01 Ingin Kubunuh Pacarmu
⭐
Hangover #2
The Unintended Aftermath
01 Ingin Kubunuh Pacarmu
⭐
"MEL! AKU HABIS DIGREPE-GREPE!"
"Sshhh!"
Bola mataku hampir keluar dan kurekatkan telunjuk di bibir. Sadar bahwa kami masih di lobby jurusan, Sandra celingukan menatap belasan pasang mata lain, dan dengan cueknya berceloteh lagi. Menggebu-gebu bersama kilatan cerah di matanya.
"Tadi tanganku dipegang-pegang sama dokter Yuan!"
Bingung harus bereaksi seperti apa, satu sudut bibirku tertarik dan berkedut. Dipegang-pegang dosen saat ujian kok malah bahagia? Apa dipegang-pegang dosen bisa meningkatkan skor OSCE? Itu sexual harassment kali.
Heh, berarti dokter McFord juga sexual harassment?
Dih nggak lah. Sekarang kami pasangan kekasih. Semua sentuhan atas dasar suka sama suka. Pembelaan diri dari pasangan yang sedang hangat-hangatnya memadu cinta ya begini ini.
"Dipegang-pegang gimana?" Aku menautkan alis.
"Gini." Sandra menarik lengan bawahku, memijit di beberapa titik. "Pas REG palpasi bahu," lalu pelupuknya jatuh sayu, bibirnya maju. "Tapi sambil ngomel-ngomel katanya harusnya diangkat segini bukan segini. Padahal ya mikir aja coba, Dok. Aku malu angkat ketek tinggi-tinggi!"
Sandra memperagakan gerak abduksi dan flexi yang dimaksud, membuat perutku tergelak.
"Sukur-sukur orangnya mau ngoreksi, San. Kamu nggak dibiarin salah," celetuk Fathir di sebelahku tanpa melepas matanya dari ML. Ibu jarinya memenceti layar ponsel sangat cepat. "Sama dokter lain belum tentu dikoreksi langsung."
Aku mengangguk setuju. Dokter-dokter muda seperti dokter McFord, Yuan, atau Mandala menurutku masih bisa dikategorikan baik saat jadi penguji OSCE. Terlepas dari lidah mereka memang licin nan pedas terhadap kesalahan, mereka masih mau memberitahu kami di mana salah dan kurangnya kami, dan kalau masih ada waktu, kami diperkenankan mencoba kembali. Tidak seperti dokter-dokter senior, apalagi yang sudah profesor, salah yaa udah lah.
"Remedial minggu depan," itu kalimat yang langsung meluncur ketika melakukan kesalahan di hadapan penguji dokter senior. Naseb memang.
"Iya juga ya, Rek," Sandra mengembus lega. "Yo wis lah, untung tadi masih boleh ngulang."
Aku ikut tersenyum, sebelum akhirnya ponsel putih di tanganku berdenting.
Dokterku
sudah selesai? Ayo pulang
"CIYAAA SEKARANG NAMANYA DOKTERKU!"
Belingsatan kujejalkan gawaiku ke saku rok karena Sandra berseru nyaring. Otot mataku meregang lagi. Menyadari suaranya memancing perhatian lagi, Sandra menapuki mulutnya.
"Eh, sori sori banter…" cicitnya rendah.
"Hish! Perlu disumpel pampers Bumi itu mulut!"
"Yeee, nggak papa kali, Mel. Masih malu-malu anjing. Seantero FK udah tau juga."
"Ya tapi 'kan nggak digembar-gemborin juga!" desisku gemas. Dia malah tertawa puas.
Aku dan dokter McFord sadar, bahkan sebelum kami jadi pasangan, kedekatan kami sudah terendus civitas akademika FK. Jadi mau ditutupi pun percuma. Kami tidak akan menampik kalau ada yang bertanya tentang hubungan kami. Hanya, kami sepakat untuk tidak mengumumkan secara resmi layaknya pasangan lain yang baru jadian, terlebih kepada sosial media dan penghuni kampus.
