02 Beware of Melati

Hangover #2
The Unintended Aftermath

02 Beware of Melati

Semester 4 belum datang tapi pagi aku sudah hectic sendiri… di dapur. Mungkin karena Mbak Sari belum efektif lagi, mengingat aku memang masih libur. Sebagai sesama ibu, aku paham Mbak Sari pasti ingin waktu lebih bersama putrinya.

Ting tong!

Denting doorbell dari depan semakin mempercepat tanganku mencuci peralatan tempur makan bayi. Saking paniknya, panci keramik slow cooker yang sedang kusabuni meluncur mulus dari tangan. Jatuh berdebam di bak cuci, untungnya, bukan di lantai.

"Udah tinggalin Mel, ntar aku korahin (ntar aku cuciin). Bukain aja Mas Luke… hoaaahm."

Elia menguap di belakang sambil menarik lemah kuncir kudaku. Aku bergegas membilas tangan yang licin, menggantung apron di samping kulkas, dan melesat membuka pintu untuk pacarku. Dia sudah rapi dengan kemeja biru bercirikan Fakultas Kedokteran, sedang aku masih kucel dalam balutan piyama.

Aku sudah mandi, memang belum ganti baju karena masih kelimpungan angkat senjata di dapur demi Bumi. Aku memberengut saat mempersilakan dokter McFord masuk. Kami janjian berangkat jam 7 pagi untuk daftar ulang, kenapa dia datang saat masih 6.15 sih?! Aku 'kan sibuk!

"Kamu sudah sarapan? And Bumi?"

Aku menggeleng lesu. "Belum ada yang sarapan, saya baru selesai masak."

Dia meletakkan tas kerja di sofa, lantas menggulung lengan kemeja sampai siku. "I'll feed him," tiba-tiba mengecup ringan ubun-ubunku. "Kamu sarapan aja."

Senyumku merekah cerah, membuncah di wajah. Luke memang paling jempolan seantero hatiku.

***

Walau bukan untuk kuliah, hari ini untuk pertama kalinya Bumi kubawa ke kampus. Aku tak bisa meninggalkannya di rumah karena Elia sendiri sibuk dengan rapat panitia PK2 MABA (Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru a.k.a ospek). Ingin sekali aku mengikuti kegiatan kepanitiaan semacam itu, tetapi yah, anakku jauh lebih penting.

Belajar adalah proses sepanjang hayat, namun seribu hari pertama kehidupan Bumi tidak akan kembali, bukan?

Maka di sinilah aku, di bawah salah satu pohon yang masih satu famili dengan palem, di lahan parkir depan Fakultas Kedokteran. Aku memilih ngiyup (berteduh) di sini daripada di tenda daftar ulang demi menghindari puluhan pasang mata yang menusukku dan Bumi. Auranya tidak sehat; ada baiknya aku menghindar daripada berujung penyakit hati.

Beda individu, beda kepala, beda pula hati. Memang tidak banyak yang memandang Bumi sebagai bayi suci, tetapi selain Sandra, masih ada mbak-mbak asdos seperti Mbak Anggun, Mbak Dona, dan Mbak Utami yang antusias menyerbu Bumi.

"Mel, ya Allah, Mel… ini bayi apa samsak?"

Berkat ukuran Bumi yang di atas batas, telingaku kini resisten terhadap kosakata seperti karung beras, samsak, gempal, gembrot, bagong, bakso tenis, Boboho, gajah, bison, kingkong, dugong, kudanil, pesut obesitas, dan sebangsanya. Aku menganggap Mbak Dona sebagai salah satu yang menerima kehadiran Bumi, meski Bumi dibilang samsak, tapi itu adalah luapan karena dia terlampau gemas.

Lagian, Bumi memang segendut itu.

"Berapa kilo, Mel?" Mbak Anggun meringis keberatan, ketika menggendong Bumi dengan sepasang lengannya.

"Terakhir nimbang sepuluh koma dua, Mbak."

"Owalah… pantes awakku remek. (pantesan badanku remuk)" Bumi dikembalikan padaku. "Nyerah, ora kuat."

"Kamu 'kan ceking, Mel. Kalo Bumi gendut ini pasti bapaknya gendut juga."

Bapaknya…?

Celetuk Mbak Utami membungkamku. Ada bagian tercungkil dari dadaku.

"Tam, please," tegur Mbak Anggun.

