39 Ketika Bayi Memilih
🌟
HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT
Chapter 39 Ketika Bayi Memilih
🌟
Kebiasaan Bumi mengulum teether dan tangan sudah tiba di puncaknya. Dari laporan Mbak Sari, selama kutinggal kuliah 8 jam lebih, Mbak Sari mengganti baju Bumi sampai 5 kali. Bukan karena ompol tapi liur yang bocor.
Hal itu wajar mengingat Bumi sendiri sudah berusia 5 bulan, dan kurang dari sebulan lagi dia memasuki masa MPASI (Makanan Pendamping ASI). Parahnya, karena kesibukan kuliah, aku belum sempat memelajari apapun soal itu.
Berhubung aku sedang tidak sholat, waktu istirahat kumanfaatkan sebaik-baiknya untuk pumping, makan siang bekal dari rumah, setelah itu browsing tentang panduan MPASI WHO. Setelah membaca keseluruhan artikel berbahasa Inggris itu, aku menganga. Dengan napas tersekat.
It's not going to be easy.
Hmm, oke. Kuhembuskan udara kembali. Tenang, Melati. Jelas menjadi ibu tidak pernah mudah, apalagi single mother. Menjadi ibu tidak hanya berkorban fisik hamil-melahirkan, lebih dari itu, ini adalah permainan mental. Bagaimana seorang perempuan dapat bersabar ketika setiap detik disuguhi sederet tuntutan mengasihi malaikat kecil, sejak membuka hingga menutup mata. Itulah mengapa hadits mengatakan surga ada di bawah telapak kaki ibu.
Untuk mengembalikan semangat, aku menenggak separuh Milo hangat di meja, kemudian menepuk-nepuk pipi.
"Aku. Harus. Bisa!" Siapa lagi yang Bumi punya kalau bukan Mamanya.
Setelah sekian menit kuhabiskan untuk tulis-coret di atas binder, aku bertopang dagu lagi, menimbang poin yang paling esensial: menu. Dua minggu pertama sejak berusia 6 bulan adalah masa percobaan MPASI. Makanannya berupa menu tunggal, dengan frekuensi sehari 2x pagi-sore.
Menu tunggal adalah menu satu bahan yang dihaluskan. Karena ini masa percobaan, disarankan memberi menu yang bervariasi untuk mengenalkan macam-macam rasa dan memahami selera anak.
Makanan yang mengandung serat, bagi orang dewasa memang bagus untuk pencernaan. Tapi sebaliknya, terlalu banyak serat rawan konstipasi bagi bayi. Jadi aku menyusun menu selama 2 minggu dengan hati-hati, memerhatikan setiap detilnya, supaya dalam sehari Bumi tidak makan serat 2 kali. Harus berseling dengan karbohidrat, protein, dan kacang-kacangan.
Pensilku menggores di atas kertas binder, mengisi tabel menu tunggal. Sedangkan batinku mengucap sebait doa dan harap.
Semoga Bumi suka.
Semoga Bumi lahap.
Semoga Bumi sehat.
Semoga aku selalu mampu memberi yang terbaik untuk Bumi.
Tabel menu tunggal 2 minggu telah penuh dengan tulis-coret sana-sini. Nanti kuperbaiki di laptop, lalu di print untuk Mbak Sari. Aku tersenyum puas melihat tulisanku.
"Uuhhh…"
Aku mengangkat tangan setinggi-tingginya, meregangkan otot-otot yang kaku karena membungkuk sejak tadi. Mataku mengerjap cepat, menetralkan suhu yang naik karena terlalu lama menatap PDF di ponsel. Masih ada 15 menit sebelum praktikum histologi dimulai. Aku meluruskan badan dan kaki di sofa, mumpung yang punya ruang tidak ada di sini.
Sampai akhirnya yang punya ruang ujug-ujug datang dengan setangkup berkas. Kakinya melangkah secepat prajurit siaga satu dan menghempaskan diri di kursi putar-hitam meja kerjanya. Aku melompat dari tidur.
Haish. Batal molor.
Dia menegakkan duduknya setelah menyadari eksistensiku. Matanya membulat.
"Kamu mau pumping? I'm sorry pintunya terbuka jadi aku kira--"
"Nggak, Dok, sudah selesai kok," potongku cepat, meredakan paniknya. "Saya sudah selesai, makanya pintunya saya buka lagi. Saya cuma… numpang…" Duh, aku menggigit bibir bawah, malu. "Numpang istirahat."
