36 Insani

🌟

HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT

Chapter 36 Insani

🌟

Tepat sebelum matahari menghilang di sisi barat, kami tiba di sebuah rumah sederhana dengan halaman depan yang sangat luas. Plang besi dengan cat putih yang terkelupas di beberapa bagian bertuliskan "Griya Mutiara" tertancap di dekat pintu pagar yang mengelilingi rumah. Sewaktu Garda menepikan Pajero-nya di luar pagar (tidak masuk karena, you know, mobil ini bodinya selebar daun kelor) sekitar lima anak SD mengerubungi, menyebabkan Garda tidak bisa lagi membenahi posisi parkir dan akhirnya mematikan mesin.

Pintu di luar sudah digedor-gedor dan Garda beringsut keluar, aku mengikutinya, keluar dari pintu penumpang. Seorang anak perempuan usia sekitar 7 tahun bengong melihatku menutup pintu sambil menggendong Bumi.

"Assala—"

Baru mau kusapa, dia malah lari, menghambur ke pelukan Garda bersama teman-temannya yang lain. Tangannya menunjuk aku dan Bumi yang mendekat. Wajahnya berkerut menaruh curiga.

"Om itu siapa, Om!?"

"Ooh ituuu…" Garda tersenyum padaku sekilas, lalu menepuk lembut kepala si gadis kecil. Sebelah tangannya menggendong seorang balita laki-laki. "Itu temen Om. Kenapa, Pit?"

"Bukan pacar?"

"Bukaaan…"

"Beneran bukan pacar?! Kok datengnya sama-sama naik mobil kayak di Ganteng-Ganteng Sering Gila?!"

"Ya kalo jalan sendiri-sendiri kasian temen Om capek, jadi sama-sama. Kan Om bilang jangan nonton gituan lagi, Om sudah kasih film kartun banyak udah pada ditonton belum? Moana sama Coco bagus nggak?"

Gadis itu menggeleng lugu. "Males ah. Temen-temen di sekolah ceritanya gegees, lebih seru, Om."

Ajegile, gini banget ya kids jaman now. Nonton sinetron siluman pacaran lebih menarik daripada kartun musikal. Garda geleng-geleng speechless, lantas memintaku membantunya menggiring krucil-krucil itu masuk ke rumah.

Yang terjadi adalah sebaliknya, bocah-bocah itulah yang menggiringku masuk dengan riuh rendah mereka. Masih ada saja beberapa gadis kecil yang memberengut, tersulut cemburu mengira aku pacar Garda. Kayaknya banyak fangirl Garda di sini, termasuk aku juga. Tetapi banyak juga yang menarik-narik blusku, bertanya macam-macam, selagi Garda ke dalam mencari ibu pembina panti ini. Aku duduk-duduk di selasar rumah bersama anak-anak, masih memeluk Bumi.

"Mbak, samean kok ayu, Mbak? (Mbak, kamu kok cantik, Mbak?)" kata anak berkaus merah jambu yang sejak tadi menatapku tanpa berkedip.

"Makasih ya. Kamu siapa namanya?"

"Aku Alifa, Mbaknya siapa?"

"Aku Melati—"

Salamku baru saja terulur, belum sempat disambut Alifa karena bahuku ditepuk-tepuk dari belakang. Perhatianku terbagi.

"Mbak, Mbak! Adeknya namanya siapa, Mbak?! Hii gendut!" Ketika anak berbando oranye ini mencubiti pipi Bumi, aku hanya bisa pasrah.

"Ini namanya Bumi—"

"Hiiih! ADEK'E NGENCES YEYEK NGGILANI!"

Mereka semua kompak bergidik jijik.

Aku meringis. Belingsatan kutarik tangan Bumi yang sejak tadi digigitinya, tapi tidak sadar kubiarkan sampai liur licinnya membanjiri tanganku. Anak-anak itu tertawa girang melihat Bumi yang enggan menurunkan tangan, dan justru semakin maksa untuk mengemut jari-jari gempalnya. Bahkan sekarang dengan dua tangan.

"Adek Bumi mau tinggal di sini juga…?"

Pertanyaan seorang anak laki-laki yang sedari awal diam mengetuk pintu hatiku. Wajahnya sayu, tidak secerah anak-anak lain. Aku tersenyum sesaat sebelum menjelaskan. "Adek Bumi mau main di sini, nanti habis main pulang ke rumah."

"Ooh." Mulut kecilnya membulat. "Adek Bumi udah punya rumah ya. Di mana rumahnya?"

