41 Hari Ini, Kami Jauh
🌟
HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT
Chapter 41 Hari Ini, Kami Jauh
🌟
Tiket elektronik itu tertanggal 24 Desember. Besok lusa. Tepat sehari setelah UAB sistem integumen.
Perasaan dokter McFord untukku, demi Tuhan tidak ada keraguan di dalamnya. Tapi bukan lantas dia mengerti, bahkan memiliki prerogatif atas haluan hidupku. Dia pikir dia siapa? Suamiku?
Pacar pun bukan! Dia cuma dosen PA-ku, yang sering kali ngawur, gila, edan. Sesaat dia begitu manis, detik berikutnya, dia membuatku ingin menyiram cokelat hangat ini ke mukanya. Demi keamanan, kutempatkan gelas itu di atas meja.
Mengingat dia dosenku, dan mengingat perasaanku sama dengannya, aku membendung kukuh semua repetan kalimat yang hendak kumuntahkan. Sebagai gantinya, hanya satu pertanyaan serak terputus.
"Ini sudah… dibayar? Berapa… harganya?"
"Ada di situ." Begitu polos, dia menunjuk layar gawainya. "Around 2 millions, maybe? Lupa."
Kupelototi lagi tiket elektronik itu. Tercantum pula di situ, issued date 15 Desember. Bola mataku nyaris menggelinding keluar.
Dia menyusun rencana goblok ini sejak seminggu yang lalu?!
Seberapa sadar pria ini dengan apa yang diperbuatnya?!
Tegas. Kujejalkan ponsel silver itu di dadanya. Menatapnya sengit agar dia paham amarahku bukan main-main.
"Saya nggak bisa terima ini. Besok saya ganti."
Dia menyimpan benda pipih itu kembali. "Aku nggak butuh diganti."
"Saya juga nggak butuh tiket ini."
"Kamu mungkin nggak. Tapi Papa dan Mamamu perlu bertemu kalian. Kamu dan Bumi." katanya, sok tahu. Sok tahu!
"Dokter tahu apa soal Papa Mama saya? Dokter nggak kenal mereka. Jangan ikut campur karena Dokter nggak lebih dari seorang yang asing bagi keluarga saya!"
"Fine. But just--" Kutampik gusar lengannya yang hendak mengusap rambutku. Dia menurunkan tangan itu bersama mata yang memohon. "Aku nggak mau kamu jadi asing bagi keluargamu sendiri, Mel…"
Aku? Asing bagi keluargaku sendiri?
HAHA.
"Kalau saya--" Kutelan ludah yang membatu. Tersangkut. "Yang akan mengasingkan saya dari keluarga saya… adalah kelakuan sok pahlawan Dokter sekarang ini."
"No, Mel. Listen." Dia menghimpun jemariku yang sekeras batu. "Operasi adalah momok untuk sebagian besar pasien, karena mereka tahu, mereka akan luka. Mereka akan diinsisi, dibuka, dan dibedah. Mereka punya hak untuk menolak, do nothing, biarkan penyakit itu bersarang dan membunuh perlahan. Atau, jalani bedah demi kebaikan mereka sendiri.
"And so are you… kamu bisa memilih terus bohong sama orang tuamu dan menyembunyikan Bumi. Tapi kamu juga paham, yang seperti ini nggak baik untuk kamu dan Bumi. Cepat atau lambat, orang tuamu akan tahu tentang ini. Semakin jauh kamu menunda, semakin besar kekecewaan mereka terhadap kamu, Mel."
Tanganku berontak ingin melepaskan diri. Tapi genggamnya begitu kuat, kukuh, mengintimidasi. Aku tak berkuasa.
"Beban kuliah terakhir semester ini selesai besok setelah UAB. Waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya kepada beliau, tanpa ditambahi, tanpa dikurangi. Jatah cutiku tahun ini masih utuh, jadi bisa dipakai untuk menemani kamu di perjalanan. Pasti repot kalau cuma kamu dan Bumi. Promise I will not interfere with anything between you and your parents. I just hope them to be able to meet their missing daughter. I'm sure that you miss them too."
