03 Mimpi Buruk Babak Baru

Hangover #2
The Unintended Aftermath

03 Mimpi Buruk Babak Baru



"Bum--!"

Udara keluar-masuk paru begitu terburu-buru. Garis pandangku bermula di temaram plafon. Kegelapan kian bersahabat saat kuedarkan mata pada setiap sudut ruang. Napasku berangsur teratur, meski genderang jantung masih bertalu laju.

Aku kembali. Mimpi ngeri itu usai.

Mimpi serupa nyata di mana aku terkurung dalam sebuah kotak kaca transparan yang sangat tebal. Bumi ada di luar tak mampu kuraih meski sangat ingin. Anakku tengkurap lantas mulai menangis. Awalnya hanya isak namun seiring waktu air matanya meledak. Aku menggedori kaca sialan meski tak kunjung ada perubahan.

Jantungku meletus saat air mata Bumi berubah jadi darah kental, keluar dari mata mengaliri pipi. Aku tak mampu menahan jerit dan tangis panik dari mulut. Aku mendobrak kaca dengan sekujur badan namun nahasnya tulangku remuk serempak. Aku memerosot di kaca. Membenturkan tengkorak adalah usaha terakhir sebelum kepalaku pecah memuntahkan semua isinya.

Dan aku terbangun.

Di kamarku.

Cepat tubuhku menegak untuk menghidupkan lampu duduk di atas nakas. Selimut terseret kakiku yang beranjak demi mencapai box bayi. Buku jariku meremas terali, berat tubuh memelorotkan aku di lantai.

Embus lega lolos dari bibirku yang kelu.

Bumi tidur. Bumi bernapas. Bumi hidup...

Senyum sayu terbentuk di bibirku saat merapikan selimut kecil yang berantakan karena ditendangi kaki gempal Bumi. Setelahnya, aku mengusap kening bayiku sekadar memastikan dia tidak demam, meski tangan bukan alat ukur baku untuk suhu.

Sekali lagi, aku lega karena anakku tidak panas.

Justru keningku lah yang kuyup keringat di tengah semilir AC. Begitu pula piyamaku yang juga lembap akibat keringat, rembesan ASI, dan air mata yang baru saja kuseka dari ekor mata--entah kapan keluarnya.

Kakiku beranjak lagi menuju kamar mandi untuk cuci muka, mengusir separuh energi negatif yang sempat menodai. Usai mengeringkan wajah, aku mengganti piyama dengan yang kering dan lekas kembali ke atas ranjang.

Bukannya kembali tidur, genggamku justru meraih ponsel dan memilah artikel-artikel di flipboard. Membaca beberapa paragraf tentang perjalanan pesawat tanpa awak milik NASA ke Saturnus sekadar untuk mengenyahkan sisa mimpi buruk, sampai sebuah panggilan suara masuk.

Keningku mengeriting. Dari Garda. Jam dua pagi?

"Halo?"

"..."

"Assalamualaikum?" ulangku, masih pelan.

"Kamu... be... lum tidur?"

Gelombang suara di seberang mengiris rasaku. Ada yang tidak benar.

"Gar?"

"Are you okay?"

"Aku... nggak papa," sahutku, tak mengerti. "Kamu kenapa?"

Kenapa dengan suaramu...?

"Nothing," Kudengar serak basah dari hidung yang menarik udara putus asa. "Kamu nggak papa. Ahh... alhamdulillah. Uhh..."

Jantungku berdebam.

"Memangnya aku kenapa?"

Alih-alih menjawab, Garda melirih, "Mpus, mau janji satu hal?"

Dan andai tidak separau ini, aku akan menghardik karena pertanyaanku diabaikan. Namun yang terjadi justru aku hanyut dalam perihnya.

"Janji apa?"

"Jangan mati."

Hah? "Apa?" Sungguh kuharap aku salah dengar.

"Jangan mati." Tuhan, apa lagi ini...? "Jangan mati dari hatiku, Melati."

Oksigen terperangkap di hidungku. "Kamu ngomong apa aku nggak ngerti, Gar."

"Ini bukan untuk dimengerti. Jangan mati dari hatiku, dan jangan bunuh aku di hatimu."

Kenapa? Kamu kenapa...?

