44 Papa Oh Papa
🌟
HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT
Chapter 44 Papa Oh Papa
🌟
Bukan aku menolak makan malam di resto ikan bakar Bu Fitri--rekan sekantor Mama--hanya saja resto itu berlokasi di pinggir pantai. Keras angin malam di pantai tidak baik untuk Bumi. Lagian, aku masih ingin di rumah. Di bawah atap, di atas lantai, dan dibentengi dinding yang sama dengan Papa, Mama, Fikar, dan Bumi. Berlima.
Eh, berenam. Hampir lupa kalau ada Dokterku.
Tadinya dokter McFord berencana menginap di hotel terdekat, sekitar 1 kilo dari rumah. Namun Mama memintanya menginap di sini, di kamar Fikar yang memang sudah disiapkan untuk Dokter. Fikar akan tidur sama Papa, sedangkan Mama tidur bertiga denganku dan Bumi.
Di tanganku ada nampan berisi sebotol besar air mineral, jus jeruk kemasan 1 liter, dan 6 gelas kaca yang siap kubawa ke ruang keluarga. Ya, di keluargaku, kami jarang sekali makan bersama di meja makan. Kami terbiasa makan di ruang keluarga, duduk santai di karpet mengelilingi kudapan, sambil menonton TV. Entah mengapa yang begitu lebih asyik dan down-to-earth (baca: merakyat, bukan ndlosor).
Dokter keluar dari kamar Fikar saat aku bermaksud ke dapur lagi untuk mengambil piring. Melihat penampilannya, mataku membesar dan menahan dia di tempat, lantas mendesis tipis.
"Dok! Sisiran napa!"
"Why? Biasanya di rumah juga gini." Dia menjumput seuntai rambut di dahi.
"Papa bisa nggak suka sama Dokter kalo berantakan!"
"But you're still into me, no?"
"Iyalah pasti saya tetep suka sama Dokter tapi ini Pa--"
Aku menampar mulut. Shit. SHIT!
Dia nyengir kuda penuh kemenangan. Bodo amat. Aku celingukan ke arah ruang keluarga sekadar memastikan Papa masih seru mengajari cucu gendutnya bertepuk tangan. Baiklah, Papa tidak lihat kami.
Aku kembali pada Dokter.
"Aku lupa bawa sisir..."
"Iya, iya!" serobotku cepat.
Sambil bersungut tertahan, kakiku berjinjit untuk menyisiri rambut jagungnya yang setengah basah seusai keramas. Dia menunduk, memasrahkan kepalanya di tanganku. Wangi sejuk shampoo menguar kuat, mengusik manja saraf penciumanku.
Aku menghirup dalam dan seketika mukaku sesak oleh panas hasrat ingin lebih dekat.
Yang tidak kuduga, satu ibu jarinya terulur menyentuh kantung bawah mataku. Iris samuderanya berkeliling meneliti setiap lekuk wajahku.
"Temporary periorbital edema."
"Hah?" Aku mengerjap dua kali.
"Berapa banyak kamu nangis sampai bengkak gini?"
Mulutku terbuka hendak menyahut ketika--
"PAPA! MBAK LAGI PACARAN SAMA DOKTERNYA!"
Kontan kutolak kepala dokter McFord dan mundur dua langkah. Punggungku menubruk dinding. Papa sudah di sini dengan Bumi diapit lengan Papa. Mata Papa memicing runcing untuk... Dokter.
Kumiringkan kepala untuk menemukan Fikar di belakang Papa yang memajukan bibir dan mengedarkan pandang songong ke langit-langit. Aku mendelik dan memberinya jari tengah.
Punya adek model gini nggak ada bedanya dengan piara tai.
"Pak Dokter, maaf ya. Saya berterima kasih banyak karena Pak Dokter sudah menjaga dan mengantar anak saya utuh. Tapi bukan berarti Pak Dokter boleh pegang-pegang anak saya seenaknya."
Aduh, Papa! "Pa, tadi itu--"
"Diem kamu, Mel. Papa nggak tanya kamu!"
Aku menciut di tempat tertusuk mata elang Papa. Kulirik dokter McFord yang mengklarifikasi tuduhan Papa dengan raut lugunya.