Di antara jeda hening, aku berhasil memisahkan tangan kami. Pria ini, alasan terbesar aku menghormati (dan mencintai)nya adalah ketulusannya. Totalitasnya dalam menjaga perasaanku. Kemampuan intuitifnya yang selalu membuatku merasa istimewa. Dan hal-hal kecil nan manis yang hari demi hari mengobati luka hatiku.
Narasi panjang yang dijabarkan dokter McFord barusan terdengar merdu. Tapi kenyataan tidak pernah sebaik itu.
Entah sejak kapan, suaraku selirih ini. "Apa Dokter tahu Mama saya orangnya seperti apa…?"
"Beliau orang yang perhatian, but of course you know her better."
"Mama saya orang paling parnoan dan sensitif yang pernah ada, Dok. Adik saya bersin sekali, Mama langsung nyuruh minum obat. Saya remedi sekali, Mama nawarin saya macam-macam les privat. Kalo saya nggak balas pesan Mama dalam 3 jam, hape saya penuh missed call dari Mama. Dan apa Dokter tahu Papa saya orangnya seperti apa?"
Dia bergeming. Datar. Lurus. Iris birunya merewang di wajahku. Pertanyaanku adalah retorik yang tidak membutuhkan jawaban darinya.
"Papa saya bukan hanya overprotective tapi juga menolak mentah-mentah semua jenis negosiasi kalau sudah menyangkut laki-laki di dekat saya. Dokter mau nganterin saya? Ketemu Papa, dan bawa Bumi? Dokter mau adu jotos sama Papa saya?"
"However, they're your parents, Mel. They deserve the truth."
"But this kind of truth is obviously unacceptable… and unforgiveable."
"Kenapa kamu seyakin ini mereka pasti menolak kamu?"
"Kenapa Dokter seyakin ini Papa Mama bisa nerima saya?!"
Punggungnya melengkung. Meraup wajah lelah, dengan napas tertahan. Aku mendengar hembus putus asa lolos dari mulutnya.
"Karena mereka orang tuamu, Mel… dan persis seperti semua ceritamu, aku tahu, mereka terlalu menyayangi kamu."
"MAKANYA--!" amarahku ditahan oleh gemeratak gerigi yang saling bersahutan. Pelipisku, bahkan bola mataku, berdenyut cepat. Aku mencengkram ujung piyama demi meredam asap yang sudah di ubun-ubun. "Karena itu… karena mereka terlalu sayang sama saya, makanya… saya… mereka pasti… kecewa terlalu dalam… apalagi Papa… Papa pas-pasti… mengusir sa--"
"Don't say that." Telunjuknya dibenamkan di bibirku yang bergetar. "Aku cinta sama kamu, karena itu aku menerima kamu. Tapi Papamu, jauh lebih cinta sama kamu. Perasaanku untuk kamu, nggak secuilpun bisa menyamai beliau. Papamu akan tetap menerima kamu, Mel…"
"Nggak." Kutepis lagi tangannya, untuk yang ketiga kali. Muak telingaku dijejali kuliah ini! "Dokter nggak akan paham perasaan saya, atau perasaan Papa saya!"
"Aku paham, Mel. Aku laki-laki sama dengan Pa--"
"Nggak! Saya bilang: Dokter. Nggak. Paham. Sedikit pun Dokter nggak akan paham, karena Dokter nggak pernah tau gimana rasanya punya ayah yang sayang sama Dokter!"
Ah.
AH!
Lidahku.
Apa yang…?
Reaksi Dokter tak nampak lagi karena mataku sudah berkabut dilapisi jaringan air bening. Aku bergerak cepat menghimpun semua modul di karpet dan berlari ke kamar, menutup pintu. Membekap senyap mulut laknatku.
***
Cicit tangis Bumi mengembalikan kerja otakku, yang segera terbangun dan menegak. Selembar kertas laporan praktikum menempel di pipiku karena bercampur lelehan air mata. Aku melepas lembaran itu yang kini kering mengeriting. Warna merah jambu pada gambar penampang kelenjar Apokrin luntur kemana-mana.