"Ah, astagfirullah!" Mbak Utami memukuli mulutnya, menyorotku dengan rasa bersalah. "Maaf, Mel. Maaf…"

Segera kuluruskan hatiku dengan senyum. Aku tak mau berpikir macam-macam; aku pilih mempercayai Mbak Utami. Sudah kukukuhkan pendirian untuk tidak mengorek lagi tentang ayah kandung Bumi. Siapapun dia, aku mengutuknya, dan mengunci segala memori pahit di dalam kotak pandora. Mengubur kotak itu di alam bawah sadar yang tidak berdasar.

Hanya antara aku dan Bumi: Bumi tidak punya ayah. Selamanya.

"Mbak udah pada daful (daftar ulang)?" tanya Sandra, meretakkan geming canggung antara kami.

"Udah. Ini nunggu dosen-dosen selesai rapat padahal mau fansigning KRS." Mbak Dona mencebikkan bibir.

"Mbak Don PA-nya siapa?"

"Kangmas Luke."

"Hah?" Sandra menderai tawa. "Mulai sekarang tiati manggilnya, Mbak, kedengeran yayangnya dokter McFord ntar doi ngamuk."

Wut?

Aku mendelik. Refleks, menjejak ujung sepatu kets Sandra. Dia memekik tercekik. Mbak-mbak ternganga jatuh.

"SERIUS? DOKTER BULE PUNYA CEWEK?!"

Sandra mengatup kedua cuping telinga. Belas pasang mata pendaftar ulang yang gendang telinganya ikut tertendang lengkingan jerit mereka, langsung berputar ke sini. Aku mengeraskan rahang dan meneguk ludah.

Mam to the pus, mampus!

"Dua ratus lima puluh enam."

Itu nomor antreanku dipanggil. Tanpa babibu kutitipkan Bumi pada Sandra, kemudian memberi tatapan "BERANI NGOMONG, BESOK JADI SEMPOL" pada sahabat yang terkampret satu ini.

Ketika tahu di meja pendaftaran ulang aku harus duduk bersebelahan dengan Disya, aku meluruskan hati. Berusaha tidak melirik barang seincipun. Meski jelas--aku tidak punya glaukoma jadi jangkauan pandangku luas--si ular betina memandang sinis padaku serta dada membusung. Anehnya lagi, dia mendengkus sinis, entah demi apa. Upil di lubang hidungnya kepenuhan kali ya.

Tak ada manfaatnya meladeni dia, segera kuserahkan berkas-berkas untuk di validasi oleh petugas dan membubuhkan paraf.

Aku kembali lagi ke Sandra dan mbak-mbak asdos setelah memperoleh bukti daftar ulang, untuk digunakan mengambil KRS di dosen PA yang merupakan pacarku sendiri. Senyumku terkembang. Sudah tidak canggung lagi hatiku mengakui dokter McFord sebagai pacar. Malah kesengsem terus saking sesak oleh bahagia, hihihi!

"Mel, selamet ya! Jangan lupa undangannya!"

Mbak Utami menyalami aku tanpa kutahu mengapa. Diikuti Mbak Anggun dan Mbak Dona--yang mukanya ditekuk ke dalam.

"Undangan apa, Mbak?" tanyaku, mengambil Bumi kembali.

Alih-alih menjawabku, Mbak Anggun malah menyikut Mbak Dona. "Don, wes talah. Cek dowone lambene. (Don, udah dong. Maju amet bibirnya) Cinta nggak harus memiliki. Udah ngeship aja dokter bule sama single fighter mom, akuin aja mereka emang cucok meong."

Otomatis kuputar jengah bola mata pada Sandra yang menutupi wajah dengan stopmap biru daftar ulang. Aku mendecak lidah. Udah dibilang jangan cerita juga!

"Heish! Cangkemmu menengo! (Diem mulutmu!)" Mbak Donna menapuk bibir Mbak Anggun yang langsung meringis kesakitan. Setelahnya, dia mengangkat jari bentuk 'V' di depan hidungku. "Mel, gak usah dengerin mereka. Gak kok, sumpah aku gak suka Doktermu! Pek pek en! Aku ora gelem! (Ambil aja! Aku nggak mau!)"

"Eleh muatamu!" Mbak Donna limbung karena toyoran dari Mbak Utami. "Siapa yang kemaren halu tingkat kayangan ngarepin ehem-ehem antara dosen dan asdosnya, hah?"

Kupandangi lensa mata Bumi yang berkilat. Iya ya, Mbak Dona asistennya dokter McFord.