"Gar, gini ya." Aku meremas wajah gemas. "Kamu selalu gini. Selalu mengatakan sesuatu yang aku nggak ngerti apa, tapi bikin aku kepikiran. Kamu kenapa? Ada apa? Kalo kamu butuh bantuan, aku usahakan. Kalo kamu butuh pendengar, aku bisa. Tapi tolong jangan gini. Aku sudah punya Dokter dan aku nggak mau mengecewakan Dokter. Tolong jangan buat aku kepikiran kamu lagi, bisa?"

Kudengar tawa hampa di ujung sambungan.

"Jadi kamu pernah kepikiran aku?"

"Apa sih?!"

"Tahu bahwa masih ada satu orang yang peduli sama aku, aku bahagia, Mpus."

Peduli sama kamu?

Aku?

Mengapa...?

Semudah ini, selemah ini, serapuh ini tonggak pertahananku. Air mata menjalari pipi tanpa mampu kuseka. Segala rasa tentang kehampaan dan kehancuran membuncah tak bercela. Sesak itu membebatku erat.

Aku sudah kalah, dari sesuatu yang bahkan tidak pernah.

Maka, menelan gumpalan pahit, kutanya sekali lagi dengan serak terseret. "Kamu mau apa dari aku, Gar?"

"Kalau Cinderella, si upik abu sejak kecil, ingin ke pesta dansa menemui Pangeran, agar setidaknya ada satu malam indah di antara seribu malam kelamnya... Apa Cinderella egois?"

Aku menggeleng meski Garda tak bisa melihat, sambil mengusap sudut mata. "Nggak."

"Kalau si gadis penjual korek api, ingin korek apinya terjual sebatang saja, agar nyawanya tersambung hari ini... Apa gadis penjual korek api itu egois?"

Aku menggeleng, lagi. "Nggak..." dan air mataku semakin menyerah.

"Kalau dua puluh lima tahun hidupku belum pernah ada satu hari pun di mana aku bisa benar-benar tertawa, sampai suatu hari aku jatuh cinta dan ingin memiliki kamu, agar setidaknya psikisku tetap waras sebagai manusia..."

Jangan.

Jangan bertanya, kumohon.

"Apa aku serakah, Melati?"

**

Setengah piring nasi goreng racikan Elia kumasukkan ke kotak bekal karena tidak habis kumakan sarapan ini. Akan kulanjutkan saat jam peralihan tutorial. Kepalaku masih berdenyut hebat akibat tak tidur semalaman.

Bergadang sudah mendarah daging sejak aku resmi bergelar ibu. Namun malam itu, adalah satu yang paling menguras emosi. Aku berdiri di garis batas antara waras dan sinting. Kegelisahan tak berujung yang menuntunku pada insomnia.

No. No!

Aku menapuki pipi.

Tidak boleh begini. Dua hal paling sakral adalah Bumi dan kuliah. Tidak boleh datang perkara pelik lagi yang rawan mengguncang dua hal paling sakral tersebut.

"You look like a panda."

Teguran sarat perhatian dari bangku pengemudi di sebelah memecah lamunanku. Aku menoleh.

"Panda?"

"Yes, panda," dokter McFord mengangguk, menatap ruas jalan. "Putih pucat dan kantung mata hitam."

Buru-buru kuturunkan sunvisor di atas kepala untuk melihat rupaku yang terpantul pada cermin kecil. Dokter benar, ada lengkung cekung dan gelap di bawah mataku. Kalau kata Squidward tetangganya Spongebob, kantung mataku berkantung.

"Jangan bilang kamu susah tidur karena post-ku semalam."

Hah? "Post apa?"

"Kamu belum buka ig?" Dia melirik sesaat, lantas mengembus lega. "Then, don't. I'll delete it soon. I knew it. It was such a shame."

Dibilang begitu, justru penasaranku makin mencuat. Aku merogoh ponsel dari saku rok dan segera membuka ig yang notifikasinya jebol. Entah mengapa.

Tapi aku langsung tahu.


liked by cassandraprams, igoromanov, and 997 others

lucsmcfrd31 her, significant other @mel.puspa
.
View all 314 comments

Ya Tuhan, Dokterku! Bumi gonjang-ganjing!

Kepalaku menoleh cepat. Dokter mendengkus keras. Alisnya menukik tajam. Rona merah menyala jelas di pipinya.

"Kubilang jangan dibuka, Bandel!"

Kubekap mulut dengan satu tangan, sementara mataku tak berkedip membaca komentar-komentar para netizen. Yang paling jadi sorotanku adalah para penghuni FK.