Kutinggalkan hamparan materi sistem integumen di atas kasur dan beranjak mengambil Bumi dengan sisa tenaga. Memeluk Bumi, kuseret lagi langkah dan merebahkan diri di ranjang, di mana saja yang terlihat bebas dari kertas. Dengan setengah nyawa, aku mengangkat piyama, menyusui si bayi yang kemudian memejam kembali.
Pelupukku hanya bertahan separuh. Kupipihkan lagi mata, menyesuaikan fokus untuk membaca jarum jam dinding.
Jam 2 pagi.
"Sedikit pun Dokter nggak akan paham, karena Dokter nggak pernah tau gimana rasanya punya ayah yang sayang sama Dokter!"
Lenganku merengkuh Bumi. Lebih erat. Lebih dalam. Lebih perih. Segala emosi negatif berbaur, meleburkan leleh air mata di pipiku. Lagi. Tidak kuhitung berapa kali aku menangis hari ini.
Bumi adalah anak tanpa ayah.
Bumi tidak pernah tahu bagaimana rasanya memiliki ayah yang menyayanginya. Mereka tidak begitu berbeda.
Bumi.
Dokter.
Mereka sama.
Anak setan, sampah apa yang kamu lempar ke muka pria itu!
Aku gelap mata. Aku dibutakan ketakutan. Aku disandera histeria rekayasa sendiri. Aku dijajah amarah. Jauh di dalam sini, aku mengerti, Dokter tidak lebih dari menginginkan kebaikan untukku dan Bumi. Pun begitu, aku menghunusnya tepat di jantung, bukan bersenjatakan belati tetapi lidah. Setelah membunuhnya, aku melarikan diri.
Kalau kuingat lagi, dokter McFord belum pernah benar-benar marah padaku. Dia tidak marah waktu kusebut sebagai sempol bule. Dia tidak marah waktu aku kulempar kondom. Dia tidak marah waktu muntahku mengenai baju, jas, tas kerja dan buku-bukunya. Dia tidak marah waktu cintanya kutolak mentah-mentah.
Dilihat dari kacamata apapun, aku adalah mahasiswa paling kurang ajar yang paling beruntung dipertemukan dengan dosen paling sabar.
Aku menghapus air mataku. Berantakan. Tapi menangis semalam tiada gunanya.
Aku harus memperbaiki semuanya. Semoga belum terlambat.
***
Belajarku semalam kurang maksimal, aku tahu. Karena itu pagi ini aku tidak menyuapi Bumi. Aku menyuapi mulutku sendiri sambil membaca ulang skenario kelompok tutorial lain. Sebagai gantinya, Mbak Sari yang memberi Bumi makan puree ubi madu. Aku duduk di sebelah anakku, agar setidaknya Bumi tahu, meski tidak menyuapinya aku tetap ada mendampingi sesi makannya.
"Eh! Eh! Ah oh!"
Pluk.
Bayi bundar itu nyungsep ke pangkuanku. Kertas-kertas yang ketiban kepalanya otomatis lecek. Mbak Sari tertawa dan segera mengembalikan Bumi ke posisi duduk, dipagari bantal-bantal sofa.
Tawa polos dari mulut kecil Bumi membuatku terenyuh, dan ikut menarik senyum. Dia memang belum bisa duduk. Jadi selama sesi makan, dia akan disandarkan di sofa, dihimpit bantal kanan-kiri supaya setimbang. Tapi tetap saja beberapa kali badan bundar itu menggelinding, sebab tulangnya memang masih rapuh.
Kelihatannya aku harus ekstra berhemat, karena Bumi butuh kursi makan. Tapi aku kehabisan ide harus berhemat apa lagi.
Percaya tidak percaya, aku tidak lagi belanja baju baru setahun terakhir ini. Baju terbaruku adalah hadiah ulang tahun dari Elia dan yang dibelikan Bu Helena.