"Ora! Ojo ngawur! (Nggak! Jangan asal!)" kilah Mbak Dona. Aku kasihan melihat air muka paniknya.

"Yee belagak amnesia retrogade, Don! Siapa yang ngomong siapa yang ngawur?!"

Mbak Dona panik membingkai pipiku. "Nggak, Mel. Jangan percaya mereka!"

"Yesss! RIP KOKORO LUCASIONSHIP SE-EFKA!"

***

Menyandang status sebagai kekasih, sebenarnya dokter McFord menawarkan diri membantu daftar ulangku seperti semester lalu. Aku dan Bumi seharusnya bersantai di rumah, menurut Dokter. Tetapi kupikir untuk apa? Semester lalu aku memang masih dalam masa pemulihan pascapartus.

Semester ini, aku lebih tangguh. Berkat kicauan mbak-mbak asdos di parkiran tadi, kuperkirakan setidaknya dalam seminggu semesta civitas academica Fakultas Kedokteran akan tahu mengenai hubungan kami yang lebih dari sekadar dosen-mahasiswa.

Tidak masalah. Apapun asal bersama Dokter dan Bumi, aku siap.

Akan kubuktikan juga bahwa kami adalah pasangan yang mampu menempatkan diri. Dalam cakupan akademik, dokter McFord berjanji akan memperlakukanku sebagai mahasiswa biasa. Aku juga harus memandangnya sebagai guru. Sebab inilah aku ingin menjalani seluruh rangkaian daftar ulang sendiri.

Supaya, profesionalitas dokter McFord sebagai dosen dan aku sebagai mahasiswa tidak dipertanyakan.

"Heh! Haaahh!"

Tepuk-tepuk lembut dari jemari mungil yang licin saliva mendarat di pipiku. Aku memberi potongan kentang rebus lagi di genggamnya, yang berakhir tragis jadi mashed potato, diremas-remas tanpa bentuk. Ini tandanya Bumi sudah bosan makan. Kubersihkan tangannya yang lengket akibat kentang dengan tisu basah.

Peduli amat dengan pandangan orang yang nano-nano, membawa Bumi ke kampus ada sisi positifnya. Sambil menunggu Dokterku selesai rapat, ada yang menemani bermain; aku tidak kesepian. Ada sepasang pipi donat menul-menul yang siap diemut, digigit, dan diuyel-uyel.

"AH! AHAHAA! EEEHH! EHEHEWW!!!"

Aiiih!

Gemasnya bukan main sama bayi bagong satu ini. Semakin kusesakkan pipiku dengannya, Bumi semakin heboh menjerit. Kami hanyut dalam dunia berdua, terpingkal geli sampai menitikkan sebulir air mata.

Bumi juga cekikan kalau kubenamkan wajahku di perut bundarnya. Refleks jemari cekernya merusak tatanan rambut ponytail-ku. Dia benar-benar sensitif terhadap rangsang berupa sentuhan.

"Ini anak kamu, Melati?"

Aku menyembulkan kepala dari perut Bumi, lantas merunduk sopan pada dokter Mandala. Begitu pula Joko dan Fathir yang duduk di sebelahku, meninggalkan ML dan turut menyapa beliau.

"Iya, Dok. Ini anak saya," jawabku lugas.

"Gemuk sekali." Beliau membungkuk, bertumpu lutut dengan satu tangan, menjawil pipi Bumi. "Cowok atau cewek? Siapa namanya? Usia berapa?"

"Cowok, Dok," dan keningku berkerut. Memangnya Bumi masih kelihatan kayak cewek ya? "Namanya Bumi, sudah 7 bulan."

"Ooh, seumuran anak kedua saya. Tapi dia masih di uterus," ujar dokter Mandala tanpa beralih dari Bumi, tersenyum, lantas menggamit tangan kanan anakku. "Salim dulu sama Pakdhe--ARGH!!!"

Haish, HAISH!

Kutapuki mulut Bumi dengan sejuta penyesalan, sementara dokter Mandala menegak dan mengibas tangannya… yang digigit Bumi, demi Sempol!

"Ma-maaf, Dok! Astagfirullah! Maaf sekali…" Alamak, beliau sampai merem-melek dengan mulut ternganga begitu…

Lima detik berlalu, dokter Mandala tersenyum bercampur ringisan--lebih dominan ringisannya--lantas mengacak rambut Bumi. Saat kulihat dua garis mungil merah membekas di ibu jari beliau, aku menelan ludah. "It's okay, masa teething. Saya masuk dulu."