AuliaJihanM: ciloook.. ups, cinlok 😋 congratz Dok 💕

cassandraprams: saya ngga butuh traktiran Dok, cukup nilai A blok mata please @lucsmcfrd31 @mel.puspa seret @NathanKho20 @igoromanov @dandandaniels @khalifathir.wisnu

zestanareswari: KOYOK AREK ALAY. Eh ancen alay seh

HanggaraMandala: ndang rabi mengko diarak sak efka (numpak ambulan)

dirgasyafikar: MBAK INI PAPA PAKE PUNYA FIKAR! JANGAN PACARAN TERUS!!! @mel.puspa

yuanjuLee: ku rela kau dengannya asalkan kau bahagia 💔

ezadrian.mcfrd: welcome to the mcfords @mel.puspa

roroutami: Innalillahi wa inna ilaihi rojiun Lucasionship

roroutami: selamat Dok @lucsmcfrd31 @mel.puspa dan bumbuuum 💕💕

Dan masih banyak lagi.

Aku meraup wajah, sekali lagi, gemas!

Gemas, hingga tak dapat kutahan kedua sudut bibirku untuk tak terangkat tinggi. Lambungku kumat, selalu geli-geli nikmat akibat kelakuan ajaib dokter McFord. Dan aku sudah kehabisan kata untuk mendeskripsikan betapa aku mencintai perasaan ini.

"mel.puspa: yeay 1K likes! @lucsmcfrd31"

Kugenapkan jumlah likes-nya jadi seribu. Seribu likes. Seribu cinta. Seribu orang menerima hubungan tak lazim kami. Seribu pendukung kisah asmara kami.

Dokter benar. Lagi-lagi benar. Kami tidak perlu normal untuk bahagia.

"Jangan dihapus, Dok. Saya suka."

Sontak semringahnya terkembang. "Kamu suka? Really?"

"Suka. Suka pake banget!" Mati-matian kutahan jeritku. Kemudian, mataku membesar. "Dokter diem-diem selebgram ya, belum 12 jam ngepost yang likes udah seribu. Followersnya juga sepuluh ribu. Saya lima ratus aja nggak ada tuh."

"Kecipratan Ezra." Dia menderai tawa kecil. Benar juga, Ezra yang populer, wajar kalau abangnya kena imbas. "Kecipratan Dad, Mom, Grandma juga... tapi paling besar karena Ezra. Nggak ada mereka, nggak ada followers. Kamu juga tahu aku jarang buka ig, apalagi post sesuatu."

Bibirku mencucu. Entah orang ini sadar atau tidak, sebenarnya dia beberapa kali disebut-sebut di akun @cogangalam, akun yang kerap membahas pria-pria tampan dalam kehidupan sehari-hari khusus area Malang. Mulai dari siswa, mahasiswa, guru, dosen, dokter, arsitek, pengacara, pengusaha, tukang becak sampai tukang sempol semua ada. Tapi karena Dokterku membuka akunnya belum tentu sebulan sekali, kurasa dia tidak sadar dia lumayan populer.

"Pasti pasien langganan juga banyak yang cewek," ketusku, entah mengapa jengkel. "Pemeriksaaan fisik, apalagi mata, emang paling enak kalo yang meriksa ganteng 'kan. Bisa cuci mata sepuasnya karena memang SOP pemeriksaannya harus saling melihat antara dokter sama pasien."

"Dua pertiga populasi manusia di bumi adalah perempuan, Mel. Aku rasa wajar kalau dua pertiga pasienku juga perempuan." Dia tertawa lagi. Pasti seneng banyak pasien ceweknya, heleh! "Lagian kamu kenapa tiba-tiba berpikir begini? Tumben. Aku kira kamu sudah paham kalau kontak mata langsung dengan pasien memang tuntutan pekerjaanku."

Keningku melunak. Iya sih, memang. Mengapa aku jadi curiga berlebihan pada dokter McFord, padahal jelas dia bukan lelaki remaja yang menikmati permainan hati bernama cinta monyet. Dia serius, pikirannya lurus.

Justru akulah yang tidak lurus. Bisa-bisanya semalam menangisi laki-laki selain Dokter, seolah aku mengalami sendiri semua susah hidup Garda yang bahkan aku tidak tahu itu apa. Ada yang keliru dengan hatiku.

"We're here." Dokter mencondongkan tubuh untuk melepas sabuk pengamanku. "Kamu melamun lagi."

Aku mengulum senyum. "Ya. Kita bicara nanti ya, Dok." Aku tak mampu berbohong dari sorot biru tulusnya. "Sekarang kuliah dulu."

