37 I'm Lovin' It
🌟
HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT
Chapter 37 I'm Lovin' it
🌟
Dokter.
Aku melihat senyumnya. Tawanya. Sipunya. Tangisnya. Kecewanya.
Aku mendengar panggilannya. Seruannya. Bisiknya.
Aku merasakan tepuknya di kepalaku. Dahinya bersinggungan dengan poniku. Genggam tangannya yang mengisi sempurna setiap sela jemariku, tanpa gentar. Peluk eratnya yang selalu menghangatkan di saat dingin, dan menyegarkan di saat panas.
Dia ada di sini. Di memoriku. Di hatiku.
Dokter telah memenuhi setiap ruang hingga celah terkecil, dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan debaran gila yang terjadi setelah ciuman Garda. Ini terasa aneh dan...
Tanganku bergerak, perlahan menolak dadanya. Menciptakan kembali jarak yang sempat hilang karena tindakan tak terduganya.
... aneh, dan berbeda. Berbeda dengan debaran yang terpacu setiap berurusan dengan dokter McFord.
"Pulang."
Keseluruhan tubuhku terlalu lelah untuk mencerna. Aku hanya ingin sendiri.
"Mel..."
"Pulang, please?"
Karena suaraku sudah tersangkut, aku segera masuk tanpa menunggu reaksi Garda lagi. Kukunci pintu dan melepas kaitan tirai jendela. Kain tebal itu patuh menutup jendela.
Tubuhku terbanting di sofa. Pelupukku memejam keras hingga nyeri. Jemariku semrawut mencarik wajah. Satu, dua, dan akhirnya sepuluh jariku basah oleh air bening yang mengucur deras dari mata.
Adrenalin yang kian meningkat, menyebabkan dadaku belum berhenti menggila. Aku benci. Dengan segenap kesadaran diri, aku benci!
Perasaan apa ini...?
***
Dua hari sudah bayang-bayang kejadian itu memburuku seperti debt collector. Bahkan sampai Ujian Akhir Blok muskuloskeletal selesai, kata-kata itu masih jelas bergaung di telingaku... dan hatiku, sepertinya.
"Aku, orang yang mencintai kamu."
Beberapa kali Garda mengirimiku fotonya menunggu panggilan boarding di lounge bandara, dan bertanya apakah Bumi suka dengan box bayinya, tapi tidak satu pesanpun yang ingin kubalas. Atau lebih tepatnya, aku bingung harus bersikap seperti apa.
Sebab, bagaimana bisa dia begini?
Bagaimana bisa dia setenang ini mengirimiku pesan, setelah mencuri ciuman yang... bukan ciuman pertamaku, memang. Namun itu adalah pertama kalinya aku dicium oleh pria yang kukenal. Pria yang kukenal, bukan pangeran cabul entah siapa yang tidak ingin kuingat itu. Dan dicium, bukan mencium seperti yang kulakukan pada Dokter waktu dia tidur.
Dokter...
Waktu itu dia juga ingin menciumku, mengapa aku menolak? Mengapa aku tidak menolak Garda juga?
Bukan, bukan begitu.
Malam itu semua terjadi begitu saja. Ciuman itu datang dengan cepat, dan dalam. Sama sekali, tidak secuilpun terlintas di benakku bahwa saat itu aku akan dicium. Sedangkan Dokter, dia jelas-jelas memberi gestur hendak menciumku dan aku menerima... pada awalnya. Sampai kesadaran menghentikanku.
"Mel."
"Hmm?"
"Kamu makan bakso pake sambel ato sambel pake bakso?"
Aku tersentak. Sendok sambal langsung terlepas dari tanganku, dan saat aku menoleh ke bawah, cairan oranye kental menutupi hampir seluruh permukaan satu porsi baksoku. Sementara di mangkuk sambal yang awalnya penuh, hanya bersisa seperempat. Karena kebodohanku.
Aku mendesah panjang. Untungnya Roman mengingatkanku.
"Udah nggak papa, pinggirin aja sambelnya ke piring."
Tak punya ide lain, aku memilah sambal sebisanya dari mangkukku ke piring kecil yang menjadi alas mangkuk.
"Jangan bilang-bilang yang lain ya, Rom," pintaku setengah berbisik. "Isin aku."