"Iya… maaf, Dok."

Aku memandangi punggung dokter Mandala yang menjauh dengan semua kalut bergelut di benak. Lain aku, lain pula dua sahabatku. Setelah dokter itu menghilang ditelan ruang Ketua Jurusan Pendidikan Dokter, Joko dan Fathir memuntahkan tawa.

"Bumbum bebi bala bala bum bum bum!" Joko mencubiti pipi Bumi yang malah tergelak lebar.

"Bum, sini sama Papa. Kita mabar aja, jangan gigit Pak Kajur, gak ilok. Bahaya ntar KRS Mama semester ini dianulir."

"Asyeeem!"

Aku meraup muka pasrah setelah Fathir mengambil Bumi dariku. Masa sih dokter Mandala tega menganulir KRSku gara-gara jempolnya digigit Bumi?

Dalam kungkungan lengan Fathir, Bumi ngowoh, mengamati sepasang ibu jari Fathir memenceti layar dalam gerak sangat gesit. Sesekali aku mengusap liur yang menggantung di sudut bibir Bumi sebab nyaris menetesi permukaan. 'Kan gawat kalau iPhone X itu konslet karena iler; harganya hampir setara uang kuliahku satu semester.

"Emak dan anak sama liarnya. Mudah-mudahan aja otaknya dokter Mandala nggak sampe inflamasi akibat lyssaviruses."

Saking nyerinya kupingku, aku mengangkat kepala. Siapa lagi yang kutemukan kalau bukan si keong racun Disya.

Darahku meletup. Aku beranjak menantangnya.

"Maksudmu siapa, Dis?"

"Siapa yaaa?" Dia memutar bola mata. "Ya pasti anak haram kamu, Mel. Anak kotor. Kamu bakal dokter masih nggak paham juga? Kotor tuh sumber penyakit!"

Telingaku berdenging hebat. Ada desakan hebat berpusat di tanganku yang kini terkepal demi menahan murka.

"Semua anak lahir suci, Disya. Kamu bakal dokter masih nggak punya hati juga?" Kupasang mata nyalang di depan hidungnya. "Minta maaf sama Bumi!"

Sudut bibirnya berkedut. "Buat apa? Emang ngerti? Masih ileran gitu. Anyway sekarang Melati nyalinya gede ya, karena sekarang officially jadi pacar Koordinator Utama Riset FK?"

"Lalu kamu? Sekarang masih sakit hati sama aku karena Mas Diandra nggak pernah mau sama kamu? Aku akuin kamu pejuang sejati, Dis, udah ditolak tetep aja ngejer. Denger ya, ini emang era emansipasi. Cewek boleh ngejar cowok. Tapi nggak gini juga. Kalo sampai begini, ini namanya kamu nginjek harga diri kamu sendiri sebagai cewek!"

"APA SIH BITCH--"

Ah, banyak bacot.

Kucengkram lengan Disya yang terangkat hendak menyentuh--atau menggampar--wajahku. Dapat kurasakan kukuku menancap di antara tulang hasta dan pengumpilnya. Mataku memicing, lidahku meruncing.

"Minta-maaf-sama-anak-aku. SEKARANG!"

Rahangnya mengeras. Tenggorokannya naik-turun mereguk ludah. Takut merundung di rautnya, namun Mak Lampir satu ini tidak memiliki kata 'kapok' di kamus hidupnya.

Hampir jejari di tangan satunya mengais mataku, kalau tidak segera kutahan dengan satu tanganku yang masih bebas. Cih. Aku menyeringai miring.

Dia mau kelahi? Ayok.

"AAARGH!"

Dia merintih sesak seperti tokek kawin karena aku memelintir tangan dalam cengkramanku. Kalau dia kira aku melepaskannya, dia salah! Aku menyeret lengan itu ke belakang, mengunci dengan satu tangan, sementara tanganku yang lain merenggut rambut ombrenya.

HAHAHA! Peduli setan dengan jerit tercekitnya!

Kujambak sampai dia menengadah. Kutebas sendi kakinya dengan tempurung lututku, memaksanya bersimpuh di lantai. Kuhantamkan tengkoraknya pada udara kosong tepat di depan Bumi yang masih didekap Fathir.

"MINTA MAAF SAMA BUMI--AHH!"

Kakiku mundur dua langkah. Seluruh tanganku lepas karena tangan Disya yang lain berhasil mencengkramku. Sekarang dia bebas dan berdiri lagi, langsung menerjangku membabi buta.