Dokter mengangguk. Tahu-tahu mencium pelupukku.

"All of those eyes I've ever seen, and here I am strung out on yours,"

Ya Allah, Dok, lemes aku...

***

Imbas dari post sensasional Lucas McFord adalah puluhan mata yang mencuri lirik padaku sepanjang Prof. Saswita mengajar tentang stroke. Pengantar singkat mengenai time is brain berlalu tanpa sempat kupahami sebab Ayudia di belakang berbisik menanyakan kebenaran post itu. Untung Sandra sempat mencatat sebelum Prof. Saswita mengganti slide, dan kumengerti bahwa time is brain adalah konsep bahwa semakin cepat stroke ditangani, semakin sedikit pula kerusakan tubuh terutama di jaringan saraf otak.

Aku memukul pipi tiga kali untuk mengembalikan fokus.

Entah perasaanku saja, atau blok saraf dan jiwa adalah yang paling ngos-ngosan padahal ini baru permulaan. Aku belum pernah setidak yakin ini dengan jawaban pretest-ku. Belum apa-apa bayang gelap remedi sudah menghantuiku.

Waktu paling menyenangkan adalah sore hari, karena aku bisa pulang dan memeluk anakku lagi. Bumi sudah dimandikan Mbak Sari, tapi belum makan karena aku berpesan ingin menyuapinya. Setelah delapan jam yang penat berisi diskusi materi stroke, delapan menit memotret momen makan Bumi sukses mengembalikan gairah hidupku.

"Heh! Eehh! AAAAHH!"

Jidatku dipukuli karena telat menyuapi. Segera kuletakkan ponsel dan memenuhi keinginan lambung Bumi. Akhir-akhir ini aku merasa dia semakin rakus, apalagi sejak punya dua gigi. Jangan tanya berapa kali tanganku digigit: sholat fardhu lima kali sehari aja kalah.

"Heh! Heh! HEEEHH--"

"Iya, buto cerewet!"

Kujejali lagi mulutnya dengan puree beras, brokoli, buncis, dan daging sapi yang diparut halus. Aku bereksperimen menambahkan sedikit bubuk bawang goreng yang ditumbuk halus, tanpa garam, untuk penyedap alami. Hasilnya begini ini. Lahap bukan main.

"Kayaknya yummy banget."

Dokter mengacak rambutku dari belakang. Secangkir kopi dan cokelat hangat diletakkan di nakas, lantas dia duduk di sebelah bouncer Bumi. Aku meringis, sampai lupa membuat kopi untuk Dokter saking asyiknya dengan Bumi.

"Saya tambahin bubuk bawang goreng, Dok." Aku tersenyum puas. "Dokter nggak siap-siap praktik? Malah nongkrong di sini."

"Nanti." Dia menyesap setarik kopinya, menatapku lagi. "Katamu mau bicara? The truth is, ada yang perlu aku sampaikan juga."

Oh.

Soal itu...

"Heh! HEH!"

Rambutku dijambaki Bumi. Cepat-cepat kujejalkan lagi sendok penuh di mulutnya. Nggak sabaran banget inj bayi. Telat sedikit, putra mahkota ngamuk.

"Ngg... ntar habis nyuapin aja, Dok," saranku, sambil menyuapkan air putih agar Bumi tidak seret. "Dokter aja dulu. Mau ngomong apa?"

"Mmh... You know, hasil dari ikut workshop, kongress, simposium, aku kenal beberapa professor of ophthalmology."

Aku mencerna. Menyuapi Bumi lagi. "Iya?"

"Ada satu profesor yang tertarik sama penelitian-penelitianku selama ini di neuro-ophthalmology, karena kebetulan departemen yang beliau handle memang concern ke topik itu. Prof itu lagi mencari calon PhD students untuk bergabung di tim risetnya, and..."

Dokter memenggal kalimatnya. Katup jantungku berdentum cepat.

"And?"

Desah resah lolos dari bibirnya. "And... he gave me a letter of acceptance."

Apa itu... "Letter of acceptance?"

Melalui sorot birunya, aku tahu, jawaban selanjutnya tidak akan menyenangkan. Awal dari mimpi buruk babak baru. Namun mengapa aku tetap bertanya?

"Pernyataan tertulis bahwa beliau bersedia membimbing aku selama menjadi PhD student, di Harvard Medical School, tempatnya bertugas."

◇ BERSAMBUNG ◇

 


Malang, 2 Juli 2018
L

ove you to the moon and back, MeLuk💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top