"Saya melakukan pemeriksaan fisik untuk mata Melati, Pak."
Papa mengangkat daguku dengan satu tangan, mengamati sekilas, dan mengembalikan percik api sentimennya untuk Dokter.
"Memang menurut Pak Dokter anak saya kenapa!"
Iya, pakai tanda seru pentung, bukan tanda tanya. Sebab Papa membentak, bukan bertanya.
Dokter melirikku sesaat. "Iritasi setelah produksi air mata ekstrem, menyebabkan inflamasi berupa periorbital edema. Tapi Pak Surya jangan khawatir, ini sifatnya tentatif."
Aku tidak yakin Papa mengerti karena mulut Papa langsung terbuka sedikit, meski rahangnya masih ketat. Kuberi kode keras berupa gertakan gigi untuk dokter McFord.
Plis, Dok, jangan kuliahi Papa!!!
"Lalu pengobatannya gimana!" tanya... eh, bentak Papa lagi.
Tanpa dosa, dokter McFord memamerkan deretan gigi putihnya. "Nggak perlu treatment khusus, Pak. Ini cukup dikompres kain dingin, besok Melati sudah baikan."
"Kalau gitu kenapa Pak Dokter pegang-pegang anak saya, hah?! Memangnya kalo dipegang-pegang trus Melati bisa bim salabim langsung sembuh?!"
Aduh Mak... "Papa! Namanya juga pemeriksaan, Pa! Papa jangan norak dong kayak nggak pernah berobat ke dokter aja!"
Papa mendelik jadi kuturunkan lagi mataku.
"Kamu pernah diperiksa apanya lagi sama dokter ini?!"
"Nggak ada, Pa..." dustaku. Sudah pasti dokter McFord ditimbun hidup-hidup di sumur tetangga kalau Papa tahu dia pernah melakukan palpasi di dadaku. "Udah tadi itu aja."
"Papa nggak percaya!"
"Iya deh, iya," desahku pasrah. "Dokter pernah meriksa aku pas OSCE sama skills lab."
"Tuh kan! Apanya kamu yang diperiksa?!"
"Ya prakteknya lah, Pa. Jadi aku mraktekin anamnesis dan pemeriksaan macem-macem trus Dokter yang nilai! Ini yang dikerjain Melati udah lengkap sesuai ceklis belom? Ada yang kurang nggak? Ada yang salah nggak? Gitu!"
Papa mengatupkan bibir. Rapat. Tapi bukan Papa namanya kalau mengalah dalam debat kusir.
"Awas ya sampai Papa nemu kamu dipegang-pegang!" Papa menuding hidungku. Aku meneguk saliva yang membatu. "Kamu juga tadi ngapain pegang-pegang dia?!"
"Itu lho rambutnya acak-acakan! Kan Papa nggak suka cowok berantakan! Ah, Papa memang nggak pernah suka sama setiap cowok yang ke sini!"
"Ya tinggal kamu kasih sisir apa susahnya sih?!" Bola mata Papa nyaris mencelat dari rongga. Papa menyambar dokter McFord lagi yang herannya tetap bergeming polos. Padahal nyaliku sudah di ujung tanduk. "Maaf ya, apa Pak Dokter ini nggak punya sisir? Jadi selama ini nggak pernah sisiran?!"
Dokter mengusap belakang lehernya. "Saya memang lupa bawa sisir, Pak."
"Nanti saya pinjamkan. Tapi jangan lagi pegang-pegang anak saya!"
"Baik. Makasih, Pak."
"Eh! Eeh! Uh! Ah!"
Bumi mencondongkan badan yang kontan limbung ke arah Dokter. Dokter tangkas meraihnya, tapi Papa bergerak ambisius dengan menjauhkan Bumi dari Dokter.
"Jangan deketin cucu saya cuma buat ngambil hati anak saya!"
Duh. Papa!
"PAPA!"
Bukan aku. Bentak menggelegar itu datang dari belakang. Mama menarik kasar kaus Papa yang otomatis mundur. Dahi dan hidung Mama berkerut ke dalam ketika merebut Bumi dari Papa. Tetapi kemudian senyum Mama terkembang saat menghampiri dokter McFord.
"Duh... Bumi nyariin Pak Dokter ya? Ini sayang, Pak Dokternya."