Aku juga tidak nongkrong dan jajan di cafe kecuali memang ditraktir Dokter atau anak-anak.
Aku mengganti sabun mandi cair dengan sabun batang karena harganya yang jauh lebih murah dan awet.
Aku mengganti deterjen bubuk dengan deterjen cair. Pemakaian deterjen cair jauh lebih hemat dan wangi.
Aku belanja di minimarket HANYA JIKA ada promo weekend, atau ada promo beli 2 gratis 1, misalnya.
Aku tidak ber-makeup. Setiap hari hanya pelembab, bedak, lipbalm. Oh, waktu kemarin bedak padatku habis, aku tidak beli baru dan memanfaatkan bedak tabur kado Bumi. Bumi 'kan tidak cocok pakai bedak. Begitu pula baby cream dan cologne yang sepaket dengan bedaknya, meski itu untuk bayi, aku yang memakainya.
Semua demi berhemat.
Hanya saja, pengeluaranku bisa lebih banyak.
Biaya modul dan praktikum, jangan ditanya.
Biaya pampers, biar belinya pas promo, pampers tetap barang tersier bagi seorang mahasiswa.
Biaya makan, paling tidak tentu. Karena aku selalu lapar. Se. La. Lu. Aku makan bukan untukku sendiri. Aku makan untuk dua nyawa.
Jangan lupa, aku belum mengganti tiket pesawat yang terlanjur dibeli Dokter.
Juga kursi makan… argh!
KAN. JADI LUPA BELAJAR.
"Mas Luke udah keluar tuh. Buruan makannya!"
Peringatan Elia mempercepat kerja sendok dan mulutku. Masuk, kunyah, telan. Masuk, kunyah, telan. Selesainya sarapan, aku mencium singkat ubun-ubun Bumi, menjejalkan semua kertas dan modul ke dalam ransel, lantas berlari keluar. Buru-buru memakai kaus kaki di teras, mataku menangkap Dokter menatapku dari seberang, bertumpu lengan di pintu Priusnya.
Dia masih menunggu.
Dia masih tersenyum.
Dia tidak meninggalkanku, padahal aku sudah sangat jahat.
Aku berlari menghampirinya dan membuka mulut untuk kalimat yang sejak semalam menyesaki dada, ingin kusampaikan.
"DOK, SAYA—"
"Sudah belajar?"
Eh? Hah?
"Su…" Suaraku jatuh mencicit. "Sudah… Dok."
"Bisa? Ada kesulitan?"
"Nggak. Eh, maksud saya, nggak tau sulitnya di mana. Karena saya nggak tau soalnya. Mudah-mudahan bisa."
Dia mengangguk, "Aamiin. Let's go, shall we?" dan memberi gestur supaya aku masuk mobil berupa gelengan singkat.
Aku ingat, pertama kali aku masuk sedan hitam ini ketika dokter McFord mengantarku pulang setelah aku pingsan di ruang himpunan jurusan. Ralat. Bukan mengantarku pulang, dia membawaku makan siang bersama ibunya dan Evelyn. Setelahnya, kami ke rumah dan nonton The Conjuring 2 bersama.
Waktu itu, rasanya canggung sekali. Sebab, sudah jelas dia dosenku. Kami berada--seperti kata Sandra--di kasta yang berbeda. Tetapi hati menerobos dinding pembatas itu. Kami dekat.
Setidaknya, sampai kemarin kami masih dekat.
Hari ini, kami jauh.
Dia di sisiku, seperti biasa, memegang setir dan sesekali memainkan perseneling. Fokusnya masih lurus, seperti biasa, menatap jalan protokol. Kecuali, bibirnya tertutup sejak kami masuk mobil.
Hening.
Hanya deru mesin mobil yang saking halusnya nyaris tidak terdengar. Di perempatan jembatan Soekarno-Hatta, jika lampu merah menyala, Dokter akan bicara padaku. Tentang apa saja yang ada di kepalanya. Tentang Bumi. Tentang aku. Tentang dana riset. Tentang dokter Yuan. Tentang pasien-pasiennya. Sesekali, tentang orang tuaku.
