaknya sekali sehari. Supaya aku tahu, bukan hanya aku yang pilu karena rindu.

"Kapan Dokter mau apply?" tanyaku lagi. Dokter membenahi duduknya, dan kusuapi Bumi dengan air putih.

"Pendaftarannya masih buka. Karena aku sudah bicara sama kamu, kamu mendukung aku, then… I'm gonna send the application about next week."

"Hmm." Aku mengangguk. "Tesnya? Trus kalau diterima--aamiin--Dokter berangkat kapan?"

"Tesnya setelah lulus seleksi berkas. Ada 3 macam tes yang jadwalnya masih belum diumumkan. Kalau diterima… Agustus."

Agustus. Tujuh bulan lagi?

Secepat ini, Dok...?

"Let's talk about it later." Tangannya terulur, mengacak puncak kepalaku. "Now's your turn. Kamu tadi mau bicara apa?"

"Ah, saya…" Kupalingkan wajah. "Bukan apa-apa."

Perasaan anehku untuk Garda tidak boleh menyusahkan Dokter. Dokter harus fokus dengan cita-citanya, bukan pusing karena aku yang tidak becus menjaga hati.

"Are you? Look at me." Daguku diangkat lambat. Ada rasa tak nyaman saat manik birunya meneliti lekuk wajahku. "You're not. Mel, Mamanya Bumi, harus gimana lagi aku yakinkan kamu? Aku mau kamu egois, sebagaimana aku egois dengan seenaknya bilang aku mau sekolah lagi. Meskipun aku sadar sepenuhnya, kamu akan nangis seperti tadi."

Karena itulah, Dok.

Karena, Luke, kamu terlalu baik. Kamu terlalu mengerti. Kamu mengerti aku bahkan lebih dari diriku sendiri. Aku takut. Aku takut Papaku benar. Aku terlalu nyaman di sisimu, sampai lupa bagaimana caranya bernapas tanpamu.

"Saya… saya mimpi buruk," bisikku, akhirnya, duduk di sisi dokter McFord sambil mendekap Bumi.

"What dream?"

Kuletakkan kepala di dadanya, menceritakan mimpi burukku yang datang lagi. Dokter melingkarkan lengan di bahuku, mengusap-usap, sesekali mencium pelipisku. Kupenuhi paru-paru dengan aroma citrus yang tujuh bulan lagi akan hilang untuk masa yang tak terhitung.

"Kamu lupa berdoa sebelum tidur?"

Aku menggeleng. "Saya selalu berdoa."

"Bumi masih sering bangun tengah malam?"

"Masih dua-tiga kali."

"Coba tidur sama L."

Bibirku mengerucut. "Kasian ntar dia kebangun juga gara-gara Bumi, Dok."

"Tidur sama aku?"

Telingaku berdenging. Terbakar seketika.

"Malah nggak bisa tidur!"

"Make sense. Aku juga takut kebablasan,"

Aku menengadah. Dia menyeringai usil. Aku tak tahu bagaimana pacar orang lain, tapi dengan pacarku semanis ini, aku juga takut kebablasan kalau berdua di kamar semalaman.

"Dokter nggak mungkin kebablasan." Aku menjawil pucuk hidungnya. "Dokter sayang sama saya. Dokter nggak mau menyakiti saya."

"Aku memang nggak mau menyakiti kamu." Dia menyatukan kening, mengaitkan mata kami. "Aku mau kita sama-sama enak,"

DOK!?

"Haish, minggir!"

Kontan aku menangkis wajahnya. Dia justru tergelak penuh kepuasan. Tampak sangat menikmati setiap cibir kesalku dan debur jantungku yang lebur dalam peluknya.

Sekali lagi, dengan pacar semanis ini, mana bisa aku tidak berpikiran yang sama-sama enak?

"Ntar saya sama Eli aja," putusku segera, sebelum pikiran sama-sama enak itu semakin merajai. "Pasti mau lah dia saya repotin, tinggal disogok kacang kulit."

Dokter tersenyum. "Nice. But if it doesn't work, be greedy and call me."

"Siap, Sayang!" Aku memperagakan hormat.

"Ada lagi?"

Aku menggeleng. "Maaf, Dok."

"Maaf kenapa?"

"Maaf, saya tadi nangis. I simply cannot imagine my life without you around."

"Ahh… Apalagi aku, Mel." Dia mengacak rambutku dan Bumi bergantian. "Tapi cinta semakin seru kalau ada rindu," gombalnya, basik!

Kupaksakan lagi topeng senyumku.

Maaf, Dok, saya tidak bisa cerita mengenai Garda. Akan saya bereskan sendiri.