"Ehe! He! Hehee!"
Segera Bumi berpindah tangan pada Dokter, dan seperti biasa, langsung mengacak-acak rambut jagung kesukaannya. Mama berkacak pinggang lalu memelotot lagi ke Papa yang menciut di tempat.
"Tuh, Papa lihat? Bumi seneng rambutnya Pak Dokter berantakan. Jadi biarin aja. Lagian Pak Dokter sisiran kek, nggak sisiran kek, tetep ganteng kok!" Papa pasrah ketika diseret ke ruang keluarga, begitu juga Fikar yang ditarik lengan atasnya oleh Mama. "Sudah, ayo makan dulu Pak Dokter."
"Makasih, Bu." Dokter tersenyum rikuh.
Aku mendekati Bumi yang dipeluk Dokter, menangkup tangan di depan dada, dan berbisik, "Maaf ya, Dok. Papa memang gitu. Semua cowok yang ke sini pasti dijulidin."
Dia tertawa renyah dan samar. "Ternyata begini rasanya."
Alisku naik sebelah. "Rasanya apa?"
"Rasanya jadi ayah dari anak perempuan terlalu cantik yang harus rela karena suatu hari putrinya akan diminta sama laki-laki yang serius,"
Praktis, lambungku bergejolak digelitiki sejuta sayap kupu-kupu.
***
Seperti anjuran dokter McFord, aku mengompres mataku dengan kain dingin dan pagi ini puffy eyes-ku reda. Pelupukku sudah tidak penuh lagi, penglihatanku kembali lapang. Dokter mendekat ingin memeriksa mataku lagi, tapi segera kutampik lengannya sebelum Papa kesetanan lagi. Dokter hanya nyengir kuda tak acuh.
Gila. Bukan Lucas McFord kalau tidak gila.
Dokter adalah satu-satunya lelaki yang datang ke rumah dan berani menatap Papa di manik mata. Lebih jauh, dia nekat menelepon Papa, mengabarkan kehamilanku, lalu seminggu sekali melaporkan keadaanku dan Bumi. Bisa kubayangkan telinga Dokter bernanah setiap diomeli Papa walau hanya via suara. Mentalnya jelas bukan terong loyo.
Atau mungkin karena itulah, dokter McFord sudah resisten terhadap segala macam repetan Papa. Makanya kejadian tadi malam baginya cuma angin kentut.
"Dok, kita balik kapan?" tanyaku memastikan, setelah Dokter memasukkan satu suap puree kentang ke mulut Bumi.
"Baru dateng kemaren sudah mau pulang?! Mau pacaran di sana ya?!"
Aku melengos lelah. Yang ditanya siapa, yang nyamber selalu Papa. Papa yang duduk bersila di sebelahku, menurunkan setengah koran di tangannya lantas memicing. Untuk siapa lagi kalau bukan Dokter?
"Pa, Dokter 'kan cutinya terbatas. Aku juga masih ada OSCE. Gimana, Dok?"
"Cuti saya sampai 31 Desember, Pak." Alih-alih menatapku, dokter McFord malah berkata pada Papa. "Dua Januari saya efektif lagi. Saran saya 31 Desember, karena tanggal 1 besar kemungkinan macet arus balik."
Papa mengangguk sekali. "Saya yang beli tiketnya. Pak Dokter tinggal terima beres."
"Baik, Pak." Dokter tersenyum meski Papa tetap berwajah batu. "Bapak libur sampai tanggal berapa? Kalau masih ada libur, monggo main ke Malang, Pak. Saya sempatkan nganter kalau Bapak mau jalan-jalan."
"Saya varises, nggak suka jalan kaki."
Heleh. Dusta dunia-akhirat. Bukan varisesnya yang dusta, tapi nggak suka jalannya itu.
"Bapak pernah ke Taman Safari 2 di Prigen, Pasuruan? Semacam kebun raya binatang, tapi di sana bisa keliling bawa mobil pribadi. InsyaAllah nggak capek, Pak. Di dalam juga ada hotel, bisa istirahat di sana."
"MAKSUD PAK DOKTER SAYA HARUS NYETIR SENDIRI KELILING KEBON BINATANG?"