"Kalo di hape dokter bule namamu apa, Mel?"
Dan berhubung teman-temanku sudah tahu, jadi ya sudah, aku tidak perlu malu lagi.
"The apple of my eye," bisikku geli. "Norak banget 'kan?"
"Eleh. Norak-norak juga cinta," Sandra terkekeh. "Kenapa the apple sih? Awas lho ya, an apple a day keeps the doctor away."
"But if the doctor is hot, forget the quote."
Tak ayal Sandra menoyor pelipisku. "Sa ae, Mel!" yang kubalas dengan cengiran selebar empang.
Sampai, terdengar langkah kaki dari anak tangga beberapa meter di depan sofa tempat kami duduk. Dokterku turun menjinjing tas kerja di satu tangan, sementara tangan yang lain memeluk sebuah kardus karton putih besar bergambar BIO--Binocular Indirect Ophthalmoscope, instrumen untuk funduskopi. Aku dan Sandra hening seketika.
Si pemilik manik biru memberiku segaris lirik sebagai kode untuk mengikutinya. Dia keluar dari pintu kaca lobby menuju parkiran. Lekas kusandang ransel di bahu lalu beranjak, menepuk lengan Sandra.
"Duluan, San, Fathir."
"Yo. Tiati, Mel." Fathir melambai tapi masih khidmat dengan ML.
"Tiati, the apple of my eye."
Hish! Aku mengacak-acak rambut shaggy Sandra sampai puas lantas lari keluar gedung sebelum dia mengamuk balik.
***
Masih tak bisa kupercaya bahwa hari ini genap 10 hari aku berstatus pacar dari salah satu dosen di jurusanku. Dosen sekaligus tetangga. Selama 10 hari itu pula tidak ada kejadian berarti. Kami hidup seperti biasa; aku sibuk dengan Bumi dan persiapan OSCE, Dokter sibuk riwa-riwi kampus-rumah sakit-klinik. Semakin sibuk karena dia mengambil cuti seminggu demi mengantarku pulang kampung, berakibat menggunungnya pekerjaan ketika dia kembali.
Kami memang bertemu setiap hari meski hanya satu-dua kali, tetapi dengan embel-embel pacar, semua terasa lebih… apa ya? Entahlah. Pokoknya aku auto panas-dingin setiap bertemu dokter McFord, padahal sebelumnya tidak selalu.
Contohnya sekarang ini, ketika kami berdua saja di dalam si Prius hitam yang meluncur ke rumah. Dokter sebenarnya hanya bertanya tentang OSCE-ku, tentu saja dia tidak tahu karena dia bukan penguji semester ini. Menanyakan tentang kuliah adalah hal biasa--terlalu biasa.
Yang tidak biasa adalah aku tak sanggup menatapnya.
"Kenapa nempel di pintu, Sayang?"
ASDFGHJKL 'SAYANG' KATAMU?!
Mataku membuka-tutup-buka-tutup saking gerahnya, berputar memelototi satu demi satu rangka baja jembatan. Nadiku berdenyut karena darah meletup-letup. Sial, jantungku takikardia?!!
"Saya nggak papa, Dok."
Hening sesaat, sebelum kudengar suaranya lagi, "You don't need to use 'saya' and 'Dokter' if it's just the two of us."
Jadi apa? Dia mau aku memanggilnya 'Sayang' begitu?!
"Saya lebih suka 'Saya' dan 'Dokter' supaya nggak keceplosan di kampus."
Senyap lagi, dan akhirnya pertanyaan itu terucap. "Kamu nggak nyaman dengan hubungan kita?"
Pertanyaan yang menyentil hatiku.
Aku membenahi posisi duduk, mencoba menyelaraskan gugupku dengan ketenangan dokter McFord yang seperti air gelas. Aku masih tak paham, bagaimana kami yang sama-sama belum pernah jatuh cinta dan pacaran sebelumnya, namun berbeda respons 180° saat menapaki jenjang hubungan baru.