"Trust me." Roman di seberangku, mencondongkan badan. "Tapi ceritain dulu, apa yang bikin kamu meleng."
Ciuman.
Aku mengurut pelipis. Di saat yang bersamaan, jawaban ciuman akan terdengar bodoh dan vulgar. Mataku berputar memikirkan kalimat lain.
"Kamu pernah suka sama cewek 'kan?"
"Kalo nggak pernah suka sama cewek aku nggak mungkin pacaran sama Wanda, dong," Roman terkekeh. "Why?"
"Kalo suka sama dua cewek sekaligus?"
Dahinya berkerut sejenak, dan setelah menelan mamahan bakso, Roman menjawab.
"Nggak pernah, sih. Wait. Dokter McFord suka sama cewek selain kamu? Oooohhh, sekali-kali dosen perlu diajarin juga kayaknya--"
"Bukan, bukan!" sangkalku segera sebelum Roman selesai menyingsingkan lengan kemejanya. Duh! Ini anak kadang suka menarik kesimpulan seenak dengkul. "Ya aku nggak tau sih dia gimana. Tapi yang aku maksud di sini bukan dia."
"Hmm." Roman melunak, menganggukkan kepala. Bibirnya melengkungkan senyum ringan. "Jadi... apa yang bikin kamu berpikir kamu suka sama dua cowok sekaligus?"
Tetapi kadang pula, cowok ini pekanya lebih dari cewek. Wajahku auto panas mendengar pertanyaan itu, ditambah kuah bakso overdosis sambal yang baru saja kuseruput.
"Karena... aku deg-degan?" Aku mengerjap lambat.
"Sama dua-duanya?"
Aku mengangguk.
"Aku rasa ya, Mel. Deg-degan bukan barometer rasa suka, garis miring cinta." Pernyataan itu dapat kuterima. Aku menyimak sambil memotong tahu bakso. "Aku pernah deg-degan gara-gara kamu, waktu kamu mau lahiran. Aku deg-degan setiap ngeliat Sandra nyanyi live di panggung. Tapi deg-degan untuk Wanda jelas beda."
"Bedanya di mana?"
"Gimana jelasinnya ya?" Mata cokelatnya menyipit untukku. "Yang jelas, nyebut namanya aja bisa bikin dugun-dugun sih. Dia lewat gitu aja aku doki-doki. Crut napa gue jadi alay gini dah."
Aku tergelak pelan. "Nggak papa, cinta emang rawan drama." Tapi... "The truth is, aku ngerasain itu untuk dua-duanya, Rom."
"Hmm?" Roman setengah terbelalak saat menyesap soda gembiranya. "Deg-degan yang sama persis? Maksudku, deg-degan seneng, berbunga-bunga, dan bawaannya pingin selalu sama-sama?"
Aku terdiam sejenak. Mencoba mengingat, rasa apa yang mengiringi debaran yang kurasaan saat bersama Garda.
"Kalo deg-degan gelisah, termasuk?"
"Anxiety terlalu luas, Mel," sahutnya segera. "Nggak bisa lebih spesifik gelisah yang gimana? Bisa jadi kamu cuma kasian, atau sebaliknya, kamu takut sama dia."
Kasihan? Takut?
Tidak ada alasan kuat untuk merasakan keduanya pada Garda. Maksudku, dia memang pernah cerita, dia benci hidupnya. Dia kehilangan satu mata, dan bukan anak kandung. Tapi bukankah itu semua masa lalu? Semesta bisa saja lebih ramah padanya kalau dia mau berdamai dengan keadaan: menerima sebuah kehilangan organ, dan mengasihi siapapun yang telah berbaik hati mengasuhnya sejak kanak-kanak.
Kasihan? I don't think so.
Dia menyenangkanku dalam banyak hal. Dia membawaku ke BNS. Dia membawaku melihat kunang-kunang. Dia juga sangat sayang pada Bumi, dan aku.
Takut? I don't think so either.
Ini tidak ada hubungannya dengan Bumi atau kuliah, tapi perasaan ini sungguh mengganggu. Menggerogoti kewarasan. Rasa yang berbeda dengan yang kurasakan pada Dokter. Dan sekarang, abu-abu bagiku mana yang cinta atau bukan. Kalau bukan, lantas apa?
"Apa kamu ngerasa nyaman sama dua-duanya?"