Darah panas mendidih di kedua kepalku. Amarah merajai kewarasan. Tak satupun serangan Disya mengenaiku, karena selalu kutepis dengan kekuatan lebih. Lebih gahar. Lebih buas. Lebih bengis!

Sebaliknya, setiap cakar! Setiap hantam! Setiap jambak! Semua. Semua hadiah dari tanganku tepat mengenai sasaran. Semua menjatuhkannya. Semua gempurku melemahkannya.

"Ergh… AAARGH!"

Kamu lemah, Dis. Cuma lidahmu yang berbisa.

Dia tersungkur di keramik. Tertelungkup tanpa daya dengan kedua lengan kukunci rapat, erat, jahat di belakang punggung. Tungkaiku memiting kaki jenjangnya. Kuhantam kepalanya dengan dahiku, sampai terdengar derak gemeratak dari tengkorak dalamku.

Semua salahnya.

Beraninya mengatai Bumiku!

Demi Bumi, matilah, jalang!

MATI.

KAMU HARUS MATI DI TANGANKU, BANGSAT!

"MINTA MAAF ATAU MATI?!"

Itu pilihan terakhir yang kuledakkan di liang telinga Disya.

Hanya isak cengeng yang kudapat dari sudut bibir yang mengalirkan darah itu.

Bah! HAHAHA! Kemana larinya mulut iblis tadi yang mencela darah dagingku?! Memangnya aku mematahkan lidahnya? Tidak kok. Cuma tangannya. Dan kepalanya, mungkin. Sebodo.

Baru akan kuadu lagi kepalaku dengannya, aku ditarik paksa. Kami terpisah. Jangan. Jangan dulu!

"MINTA MAAF SAMA BUMI! MINTA MAAF!!!"

Aku meronta. Berkecamuk. Mengamuk. Namun semua percuma. Begitu banyak lengan perkasa membentengiku. Tak mampu kusingkirkan.

Dia belum minta maaf! SETAN ITU HARUS MATI!

Berengseknya, tak sepatah maafpun kuterima. Bedebah.

Aku menyerah, dalam rangkuman sepasang lengan gigih seorang pria yang menghipnosisku dengan mata birunya.

***

Campuran kulit mati, kulit kepala yang mungkin juga ketombe, bahkan foundation lima kilo Disya menodai kesepuluh celah kukuku. Menjijikkan! Kubersihkan dengan mencungkil gumpal demi gumpal cokelat itu, sudah hilang semua, dan aku tetap jijik.

Jijik karena aku masih harus terdampar dengan iblis betina itu di ruang sidang Dekanat Fakultas Kedokteran. Jijik mendengar rintih basah dibuat-buat saat tim medis menanganinya. Jijik karena dia tidak mati, bahkan tidak ada fraktur sama sekali. Cuma luka, memar, dan beberapa otot bergeser.

Saking jijiknya lambungku bergejolak mual.

Sambil menunggu sangsi apa yang akan dijatuhkan, aku minta izin untuk menyusui di sudut ruang sidang. Kasihan anakku, rewel sebab tengah hari memang waktunya tidur. Prof. Lintang--Wakil Dekan bidang Kemahasiswaan--membenahi kacamatanya, mengembus lelah, tetapi lantas mempersilakanku. Sebagai sesama ibu, beliau pasti paham hatiku.

Lima menit berlalu, Bumi memejam. Refleks pipinya masih menghisap dadaku. Kulirik daun pintu yang dibuka dari luar oleh dokter McFord. Dia masuk dan menutup pintu kembali, lantas bergabung dengan Prof. Lintang dan dokter Mandala tanpa mengerlingku sedikitpun.

Menepuki pantat Bumi, aku mendesah resah. Idiot luar biasa aku ini. Bukannya mengimbangi Dokter sebagai pacar, justru kucemari namanya sebagai Penasihat Akademik.

Maafkan pacarmu ini, Dok...

Sialnya, dokter McFord juga dosen PA Disya.

Disya selesai ditangani, aku selesai menyusui. Kami menghadap ketiga dosen yang ada di balik meja sidang. Tak bernyali melirik dokter McFord, aku menjatuhkan mata pada sepatu Bumi.

Bahkan saat dimintai keterangan oleh Prof. Lintang, hanya wanita tegas itu yang mampu kulihat. Sedikit rumit karena Disya berkelit, akhirnya ketiga dokter memahami duduk perkaranya. Mereka berdiskusi singkat dengan volume yang tak terdengar olehku. Setelahnya, mereka membenahi duduk, menatapku dan Disya bergantian.