Mungkin ini karena aku perempuan, dan dia laki-laki. Atau karena pola pikirnya lebih matang dari aku yang masih bocah ini.
"Karena saya harus terbuka sama Dokter sebagai pacar saya, jadi saya harus jujur. Yes, I'm a lil bit uncomfortable," jawabku diplomatis. Aku ingin mengimbanginya.
"Like what?" Saat kulirik, sebelah alis dokter McFord terangkat tanpa menggeser fokus dari ruas jalan.
Aku mendesah pelan. "Like my heart beats fast."
"Colors and pro… mi… ses. How to be brave? How can I love when I'm afraid--Ahh!"
Dokter memekik karena aku mencatut seutas rambut jagung di dekat telinganya. Otomatis dia mengusapi area itu dengan satu tangan sambil memberengut, dan aku terpingkal puas. Lagian aku jawab serius dia malah nyanyi!
Tetapi karena ulahnya, gugupku luntur seketika, berganti penasaran. Aku menyerongkan wajah, menatapnya lekat.
"Dok, beneran deh. Dokter nggak deg-degan kita pacaran? Jujur aja saya deg-degan karena saya nggak pernah pacaran dan selama ini bagi saya Dokter ya cuma dosen saya. Nggak lebih."
"Kalau maksudmu sekarang, aku nggak deg-degan. Aku cinta sama kamu bukan berarti aku berdebar setiap saat. Ada saatnya aku berdebar, nyaman, bahagia, kecewa, marah, maupun bangga sama kamu. Aku bisa merasakan macam-macam, tapi yang pasti, perasaanku nggak pernah datar setiap ada kamu."
Jawaban lugas itu membuatku tersenyum. Memang seberbeda inilah kami dalam menyikapi status baru, tetapi, kami tidak menuntut satu sama lain untuk merasakan yang sama.
"Jadi kalau sekarang Dokter ngerasain apa?"
"Dengan bahasan ringan semacam ini sama kamu?" Aku mengangguk. Dia tertawa pelan, manis sekali. "Aku merasa seperti pulang ke rumah disambut keluarga yang hangat."
Aku merapatkan bibir, lalu berkata lagi, "Keluarga 'kan rame. Saya sendirian, Dok."
"Kamu nggak sendirian. Kamu sama Bumi."
Praktis tak mampu lagi kusembunyikan senyum yang makin mengembang lebar layaknya adonan donat kebanyakan ragi. Ah sial, aku kesal sendiri mengingat bahwa selama ini hanya dengan kalimat sesederhana itu dokter McFord bisa menjungkir-balikkan hatiku. Tak perlu menggombal dibuat-buat, dia manis sebagaimana adanya.
Sebenarnya, Dokter hanya mengantarku pulang lalu harus ke klinik lagi. Setelah Prius berhenti di depan rumah, aku mengaduk kantung depan ransel, mengeluarkan benda itu. Pacarku tak berkedip melihatnya.
"Dokter nggak dilarang pakai kalung 'kan? Di kampus, klinik, atau rumah sakit?" Aku memastikan, sebelum menyerahkan serantai kalung perak dengan liontin titanium berlapis emas putih yang mirip punyaku. Tetapi yang ini tulisannya 'luke'.
Dia menggeleng takjub, memandangi kalung di tangannya. "How… did you get this?"
"Rahasia, ehehe." Aku mendapatkannya dengan sedikit bantuan dokter Zesta. "Agak telat, tapi ini hadiah ulang tahun buat Dokter. Maaf saya nggak kreatif, hadiahnya ikut-ikutan."
"I love it, but…" Dia melirik dadaku sekilas. "Bisa kamu lepas kalung dariku?"
Mataku membulat. "Dokter minta lagi?"
"No. Aku mau kita tukeran. Aku pakai kalungmu, kamu pakai yang ini."
Aku mengangguk paham, segera melepas pengait kalungku di belakang leher. Mengunci erat fokusnya pada mataku, dokter McFord mendekat. Kami mengalungkan lengan di leher satu sama lain, saling memakaikan perhiasan perak itu.