"Tidak, Pak. Saya saja yang nyetir. Atau kalau pas ada, ibu saya bisa minta tolong sopirnya untuk mengantar..."
"MAKSUD PAK DOKTER SAYA SUDAH TUA, NGGAK KUAT NYETIR SENDIRI KELILING KEBON BINATANG?"
Kan. Papa kan.
Aku menepuk jidat. Bumi menjambaki rambut Dokter. Dokter meringis kearah Papa. Mama keluar dari kamarku dan langsung mengacak rambut Papa dari belakang.
"Pa, daripada pagi-pagi cari masalah, mendingan Papa keluar beli nasi kuning di warung Bu Ida. Mancal aja biar terbiasa sama varises. Sekarang!"
Papa memutar badan ke belakang. "Pegel, Ma... itu satu kilo, mana tanjakannya banyak--"
"Yaudah Pak Dokter sama Melati aja." Mama otomatis tersenyum untuk dokter McFord. "Sepedanya ada boncengannya kok. Kamu masih inget tempat Tante Ida, Mel?"
Aku mengangguk. "Masih, Ma. Tante Ida nasi kuning Banjar? Lima bungkus?"
"Iya. Sudah sini Mama yang nyuapin Bumbum."
Tangan Mama baru terulur memberiku sejumlah uang dan mengambil Bumi dari pangkuanku, ketika Papa tiba-tiba menyalak galak.
"Jangan! Papa aja... tapi sama Melati."
***
Berseberangan dengan Malang yang udara paginya hampir selalu adem ayem, di sini, jam belum menunjukkan pukul 7 tetapi cahaya fajar sudah menyambar. Yang begini ini penyebab kebanyakan siswa melarikan diri dari sekolah setiap hari Senin demi menghindari upacara bendera. Tengah hari, orang semakin malas beraktifitas di luar karena panas bukan main. Bagaimana lagi, namanya juga tinggal di daratan pinggir pantai.
Tapi, setelah sekian lama di Malang, bisa menghirup udara panas di sini adalah kebahagiaan tersendiri. Di sini, aku lebih mudah berkeringat. Otomatis aku minum lebih banyak untuk keseimbangan metabolisme. Di sini, cucian baju Bumi bisa kering-ring-ring dijemur hanya dua jam--di Malang, harus dijemur seharian supaya benar-benar kering.
Tetapi di sini, tanahnya gersang. Jadi jangan harap bisa mencium petrikor setiap hari seperti di Malang. Karena itu komoditas andalan masyarakat sini adalah hasil lautnya. Ikan, udang, cumi, kepiting, kerang, rumput laut, semuanya segar. Fresh from the sea. Belum lagi hasil tambang berupa minyak bumi, batu bara, dan batu-batu cantik untuk souvenir perhiasan. Bu Helena pasti suka pernak-pernik semacam ini.
Oh, benar juga.
"Pa, ada salam."
"Dari?" Papa menyahut, tanpa menoleh, masih mengayuh pedal.
"Dari Ibu Helena."
"Hah? Siapa?" Bisa kubayangkan dahi Papa mengernyit.
"Mamanya Dokter."
"Oh."
Hening. Tidak ada lanjutan setelah 'oh'. Aku mengeratkan satu tangan yang melingkari dada Papa, dan telingaku menempel di punggungnya. Papa belum mandi, berkeringat, tapi terserahlah, aku kangen. Sekilas Papa menepuk lenganku tiga kali dan kembali memegang setang.
"Gowes ke mana, Pak?"
Kuputar kepala ke belakang dan mendapati seorang bapak bersepeda motor pelan untuk mengiringi putaran roda sepeda Papa. Aku mengenalnya sebagai Pak Umar, teman satu perusahaan Papa.
"Disuruh Mamanya Melati beli sarapan!" Papa menyahut setengah berseru. "Sampeyan ke mana, Pak?"
"Servis bulanan," beliau meringis, lantas melirikku. "Lho, ono bojo enom (ada si istri muda), lama nggak kelihatan."
Papa tertawa renyah. Aku menyeringai canggung. Kebiasaan Papa menyebutku sebagai bojoku sing enom (istri mudaku) dan Mama menyebut Fikar juga sebagai bojoku sing enom (suami mudaku) kadang membuatku dan Fikar mendengus iyuuhhh. Untungnya Papa Mama berperilaku sableng begitu hanya di depan kerabat yang benar-benar mengenal mereka.