Kami sudah begini dekat hingga aku lupa rasanya jauh.
Hari ini, kami jauh.
"Dok."
Aku tidak suka jauh dari dokter McFord.
Dia tersenyum, menoleh separuh. Aku justru tertunduk rapuh.
"Soal tadi malam, saya…" Beranilah. Aku ingin kami dekat lagi 'kan? "Saya minta maaf. Saya... saya kurang ajar. Saya mengatakan sesuatu yang nggak pantas--"
"Enough, Mel."
Aku menengadah. Dokter McFord tidak lagi menatapku. Dia menopang siku di selusur pintu, dengan pandang dan wajah dilempar ke luar jendela.
"Aku juga nggak sepantasnya mengintervensi antara kamu dan keluargamu. Maaf."
Maaf… katanya?
Kalimat dingin itu membekukan lidahku. Menggugurkan nyaliku. Melemahkan persendian, dan kekuatan tubuhku lumpuh di pintu mobil. Cairan bening hangat mengaburkan penglihatanku yang mengawang di lampu jembatan.
Dia tidak mengizinkanku minta maaf.
Kami sudah begini dekat hingga aku lupa bahwa mulanya kami jauh.
Hari ini, kami jauh.
***
Kelas di waktu ujian, sunyi tanpa bunyi. Pun dengan berdentangnya bel tanda ujian selesai, semua masih sunyi. Di mataku panorama bergerak laju seperti potongan film yang dipercepat. Asisten-asisten menghampiri meja peserta ujian. Sebagian kelabakan. Sebagian santai. Sedangkan aku bergeming ketika seorang asisten mengambil lembar soal dan jawaban di atas mejaku.
Dunia adalah kereta ekspress dan aku penumpangnya. Aku bergerak semu. Seolah bergerak, padahal diam. Sedikit terdengar riuh rendah Danny dan Joko yang galau dengan skenario nomor 2 apakah itu jerawat atau eczema. Menurutku eczema, tapi sebodo.
Pikiranku bercabang.
Di soal pilihan ganda, menentukan derajat kedalaman luka bakar saja aku tidak ingat. Banyak yang tidak bisa kujawab dengan sempurna, tapi jiwaku agaknya sudah mati. Aku tidak keberatan bahkan jika aku harus remedi. Kalau lulus pun aku tidak peduli.
Kurasa aku tahu apa yang kubutuhkan: sendiri. Tanpa Bumi, Dokter, atau teman-teman.
Aku memisahkan diri dari Sandra dan yang lain. Jam di ponsel menunjukkan masih pukul 10 pagi. Tungkaiku bergerak sendiri keluar gerbang utama kampus, lalu belok kiri. Lagi-lagi dengan sendirinya. Entah mau kemana kaki ini melangkah menapaki trotoar.
Terima kasih kepada siapapun yang menanam pepohonan rindang di pinggir trotoar, pedestrian sepertiku tidak kepanasan dan dapat menikmati setiap langkah. Aku meraup udara bersih sebanyak-banyaknya. Sedalam-dalamnya. Mengizinkan oksigen memenuhi setiap sudut dinding paru-paru.
Menuruti kaki, aku berjalan sampai Matos dan langsung ke lantai 3 ruang ibu dan anak. Ada baiknya aku mengeluarkan bendungan ASI yang menyesaki payudara sebelum jalan-jalan.
Setelah mengosongkan pabrik ASI, kehebohan dari arah lantai 2 memancingku menyembulkan kepala. Ah, salah satu keuntungan bertubuh mini adalah gandu, alias GAmpang NDUsel. Di barisan lumayan depan, aku melihat jelas acara yang berlangsung.
Lomba mewarnai untuk anak-anak. Tapi bukan mewarnainya yang menimbulkan euforia massal. Acara intinya sendiri belum dimulai, masih pembukaan. Pembukaan yang diisi oleh magician paling lucu dan cute yang pernah ada.