"Pasti di kota sama Om Sani!" celetuk si bando oranye lagi.

"Iya! Om Sani 'kan rumahnya di kota, guedeee segini." Alifa membentangkan kedua lengan kecilnya lebar-lebar.

Alisku berkerut bingung. "Om Sani siapa, Lif?"

"Insani."

Suara perempuan dewasa dari belakang membuyarkan kami, dan segera aku berdiri, berbalik pada asal suara. Wanita yang lebih tua dari Mamaku itu segera kusalimi dengan mencium tangan. Ini pasti ibu pembinanya 'kan?

"Insani… namanya sebelum jadi Ringgarda." Beliau mengembangkan senyum, melirik pada Garda yang juga tersipu kikuk. Jadi Garda berasal dari rumah ini? "Saya Mirah, biasanya anak-anak manggil Mamih biar lebih gampang. Kamu pasti yang namanya—"

"Melati."

Aku mendelik. Heh, sopan sekali cowok ini menyela orang yang lebih tua?!

"Namanya Melati, Mih. Temen Sani. Dia yang mau donasi di sini."

"Iya Bu, saya Melati." Bibirku mengangkat senyum, dan tanganku menepuk pipi Bumi. "Ini Bumi, anak saya."

"MasyaAllah gemuknya…" Beliau berdecak, mengulurkan tangan untuk menggendong Bumi. "Ayo sini cah bagus sama Uti. Mama biar maghriban dulu sama Om."

Adzan maghrib memang sudah berkumandang sejak 10 menit lalu. Anak-anak berlarian lincah digiring Bu Mirah dan 3 remaja perempuan lain untuk bergantian mengambil air wudhu. Aku dan Garda mengekor di belakang, menunggu antrian wudhu terakhir.

Kulirik cowok yang sedang menggulung lengan kemeja di sampingku. "Jadi namamu siapa? Ito, Ringgarda, Insani… anything else I should know?"

Dia tersenyum simpul. "Kamu maunya siapa?"

"Mau yang asli."

"Tiga-tiganya asli," jawabnya seraya merunduk, memenuhi permintaan Alifa menguncir ponytail rambut panjangnya yang jatuh mengganggu wudhu. "Insani, nama yang paling suka aku dengar. Ringgarda, nama yang membuat aku punya segalanya. Ito, nama yang paling aman untuk semua orang termasuk kamu dan Bumi."

Paling aman?

"Maksudnya?"

Garda tidak lagi fokus padaku karena gadis-gadis mungil lain berebut ingin dikuncir olehnya, mengikuti jejak Alifa.

***

Sekali lagi, Bumi terlelap di kamar Bu Mirah yang dipinjamkan untuk aku menyusui. Sekarang aku tidak lagi heran kenapa dia bisa sejumbo ini: lebih dari 14 jam Bumi habiskan untuk tidur dalam sehari. Sementara kalau dia bangun, kerjanya minum ASIP atau menyusu langsung dariku.

Bumi kutinggalkan di kamar ketika Bu Mirah mengumpulkan anak-anak di ruang keluarga. Kami duduk beralaskan tikar anyam, melingkari menu makan malam hari ini: 4 bucket ayam KFC plus 2 lusin susu kotak dingin. Jangan tanya siapa yang beli menu biasa namun terbilang istimewa untuk ukuran anak panti itu.

Sebelum makan, Bu Mirah selaku pembina menerima nominal 4 juta yang menjadi alasan utama kami kemari. Sumbangsih itu oleh Garda diatas namakan Bumi. Aku setuju saja yang jelas jangan atas namaku, sebab bukan hakku.

Uang telah diterima, dan sekejap suasana hening. Seperti sudah kebiasaan, anak-anak menundukkan kepala dan menengadahkan tangan, begitu pula Garda. Aku mengikuti, menyelingi setiap bait doa yang dipanjatkan Bu Mirah dengan lafal aamiin.

"… karuniakanlah ananda Bumi kesehatan lahir dan batin, agar ia senantiasa dapat beribadah kepada-Mu. Jadikan ia putra yang sholeh dan mensholehkan. Berikan ia kemudahan, perkenankan ia akan sedikit ilmu-Mu agar kelak ia menjadi pribadi yang bermanfaat bagi agama, orang tua, bangsa dan negara. Karena sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi sesama. Berikan ia kemurahan rizki-Mu, rizki yang cukup, halal, dan berkah. Jauhkan ia dari sifat-sifat tercela, peliharalah ia di koridor iman yang lurus…"

Wajahku semakin terbenam dalam tunduk. Terakhir kali aku mengunjungi panti asuhan adalah waktu SMU, di acara baksos PMR. Saat itu, mungkin karena objeknya diri sendiri dan kelompok, aku tidak begitu khusyuk dalam berdoa. Sama sekali tidak terlintas di benakku bahwa 4 tahun kemudian, di panti asuhan berbeda, aku akan mendoakan sosok kecil yang terlahir dari rahimku.