"Iya, Pak. Saya baru dateng kemarin, lagi libur habis ujian."
"Owalah... Main-main ke rumah, Mel. Mariska lagi sakit sudah 3 hari, coba kamu aja yang periksa biar gratis."
Aku mengulum lidah, tersenyum gelisah.
Gini banget ya deritanya jadi calon dokter. Garis bawahi 'calon'nya. Baru juga kuliah tiga semester sudah diminta mengobati pasien. Gambaran mahasiswa pendidikan dokter tingkat preklinik di benak masyarakat awam adalah kami langsung praktik terjun ke lapangan.
Salah besar. Not that fast, gengs. Kuliah medis itu kejam. Di bangku preklinik 8 semester aku cuma dibekali teori segambreng, praktikum penunjang, dan simulasi dengan probandus atau manekin. Kami tidak menyentuh pasien lapangan sama sekali. Pasien sebenarnya boleh kami "kerjakan" saat koas, itupun wajib di bawah pengawasan dokter yang berwenang--umumnya dokter residen, atau yang sudah konsulen seperti dokter McFord.
Aku dan Papa berpisah dari Pak Umar setelah sepeda Papa mencapai halaman parkir warung Banjar Tante Ida. Meski ini hari Natal, aktivitas kota kecil ini tidak tidur, mengingat umat Nasrani di sini memang minoritas. Dan, kebanyakan dari mereka merayakan Natal di kota besar bersama keluarga besar.
Salah satu yang tetap beroperasi adalah Tante Ida, teman dharmawanita Mama yang nasi kuningnya tersohor seantero kota. Saat aku dan Papa sampai, sudah ada 3 orang yang mengantre.
Sadar bahwa Papa sudah mengayuh tanjakan 1 kilo, Papa kusuruh duduk, biar aku yang berdiri di antrean. Tapi bukan Pak Suryanata namanya kalau tidak seenak jidat. Papa menyeret salah satu kursi plastik yang tersedia, untuk duduk di sebelahku yang mengantre berdiri.
Aku berdiri, dengan pengantre lain, dan Papa duduk esklusif di sebelahku. Bagus.
Orang lain tersenyum sepat melihatnya, tapi biarlah. Mereka tidak tahu derita otot kaki Papa. Aku menghilang dari antrean sekadar untuk mengambil sebotol air mineral dingin dari kulkas dan kuserahkan ke Papa.
"Papa mau seprit."
Aku menaikkan bola mata gemas. "Gak boleh seprit kalo belom makan, Pa!" Papa memang penikmat minuman berkarbonasi.
"Biasanya juga nggak papa," Papa mencebik.
"Biasakan yang benar, bukan benarkan yang biasa, Pa."
"Ini pasti aliran sesat si dokter itu 'kan?"
"Kok aliran sesat?" Bola mataku membesar. "Kalo Dokter minta dibuatin kopi sebelum makan juga aku marahin kok, nggak cuma Papa!"
"Hooo, jadi sering kamu buatin dia kopi? Habis ini buatin tapi dicampur sianida, oke?"
"Papa mau minum nggak? Aku kembaliin--"
Botol berembun ukuran tanggung itu tiba-tiba berpindah tangan. Aku melipat tangan di dada lalu saling melempar lirik dengan Papa. Bibirku mengerucut ke samping. Owalah Pa, Papa. Mau minum doang harus perang mulut dulu.
Sepanjang menunggu antrean terurai, kami menutup mulut masing-masing. Yah, daripada jadi tontonan berupa ketoprak humor dadakan.
***
Kalau jalan berangkat tadi menanjak, artinya jalan pulang kami turun. Papa tidak perlu sering mengayuh dan lebih banyak mengandalkan translasi dan rotasi ban sepeda akibat adanya gravitasi. Angin panas bertiup menyisir anak rambutku yang makin berantakan campuran baru bangun tidur, dijambak Bumi, dan aroma matahari.
Setelah sarapan, rencananya kami akan main di pantai sampai makan siang. Aku sedang menimbang apakah harus mandi setelah ini atau nanti saja di pantai, ketika Papa berseru sambil sedikit menoleh.