Kuharap aku tidak terdengar lancang. Boleh 'kan? Dia pernah bilang aku boleh tiduran di ruang kerjanya 'kan?
"Hmm, well," dia tersenyum dan menyalakan power PC. Matanya beralih dariku ke layar jutaan pixel. "Aku ada kerjaan dikit. Kamu boleh istirahat, it is ok."
Dokter yang benar-benar fokus dengan layar dan keyboard, menghapus lelahku dan memancing rasa kepo keluar. Aku beranjak dari duduk, mengambil segelas air dingin dari dispenser dengan plastic cup.
"Habis darimana, Dok?" tanyaku basa-basi.
"Dari rektorat," gumamnya semringah. "Ngambil dana penelitian sudah cair. Ah, finally! Setelah sebulan lebih neror bolak-balik akhirnya turun juga! Ngaretnya sebulan, sial."
Aku tertawa kecil menghampirinya. "Emang Dokter nerornya gimana?" Tidak bisa kubayangkan Dokter memasang wajah seram dan mendatangi bagian keuangan rektorat setiap hari selama sebulan.
"Datang ke sana. Nanya langsung. Hasil penelitian diminta segera submit, giliran kami tanya dana selalu macet. Classic example of life's unfairness," gerutuan dengan bibir mengerucut itu benar-benar menggemaskan. Pengen cium. "Akhirnya aku bisa email semua kelompok supaya mereka ke sini dan segera ambil--uh… Mel?"
"Hmm?"
Jemarinya berhenti menari. Wajah itu berputar pelan padaku. Mungkin karena tanganku bergerak sendiri, menghapus butir demi butir peluh yang membasahi dahinya dengan tisu bersih. Rambut jagung itu sampai menempel di kulit pelipis saking basahnya. Wajahnya masih membara akibat tersengat matahari… atau tertegun karena tindakanku?
Uluh uluh. Kasihan Dokterku. Dia nampak lelah. Kusam, kumal, wajahnya berminyak hingga tidak lagi ingat menyeka keringat sendiri. Tapi karena sorot biru bahagia atas cairnya dana penelitian, aku ikut tersenyum.
"Is… this… for me?"
Mendadak kikuk, dia menunjuk gelas di tangan kiriku. Langsung kuserahkan karena memang kuambilkan khusus untuknya. Dia minum perlahan, sementara dari bibir gelas pupil matanya curi-curi melirikku. Aku masih asyik menyapu tulang pipinya dari debu dan minyak.
"Selesai."
Bersama dengan habisnya air sejuk di gelas, akupun selesai membersihkan wajah tampan yang masih bengong menatapku itu. Aku mengambil gelas kosong di tangannya, meletakkan ke rak dispenser, dan mengembalikan diriku ke sofa. Dokter kembali dengan layar dan keyboard, tetapi kali ini gerakannya kaku seperti robot. Tuts keyboard yang ditekan keras-keras menghasilkan bunyi ctak-ctak sumbang.
HAHAHA mampus! Biar sekali-kali dia tahu bagaimana gempanya jantung ini setiap jejarinya menjamah wajahku, sebagaimana aku menyentuhnya barusan.
"What were you doing, Mel?"
Aku memasukkan permen ke mulut sebelum menyahut, "Nyusun menu MPASI," dan sontak menepuk paha dengan mata melebar. "Apa saya konsul sama dokter Gina aja ya, Dok? Yakin nggak yakin ini saya nyusunnya."
"Hmm, wait."
Dari balik layar, kulihat gerak robotnya berangsur kembali normal. Setelah menyipit lima detik, mengulir-ulir mouse, dia mematikan LCD itu dan bangkit mendekatiku. Tanpa banyak bicara, dia mengambil binder di sebelahku dan diganti dengan dirinya.
Matanya memindai tulisan-tulisanku dengan satu sudut bibir terangkat… tunggu.
"Emang Dokter bisa baca tulisan saya?"
Jujur saja, sumpah aku malu. Tolong garis bawahi ini. Tulisan dokter McFord lebih readable daripada tulisanku.
"What's wrong with this?" tanyanya lugu.
Aku menggeleng dan mengembus lega. Fyuh. Iya juga ya, dia dokter. Masa' dokter nggak bisa baca tulisan (calon, aamiin) dokter?
