Unofficially Official

🌟

HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT

Unofficially Official

🌟

Aku meregang nyawa dari jasadku di dimensi jelaga hitam supermasif.

Aku mengatup keras sepasang kelopak, dan mengerang kesakitan saking kencangnya, sebab fotoseptorku tak menangkap rangsang gelombang cahaya sama sekali.

Aku pontang-panting melarikan diri sejauh mungkin entah dari apa yang hingga detik ini masih jadi misteri.

Aku menggampari telinga hingga tulang belulang di dalamnya bergemuruh bagai langit runtuh.

"ARGH!"

Aku meraung, putus asa, kepada udara hitam agar dia segera mencabut habis nyawaku sampai ke akar. Tetapi hitam, selalu saja kejam. Dia melancarkan sulur-sulur listrik merambati tumitku. Tumit ke lutut. Lutut ke panggul. Panggul ke dada. Dada ke kepala...

"Happy birthday, Luke."

... melalui bibir.

Ada napas hangat tersengal di bibirku, mungil, namun bertenaga sempurna merajam si hitam kejam. Ruhku dibanting kembali ke raga pria dewasa di atas kursi.

Bibirku tergerak menyambut sentuhan lembut itu. Aku mendapat balasan berupa gigitan kecil tak sengaja karena dunia berguncang sesaat. Akibatnya bibir tipis itu makin lebur denganku. Jemari yang menangkup wajahku terlepas begitu saja. Kelembutan itu hilang dari bibirku, tapi bekasnya masih sangat manis.

Aku membuka mata.

Gurat serat halus dari iris caramel itu melemaskan jaringan ototku yang sempat meregang. Sorot itu benderang--di antara temaram ruang baja tertutup--karena lapisan air yang menggenangi pelupuk bawah. Aku tersadar bahwa aku sedang dikungkung di antara sepasang lengan kurus yang gemetar, bertumpu di armrest kursi yang kusandari.

Dia Melati Pusparana, salah satu mahasiswaku.

Atau yang senantiasa disebut sebagai the apple of my eye, oleh hatiku.

"Saya Melati. Saya di sini. Saya di sini... sama Dokter. Saya ada untuk Dokter. Lihat saya. Perhatikan saya. Cuma saya. Jangan yang lain..."

Racau paraunya putus karena aku mengatup bibirnya lagi dengan bibirku. Serentak seluruh reseptor sarafku menjerit menginginkannya ciumannya lagi. Lagi. Dan lagi.

Lumatan demi lumatan berlomba meledakkan laju produksi dopamin, oksitosin, dan seratonin otakku. Gemuruh panas di dadaku membludak tanpa kuasa aku mencegahnya. Salah satu tangannya bergerak di telingaku, menyisir kulit kepala, setengah menjambaki rambut belakangku.

Aku ketagihan. Mendengar setiap erangan basah beradu dengan deru mesin. Meraup serakah aroma oleum cocos dan manis ASI yang hampir setiap detik menguar dari tubuh kecilnya. Menikmati panas berdenyut yang membekas di seluruh titik tubuhku yang kena sentuh jemarinya: rambut, tengkuk, wajah, leher, dan dada.

Sebelum akhirnya, sesuatu berdenting dan lampu-lampu menyala.

Tubuh mini rasa ekstasi itu melepaskan diri dariku dan beringsut kembali ke kursinya, kemudian tergesa mengencangkan seatbelt-nya sendiri.

"Bapak dan ibu yang terhormat, lampu tanda kenakan sabuk pengaman telah dipadamkan, namun kami mengingatkan untuk tetap mengenakan sabuk pengaman selama Anda duduk..."

Pengumuman after take off mengawang begitu saja di udara kabin yang kembali terang. Kesadaran menamparku untuk segera memeriksa bayi besar yang masih dalam dekap lenganku. Aku mengembus lega.

Bumi tidur, dengan wajah sangat damai.

Kuusap ubun-ubun yang berdenyut kedinginan itu. Kututupi seluruh tubuh padatnya kecuali kepala dengan overcoat hitamku yang sebelumnya tersampir asal di armrest dekat jendela. Bayi ini kemudian tertawa kecil dalam mimpinya.

Masih tak kupahami bagaimana bisa kulihat separuh diriku pada Bumi yang sudah jelas tidak mewarisi darahku. Binar matanya yang haus kasih sayang. Gelak tawanya yang mengiba ingin dicinta. Dia jelas-jelas darah daging Ringgarda--ruh kecil yang sangat dia semogakan 5 tahun terakhir, dia dapat melalui rahim Melati. Namun, tak akan kulepas.