"Kamu masih seneng sempol nggak?"
"Masih," sahutku, merapikan rambut yang tersapu angin. "Kenapa, Pa?"
Papa menepikan sepedanya di muka sebuah stand di pinggir jalan. Sempol yang menarik: sempol ikan tengiri. Aku membayangkan adonannya mungkin seperti pempek atau tekwan. Seingatku waktu berangkat tadi belum buka.
"Beli sana. Yang banyak. Di Malang pasti cuma sempol ayam sama daging tho?"
Iya sih. "Tapi kalo ketawan Mama ngoceh lho nanti." Mengingat Mamaku termasuk aliran keras soal makanan. Mama melarang keras jajanan terbuka pinggir jalan dikonsumsi oleh anggota keluarga kami.
Papa menyentil dahiku keras. "Ya jangan sampe ketawan, Mel. Umpetin aja."
Aku meringis, segera menyusul Papa lompat dari sepeda. Persamaan Papa dan dokter McFord hanya ada tiga: (1) manusia bergender laki-laki yang masih hidup di dunia, (2) mereka ganteng, dan (3) mereka sering mentraktir aku sempol sebagai tanda sayangnya.
Jika perempuan lain butuh bunga, aku tidak. Aku manusia, bukan ratu penunggu gunung pesugihan. Aku bukan butuh sesajen. Aku butuh sempol.
Karena stand ini baru buka, Mas-Mas penjualnya meminta waktu untuk menggoreng si cilok. Selagi menunggu, aku dan Papa duduk di bangku kayu panjang di bawah sebuah pohon yang tidak jauh dari stand. Tiba-tiba, aku teringat sesuatu.
"Pa, beasiswa perusahaan yang untuk anak karyawan masih boleh daftar?"
Papa menatapku lekat lalu mengangguk. "Masih. Kamu mau? Dulu katanya kamu nggak mau beasiswa, buat yang lebih butuh aja?" Bibir Papa menekuk ke atas.
Aku meringis, memainkan ujung ponytailku. "Yaa... rasanya sekarang udah butuh, Pa." Lalu, melempar pandang ke jalan aspal yang masih sepi kendaraan, sekadar untuk menepis sakit. "Buat Bumi. Aku nggak mau pengeluaran Papa jadi bengkak karena Bumi. Bumi aja udah bengkak dari lahir, Pa. Memang kodratnya jadi anak bengkak."
Sesaat, Papa menderai tawa ringan. Alih-alih mengomentari, Papa bertanya hal lain, "Rasanya melahirkan bayi bengkak itu gimana, Mel? Kamu yang kecil banget dulu Mamamu diobras luar-dalem."
"Gimana? Ya gitu, Pa," Aku mencari kalimat dari langit biru. "Rasane remek kabeh-kabehe (rasanya remuk semua-muanya). Aku nggak tanya sih jahitnya berapa, di mana aja, dan nggak mau tau juga. Takut ke depannya jadi sugesti negatif, Pa. Cukup dokter, rekam medis, dan Allah yang tau."
"Eh, Papa waktu baru lahir mirip Bumi lho."
"Mirip gendutnya?"
Sepasang alis Papa naik-turun bergantian. "Mirip gantengnya."
Sudah tua tapi sadar kalau dia masih ganteng. Empret lah. Refleks kutinju lengan atas Papa. Papa terkekeh pelan.
"Tapi sekarang sudah nggak sakit tho?" tanya Papa lagi.
Aku menggeleng. "Kalo masih sakit mana bisa pulang?"
"Heleh. Tadinya kamu juga nggak mau pulang 'kan? Pelatihan PMR? Alesan!"
Dituding begitu, aku tersipu ke bawah. "Kan udah pulang sekarang, Pa."
"Iya." Papa mengacak rambut atasku. "Yang penting udah berani pulang. Papa..." Dekat, sepasang manik Papa tersenyum lega meneliti wajahku. "Papa seneng kamu pulang dan punya niat mengakui semuanya. Papa sudah gagal menjaga kamu sekali, dan Papa harap, Papa masih dikasih kesempatan buat menjaga kamu lagi sampai..."
Kalimat Papa menggantung. "Sampai?"
Dan Papa membuang muka. "Sampai kamu nikah diambil orang."