"Boleh aku koreksi?"
Woah. "My pleasure." Aku mengatup tangan di depan dada. Dia tersenyum dan mengambil pena hitam di saku kemeja merahnya.
"Ok, first. About the menu. Karena pedomannya adalah pantang memberi serat 2 kali berturut-turut, maka," dia menandai tomat dan brokoli. "Menu Sabtu sore dan Minggu pagi ini harus diganti salah satu. Begitu juga yang ini, ini, dan ini."
Mulutku terbuka sendiri melihat jumlah kesalahanku. Baiklah, aku memang luput memberi perhatian di pergantian hari.
"And then this." Dia melingkari kuning telur dan udang yang ada di hari Senin sore dan Selasa sore. "Kuning telur dan udang beresiko alergi. Lebih baik ada selang 2-3 hari untuk melihat reaksi alergi. Kamu mungkin nggak alergi makanan apapun, tapi…"
Aku mengangguk, sangat paham.
Tapi mungkin, ayah Bumi punya riwayat alergi. Aku harus memperhitungkan segala kemungkinan.
"Daftar alat perang ini," Penanya mengarah ke daftar di halaman sebelumnya. "Kenapa banyak yang dicoret? Panci kukus dan blender yang di rumah besar, you need the smaller one. Kursi makan, bagus untuk melatih Bumi konsentrasi makan sambil duduk, bukan digendong. Slow cooker, this one's very useful for a busy supermom just like you. And some bibs… ya, ini lumayan karena MPASI pasti berantakan."
Demi apapun, kami memang sehati dan sepemikiran.
Yang aku tidak mau adalah dia membelikanku semua ini kalau dia tahu alasanku sebenarnya. Aku menarik binder di pangkuannya dan segera menjejalkan buku itu di ransel.
"Yaa nggak butuh aja, Dok, menurut saya," jawabku singkat, seraya bangkit.
"But--"
"Udah ya, Dok, thank you very much. Saya mau praktikum."
Keluar dari ruang koordinator riset, aku tersenyum getir. Maaf ya, Dok.
***
"Huek! Bweh! Puih!"
Air. Air!
Refleks tanganku menyambar segelas air di atas meja setelah meludah di wastafel. Kutenggak air di dalamnya sampai tak bersisa, membersihkan rongga mulut dari sisa puree brokoli. Mataku mengerjap berkilat, lidahku kontan keluar-masuk.
Hiks. Nggak enak…
Kuletakkan dagu di meja makan. Tidak kuduga MPASI pertama rasanya seburuk ini. Hanya bunga brokoli, dipotong-potong, dikukus, lalu dilumatkan dengan saringan. Aku yakin menurut pedoman WHO caranya hanya sesederhana itu.
Tapi kenapa rasanya begini? Di mana salahnya? Apa harus pakai bumbu rempah juga? Sependek pengetahuan teoriku, bumbu duo bawang untuk usia 7 bulan ke atas. Sebelum 7 bulan tidak disarankan memberi bumbu apapun. Bahkan tidak boleh menggunakan gula-garam sebelum genap berusia 1 tahun.
Aku memejamkan mata.
Begitu ingin rasanya aku menghubungi Mama dan menangis di saat seperti ini. Mamaku pasti tahu apa yang harus dilakukan. Aku mulai bertanya-tanya makanan apa yang dulu Mama berikan untukku dan Fikar waktu kami masih seonggok bayi.
Kupaksa diri bangkit dari kursi, menemui Bumi yang sibuk mencakar-cakar bulu karpet Persia. Aku menepuk-nepuk pantat jumbonya dan berusaha mengingat dulu Fikar makan apa. Kalau tidak salah, dulu Mama membuat bubur instan rasa pisang. Aku masih ingat aku suka curi-curi ikut melahap bubur itu, karena rasanya enak.
Sayangnya, memberi bubur instan itu tidak benar. Dulu mungkin benar, tapi seiring perkembangan dunia kesehatan dan pangan, para pakar menggalakkan kembali ibu di dapur dan memasak MPASI rumahan untuk anak. Beberapa alasan di antaranya gizi lebih setimbang, lebih sesuai kebutuhan anak, lebih alami, no gula-garam, dan yah, alasan klasik tetapi benar semacam lebih penuh cinta.