Setelahnya, dia tersenyum, menunjuk liontin bertuliskan 'mel' di pusat rusuknya.
"Artinya, kamu selalu di sini."
***
Menjadi separuh dari dokter McFord artinya aku harus siap bertemu keluarganya. Sejauh ini yang pernah kutemui hanya Bu Helena dan Ezra. Hari ini, tidak tanggung-tanggung, aku dipertemukan dengan keluarga besar dokter McFord.
Atau lebih tepatnya, keluarga besar ayah tiri Dokter. Secara garis keturunan tidak ada hubungan darah dengannya, hanya ikatan keluarga secara hukum. Tetapi mengesampingkan semua itu, rupanya dokter McFord cukup akrab dengan keluarga tirinya.
Terbukti hari ini, Dokter diminta untuk jadi pengiring pengantin pria (a.k.a pagar bagus) yang merupakan sepupu Ezra. Dokter mengajakku untuk dikenalkan pada keluarga karena sudah gerah terus-menerus disodori calon istri setiap ada acara kumpul keluarga. Mulanya aku ragu karena Dokter juga ingin membawa Bumi, namun bukan Lucas McFord namanya kalau tidak berhasil meyakinkanku.
"Kalau pasangan lain pacaran cuma berdua, kita nggak seperti itu, Mel. Kita bertiga sama Bumi. Jadi kalau keluargaku bisa nerima kamu, mereka juga harus nerima Bumi. Let's fight together, shall we?"
Setelah semua yang Dokter lakukan demi aku, Bumi, dan keluargaku, aku tidak lagi meragukan kesungguhannya.
Jadi di sinilah aku dan Bumi siang ini, di sebuah resepsi pernikahan yang mengusung tema garden party. Aku duduk semeja khusus keluarga Wiratama--nama ayahnya Ezra--bersama Bu Helena dan Pak Wiratama sendiri. Dokter sudah pasti berdiri di dekat panggung, bersama groomsman yang lain jadi pajangan, petatah-petitih menyambut para tamu sebelum mereka bersalaman dengan kedua mempelai.
Kasihan sekali wajahnya bersemu tersengat matahari, dan berkali-kali berusaha melonggarkan dasi karena gerah. Sabar ya, Dok. Ini mah baru jadi pagar bagus doang. Besok kalau kita yang berdiri di pelaminan, Dokter pasti lebih lelah lagi.
Lelah… tapi sudah sah. Aamiin!
Selesai bersalaman dengan keluarga besar, mempelai perempuan melakukan ritual toss the bouquet seperti kebanyakan resepsi pernikahan millenial. Puluhan tamu perempuan muda berkerumun satu meter di depan panggung, bersiap menerima si buket bunga.
Riuh rendah terdengar setelah salah satu dari mereka berhasil menangkap buket. Semua orang termasuk aku bertepuk tangan, sampai ratusan gelembung sabun warna-warni muncul entah darimana menyemarakkan suasana.
"Eh! Hehe! HAAA! HAHAHAAA!!!"
Duh! Duh!
Hampir Bumi jatuh dari pangkuanku, kalau Pak Wiratama di kananku tidak dengan cekatan menahan tubuh bundarnya. Dasar bayi dugong. Baru lihat lautan gelembung langsung geal-geol kesurupan!
Untungnya, Pak Wiratama menerima Bumi di pangkuannya dengan tawa cerah.
"Bayi overreacts." Beliau mengacak rambut Bumi yang semakin heboh berusaha menggapai belasan gelembung dengan tangan cekernya. Aku meringis canggung. "Kenapa kamu nggak ikut rebutan buket, Mel?"
"Saya nggak terlalu suka bunga, Pak," jawabku jujur.
"Oh ya?" Beliau menaikkan satu alis. "Padahal namamu Melati."
"Melati lebih prefer sempol, Mas," celetuk Bu Helena yang duduk di kiriku. Otomatis bibirku rapat segaris.