Senyumku terkembang lebar, lalu mengambil tangan Papa dari atas kepalaku untuk kugenggam. Ya ampun, Papa, nggak rela banget kayaknya kalau suatu hari aku akan menikah.
"Biar sudah nikah, Melati tetep anaknya Papa kok... Nanti cari suami yang nggak ngelarang-larang aku pulang ke rumah. Lebih bagus lagi malah kalo dianterin sampai rumah. Iya nggak, Pa?"
Papa masih bungkam. Lirikannya ditahan tak senang. Kurasa Papa sudah mengerti arah pembicaraanku.
"Papa bilang, Papa sudah gagal menjaga kamu sekali. Papa nggak mau terulang lagi..."
"Pa," potongku cepat, mencium pelan kerut halus punggung tangan Papa. Papa tersenyum nanar. "Itu salahku sendiri, nggak ada hubungannya sama Papa. Jadi aku yang harusnya lebih bisa jaga diri sendiri, bukan Papa yang gagal, Pa."
Papa bungkam lagi dengan raut tak terbaca. Khas Papa saat pikirannya menilai suatu kebenaran, tetapi hatinya masih merasa ada kesalahan. Konflik internal yang membuat makan Papa tak lagi enak, tidur Papa tak lagi nyenyak.
"Aku nggak ngerti Papa sama Dokter sudah ngomong apa aja selama ini lewat telpon. Tapi menurut Papa, apa Dokter orang yang tega berbuat macem-macem ke Melati?"
Papa tetap bisu, memandangku ragu. Hanya bahu terangkat pelan yang kudapat sebagai jawaban. Tidak ingin menghakimi Papaku yang sebenarnya kasihan ini, aku berniat mengakhiri percakapan tentang Dokter.
"Kalo Papa nggak suka sama Dokter, aku janji aku akan jaga jarak dari dia. Di Malang juga aku janji nggak deket-deket lagi sama Dokter kalo bukan untuk kuliah. Janji nggak ke kampus bareng lagi, atau buatin kopi lagi.
"Tapi Papa jangan judesin Dokter... ya, Pa? Paling nggak, Dokter sudah nganterin aku pulang supaya ketemu Papa. Melati 'kan nggak mungkin bisa pulang cuma berdua Bumi, Pa, repot di jalannya."
Tentu saja, Papa masih bergeming. Tidak apa. Setelah semua yang menimpa putri kesayangannya, takut adalah perasaan wajar yang mungkin membuat Papa akan makin parah overprotectivenya. Sebagai anak, akan kucoba memahami.
Sempol ikan tengiri 30 tusuk sudah terbungkus rapi dalam keresek hitam, dan Papa menyerahkan 15 ribu sebagai pembayaran. Sepanjang jalan pulang, diam masih menjadi teman Papa. Aku menyerahkan setusuk sempol untuk Papa. Kami benar-benar asyik dengan pikiran sendiri, sambil memamah tusuk demi tusuk di atas sepeda.
Tidak seperti dengan Mama, aku agak canggung kalau sama Papa. Papa tidak begitu senang dengan pembicaraan sensitif mengenai hati, perasaan, dan semacam itu. Karena itu kadang aku hanya bicara seperlunya pada Papa. Salah sedikit, pilihannya cuma dua: dikerasi, atau didiamkan seperti ini.
Kusandarkan lagi kepalaku di punggung Papa yang berkeringat. Lalu, terdengar suara tertahan dari balik punggung itu.
"Waalaikumsalam."
Dahiku mengernyit. Rasanya tidak ada yang mengucapkan salam. "Apa, Pa?"
"Waalaikumsalam," kali ini Papa sedikit berseru.
Aku menyerongkan wajah, meski tidak bisa melihat ekspresi Papa. "Kok tiba-tiba waalaikumsalam?"
"Katamu ada salam untuk Papa. Jadi, ya, waalaikumsalam."
Ealah, Papa... salamnya kapan, dijawabnya kapan?
Aku tertawa sambil mencabuti uban-uban halus Papa. Begini inilah Papaku: galak, ganteng, dan sedikit tsundere.
-BERSAMBUNG-
.
.
Malang, 8 Juni 2018
Luv u to the moon and back, MeLuk 💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top