"Nih, naskun. Ya Allah sikilku njarem antriane dowo. (Ya Allah kakiku kram antriannya panjang)"
Datangnya Elia dengan dua bungkus nasi kuning memecah lamunanku. Kasihan membayangkan kaki pendeknya berdiri mengantri 30 menit. Aku segera mengambil dua pasang sendok dan piring, segelas besar air putih untuk berdua, lalu kembali ke depan TV. Serial anime Doraemon khas Minggu pagi sudah berputar di layar plasma itu.
"Bum, itu lho kembaranmu beda dimensi." Elia menunjuk-nunjuk Giant. Mentang-mentang ukuran anakku sedikit oversize, dia samakan dengan apapun yang besar-besar.
"Ehe, hee…" Si bayi yang terhina malah berguling riang seperti trenggiling.
Sambil memamah nasi kuning, aku berpikir ulang. Iya, ya, Bumi kan gemuk (banget). Bukan gemuk susu fomula, gemuk ASI. Waktu kutanya dokter Gina disela jadwal imunisasi, katanya, kalau gendut karena ASI nggak masalah. Justru bagus untuk cadangan tenaga, karena nanti kalau geraknya semakin banyak, tenaga terkuras, berat badan turun dengan sendirinya.
Belum lagi kalau nanti MPASI Bumi ngadat. Susah disuap, pilih-pilih makanan, ngemut…
Stop. STOP!
Aku menampar pipiku keras-keras. Bolak-balik. Maju-mundur. Salah satu prinsip utama dalam mengasuh anak adalah YAKIN. Yakin bahwa ibunya telah memberi semua yang terbaik. Yakin bahwa anaknya pintar dan pasti bisa. Tidak boleh pesimis di depan.
Bisa. Bumi bisa. Dia anakku, dia pasti hebat. Kalau aku bisa melahirkan dan membesarkannya hingga saat ini, selanjutnya dia pasti bisa.
"Apa sih nabok diri sendiri?" Elia memicingkan mata.
"Nggak papa," Aku meringis. "Nyemangatin diri."
"Ooh, kamu bisa semangat kalo ditabok? Kok nggak bilang dari dulu, Nyet? Aku sih semangat kalo nabok. Kita bisa simbiosis mutualisme."
Aku mengulum lidah. "Telek."
Tin! Tin!
Aku mengangkat kepala ke arah suara klakson dari luar rumah. Elia bangkit bersama Bumi dan kakiku mengekornya ke luar. Sampai di bawah langit biru, aku melengos melihat sebuah Pajero hitam terparkir di bahu jalan.
Ketika sang pangeran dunia magic keluar dan menghampiri kami, aku berkacak pinggang.
"Nggak bilang mau kesini," decakku. Kalo tetangga depan rumah lihat gimana? Kacau dunia persilatan.
"Emang siapa yang mau kesini?"
Lha? Bego apa bego nih?
Aku memelotot. "Trus ngapain di sini?!"
"Mau jogging."
"Yaiya jogging naek Pajero?"
"Eh suka-suka gue lah, mobil-mobil gue." Nada sewotnya membuatku semakin merasa tolol. "Kamu yang ngapain di sini?"
Bentar. Ini yang konslet siapa tho?
"Ya emang aku tinggal di sini, Njir!"
"Kamu tinggalnya di hatiku. Ayo sini balik!"
Mangapku semakin jatuh.
"Iyuh! Sa ae, Mas! Gilo hiii!" Elia menggelinjang jijik. "Bum Emakmu termodusi, Bum! Kasih air keras, Bum, lulurin!"
Bibirku terlipat geli melihat Elia memukuli Garda dengan bulat tangan Bumi yang berkilat karena liur. Cowok itu tertawa renyah dan segera mengambil Bumi, menapukkan tangan mungil itu ke lesung pipinya sendiri.
"Bum, ih bau kecut." Hidungnya berkerut membaui perut anakku. "Lom mandi 'kan? Berenang yok. Papa bawa kolam renang."
Aku dan Elia berpandangan. Bawa kolam renang?
***
Kolam renang yang dimaksud adalah kolam pompa plastik ala ala baby spa. Aku tahu aku sangat menyukai ide ini karena melihat gumpalan lemak seperti Bumi mengambang di kolam… pasti sangat instagramable. Sayang sekali tidak mungkin aku bisa berbagi si gantengku di sosial media, atau keluarga besarku akan tahu aku sudah punya anak.