"Kalo cireng suka? Cemilan saya waktu kecil itu, sampai sekarang saya masih nyetok cireng salju di kulkas."
"Wah…" Aku berdecak kagum, tak menyangka seorang direktur filial perusahaan otomotif multinasional masih menyukai camilan ndeso masa kanak-kanaknya. Memang sih, beliau berdarah Sunda. Pantas Ezra suka kuliner Indonesia yang aneh-aneh macam terong penyet sambal. "Saya malah belum pernah makan cireng, Pak."
"Ntar saya titipin lewat Luke, oke?"
"Terima kasih, Pak." Aku menunduk sopan. "Nanti saya tagih sama Dokter."
"Hahaha, pepet aja trus itu anak, Mel. Jangan kasih kendor!"
Aku meringis, semakin tersipu. Saking senangnya sampai malu karena keluarga tiri Dokter begitu open-minded, menyambutku dan Bumi dengan senyum Duchenne--senyum asli yang tulus. Sedikit rikuh karena entah sudah berapa orang perhatian-separuh-kepo bertanya, "KAPAN NIKAHNYA?" yang dengan kalemnya selalu Dokter jawab, "Kalau Melati sudah lulus dan siap lahir-batin."
Sehabisnya tembakan gelembung-gelembung kaca, Bumi dikembalikan padaku ketika seorang pramusaji datang, membungkuk di sebelah Pak Wiratama. Beliau dan Bu Helena undur diri sementara untuk menyapa tamu di meja lain, meninggalkan aku dan Bumi.
Karena sudah tinggal kami berdua, aku tidak malu-malu lagi. Aku menyisipkan selembar tisu makan besar di kerah tuksedo Bumi--iya, si gembul pakai tuksedo berdasi kupu-kupu dan dia mahadaya tampan!--lalu memberi potongan semangka merah segar tanpa biji di tangannya, untuk digigiti. Sedangkan aku langsung melahap satu dari lima mangkuk zuppa soup yang terhidang di atas meja.
Enyaaakkk… so creamy!
Gurih susu dan bumbunya benar-benar meresap di lidah. Lapisan pastry-nya sangat tipis dan banyak, renyah, berpadu harmonis dengan lembutnya puree. Pipilan jagung dan kacang polong yang kugigit menimbulkan sensasi letup yang menggelitik.
Mau tambah tapi malu. Khawatir Pak Wiratama, Bu Helena, dan Dokter tidak kebagian. Akhirnya aku mengambil seporsi dimsum dengan topping potongan udang oranye yang ternyata tidak kalah enak. Begitu pula dengan martabak daging yang disiram semacam bumbu kare, nendang sekali!
Semua yang ada di meja ini terasa enak. Aku curiga jangan-jangan tatakan cangkirnya juga bisa dimakan.
Masih asyik mengunyah potongan ayam pop pedas, duniaku mendadak hitam. Seseorang menutup mataku dari belakang.
"Dok?" Mustahil Bu Helena atau Pak Wiratama, 'kan? "Udah selesai jadi pajangan?"
Bisu. Tidak ada suara.
"Luke?"
Aku merasa ada dagu yang ditaruh di atas kepalaku. Jadi dia bisa semanja ini ya? Ucul sekali.
"Sayang?" panggilku rendah, dan jujur saja ini geli!
"Kamu memang paling cantik dengan rambut diurai."
Jantungku mencelos. Bukan dokter McFord.
Lenting di piring terdengar karena sendok terlepas dari tanganku. Kelabakan, kusingkirkan tangan itu dari mataku. Pria pemilik tangan yang berkacamata hitam itu kini duduk dan tersenyum di sebelahku, tapi tak bisa kubalas.
Bibirku kaku. Bibirku yang laknat karena memanggil 'Sayang' untuk Garda. Kulirik dokter McFord yang masih ceria beramah-tamah dengan para tamu. Dadaku berdenyut nyeri.