Tak akan kuserahkan pada siapapun. Bumi, maupun ibunya.

Peduli setan dengan rantai sedarah.

Keduanya sudah memilihku.

Keduanya milikku.

"Maaf, Kakak sakit?"

Teguran bernada khawatir seorang kru kabin membuatku menoleh pada Melati. Wajah itu memang merah sekali. Merah sangat menyala. Dia menggeleng tertahan.

"Nggak, saya nggak papa."

Lalu tertunduk menyembunyikan sipunya ketika si kru kabin membuka tray di depan kami, menghidangkan dua dinner box. Setelah kru kabin berlalu dengan trolley-nya ke lorong economy class, aku mengecup ringan belahan rambut pada puncak kepala di sebelahku.

Dia memiringkan kepala padaku. Sorot iris caramel itu mengandung malu, didukung sepasang pipinya yang masih merah jambu. Namun bibirnya melengkungkan senyum indah.

"Dokter sudah baikan?"

Bagaimana bisa aku baikan setelah sebuah ciuman maut 35.000 kaki di atas permukaan air laut?

Aku hampir gila, Melati!

"I'm okay. Thanks."

Thanks, kataku? Thanks for what, stupid Luke? For her naughty-yet-addictive kiss? For our first kiss in a first class flight?

First kiss in a first class flight somehow sounds incredibly exotic.

Aku meremas-remas wajah yang mendadak panas dengan satu tangan. Setelah semua kelakuan nakal Melati, setiap penerbangan malam di kelas utama selanjutnya akan selalu membangkitkan gairah laki-lakiku.

Tanganku diturunkan jemari kecilnya, yang segera mengunci erat jemariku. Kedua pupilnya membesar.

"Kalau Dokter kongres keluar dan dapet penerbangan malam, selalu begini?" lirihnya, parau.

Aku mengangguk jujur, mengakui semua kelemahanku. Ketidak sempurnaanku. Satu dari sekian banyak cacat yang kumiliki sejak lahir.

"Biasanya aku bawa bubble wrap. But that day, I was a total mess. Aku lupa bawa sisir. Aku lupa bawa bubble wrap. Bagus sekali aku masih ingat untuk bawa dompet."

Dia tergelak renyah menanggapi kebodohanku.

"Jadi kalo ada bubble wrap, Dokter baik-baik aja?"

"Not really, sometimes it works, yet another day it won't. Tapi sekarang aku menemukan cara paling efektif."

"Apa?"

"Yang kamu lakukan tadi."

Gurat merah dari kapiler yang menghiasi parasnya semakin nyata. Kukaitkan mataku pada lensa caramelnya.

"Bisa aku jadi pasien pertamamu, dokter Melati?"

Dia terkesiap.

Mungkin kalimatku terlampau vulgar sampai dia dengan kikuk mengedarkan bola matanya ke sembarang titik selain mataku.

"Saya mau Dokter jadi yang terakhir, tapi bukan sebagai pasien."

"Then what?"

Seketika dia menciumi jemariku, berbisik malu-malu. "Dokter tahu maksud saya."

Ah, the apple of my eye.

Kubimbing pelan tangannya, bersama menaruhnya di perut Bumi gendut yang pulas di atas pahaku. Untuk jadi kekasih ibunya, aku perlu izin dari anaknya juga, 'kan?

Pandang kami bertaut di satu garis lurus. Pupilnya sudah membesar bahkan sebelum aku mengatakannya.

"Jadi, kita unofficially official?"

Mulutnya terbuka. Tidak menyangka dengan pilihan kalimatku.

"Unofficially official?"

Aku mengangguk. "Unofficially official. Nantinya, kita akan officially official."

Dia meremas-remas jemariku lagi. "Kapan itu?"

"I don't know, Mel. Mungkin setelah kamu lulus atau koas. Aku akan bersumpah di depan Papamu dan dicatat sama penghulu."

Dengan tangan lain yang tidak kupegang, dia membekap mulut dan tertunduk lunglai.

Wait. Am I disgust her?

"Mel? Kamu mual?"

"Iya! Saya mual! Perut saya geli-geli enak! Dokter selalu bikin baper, saya nggak kuat diginiin terus, Dok!"

Dia menarik paksa tangan mungilnya dan beringsut memunggungiku. Kedua telapaknya menepuk-nepuk pipi sementara bibir manisnya meracau cepat yang tak kumengerti apa maksudnya.

Bibir itu.