Doaku untuk Bumi dalam setiap sujud selalu sama. Mungkin, kadang berbeda takar khusyuknya, karena kondisi iman yang naik-turun. Tetapi doa ini tidak pernah putus, karena untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku benar-benar jatuh cinta pada seseorang: anak itu.

Aku mengusap sudut mataku yang entah sejak kapan berair di-aamiin terakhir. Anak-anak kontan ramai menyerbu si ayam goreng tepung dengan mata mengilat. Bu Mirah mempersilakan aku untuk ikut makan, tapi aku menolak sopan. Aku ingin makan pisang goreng yang dihidangkan sebagai selingan saja. Menu utamanya biar dihabiskan anak-anak itu.

"Mpus, kamu nyusuin Bumi. Harus makan!"

"Iya ini juga makan," kilahku, kemudian memamah sepotong pisang goreng.

"Makan nasi sama-sama maksudnya. Mih, ini lho, Mih nggak mau makan bareng!"

Mataku kontan mendelik karena Garda meneriaki Bu Mirah yang sedang hectic membagi ayam. Beliau menoleh padaku.

"Ayo, Mel, makan juga! Di sini harus makan bareng!"

Hish. Gara-gara Ringgarda.

Aku meringis tertahan. "Saya masih kenyang, Bu…"

"Makan apa? Ayo makan lagi, busui harus makan yang banyak!"

Bisa saja aku berdalih bahwa itu anggapan yang keliru dan primitif. Busui a.k.a ibu menyusui harus bahagia, bukan makan yang banyak. Makan seperlunya saja supaya tidak lapar. Tapi kan tidak mungkin aku melawan beliau, jadi aku hanya tersenyum. Padahal sebenarnya aku jujur. Aku masih kenyang setelah makan sushi 8 roll, dengan satu rollnya berukuran segenggam tangan gempal Bumi.

Garda menyikutku dan merapat di dekat rambut untuk membisikiku.

"Udah makan aja biarpun dikit. Aku juga masih kenyang, tapi kalo di sini wajib banget fardhu 'ain makan sama-sama."

"Tukang ngadu!" desisku malas.

"Nggak aku aduin juga kamu pasti disuruh makan! Udah ah, kita makan bareng aja."

Bibirku terjahit rapat ketika Garda mengangkat satu suapan nasi dan potongan ayam dengan tangan, tanpa sendok. Didesak-desak di bibirku.

"Ayooo aaak…"

Aku menggeleng kuat-kuat. "Hmmph!" Tapi suapan itu mengikuti kemana bibirku pergi.

"Ayo!"

"Hmmph!"

"Kalo kamu emang mau gini sampe besok, aku bisa!"

Alisku bertaut. "Bukannya besok kamu ke—HMMPH!"

Asseeemmm!

Dia berhasil menjejalkan satu suap itu karena kelalaianku mengangakan mulut. Hidungku mengembus kasar. Terpaksa aku diam dan mengunyah! Kalau ini bukan di panti asuhan, kami hanya berdua, pasti sudah kutaburi bibirnya yang penuh seringai kemenangan dengan boncabe!

"CIYEEE!!!"

Sorak sorai ramai dari paruh lingkaran di seberang kontan membuatku dan Garda sama-sama memalingkan muka. Garda mengangkat dagu songong.

"Paan dah?"

"Om romantis suap-suapannya! Bikin baper!" teriak Pipit, si anak yang tadi bertanya apakah aku pacarnya Garda. Rasanya tadi dia marah, kenapa sekarang baper?

Lagian nggak ada yang perlu dibaperin, demi sempol. Mulutku bukan disuapin tapi disumpelin! Kasar amat sama cewek sumpah!

"Kenapa?" Garda terkekeh. "Baper kayak di gegees ya?!"

"Bukan! Ih Om gak kekinian banget! Kalo yang suap-suap kayak di MERMAID IN SYAF!"

Bibirku terkulum keriting menahan geli. Wkwk, mamam noh mermaid, Om!