Aku mengangguk lagi atas pertanyaan itu.
"Rasa nyaman yang sama persis?"
Kali ini sedikit ragu, tetapi akhirnya aku menggeleng.
"Gini deh. Ini 'kan perasaan kamu, jadi kamu yang paling ngerti, Mel." Roman menangkupkan sendok dan garpu di mangkuk kosongnya. "Aku cuma bisa bilang, menurutku, rasa cinta itu nggak aneh-aneh kok. Kamu bisa ngenalin perasaan itu dengan mudah. Cinta itu sederhana, nggak ribet. Kalau ribet, bukan cinta. Igor Gavriil Romanov, mahasiswa preklinik calon konsulen cinta, 2k18."
"Cuih! Telek!" cibiranku bercampur tawa. "Jadi intinya, suka sama 2 orang sekaligus itu mungkin apa nggak, Dok?"
Roman mengangguk. "Mungkin. Tapi nggak mungkin sama persis. Pasti dominan salah satu, atau, salah satunya bukan cinta, atau lagi, justru dua-duanya bukan cinta."
Aku mengulas senyum. "Make sense, Rom. Berarti harus bisa ngebedain, ya?"
"Iya. Dan yang bisa ngebedain cuma kamu. Nggak usah keburu-buru deh kalo memang masih bingung, time will tell. Cinta nggak menuntut, tapi merangsang. Merangsang untuk jadi orang yang lebih baik."
"Igor Gavriil Romanov, mahasiswa preklinik kesayangan Wanda, 2k18."
Roman tergelak, dan tersedak sedotan terakhir soda gembiranya.
***
Bazar Buku Murah (BBM) yang diselenggarakan di balai kota menyedot animo hampir seluruh lapisan masyarakat. Pasalnya, ini adalah tahun pertama BBM diadakan di Malang selama 7 hari. Tahun-tahun sebelumnya, kera Ngalam (baca: arek Malang) yang ingin mencicipi BBM harus menempuh 3 jam perjalanan bolak-balik Malang-Surabaya, sebab hanya diadakan di ibukota.
Salah dua yang tertarik untuk mampir ke sana adalah dokter McFord dan dokter Yuan. Karena aku pulang menebeng si Prius, jadilah aku juga diseret ke tenda raksasa semi-permanen yang bertahta di depan kantor walikota itu.
"Jangan lama-lama, Dok. Maksimal jam empat. Saya mau ketemu anak saya, Mbak Sari juga mau pulang," tegasku keras sebelum kami keluar mobil.
"Heh, emak-emak galak. Nebeng ya nebeng aja yang kalem. Yekali ada orang nebeng ngatur yang punya akomodasi."
Sudut bibirku berkedut cepat ketika dokter Yuan sewot setengah mati sambil melepas seatbelt. Gembel juga dokter sipit satu ini.
"Ada, saya barusan," jawabku dingin, melirik dokter McFord dari rearview tengah. "Maaf, Dok, saya rasa dokter McFord lebih paham apa yang saya maksud. Saya nggak mau berdebat sama Dokter."
"Dunno why, ya, Sempol. Tapi tiap ngeliat muka jutek kamu bawaannya pingin ngedebat. Bisa ya Lulu sabar tetanggaan sama mahasiswi judes, berangkat-pulang bareng tiap hari pula."
"Stop it, Li."
Satu peringatan dari dokter McFord membungkam rapat mulut dokter Yuan. Kami keluar dari mobil yang serempak mengunci keempat pintunya setelah ditutup. Aku mengembus jengah.
Sejak awal sepertinya dokter Yuan memendam sentimen pribadi padaku. Dia selalu mewanti-wanti supaya aku tidak mempermainkan perasaan teman sejawatnya. Memangnya kapan aku main-main? Hanya karena aku tidak berani mengakui ketertarikanku, bukan berarti aku ingin bermain-main. Kalau aku tidak punya debar yang sama untuk dokter McFord pasti sudah kutolak mentah-mentah seperti cowok-cowok lain.
Kurasa dokter Yuan justru tidak suka dokter McFord memilih perempuan yang 'seperti aku'. Yang hidupnya sudah tidak seperti remaja normal. Yang sudah tidak suci karena tercebur di kubangan zina. Pikirnya, masih banyak ikan di laut yang lebih sehat, kenapa harus Melati?