Maaf, Dok…
"Bumbum gantengku tak tuntuang, tak tuntuang, Papa kangeeen!"
Bumi direbut agak memaksa. Untungnya bayi itu tidak rewel, malah tergelak kegelian saat Garda menciumi pipinya. Melihat kemesraan keduanya, bibirku melengkungkan senyum. Benar kata Dokter, Bumi mudah akrab dengan orang lain.
"Mpus, lo tega bener ya WA orang gans cuma di read."
What? Aku mendelik lebar. "Heh, orang yang ngerasa ganteng! Biasanya juga situ ya yang kalo dikuatirin cuma centang biru doang!"
"Yaa, aku kan sibuk, Mpus," lirihnya manja. Kebiasaan banget kalau ingin membuat orang merasa bersalah, dia langsung pakai aku-kamu, cebikan manyun manja, dan aku yakin dibalik kacamata hitamnya ada sorot puppy eyes.
"Aku juga sibuk!"
"Sibuk pulang kampung sama si dokter OCD?"
Ah. Dia tahu?
"Iya." Aku menaikkan dagu. "Memang kenapa? Dokter nggak OCD, Gar."
"Mites-mites bubble wrap adalah perilaku kompulsif yang bisa dimasukkan sebagai gejala OCD. Jadi Papa Mama kamu bilang apa?"
Alisku menukik tajam. "Diagnosis nggak bisa ditegakkan hanya berdasarkan satu gejala bias tanpa didukung hasil pemeriksaan penunjang. Berkat Dokter yang kamu sebut OCD itu, aku dimaafkan, Bumi diterima Papa-Mamaku."
"How could that…?"
Menanggapi rasa penasarannya, kuceritakan apa yang terjadi sejak awal. Mulai dari aku yang absolutely no idea bahwa Papa Mama tahu aku hamil, dokter McFord yang hampir setiap hari mengirim fotoku dan Bumi untuk Mama, sampai aku diizinkan untuk terus mengasihi Bumi. Minus bagian aku dan Dokter sudah jadian.
"Oh."
Cuma itu tanggapannya atas kronologi panjang-lebarku. Bibirku mengerucut. Ya sudahlah, lagipula Dokter dan Garda memang saling memendam sentimen pribadi yang entah apa itu. Sepertinya bukan urusanku sih, aku hanya sekadar penasaran.
Wait, berhubung sekarang aku pacar Dokter, setidaknya aku boleh tahu, dong? Baiklah nanti kutanya. Lebih baik ke dokter McFord saja dulu, lalu crosscheck ke Garda.
"Dan karena kepahlawanan tanpa tanda jasanya itu kamu panggil dia 'Sayang'?"
Huft. Aku mencelos. Karena dia sudah bertanya…
"Bukan. Karena Dokter pacarku."
Dia bergeming. Ekspresinya tak teraba sebab terhalang kacamata hitam itu.
"Pacar?" ulangnya, lamat-lamat.
Aku mengangguk. "Iya. Kami jadian."
Sudut bibirnya naik miring, mencetak satu lesung pipi. "Cuma jadian?"
"Apa maksudmu cuma jadian?"
"Cuma jadian 'kan? Bukan nikah--AHH!"
Aku berjengit. Garda mengibas jemari tak tentu sambil meringis kesakitan. Mulutku menganga. Bumi sudah bersiap menancap gigi di satu lengan Garda yang masih memeluknya, maka dengan sigap kuambil kembali bayi tengil itu.
Cepat-cepat kuganti tisu berlumur liur di kerah tuksedonya dengan yang masih kering, dan memberikan potongan semangka baru untuk digigit. Entah bagaimana dengan bayi lain, tapi aku merasa fase teething Bumi cukup menguras mental. Pasalnya dia jadi buas, sering menggigit orang (paling sering jari) kalau tangannya kosong. Harus diberi teether atau makanan sekalian.
Selamat tadi Pak Wiratama tidak digigit. Bisa ditendang dari rumah Ezra kalau sampai kejadian.