Aku tersenyum, melipat lengan di dada. Kehangatan merebak saat kulihat Garda berinteraksi dengan salah satu peserta, anak perempuan berusia sekitar 6 tahun.
"Adek namanya siapa?"
". . ."
"Hah? Siapa?" Garda memiringkan kepala, mendekatkan telinganya karena volume suara si imut itu seimut tubuhnya.
"Melati."
Aku menganga. Ternyata namaku pasaran.
"Ooh, pantesan. Putih, kecil, cantik." Anak itu tersipu. Aku juga, entah kenapa. Padahal jelas pujian itu bukan untukku. "Melati sukanya warna apa?"
"Pink," jawabnya, malu-malu.
"Oke. Pink ya? Kok suka pink, kenapa?"
"Kayak kuda Pony."
Sahutan murni itu mengundang tawa kecil Garda dan penonton, termasuk aku. "Kalo gitu, tolong dong, Kakak ambilin crayon-nya yang warna kuning."
Kamera menyorot dan memperbesar tampilan di layar proyeksi ketika Melati kecil mengambil sebuah crayon kuning dari kotaknya. Benda itu diserahkan ke Garda. Garda menerimanya dengan kening berkerut.
"Kok pink? Kuning, Mel."
Lho?
Mataku mengerjap tiga kali. Begitu juga Melati kecil dan yang lain. Tadi aku yakin sekali dia mengambil crayon kuning. Kenapa jadi pink?
"Ta-tadi kuning, Kak…" keluh Melati polos, meraba bingung crayonnya yang tiba-tiba berubah warna.
"Lha ini buktinya pink?" Wajah Garda tidak kalah polos. "Ya sudah, kalo gitu Kakak minta yang biru. Biru ya, inget, jangan pink."
Kali ini kupastikan mataku tidak berkedip. Begitu pula orang-orang kerumunan, tidak kalah antusias. Gadis kecil itu benar-benar mengambil crayon biru muda, dan lagi-lagi, setelah berpindah tangan benda itu berubah warna.
"Lho, kok pink lagi…?"
Sumpah.
Demi sempol! It WAS fcking blue!
Aku tak bisa menahan tangan untuk bertepuk keras dan melompat-lompat di tempat. Masih tidak habis pikir, kok bisa sih? Crayon yang sama, dengan cacat-cuil di tempat yang sama, berubah warna? Bukankah Ito memang seajaib itu?!
Tapi sepertinya cuma aku yang kegirangan duluan.
"He... hehe."
Semua menatapku, termasuk Garda yang berjengit singkat menyadari eksistensiku. Aku menurunkan tangan bersama dengan wajah. Duh sumpah isin! Norak banget sih ini tangan sama kaki! Nggak pernah liat sulap apa ya?!
Lalu, seperti gerimis berbuah hujan, tepuk demi tepuk lain mengguyur area acara lomba. Kuberanikan diri menengadah, dan semuanya tampak berbeda.
Seorang neurolog asal Perancis bernama Duchenne menyatakan bahwa senyum/tawa asli akan melibatkan kontraksi dua otot wajah. Pertama, zygomatic major, yang menaikkan sepasang sudut mulut. Kedua, orbicularis oculi yang menaikkan otot pipi, menyipitkan mata, dan membentuk garis halus di ekor mata.
Senyum dan tawa lepas jenis itulah yang kini menghiasi wajah-wajah di sekitarku. Sudut bibir terangkat, mata menyipit dengan alur tipis di ujungnya. Harus kuakui dari penampilannya, cara bicaranya, gesturnya, Garda adalah tipe individu dengan bakat alami seperti itu. Keberadaannya mampu menyihir suasana menjadi lebih hidup.
Atmosfer menghangat bersama munculnya keberanian Melati kecil untuk menjadi asisten sulap Garda lagi, bermain sebentar sebelum lomba dimulai. Garda tertawa, memunculkan lesung pipi lucunya, mengacak gemas puncak kepala gadis itu.
"Makasih ya, Melati sayang."