Jadi aku cukup puas menyimpan video bulatnya Bumi berkecipak heboh dalam air… untukku sendiri.
Kepala Bumi bisa bertahan di permukaan berkat pelampung yang dipasang melingkar di leher, dan sepasang lagi di ketiaknya. Panas matahari di halaman rumah membuatnya nyaman di dalam air tidak kedinginan.
"Aduh! Duh! Bum!"
Liar bener anak ini. Gesit tangannya menciprati air ke wajah dan bajuku. Aku meraup wajah basah dengan gemas.
"Ehee, hee… hehee!"
Tapi melihat keceriaannya, pipi bengkaknya lembap berkilat disinari mentari, mana tega aku marah. Aku memilih jongkok di balik dinding kolam supaya terlindung dari bom air yang diciptakannya.
"Mpus, liat sinim"
Karena tahu akan difoto, aku tersenyum seadanya dan melambai ke arah kamera. Bumi masih menyipratiku dengan brutalnya sampai mataku perih dan tidak tahan lagi untuk mengerjap.
"Eh! Eh, eeh…!"
Rengekan Bumi terdengar berbeda. Setelah beberapa kali kucek mataku tetap masih perih, tetapi kupaksakan dibuka. Bumi sudah berputar arah dan otomatis aku mengikutinya.
Di belakangku, Dokter membungkuk bertumpu lutut dan mencubit hidung Bumi yang tertawa girang. "Lovely morning, B."
Sontak aku menjauh dan segera berdiri.
Gawat. Itu tadi gawat! Wajahnya terlalu dekat merangsang jantungku berpacu kuat. Bagaimana bisa aku tidak mendeteksi kedatangannya?
"Bisa minggir? Gue mau moto bayi." Garda berkata datar di sebelahku.
Dokter menatapnya tajam, beberapa detik, lantas manik itu beralih padaku. Aku, yah, apa lagi yang bisa kulakukan selain meringis kalut?
Mengerti kebingunganku, Dokter mendesah pasrah dan meletakkan dirinya di anak tangga teras. Bumi semakin beringas menggerakkan tangannya.
"Eh! Eh! Eeh!"
Ah-eh-ah-eh-nya yang aneh itu memancingku mendekat lagi. Wajahnya berkerut-kerut kesal menahan sesuatu.
"Kenapa, Bum? Udahan?" tanyaku, hendak mengeluarkannya dari kolam. Tapi dia malah menampik tanganku dan membabi-buta.
"Eh! Eh! Eeh… EEEHHH!"
Aku menatap Dokter dan Garda bergantian dengan wajah kuyup akibat kelakuan Bumi. Meminta bantuan. Ini anak maunya apa dah?!
Garda meletakkan kameranya di meja teras dan mendekati Bumi. Tangannya terulur, bersama rayu-rayuan maut dengan suara bayi dan ekspresi lucu. Namun alih-alih senang, Bumi memekik kesetanan.
"AAAAKK!!! EH! EEH! HUWEEAAA!!!"
Waduh? Kenapa jadi kejer?
Air kolam masih bening. Dia nggak pup kok. Tapi kenapa…?
"Bum, ayo sama Mama…"
"EEEHHH!!! AAAA!!!" Dan tanganku ditabok lagi.
"Bum…"
"HAAA!!! HUWAAA!!!" Garda terkena serangan bom air.
Kulit jari-jari gempal itu mulai berkerut. Air matanya berlomba deras dengan ingus dan liur yang bercampur di air kolam. Kalau sudah begini mau tidak mau dia harus dipaksa. Aku baru menggulung satu lengan daster baby doll-ku, ketika Dokter ikut merunduk di samping Garda.
"Eh! EH! EEEH!!!"
Bumi berpusing-pusing kepayahan, dan gerakan air mengantarnya mendekati Dokter.
"Hey, Bum, what's wrong?"
Wait. Jangan-jangan Bumi…
Dokter mengulurkan sepasang lengannya, dia tersenyum hangat, dan tanpa susah payah mengangkat bayi gila itu keluar dari kolam. Di luar air, Dokter menggesekkan hidungnya dengan pucuk hidung Bumi, dan Bumi tergelak cerah-ceria. Lupa betul dia kalau baru saja kesurupan.
"Handuk, Mel."