"Dia sudah punya gigi?!" desis Garda. Aku mengangguk.
"Maaf. Sakit ya? Padahal baru gigi seri." Kulirik dua garis merah membekas di pangkal ibu jari kirinya. Aku mengangkat satu telapak. "Aku juga jadi korban. Ini kemarin luka."
Dia menggeleng takjub, mendesah dan tersenyum maklum. "Ck, nggak terasa perkembangannya. Kemaren masih merah banget. Trus bisa apa lagi? Makannya gimana? Suka mainan apa?" Tangannya terulur mengacaki rambut Bumi.
"Selebihnya belum banyak sih." Aku mengendikkan bahu. "Masih gitu aja, ketawa-ketiwi nggak jelas. Makannya mau, sekarang sudah menu 4 bintang. Lagi suka makanan yang bisa dipegang. Kalo mainan…" Aku memutar mata. "Apa ya? Nggak punya mainan sih. Lebih suka cari perhatian dengan nyakarin muka aku atau jambakin rambutnya Dokter. Oh, baru-baru ini dia mau nyolok matanya Dokter!"
Aku menahan tawa mengingat kejadiannya. Mungkin memang iris samudera Dokterku terlalu menarik untuk diabaikan, makanya jemari Bumi gatal ingin meremasnya juga. Dia pikir mata itu sama dengan rambut jagung yang boleh diremasnya.
"Hmm, berarti harus sering ketemu." Garda mengusap dagunya. "Aku sering main ke sana deh."
"Apanya?" Dahiku bergelombang.
"Aku sama Bumi. Supaya Bumi lengket."
Orang ini… Aku memejam gerah.
"Nggak bisa. Nggak boleh ada cowok sering ke rumah kecuali Dokter."
"Kenapa?" Nadanya benar-benar tanpa rasa berdosa.
Gemas, aku menarik keluar rantai silver dari kerah gaunku, memperlihatkan liontin 'luke' tepat di depan batang hidung cowok itu.
"Aku cinta sama Dokter. Aku pacarnya. Aku harus bisa jaga perasaannya. Tolong kamu hargai itu."
"Bacot."
Katup jantungku meletup. "Apa?!"
"Bacot. Kamu bilang nggak mau mikirin selain Bumi dan kuliah."
Aku menahan amarahku. Begitu pula, emosi yang sudah menjejali ubun-ubun. "Aku ngaku salah soal itu. Aku juga mau cinta dari Dokter."
Bulu romaku meremang karena seringai miringnya. "Pernah berpikir bahwa mungkin kamu juga salah tentang itu?"
"Kali ini aku nggak salah!"
Tak sempat kucegah, Garda memagut rahangku. Kasar. Kuat. Sakit! Aku berusaha--sangat berusaha--menyingkirkan lengannya dengan satu tangan yang tidak memegangi Bumi, tetapi tak ada hasil. Aku berontak, menggeleng putus asa.
"Kam… u mau aph--"
"Melati, satu hal yang harus lo paham. Dokter itu nggak butuh lo. Dia bisa ngebuang lo kapanpun dia mau. Tapi gue nggak mungkin. Karena cuma lo satu-satunya yang bisa--"
Rahangku terbebas berkat bantuan lengan kuat lainnya. Aku tertunduk lunglai, memejam keras, jemariku gemetar meremas-remas dada. Tanganku yang lain semakin mengeratkan Bumi agar tak seorangpun merebutnya dariku.
"Cuma perempuan tolol yang mau dengan laki-laki kasar, Ringgarda."
Suara Dokter. Aku tak bisa mengangkat kepala, bahkan sekadar untuk melirik apa yang terjadi. Bahuku terguncang terlalu sengit. Kepalku tak henti memukuli dada yang membuncah.
Aku takut.
Aku takut… entah dengan apa.
Satu tepuk lembut jatuh di kepalaku. Aku tahu itu dokter McFord, karenanya kuberanikan mengangkat kepala. Garda sudah tidak ada. Sebagai gantinya hanya ada Dokter, tersenyum sarat khawatir, mengusapi keringat di keningku dengan ibu jarinya padahal dia sendiri bersimbah peluh.