"Tiga hal yang perlu kami sampaikan." Prof. Lintang memulai, aku menegang. "Pertama, kalian dapat kartu kuning selama satu semester. Artinya, kalian sama sekali tidak boleh absen ataupun izin dari kuliah tatap muka, praktikum, skills lab, tutorial, pleno, ujian--termasuk di dalamnya, OSCE."

Aku memejam sesaat. Napasku tersekat. Ini artinya, tidak boleh sakit barang sehari pun. Baiklah.

"Kedua, kalian dapat hukuman berbeda. Disya, silakan minta maaf pada Melati karena kata-katamu yang tidak pantas. Setelah itu, buat makalah sejarah dan perkembangan ilmu pediatri, obstetri, dan ginekologi minimal 100 halaman. Kumpulkan ke dokter Lucas sebelum hari pertama semester genap."

Nah! Ini dia!

Senyumku mengembang sempurna. Kuputar bola mata pada si Disya yang semrawut dengan tatapan, "MAMAM PUPUS!"

"Melati." Kemudian menguap senyumku itu karena teguran Prof. Lintang berikutnya. Kuteguk ludah membatu. "Minta maaf pada Disya karena kekerasan fisik yang kamu lakukan. Mulai besok sampai sebelum hari pertama semester genap, bantu Bu Diah di perpustakaan Fakultas me-manage buku-buku. Buat laporan kegiatan setiap hari, serahkan ke dokter Lucas."

Bola mataku nyaris mencelat.

"Ketiga, tidak melaksanakan poin pertama dan kedua, berakibat kartu merah. Artinya KRS kalian semester ini dianulir. Silakan pilih."

Aku membekap mulut.

Dianulir?! Apa kata Papa Mamaku nanti?!

Tak berpikir panjang, aku beranjak dengan Bumi. Kuhampiri Disya, mengulurkan tangan kanan.

"Maaf," ketusku datar. Mana sudi aku tulus minta maaf pada ular ini kalau bukan karena terancam terminal satu semester! "Maaf sudah kasar."

Diluar dugaan dia berdiri, menyambut salamku. Tangannya dingin sekali, padahal licin karena keringat.

"Maaf," cicitnya parau, lewat sudut bibir yang ditutup kasa dan berkedut kaku. "Maaf karena kata-kataku."

"Dimaafin." Aku mengangguk puas, mengeraskan jabat tangan kami. "Tapi jangan lupain ini, Dis. Usiklah ayam betina, dia akan berlari. Usiklah anak ayam, maka induk ayam akan mengejar, mematuk, mencakar, dan menghabisi kamu."

***

Kepul udara putih masih menari di atas secangkir kopi pahit yang kuhidangkan untuk dokter McFord. Alih-alih menyentuh kopinya, dia menyentuh lenganku. Aku ditarik duduk di antara kedua pahanya, sementara sepasang lengannya mendekapku dari belakang.

Kuremas jemarinya dengan rasa bersalah yang masih menjalari sejak siang. Pelupuk mataku jatuh, layu.

Aku mengecewakan priaku. Aku tahu.

"Hey." Daun telingaku dibisiki tawa lembut. "My little Mel, and all of her big surprises. Hari ini kamu mendobrak semua batas yang orang-orang sebut sebagai normal untuk bahagia. Kamu sudah berdiri di atas sepatumu sendiri. I am more than proud of you."

Refleks, aku menoleh. Dia mencium pipiku ringan. Aku menghadap depan lagi karena malu.

"Dokter nggak marah sama saya…?"

"No. In fact, I think I'm afraid."

Aku mengerjap. "Takut kalo suatu saat saya mutilasi dan makan mayat Dokter?"

"Takut nggak bisa hidup tanpa kamu. Karena kamu terlalu menawan untuk diabaikan."

Kuisi sela jemarinya yang pas sekali dengan milikku. Hangatnya selalu menenangkanku. Dokter tetap memelukku sepanjang It: Chapter One sambil menunggu Elia pulang.

◇ BERSAMBUNG ◇

Glossarium

Inflamasi otak akibat lyssaviruses: rabies.

Melati setrong kan? The power of mamak. Mweheheh.

Iya, aku kasih dia bekal kekuatan dulu sebelum besok dia aku bikin..... itulah pokoknya.

Malang, 30 Juni 2018
L

ove you to the moon and back, MeLuk 💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top