Inilah kenapa aku belum berani menyambut uluran tangan dokter McFord. Masih banyak manusia seperti dokter Yuan yang memandangku sebelah mata.
Tepat di stand pintu masuk tenda, ada jemari lain yang sempurna mengunci jemariku. Aku menoleh kepada si pemilik mata biru yang membaca-baca selebaran di tangan lainnya yang tidak menggenggamku.
"Kita pulang sebelum jam empat. Keep my words."
Pria ini, satu dari segelintir orang yang benar-benar bisa memahami kondisiku. Dan seluk-beluk hatiku. Aku ingin belajar memahaminya sebagaimana ia memahamiku, jadi kueratkan genggaman, dan memberi senyum termanis.
"Dokter nggak perlu buru-buru buat saya. Saya percaya sama Dokter."
Wajah tampan itu kini menyerong padaku. Seringai jahil terbit di bibirnya.
"Yang buru-buru buat kamu siapa? Aku memang kangen Bumi, nggak ada maksud buat kamu."
Mataku membulat. Hish. "Dokter nggapleki!"
Dia tergelak saat aku menyikutnya tanpa melepas erat tangan kami. Aku digiring menuju bagian buku cerita anak, dan mataku langsung dimanjakan dengan lautan kertas warna-warni berbagai ukuran dan bentuk. Aku meraih sebuah boardbook seukuran telapak tangan bertemakan anggota keluarga. Judulnya: Aku dan Keluargaku.
Ada ibu. Ada ayah. Ada kakak. Ada adik. Ada kakek. Ada nenek...
Aku tersenyum getir mengembalikan buku itu. Tidak cocok untuk Bumi yang hanya punya ibu. Lupakan saja.
Mataku beralih ke boardbook lain yang ada cerita sederhana kehidupan sehari-hari. Secara naluriah aku memilih cerita tentang bermain bersama teman, hewan peliharaan, guru, hobi, apapun yang tidak berhubungan tentang keluarga. Buku tentang seekor kucing yang suka bermain bola dengan teman-temannya sudah kumasukkan ke tas plastik bening yang harus dibawa ke kasir.
Dokter McFord menyerahkan 3 buku pilihannya padaku. Sebelum kumasukkan ke tas, buku pertama adalah boardbook tentang kalimat penting sehari-hari seperti mengucapkan salam, 'maaf', 'tolong', 'terima kasih', dsb. Boardbook kedua adalah tentang anggota tubuh sederhana seperti kepala, tangan, kaki, dsb.
Buku anak versi Lucas McFord banget ini sih. Attitude dan anatomi.
Darahku berdesir lebih cepat karena boardbook ketiga yang dipilihnya adalah buku Aku dan Keluargaku yang pertama kali kupegang. Attitude, anatomi, dan keluarga. Di mataku ketiganya sangat dokter McFord, tapi kukembalikan lagi buku ketiga padanya sebagai bentuk penolakan.
Dia menerima buku itu dengan alis mengerut sebelah. "Why?"
Entah dia itu terlalu polos atau memang nggak peka, jadi kujelaskan singkat saja. "Jangan yang ini. Bumi nggak punya keluarga."
"Bukan untuk Bumi."
"Oh."
Aku meneguk ludah.
Merasa dungu sendiri, kurebut lagi buku itu dari tangannya dan segera memasukkan ketiga buku pilihannya ke tas plastik, lantas tersenyum kikuk. Kepalaku tertunduk malu. Benar juga, Dokter tidak bilang dia membelikan Bumi. Aku geer sendirian.
"Yang dua memang untuk Bumi. Yang satu lagi bukan."
Aku menoleh lagi. Selalu saja, dan selalu seperti ini. Dia bisa membaca jalan pikiranku.
"Trus buat siapa?" tanyaku segera.
"Buat anakku, nanti."
Pelupukku jatuh separuh. "Nggak kejauhan? Nikah juga belom udah beliin anak."
"That's it. Makanya kamu kapan mau aku nikahi? Supaya bukunya bisa buat Bumi, sekalian adik-adiknya juga."
Duh, Mama. Mukaku serasa terpanggang. Ini sebaiknya aku geer lagi atau nggak?
"Kenapa tanya saya?"
"Karena aku maunya kamu."
"Nggak ada pilihan lain apa selain saya?"