Sesuatu yang manis sejak dulu tidak bersahabat dengan indera pengecapku. Boleh dibilang aku lebih suka yang pahit-pahit seperti kopi. Tetapi bibir ranum itu, aku menyukainya.

Manis terpahit yang pernah singgah di lidahku.

Papanya berpesan padaku untuk menjaganya. Beliau tidak pernah tahu, di dekat putri cantiknya ini, justru hasrat mencumbu meletup-letupku yang mengancamnya 7x24 jam. Tuntutan untuk menjamah setiap inci lekuk tubuhnya dengan cinta, mati-matian kukunci rapat di ruang otak paling mesumku. Namun seperti biasa, Melati Pusparana terlalu lugu untuk menyadari semua ini.

Aku mendesah resah. Akulah yang harus lebih ketat mengendalikan berahi yang siap merajai kapanpun, karena setelah ini, kami akan lebih intim dari sekadar dosen-mahasiswa.

Dia berpaling lagi padaku setelah berhasil mengendalikan diri.

"Ehm. Jadi, sekarang saya pacar Dokter?"

Aura gugupnya telah sirna, berganti sikap percaya diri nan dingin yang sejak awal pertemuan telah memancing rasa penasaranku. Aku tersenyum bangga. Ini baru Melati-ku.

"Iya. Kamu pacarku," jawabku mantap.

"Tapi orang pacaran itu ngapain, Dok?"

"Are you asking me? Aku belum pernah pacaran."

"Saya juga. Terus kita harus apa?"

"Mana aku tahu!"

"Jadi ngapain dong kita pacaran, Dok?" nada pertanyaannya meninggi.

Aku bungkam, mengusap tengkuk yang mendadak dingin.

"Uh, well... I think, kita tetap seperti biasa, cuma statusnya pacaran."

Dia memelotot. "Lah? Trus buat apa cuma status? Jangan-jangan kalo kita nikah nanti juga cuma status?!"

"Bukan itu..."

Argh! Ini topik macam apa sih?!

"Dokter belajar deh dari dokter Yuan. Tanya-tanyain kalo orang pacaran tuh ngapain aja, trus harus gimana, mana yang boleh dan mana yang nggak boleh..."

What the fuck?

Seumur hidup, tidak sudi aku berguru tentang cinta dari kutu beras itu.

Aku mendengkus keras. "Fine. Kita mulai dari perayaan hari jadian," kataku, supaya dia puas. "Malang, 31 Des--"

Oh, dammit. Ini bukan di Malang.

Kalimatku tergantung. Iris caramel itu masih menunggu lanjutan deklarasiku. Aku merendahkan suara, sekadar agar tidak ada yang dengar kecuali kami.

"Tiga puluh lima ribu kaki di atas permukaan air laut, 31 Desember. Saya, Lucas McFord, berjanji untuk mencintai Melati Pusparana dan setia terhitung mulai hari ini. Berlaku selamanya."

Lidahku geli sendiri mengucapkan ikrar itu.

Tapi bukan masalah. Dia tersenyum ceria, dan dengan polos menirukanku layaknya seorang pembaca naskah preambule UUD di setiap upacara bendera.

"Tiga puluh lima ribu kaki di atas permukaan air laut, 31 Desember. Saya, Melati Pusparana, berjanji untuk mencintai Lucas McFord dan setia terhitung mulai hari ini. Berlaku selama lama lama lama daaaaan lamanya!"

"Eh! Eeh! Aaaah!"

Melati membekap mulutnya lagi karena Bumi berteriak. Kelopak mungil itu masih memejam. Dia mengigau dalam tidur. Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi kuanggap itu sebagai, "SAH!"

Aku menimangnya di dadaku, memperdengarkan detak jantungku, demi memberi rasa nyaman. Tak perlu waktu lama sampai bayi itu nyenyak kembali dan kuncup bibirnya terbuka, menyeimbangkan tekanan udara di saluran telinga.

"Dok, sebagai tanda jadian, sampai di Malang kita harus ngerayain ulang tahun Dokter bertiga. Gimana?" ujar Melati lagi, masih dengan kilat euforia di matanya.

Aku mengangkat satu sudut bibir.

"Sounds good. Tapi aku penasaran, dari mana kamu tahu hari ini ulang tahunku?" Seingatku, tanggal lahir tidak tercantum di website resmi Fakultas Kedokteran ataupun buku pedoman pendidikan.

Senyuman itu semakin manis karena wanitaku mengedipkan sebelah mata. "Rahasia!"

⭐⭐⭐



Malang, 22 Juni 2018

Love u to the moon and back, MeLuk 💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top