***

Siapa sangka bahwa hari ini aku merasa kehilangan seseorang yang sangat sering kupantau akunnya untuk hiburan di tengah jenuh. Sekurang-kurangnya sudah sebulan akun ig Ito tidak di-update dengan video sulap rumahan atau minimal cuplikan show. Hanya sekadar regram video atau meme, yang masih berputar di dunia sulap, tapi bukan ini yang kumau.

Kupikir cuma aku yang kehilangan, ternyata tidak. Banyak nada kecewa, khawatir, dan serupanya tertulis di kolom komentar. Kalau aku komentar juga, terbaca dokter McFord tidak ya? Dia 'kan jarang buka akunnya.

Segera kulempar ponsel ke sembarang arah di sofa.

Ah, sudah. Buat apa juga. Masih banyak hiburan lain, Bumi misalnya. Masih banyak kerjaan lain, menyetrika baju misalnya. Sarapanku juga belum habis.

Iya, aku sarapan sambil menyetrika. Sambil sosmed-an pula… pantesan nggak kelar-kelar.

Keperluan melengkapi berkas pendaftaran beasiswa yang bekerja sama dengan HMS menyebabkan dokter McFord masih harus riwa-riwi di kampus meski hari ini Sabtu pagi. Bahkan di hari efektif, kami jarang bertemu karena aku memang belum masuk di blok mata. Blok mata dan THT ada di paruh kedua semester ini. Aku melirik ponsel yang masih bisu.

Aku kangen, Dok…

Semakin perih kerap kali kuingat adanya kemungkinan kami berpisah 7 bulan lagi. Mereka bilang jarak bukan halangan, selama kami masih melihat bulan yang sama. Mereka bilang jarak lah yang membuat setiap pertemuan menjadi berharga. Mereka itu siapa?

Kami masih melihat bulan yang sama. Kami masih bertemu. Tapi tetap saja aku hilang kendali atas rindu.

Huft. Setelah ini aku harus banyak membaca, meresapi, menghayati quotes LDR untuk persiapan mental. Ada saran?

Tin! Tin!

Klakson mobil dari luar membuatku lompat. Aku berlari keluar meninggalkan setrikaan, berharap itu si pemilik Prius hitam, ternyata bukan. Audi merah.

Baru dikepoin langsung muncul. Panjang umur banget.

Yang pertama menyembul dari pintu pengemudi adalah balon kuning bergambar smile. Balon itu mengambang tertahan di udara berkat tali yang mengikatnya.

"Mpus, tolongin!"

Refleks saja aku berlari mendekat, lalu berjengit di tempat. Balon. Belasan balon gas warna-warni memenuhi mobil yang dimensinya tidak seluas Prius itu. Segera kukeluarkan beberapa balon yang terikat jadi satu, sedangkan seikat balon-balon lainnya keluar bersama Garda yang mengembus lega.

"Tau gini bawa mobil satunya!" Dia ngomel-ngomel sendiri, sementara aku melongo.

"Buat apa balon segini banyak?!"

"Buat nerbangin rumah trus keliling dunia. Ya buat Bumi, dong." Dahiku disentil, kemudian tanganku ditarik. "Yuk, masuk. Anggep aja rumah sendiri."

Alisku menyatu. Lha, yang bertamu siapa, yang ngajak masuk siapa?

Selidik punya selidik, tuan pesulap ini berinisiatif membeli balon gas helium setelah nonton suatu video yang tengah viral. Di video itu, seorang bayi seusia Bumi dalam posisi telentang diikatkan tali yang terhubung dengan balon gas. Bayi itu menendang-nendang udara, dan otomatis balon ringan itu menari gemulai, diikuti tawa segar meluncur tanpa jeda dari bibir si bayi.

Itulah yang ingin dipraktikkan Garda pada anakku. Dia mengikatkan tali belasan balon di boneka kaus kaki Bumi. Baiklah, selama Bumi tidak dipakaikan gincu atau celak aku tidak masalah.

"Heh! Eheh-hee! HAHAHAHAAHH!"

Woaah…

"See, Mpus? Bumbum loves it!"

Mataku membulat, menyaksikan Bumi menggerakkan kaki seperti mengayuh pedal sepeda. Balon-balon saling bergesek, memantul, berbaur ceria di atas Bumi. Gelak renyah Bumi menghiasi setiap sudut ruang. Bibirku menarik senyum, ada sejuk menjalari hati ketika Garda merapat di bouncer Bumi dan mereka berswafoto, bahkan merekam momen lucu ini.

Aku luluh saja ketika ditarik untuk foto bertiga, dengan Bumi di antara kami. Bila memang dalam 25 tahun napasnya Garda belum pernah benar-benar tertawa dari hati, apa tawanya hari ini juga palsu?