Aku buru-buru berlari menyambar handuk Bumi di kursi, membalutkan kain tebal itu di tubuh licinnya. Setelah tertutup rapi, Bumi diserahkan padaku. Bukannya tenang, tubuh Bumi menggelinjang hebat dan refleks kujejalkan lagi dia ke peluk Dokter.
Dia kalem lagi.
"Ehe… hehee!" tinju kecilnya menghujani dagu Dokter.
Ketika punggung dokter McFord menjauh ke dalam rumah bersama Bumi, aku dan Garda berpandangan. Wajahnya tidak kalah shock denganku setelah kejadian barusan. Lebih-lebih, bibirnya terkatup rapat, rahangnya mengetat, dengan wajah pias seputih kapas. Entah kenapa.
Pundakku melengkung kuyu. Satu desah kecewa berat lolos dari mulutku.
Aku kalah telak. Bumi sudah bisa memilih, dan Mamanya bukan yang terpilih. Hiks.
Dasar bayi dugong!
***
Bahkan urusan memakaikan baju, Bumi memilih Dokter. Terbukti dia hanya mengizinkan badannya disentuh oleh tangan Dokter. Selain Luke McFord, go to the sea aja. Mungkin itu yang ada di otaknya.
Alhasil Dokter benar-benar memberi perharian penuh untuk anak manja itu. Meninggalkan aku, Elia, dan Garda menonton Frozen dengan ekspresi yang juga frozen (baca: beku), sambil mengunyah lapis Surabaya hangat yang baru dibuat Elia.
Terutama Garda. Dia sama sekali bisu. Tidak mengatakan sepatahpun sejak kami selesai merapikan kolam plastik. Hari ini kutemukan lagi, ekspresi cowok itu yang belum pernah kulihat sebelumnya. Satu mata itu memang terpancang di layar 52 inch. Hanya nyawanya tidak di sini.
Aku tahu dia menyayangi Bumi. Dia kemari untuk main dengan anakku. Tapi tidak kusangka dia akan se-terguncang ini mengetahui kedekatan Bumi dan Dokter. Mungkin karena Garda memang jarang melihat interaksi mereka. Sedangkan aku, bisa cukup maklum kalau Bumi menyukai dokter McFord.
Memang akhir-akhir ini aku merasa Bumi semakin aktraktif, antusiasme terhadap Dokter meningkat, apalagi kalau diajak bermain. Apa saja. Dokter sering mengajak cilukba, toss, kepala-pundak-lutut-kaki, dan banyak permainan berlagu bahasa Inggris lainnya.
"Hey, you… boo! Peek-a-boo, I see you…~"
Kulirik dua makhluk kesayangan dibelakangku yang sedang main peek-a-boo, a.k.a cilukba. Mendengar gelak saling bertumpuk, menyaksikan urat keduanya tertarik tanpa beban, aku tersenyum simpul. Ada haru, biru, diaduk bersama cemburu.
Aku ingin berada di antara mereka. Boleh 'kan? Bukankah aku ibunya?
"Bum." Kuputar badan menjenguk anakku dipangkuan Dokter. "Bobok yuk. Sama Mama," pintaku bermanis-manis.
Benar saja, ketika menemukanku, dia mengangkat tangan penuh arti. Aku segera merebut Bumi, berdiri, dan menimangnya sebentar. Sebentar, karena sesudahnya dia merengek. Lagi.
"Haish!" Aku mendesah jengah karena akhirnya Dokter berdiri dan mengambil Bumi lagi.
Lagi. Lagi. Dokter lagi, Dokter lagi! Aku kapan?!
Dia mengerutkan dahi. "Do you like me that much, Bum?"
"Eh! Eh! Eeh!"
Bumi mengamuk di dada Dokter, jadi kuambil dia kembali. Tangannya menapuki dadaku, yang artinya dia ingin menyusu. Tapi sekali lagi dia ber-ah-eh kesal mencari Dokter, membuatku semakin pusing memikirkan apa inginnya bayi rewel ini?!
"Ish! Gimana maunya sih?!" kakiku mengentak kesal.
Elia di karpet menyerongkan kepala padaku sambil berkata polos.
"Dia mau nenen tapi ditemenin Mas Luke."
Dan langsung aku menoyor kepalanya keras-keras hingga dia terjungkal. Dokter dan Garda berjengit di tempat.
GOBLOK KALI YA. NENENIN DEPAN DOKTER.
"Nggak usah njawab kalo ngawur!"