Yang digituin bukan aku. Tapi kenapa jantungku yang kembang kempis?
***
"Makan sempol udah bisa belom?"
Aku mengembus kasar. Sebagian karena pedas cwi mie, sebagian karena gemas.
"Yakali langsung bisa makan sempol." Bibirku mengerucut ke samping. Garda tertawa kecil setelah menelan potongan kentangnya.
"Aku baru tau ngasih makan bayi seribet itu. Bukannya ada bubur ama biskuit bayi yang tinggal seduh itu?"
Aku mengangguk, seraya menutulkan tisu di hidung yang berkeringat. "MPASI instan udah old shool, Gar. Sekarang jamannya MPASI WHO yang pake aturan pedoman gizi seimbang. Menunya sama dengan menu rumah sehari-hari, tapi beda tekstur. Nah kalo kita makan tempe goreng, sama, anak juga makan tempe tapi dikukus sampai empuk trus disaring halus. Dan no gula-garam, no cabe juga, supaya anak mengenal rasa alami dari setiap bahan makanan. Jadi nanti harapannya, anak terbiasa dengan masakan rumah, bukan yang instan-instan. Trus supaya…"
Rasa canggung seketika memelukku karena Garda, dengan satu matanya, menyorotkan antusiasme intensitas tinggi terhadap semua kalimatku. Dia bertopang dagu, sesekali mengangguk, dan memamerkan dekik bersama senyumnya.
Aku senang sih, Garda tidak marah soal Bumi yang tempo minggu lebih memilih Dokter. Katanya dia hanya terlalu sibuk sampai lupa membalas pesanku. Berarti pikiranku saja yang terlampau jauh.
"Kok berenti? Terusin, Mpus."
Aku menggeleng bisu, lalu tertunduk melahap cwi mie lagi. Telunjukku menggaruki pelipis yang tidak gatal. Kenapa jadi malu gini, ya? Garda ngeliatinnya gitu amat sih.
"Ih, malu?" Dia terbelalak, lalu mencubit hidungku. "Ciya ciye ciya ciyeee baru diliatin doang salah tingkah! Mpus, ini cuma diliatin belum diajak kawin!"
Belingsatan kusingkirkan jempolnya dari hidungku. Refleks kepalaku celingukan kanan-kiri. Untungnya ini baru jam 11 dan food court belum ramai, belum jam makan siang.
"Iyalah! Mana ada orang nggak malu diliatin kayak gitu!" desisku gemas.
"Aku nggak."
Beuh. Aku lupa. "Iya deh, yang biasa jadi pusat perhatian orang."
"Bukannya kamu juga sering diperhatiin orang?"
"Nggak tuh. Atas dasar apa orang merhatiin aku?"
"Atas dasar cantik dan misterius." Dia memutar bola mata dan mengembus gerah. "Kamu beneran nggak sadar kalo cantik atau cuma pura-pura lugu sih?"
Aku diam sesaat menatapnya.
"Aku cantik. Aku tau. Banyak yang bilang," sahutku narsis bercampur cuek. "Tapi itu artinya, banyak yang tertarik sama aku karena fisik semata. Pas udah tau rusaknya aku gimana, pasti banyak yang pergi."
Aku bukan pesimis. Ini realistis. Sudah terbukti 'kan?
"Aku nggak." Dia menggeleng lagi. "Aku tetep cinta. Apalagi kamu jelasin panjang-lebar-tinggi soal MPASI rumahan tadi, aku makin cinta."
Kepalaku terbenam lagi. Bibirku kram sendiri menahan senyum. Rasanya MPASI bukanlah topik lumrah yang dapat membuat seorang pria lajang tertarik pada seorang perempuan. Tapi Garda memang aneh. Seaneh sang dokter spesialis mata yang tidak menggunakan matanya dengan baik.
Dokter.
"Sedikit pun Dokter nggak akan paham, karena Dokter nggak pernah tau gimana rasanya punya ayah yang sayang sama Dokter!"
Sedang apa dia sekarang?
Di mana dia?
Apa dia sudah makan?