"Insani."

Satu tegur dariku cukup untuk membuatnya terkesiap dan mengantungi ponsel. Dia membenahi duduknya di sebelah bouncer, berlunjur kaki di karpet. Aku menempatkan diri di depan Bumi, membelakangi hamparan setrikaan.

"Kenapa tiba-tiba manggil gitu?"

"Katanya seneng dipanggil nama asli?"

"Iya sih." Sepasang lesung pipinya tercetak saat tersipu. "Semakin bahagia karena itu dari kamu, Mpus."

Tak ingin membalas senyumnya, aku menggigit bibir bawah.

"Bahagia yang gimana? Seperti apa? Kamu bilang, dua puluh lima tahun hidupmu, kamu belum pernah benar-benar bisa tertawa."

"Bahagia yang belum pernah aku rasakan, Mpus. Pertama kali. Beda. Semua terasa beda dengan kamu dan Bumi. Rasanya semacam… ah, akhirnya gue ketemu apa yang selama ini gue cari."

Aku mengurai napas panjang. Aku tidak menemukan celah dusta dari mata tunggalnya.

"Gar…" Tapi maaf, aku harus mengatakan ini. "Aku nggak ngerti apa yang kamu temukan dari aku dan Bumi," karena aku sudah memilih Dokter. "Tapi bukan. Aku bukan orang yang kamu ca--AHH!"

Anjir! ANJIR!

PANAS!

Tangan kananku semburat mengibas di udara. Dengan panik level maksimal aku terbirit menuju wastafel untuk mengaliri telapak kananku yang melepuh…

… karena megang besi panas setrika!!!

Melati, oh Melatiii! Astaga dragonball pecah jadi tujuh, kenapa goblok dipelihara sih?! Kenapa nggak disingkirin dulu itu setrikaan depan TV?! Minimal stop kontaknya dicabut dulu kek, ya amplop!

"Gar, cabutin setrikaan, dong! Tolong, please! Jangan sampe ada korban lagi!" seruku putus asa.

Aku mendengar, "oke," sebagai jawaban dari ruang keluarga. Sambil merem-melek menahan perih tak terperi, dengan satu tangan kiri kusiapkan sebaskom air dan es balok untuk kompres. Sangat hati-hati, kubawa baskom itu ke ruang keluarga sambil meratapi telapak kananku yang mulai bengkak dan sangat merah.

Kembali di ruang keluarga, bukan tenang yang kudapat, aku justru terperangah karena Garda menyetrika baju-bajuku. Buru-buru kuletakkan baskom di nakas, setengah membanting.

"Jangan! JANGAN!"

Kurebut setrikaan, masih dengan tangan kiri. Tak tanggung-tanggung segera kucabut steker dari stop kontak. Tanganku mengaduk gundukan setrika dalam mode panik.

Tidak ada. Mampus.

BEHAKU HILANG!

"Kalo cari beha, tuh aku singkirin. Aku tau cewek pasti malu kalo disetrikain behanya sama cowok. Pinter 'kan?"

HAH?!

Garda menunjuk behaku di sebelah bouncer dengan muka tanpa dosa, sementara jantungku melorot, dan jari-jari kiriku sudah terkepal keras.

"KAMU PEGANG ITU?!"

"Ya kalo nggak aku pegang gimana bisa di situ? Kan nggak mungkin Bumi…"

"UDAH STOP GAK USAH!"

"Elah, Mpus, beha sebiji doang… lagian cuma pegang talinya kok, bukan sponsnya."

"TALI BEHA ITU GAK 'CUMA', OGEB! UDAH GAK USAH!"

"Aahh-hwa! HWAAAHHH!"

Haish.

Bumi jadi nangis. Dia pikir aku marah padanya. Aku meremas wajah. Pusing pala babi!

Jadi kudikte Garda untuk menidurkan Bumi di kamarku, sementara aku menghimpun setrikaan yang baru kuselesaikan separuh jalan. Semua kumasukkan begitu saja di kamar tamu, termasuk si beha yang sudah tidak perawan karena tersentuh jari Garda.

Dulu dokter McFord, sekarang Garda. Mereka berdua sama: sama-sama lelaki kardus indomie.

Setelah memasukkan setrika, aku langsung sadar bahwa sarapanku belum selesai. Bagi yang tidak kidal seperti aku, makan pakai tangan kiri sama sulitnya dengan makan pakai kaki. Nasi pecelku jadi berhamburan di atas piring. Makin sulit lagi karena aku juga harus mengompres telapak kananku setiap 15 detik.