"Yeee dikandani ngeyel! (Yeee dibilangin ngotot)" Dia mengusap kepala jamurnya yang baru mencium karpet. Makiannya semakin melengking. "Orang cuman nyaranin! Dulu tuh Restu sering rewel gitu maunya nenen tapi ditemenin Ayah juga! Yaudah sih kalo nggak percaya serah!"
"Ya tapi kan Dokter bukan--"
Mati-matian kukatup bibir yang tidak tahu sopan santun ini.
"Emang bukan. Bukan bapaknya Bumi, liat aja noh jelas-jelas tampangnya Bumi jauh gak ada bule-bulenya! Tapi kalo Bumi taunya Mas Luke itu papanya, trus kamu bisa apa?"
Aku bisa--hanya bisa meremas punggung baju mungil Bumi dan menelan semua kalimat bulat-bulat. Otot wajahku meregang saat hening menguasai ruang ini.
Tak ingin berdebat lagi, kakiku melangkah besar-besar menuju kamar. Sayangnya, bayi raksasa dalam pelukku tiba-tiba mengamuk hebat.
***
Bukan rahasia lagi bahwa tubuh setiap individu memiliki aroma khas. Sebagian besar ilmuwan bahkan menganggap aroma khas ini sebagai pengenal identitas unik layaknya sidik jari. Aroma khas ini dipengaruhi oleh pola makan dan gaya hidup. Atau, pengaruh hal-hal genetis seperti proses metabolisme tubuh, misalnya.
Hari ini aku mengerti, itu bukan teori semata. Aku tidak tahu wangi seperti apa yang menguar dari tubuh dokter McFord, hingga Bumi terus gelisah mencarinya. Malu tak malu, akhirnya kuturuti juga saran sableng Elia untuk menyusui ditemani Dokter.
Bukan. Aku bukan membuka baju di depan Dokter. Walau yah, aku pernah melakukannya. My bad.
Di kamar, aku berbaring menyamping untuk menyusui Bumi. Hanya saja kali ini dokter McFord juga berbaring menyamping, membelakangiku, mengapit Bumi dengan punggung besarnya. Bumi yang sudah dapat kehangatan yang diinginkan, langsung melahap dadaku yang sudah terbuka.
Menyaksikan dua orang ini bertolak punggung, aku baru sadar. Keseluruhan tubuh Bumi sama panjang dengan garis punggung dokter McFord. Betapa mininya anakku dan besarnya Dokter ini. Keduanya sangat berbeda, tetapi sama dalam satu hal: aku mencintai mereka.
Aku hanya bisa menerawang Dokter dari belakang, dari balik rambut jagungnya, mengira-ngira bagaimana perasaannya saat ini. Aku cukup yakin jantungnya tidak kalah melompat dari punyaku.
"Dok, jangan noleh lho," bisikku, dekat di tengkuknya.
"Jangan mancing!" Dia mendesis.
Bibirku meringis tanpa suara. Benar 'kan, dia grogi!
"Dok, maaf ya. Bumi ngerepotin terus. Thank you so much, for almost everything."
Punggungnya masih bergeming. Dan walau posisi tidurnya menyamping, aku melihat anggukan kecil dari kepalanya.
"Dokter pake apa sih, sampai Bumi maunya nempel terus?" gumamku, lebih kepada diri sendiri. Tapi rupanya dia menyahut.
"Kamu sendiri pake apa?"
"Apanya?"
"Sampai aku maunya nempel terus?"
Ya kampreeet!
Kalau bukan karena mata Bumi sudah hampir terpejam, aku pasti memaki pria ini habis-habisan. Kurang ajar. Beraninya dia menyentuhku tepat di sini: di hati!
Beberapa detik kuhabiskan dalam hening, untuk menetralkan rasa. Dokter mengeluarkan ponselnya, tak lama dia memainkan game burung merah menembak babi hijau untuk mengusir jenuh.
"Dok," bisikku lagi. "Saya mau curhat."
Dia mengangguk setelah menembak babi besar di puncak menara. "I'm all ears."
"Gini, Dok. Ada laki-laki yang suka sama saya. Dan, saya juga suka sama dia."
Hanya dengan kalimat itu, ibu jari dokter McFord mem-pause game.