Apa dia sudah memaafkanku?
Apa aku masih kesayangannya?
Sebab, dia masih—dia selalu—kesayanganku…
Aku tersentak mendapati daguku diangkat pelan oleh sebuah belai halus. Iris pekat Garda fokus lurus padaku.
"Pedes banget ya, sampe bisa nangis?"
Aku menggeleng lemah. Punggung tanganku menguceki mata yang memang sembap. Aku baru tahu, terancam ditinggal dokter McFord rasanya begini sakit…
Aku berjanji untuk tidak memusingkan perkara asmara tapi kenyataan berkata sebaliknya.
Aku tidak mau perkara satu ini berimbas pada perkara Bumi dan kuliah, jadi harus dituntaskan secepatnya.
"Gar."
"Hmm?"
Bola mataku berputar, mencari kalimat, "Menurutmu, kalo aku pulang ke rumah sama Bumi, Papa sama Mamaku masih mau nerima aku nggak? Dan mau nerima Bumi nggak?" lalu kutatap lagi wajahnya yang kini serius.
"Papa sama Mamamu orangnya gimana?"
Kugambarkan padanya sesensitif apa Mama dan se-overprotektif apa Papa. Aku dekat dengan Mama, dan takut setengah mati dengan Papa. Takut mengecewakannya terlalu dalam dan tak ada kesempatan bagiku merangkak keluar mencari cahaya maaf.
Garda melahap potongan terakhir beef steak-nya, dan menanggapi, "Kenapa tiba-tiba mau pulang?"
"Aku…" Sebelum melanjutkan, aku menyesap lemon tea. "Kuliahku semester ini sudah habis. Papa-Mama mau aku pulang, tapi yah, aku nolak, Gar. Aku bohong degan alasan pelatihan PMR. Tapi… Dokter tiba-tiba beli tiket pesawat untuk aku pulang sama Bumi. Sudah dibayar. Sudah ada kode book-nya. Pesawatnya…" Aku menggigit bibir bawah, putus asa. "terbang besok."
Garda melebarkan kelopaknya. Bola mata itu seperti akan keluar dari rongga.
"Sakit jiwa dia! Tanpa minta persetujuan kamu? Memangnya dia kenal orang tuamu?!"
Aku menggeleng lagi. "Dokter sudah beli tiket itu sejak seminggu yang lalu, Gar. Bahkan sebelum Papa-Mama nyuruh pulang."
Garda menghempas punggungnya ke sandaran kursi. Aku menunduk lagi, memainkan sedotan lemon tea tanpa nyawa. Hening sesaat menjajah kami, sebelum Garda mencondongkan tubuh padaku lagi.
"Kamu yang ngejalanin semuanya, Mel. Ini hidupmu. Semua keputusan ada di tangan kamu."
Ya, aku paham itu.
Sepuluh jemariku diraihnya. Erat. Mantap.
"Kalau kamu belum siap, then don't. Karena kalau ini nggak berjalan semulus yang dokter itu harapkan, bukan dia yang susah. Bukan dia yang jatuh. Bukan dia hancur. Tapi kamu dan Bumi..."
Itulah yang kupikirkan juga. Garda merasakan kekhawatiran yang sama denganku. Kekhawatiran yang mungkin tidak sepenuhnya dirasakan Dokter karena… yah, dia bukan aku.
Dokter tidak memahami posisiku.
"Kalau dia cinta sama kamu, nggak seharusnya dia memaksakan ini semua ke kamu."
Kali ini, aku melepas genggamnya. Dia terhenyak. Aku pun tidak kalah bingung dengan refleksku sendiri.
Dokter mungkin tidak paham. Tapi bukan berarti perasaannya untukku adalah kesalahan. Dokter hanya menginginkan yang terbaik untukku, dan menurutnya, pulang adalah jalanku. Kami hanya sedikit berselisih paham.
Hari ini, kami jauh.
Dan, aku benci.
-BERSAMBUNG-
Malang, 30 Mei 2018
Love you to the moon and back, MeLuk 💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top