Garda merebut pelan piringku. Dia mengangkat sendok penuh yang ujungnya ditempelkan ke bibirku. Aku memundurkan kepala.

"Nggak--"

"Nggak masalah kamu tolak aku seribu kali. Bagiku nggak ada istilah 'ditolak', hanya 'belum diterima'." Aku mematung, ditusuk mata pekat kopi itu. "Jadi kamu jangan ge-er, berpikir kalo aku ngelakuin ini karena aku sayang kamu. Aku ngelakuin ini karena kamu memang butuh dibantu,"

Ah, sial. Aku memejam sesaat.

Ragu, tetapi akhirnya kuterima suap itu. Aku mengompres telapak kananku dalam hening, tak tahu harus bicara apa lagi. Semakin dia bersikeras ingin denganku, semakin habis akalku memikirkan cara supaya dia menjauh. Apa harus kucoba mencomblangkan dia sama cewek lain kali ya? Kayak di cerita-cerita teenlit gitu.

Tapi sebelum itu… "Gar, kenapa kamu udah jarang ngepost?"

"Di ig?" Dia menyuapiku lagi. Aku mengangguk. "Akun itu bukan aku yang handle, sih. In fact, semua sosmed Ito bukan aku yang handle. Belakangn sepi karena emang aku lagi vakum sementara."

"Vakum?" Aku terbelalak. "Yaaah, kenapa?"

"Cause real life's more important. Ada yang perlu aku selesaikan segera dan nggak bisa ditunda."

"Trus nggak kerja? Nggak dapet duit?"

Dia terkekeh. "Mau aku pensi selamanya juga duit tetep jalan dari bisnis lain. Nggak ada masalah. Nggak dapet fans doang sih."

Aku mencebik, setelah menelan suapan terakhir. "Bapak holkay, anak holkay juga ya. Susah emang kalo holkay."

"Elah, gak ada hubungannya." Dia menyodorkan segelas air mineral yang langsung kuminum. "Kenapa tiba-tiba nanya akunku? Kangen?"

Aku tersedak air.

Cepat-cepat kuletakkan gelas dan mengelap mulut dengan tangan kiri, lantas menyanggah. "Gak lah. Kamu 'kan tau aku suka yang mistis, supernatural, sulap, yang gitu-gitu!"

"Sulap mah nggak mistis. At least, aku nggak pake yang semacam itu." Garda menarik lembut tanganku yang melepuh, mengompresnya dengan kain dingin. "Aku pake trik sih. Triknya ya pake sains, nggak ada pake dukun atau jin segala macem. Suka mistis berarti kamu suka nonton Karma?"

"Karma? Apaan?"

Dia tergelak. "Yeee, rugiii! Coba nonton, kalo nggak ketagihan paling malah ngekek."

Dahiku berkerut dalam. Itu acara mistis macam apa sampai bikin ngakak?

"Masih sakit? Ini harus diobatin apa? Aku beliin keluar, Bumi juga masih tidur." Dia menunjuk tanganku yang masih dalam genggamnya.

Aku menelaah tanganku sendiri. "Nggak ada luka terbuka, sih. Cuma epidermis. Tapi dalemnya emang sakit banget…"

Merasa ada firasat aneh, aku memutar badan ke arah pintu rumah yang sengaja kubuka lebar agar tidak timbul fitnah. Tetapi melihat siapa yang berdiri diam di ambang pintu, darahku habis. Terkuras tuntas.

Dokter.

Detik itu juga kutarik tanganku. Dia masuk. Aku beringsut menghampirinya sambil membenahi posisi jantung yang bergeser saking panik. Melihat rahangnya yang mengetat, jantungku itu makin melorot.

Marah. Aku pasti dimarahi...

Bibirku meracau. "Dok, maaf ini saya--"

"Ini kenapa?"

Alih-alih marah, dokter McFord meraih lenganku, seketika berbalik menyorot khawatir pada telapakku yang merah dan bengkak.

"Saya…" Aku memunguti suara untuk menjelaskan. "Ini kena setrika. Nggak papa. Ngg… ini sudah saya kompres…"

"Superficial burn." Dia tersenyum, mengembus lega. "Kompres beberapa jam sudah cukup."

Aku mengangguk, membalas senyumnya. Sedikit lega juga, walau masih tak tahu harus menjelaskan apa tentang Garda di sini.

Di tengah bingungku, dengan cepat dokter McFord melingkarkan lengannya di pinggangku. Aku ditarik mengerat, sementara tangan lainnya memagut daguku, dan bibirku dicium sebelum aku sempat berkedip.

 

◇BERSAMBUNG◇


 
Awas dibunuh lho, Dok.

Malang, 5 Juni 2018
Love u to the moon and back, MeLuk 💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top