Di hatiku bertiup segarnya angin kelegaan.
Prosesi ramah-tamah dengan para tamu undangan telah usai, jadi dokter McFord bisa kembali duduk. Acara selanjutnya diisi dengan foto bersama, menyumbang lagu, maupun dansa bersama. Aku mengalungkan nursing apron karena sudah saatnya menyusui si bayi raksasa. Dokter makan seperti belum makan sebulan saking laparnya, tapi tak lupa dia juga menyuapiku yang kerepotan kalau harus menyusu sambil makan.
Satu hal yang seharusnya jadi menarik bagiku, Garda menampilkan pertunjukan sulap cuma-cuma, sementara selama ini untuk menonton show panggungnya harus merogoh kocek setidaknya hitungan ratus ribu. Dia mengeluarkan belasan merpati dari jasnya. Sulap konvensional yang selalu mengundang decak kagum, karena pikirkan saja bagaimana cara menyimpan merpati di dalam jas? Jangankan belasan, satu ekor saja belum tentu tidak penyet diduduki pantat.
Tapi tidak. Aku tidak sudi memberi applause, bahkan sekadar senyum pun kukatup rapat. Tulang pipiku masih nyeri akibat kelakuan kasarnya.
Setelah kupikir dia akan turun dari panggung pertunjukan dan penglihatanku bisa jernih kembali, ternyata tidak. Dia berbisik pada MC di sebelahnya. Sang MC menatapnya semringah.
"Mau nyanyi? Mas Ito nggak cuma bisa sulap, bisa nyanyi juga?"
"Bisaaa… dikit," jawabnya. Dan aku membuang muka ke mini playground yang berlawanan arah dengan panggung sambil mengunyah bakso yang disuapkan Dokter.
Alunan musik cepat menghentak, menghiasi intro. Tepuk tangan para tamu seirama dengan ketukan nada. Semua tamu, kecuali aku dan Dokter. Sesaat sebelum lirik, aku tercenung.
Lagu ini kalau tidak salah…
"INGIN KUBUNUH PACARMU!"
Bumi melonjak terlepas dari dadaku. Aku kelimpungan menenangkannya, sambil menjerit dalam hati. Apa tidak ada lagu lain yang lebih senonoh untuk dikumandangkan di resepsi pernikahan sakral ini??
Ingin kubunuh pacarmu
Saat dia cium bibir merahmu
Di depan kedua mataku
Hatiku terbakar jadinya, Cantik
Aku cemburu!
Parahnya, atau gobloknya, riuh rendah para tamu turut menyulut euforia. Entah bagaimana dengan dokter McFord, tetapi darahku telah menguap habis. Aku mematung, memandang kosong pada sosok jangkung beberapa meter di panggung yang melompat dan menghentak kesetanan. Kombinasi sempurna applause, musik, serta suasana hati yang sangat mendukung.
Tanpa perlu melihat langsung, aku tahu bahwa di balik lensa gelap itu, Garda menusukku dengan satu mata.
Aku... atau Dokter?
"INGIN KUBUNUH PACARMU!"
Ingin kubunuh pacarmu
Saat dia peluk tubuh indahmu
Di depan teman-temanku
Makan hati jadinya, Cantik
Aku... cemburu!
Meskipun aku pacar rahasiamu
Meskipun aku selalu yang kedua
Tapi aku manusia
Yang mudah sakit hatinya
Bahkan kedua mempelai di pelaminan ikut mengangkat kedua tangan, memperkuat atmosfer hingar-bingar. Aku menghempas tatapan pada mini playground, berharap semua hanya halusinasi. Namun, jerit serak itu menamparku, ini nyata.
"INGIN KUBUNUH PACARMU!"
◇ BERSAMBUNG ◇
Malang, 26 Juni 2018
Love you to the moon and back, MeLuk 💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top