"Emang kamu rela aku milih yang lain?"
Otomatis aku melempar pandangan. Ke manapun, asal bukan dia.
"Dokter lebih cocok sama yang lain."
"Itu nggak menjawab pertanyaanku. Kamu rela aku milih yang lain?"
Ya nggak lah!
Wajahku yang ototnya menegang, ditangkup dengan kedua tangannya hingga pandang kami terkunci di garis yang sama. Sejurus kemudian dia tersenyum hangat.
"Aku nggak paham perkara cocok-cocokan yang kamu maksud, Mel. Tapi aku telah memilih dengan kesadaran penuh. I choose you, because you're just the best I've ever met."
Lucas McFord benar-benar tidak bagus untuk kesehatan jantungku.
Aku menurunkan kedua tangan kukuh itu dari wajahku. Pandangku menunduk lagi karena takut dadaku makin kembang-kempis tersapu tatapan biru samudera itu.
"Kalo saya bilang saya nggak rela? Apa itu artinya saya egois?"
Dia mengunci jemariku, lagi, perlahan menuju kasir dengan antrian terpendek. Wajahnya mendekat dan berbisik di dekat tengkukku. Listrik statis menyengat setiap ujung kapiler darahku.
"The truth is, Melati yang egois ke Luke itu terasa seperti McD."
"Maksudnya...?"
"I'm lovin' it. ♪"
***
Beef burger pesananku datang setelah aku memfoto cover boardbook Aku dan Keluargaku. Potret digital itu langsung kujadikan sebagai profile picture WA. Aku bisa membayangkan dokter McFord meringis geli saat dia menyadari foto baruku. Buku untuk anaknya (nanti) tapi malah kusalahgunakan seolah itu buku untuk Bumi.
Tidak banyak. Sedikit saja. Aku ingin egois.
Dia bilang aku boleh egois, 'kan?
Aku boleh berharap, 'kan?
Aku memasukkan sesendok sundae lagi ke mulut sebelum memakan burger. Ya ampun, sundae. Dan burger. Gara-gara terbuai bisik jingle I'm lovin' it yang merdunya masih berputar telingaku hingga saat ini, aku jadi ngidam menu McD. Sayang sekali tidak bisa terpenuhi sebab aku harus menunggu di foodcourt sebelah tenda BBM. Kedua dokter masih mencari buku lain di dalam, sedangkan (sebagai busui) aku sudah kelaparan akut.
Jadilah aku memesan menu McD ala kadarnya di foodcourt ini. Bisa saja aku bersikap egois (lagi) dengan merengek pada dokter McFord agar dia membawaku ke McD terdekat, tapi... nggak ah. Ada kalanya sebuah ego lebih baik ditekan daripada dinyatakan, bukan?
"Mbak, di sini kosong?"
Aku menurunkan burger dari mulutku, dan mengangguk untuk wanita muda yang meminta izin duduk denganku ini.
"Monggo, Mbak, silakan. Saya sendiri kok," ujarku dengan senyum. Tanganku kelimpungan merapatkan boardbook yang berserak di meja, merapikannya kembali ke dalam keresek, memberi ruang di seberangku untuk Mbak cantik ini duduk.
Setelahnya aku celingukan. Memang sih, semua meja sudah terisi. Alhamdulillah ada Mbak ini, biar aku nggak dikira jomblo padahal memang jomblo.
"Makasih ya, Mbak. Mbaknya sendirian?" tanyanya, kemudian menyedot es teh.
"Sama temen, Mbak." Dosen, actually. Tapi akan panjang kalau menceritakan bagaimana aku bisa kemari bersama dua dosenku. "Tapi mereka masih milih buku di dalem. Mbaknya?"
"Oh, sama. Saya juga nunggu temen di dalem. Saya numpang bungkus kado bentar, ya."
Aku mengangguk diiringi senyum. "Lama juga nggak papa, Mbak. Biar saya nggak kelihatan ngenes."
Bibir merahnya mengalirkan tawa segar. Sambil membungkus boardbook anak menjadi kado cantik, dan aku yang mengunyah burger, kami berkenalan. Namanya Freya, bekerja sebagai supplier kosmetik di Malang. Tidak heran kalau melihat penampilannya yang sangat menarik nan anggun: blus merah doff di atas lutut, lipstick matte yang setingkat lebih muda dari bajunya, rambut ombre kemerahan sepanjang rambutku, serta wangi mawar yang menyebar dari tubuhnya. Walau masih sangat muda, 24 tahun, aku memaksanya untuk memanggilku dengan nama saja demi kesopanan.