"Dia orangnya… emm, gimana ya ngomongnya?" Bola mataku yang panas berputar-putar. "Dia istimewa, dan saya merasa istimewa setiap sama dia. Dia nerima semua kekurangan dan masa lalu buruk saya. Dia meyakinkan saya, bahwa saya juga berhak bahagia. Bumi juga nempel banget sama dia. Saya rasa Bumi ngerti, Mamanya cinta sama orang ini. Di antara semua laki-laki yang pernah deketin saya, yang satu ini jauuuhhh… Semua yang dia lakukan, sangat berkesan dan membekas di hati saya.
"Saya sering bilang sama dia, saya nggak mau mikirin selain dua hal: Bumi dan kuliah. Awalnya begitu. Tapi makin kesini, I don't think I can hold it any longer, Dok.
"Saya semakin cinta sama orang ini. Karena dia, sekarang saya berani bermimpi. Saya berani berharap dan mulai menyusun cara bahagia saya sendiri. Dia, jelas masuk di rencana bahagia masa depan saya.
"Mungkin ini cuma sisi melankolis saya. Masih ada rasa takut untuk menerima orang ini. Takut semuanya nggak semudah berharap. Takut bahwa semua ini cuma mimpi indah, dan setelah saya menerima orang ini, saya dibangunkan di dunia yang menentang hubungan kami--"
"Jadi kamu memilih hidup dalam mimpi indah daripada kenyataan?"
"Bukan--" Aku menahan kalimatku. Ada batu tersangkut di tenggorokan. Ada desak menyesak dada. Ada perih yang keluar bersama air mata.
Aku meraup napas dalam.
"Iya," serakku parau. "Iya saya takut kalau pada akhirnya saya dan dia hanya memaksakan hubungan kami untuk bisa diterima semua orang."
Mati-matian kuseka mata agar airnya tidak meluruhi Bumi. Payah. Menyedihkan. Cengeng. Aku sudah berjanji untuk tidak berharap banyak soal cinta tetapi nyatanya, prinsip itu retak. Retak menjadi remuk. Remuk berujung runtuh.
Bagai rumah, aku adalah rumah yang hancur menjadi puing. Aku berusaha menata kembali pondasi. Apa jadinya jika rumah hancur yang belum selesai diperbaiki nekat untuk dihuni?
Puing akan rusak berkeping.
"Kenapa suatu hubungan harus dipaksakan kepada orang lain?"
Pertanyaan itu menyeretku kembali dari lamunan.
"Selama hubungan itu tidak salah, tidak ada hubungan darah, bukan pula hubungan dengan sesama jenis, tidak ada yang perlu dipaksakan, Mel."
Setiap kalimat dokter McFord kucerna dalam diam.
"I'm not qualified nor specialized to talk about relationship, but yes, setiap hubungan perlu diperjuangkan. Kalau dia serius cinta sama kamu, artinya dia siap berjuang. And vice versa, kalau kamu serius dengan perasaanmu, kamu harus siap untuk itu. Kamu nggak sendirian, Mel. Yang perlu kamu ingat, selalu ingat, dia yang serius bersedia melalui semuanya berdua. Dua, sebagai satu."
Berdua?
Belum selesai aku memahami itu, mulut Bumi terlepas. Kelopak kecil itu telah memejam sempurna. Aku menyeka jejak ASI di sudut bibirnya yang tersenyum puas.
Segera kurapikan baby doll dan menutup dadaku kembali.
"Dok, Bumi sudah tidur. Sudah boleh ditinggal."
"Ok. May I turn around?"
"Boleh."
Dengan gerak perlahan, supaya tidak mengusik Bumi, dokter McFord mengubah posisi menjadi duduk. Kehilangan sandaran punggung, otomatis Bumi menelentangkan diri. Dokter membentengi tubuh kecil itu dengan guling untuk menjaga kehangatan. Dia tersenyum, lantas mengecup ringan kening anakku.
"Such a klutz just like his Mama."
Tadinya aku baru akan protes karena dikatai klutz, tetapi kemudian dokter McFord menatapku. Dalam, dekat, dan hangat. Aku hampir tidak lagi merasakan jantungku, saat Iris samudera itu berkilat dan dia bertutur. Lembut nan teratur.
"Do not overthink. Dia yang serius, akan mengizinkan semua yang kamu rasakan mengalir tanpa harus terburu-buru."
Dan mengakhirinya dengan satu cium di keningku.
-BERSAMBUNG-
Malang, 23 Mei 2018
Luv u to the moon and back, MeLuk 💓
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top