Boardbook yang dibeli Mbak Freya sama persis dengan yang dipilih dokter McFord untuk anaknya. Aku bertanya-tanya apakah dia sudah menikah? Sebab hanya dokter McFord orang gendeng yang membeli buku untuk anaknya yang entah kapan lahirnya belum pasti.
"Kado buat anaknya ya, Mbak?" Iseng-iseng aku bertanya.
"Bukan, Mel, buat ponakan." Dia terkekeh, menunjuk keresek belanjaanku. "Kalo itu buat siapa?"
"Buat anak saya, Mbak."
Aku mengerjap sekali. Oh, mulut.
Mbak Freya terbelalak. Aku bersyukur lidahku belum hilang kendali terlampau jauh, kepleset dan mengatakan "Buat anak saya dari dosen yang cinta mati sama saya, Mbak."
No. That's not gonna happen.
"Kamu sudah nikah, Mel? Sambil kuliah? Ya ampun salut, setrong banget kamu nikah, punya anak, sambil kuliah juga?"
Melihat iris berbinar Mbak Freya, aku menyeringai menahan malu. Volume suaraku jatuh setengah. "Saya belum nikah, Mbak. Anak saya itu, ceritanya panjang. Dia bukan..." Aku mereguk napas. Dalam. "...bukan hasil pernikahan,"
Mendengar suaraku bergetar di ujung kalimat, Mbak Freya menggamit jemariku. Sorot berbinarnya menjadi sangat lembut, menghantarkan semangat.
"It's okay. A child is a child. Nggak banyak ibu muda seberani kamu dalam mengambil keputusan untuk merawat anak hasil kawin di luar nikah."
Mbak Freya mengusap-usap buku jemariku. Aku ikut tersenyum dan berkata, "makasih banyak, Mbak," sampai tanganku dilepas kembali dan dia melanjutkan melipat pita.
Kini, ganti sorotnya yang terasa nanar saat menunduk dan berlirih, "At least, kamu bisa ngerasain hamil dan punya anak, Mel. Nggak seperti aku."
Aku meneguk sundae dengan tenggorokan tersekat.
"Mbak sudah nikah...?" tanyaku, hati-hati.
Dia mengangguk pelan tanpa menatapku. "Lima tahun. Dua tahun terakhir, suami aku divonis azoospermia. Kamu mahasiswa FK, tau artinya 'kan?"
Lidahku kelu tanpa jawaban. Hanya dua anggukan kaku yang bisa kuberikan. Azoospermia, secara singkat, adalah kondisi di mana seorang pria tidak mengeluarkan sperma sama sekali saat ejakulasi. Jumlah sperma sama dengan nol. Penyebabnya bisa bermacam-macam.
"Sudah konsul ke androlog, Mbak?"
Seperti sudah terbiasa, Mbak Freya mengangguk santai. "Sudah dong. Sudah operasi dan terapi segala macem. We even tried AI and IVF but still... yah, begitulah."
Lidahku tetap kelu. Aku belum belajar banyak tentang andrologi, obstetri, maupun ginekologi jadi tidak bisa berkata apa-apa. Kata-kata yang meluncur dari mulutku hanyalah penyemangat andalan setiap wanita.
"Yang sabar ya, Mbak. Jangan putus ikhtiar-nya."
Perempuan cantik ini tersenyum dan berterima kasih. Selanjutnya, aku bertanya-tanya soal make-up untuk mengusir atmosfer rikuh di antara kami. Mbak Freya memberiku sedikit kursus make-up untuk newbie dengan peralatan tempur seadanya di dalam tasnya.
Jauh di salah satu relung gelap hatiku, aku meruntuki bagaimana takdir bisa begitu kejam, merajam pada perempuan. Mendambakan anak selama lima tahun setelah segala ikhtiar dan tanpa hasil. Di ujung garis lain, perempuan yang belum siap menanggung sebuah ruh mungil, justru telah beranak satu, buah dari one night stand.
***
-BERSAMBUNG-
.
.
Malang, 4 Mei 2018
Love you to the moon and back, MeLuk 💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top