***

Jalan makadam yang dilalui si Pajero hitam sore tadi sekarang benar-benar pekat minim penerangan, kecuali lampu pijar yang digantung seadanya di kanan-kiri. Radio mobil mengalunkan Rockabye milik Anne Marie yang sekilas liriknya mengingatkan pada diriku sendiri: tentang single mother.

Sengaja aku memilih duduk di belakang bangku penumpang, supaya bisa menyusui tanpa terlihat si pengemudi. Setelah Bumi benar-benar pulas, aku mengancingkan kembali blusku. Tidak lama setelahnya mobil berhenti begitu saja. Diam. Mesinnya mati. Di tengah jalan makadam.

Waduh.

"Mogok?" bisikku kalut.

"Nggak. Kita berenti bentar."

Keempat kaca pintu mobil diturunkan bersamaan, dikendalikan dari panel pintu pengemudi. Sejuk udara petrikor sawah pegunungan sontak mengisi paru-paruku. Bersamaan dengan itu, datang satu, dua, tiga... banyak.

Sangat banyak.

Serangga kecil dengan lampu kuning kehijauan berpendar di ekornya, memasuki mobil lewat celah jendela. Sorot lampu mobil tak lagi menerangi jalan, hanya sinar bulan yang menyusup. Tugas utama penerangan telah diambil alih sang kunang-kunang.

"Bumi…?"

Garda menoleh cepat, dan segera senyumnya beralih menjadi hembus maklum saat melihat anakku sudah terlelap. Rambut sarangnya dihinggapi salah satu makhluk bersayap itu, tetapi tidak mengurangi damai tidurnya.

"Aku pernah janji bawa kamu sama Bumi ke tempat yang masih banyak kunang-kunangnya, remember?"

Mataku membulat, enggan mengerjap.

Iris tunggal Garda berkilau di tengah senyum tulusnya. Mungkin, karena seharian bersama, ditambah atmosfer yang mendukung, senyum itu kini menggetarkan satu sisi hatiku.

Bibirku hanya mampu tersenyum canggung. "Makasih…"

***

Dibandingkan (mantan) kamar kosku, kamar rumah sewaan ini berukuran lebih besar sekitar dua kalinya. Artinya tambahan satu box bayi di dekat ranjangku tidak lantas membuat ruang ini menjadi sempit. Garda merangkai kayu penyusunnya, batang demi batang, dalam hitungan menit box bayi sudah siap ditempati. Selain sebagai tukang laundry, dia juga berbakat alami jadi tukang bangunan.

Sekarang, Bumi sudah menggelepar di dalam boxnya. Besok Mbak Sari sudah bisa bernapas lega, tidak perlu lagi waswas meninggalkan Bumi tidur kalau dia dikungkung kurungan kayu ini.

"Elia belum pulang?" Garda bertanya ketika aku mengantarnya keluar. Tidak enak rasanya berduaan di rumah dengan lelaki selain keluarga empunya rumah.

"Belum. Pasti sibuk ngejar narasumber lagi," terkaku, dan biasanya memang begitu. Garda duduk di kursi teras depan. "Mau minum apa?"

"Kopi ada?"

Aku mengangguk dan berbalik. Di dapur, sambil menunggu air mendidih, aku menyadari keanehanku. Ada yang berbeda. Normalnya aku tidak berlaku begini terhadap laki-laki biasa.

Ngapain aku nawarin dia minum ya, bukannya diusir aja?

Sewaktu aku keluar, asap kelabu tembakau menyesaki paru-paruku. Aku duduk di sebelahnya dengan wajah dilipat, setelah meletakkan secangkir kopi di atas meja.

"Bisa nggak, kalo di depan aku sama Bumi nggak ngerokok?" pintaku baik-baik.

"Sori, sori," serunya cepat, menyesap batang membara itu sekali lagi, lantas melumatkan ujungnya di asbak. "Tadi kan kalian di dalem, ehehehe…"

Cih.

Dia malah cengengesan, tapi bibirku tetap menekuk ke atas. Bukan masalah di dalam atau di luarnya. Aku tidak suka asap rokok, dan tidak ingin orang-orang terdekatku merokok. You know it already, peringatan bahaya nikotin sudah membentang dari Sabang sampai Merauke jadi aku tidak akan menjelaskan… ah.

Sejak kapan Garda masuk list orang terdekat?

"Ahh!"

Garda berjengit di tempat saat menyesap kopi seduhanku. Mata tunggalnya merem-melek, lidahnya maju-mundur, hidungnya berkerut kusut. Rasa bersalah menyergapku tanpa tahu mengapa.

Aku nggak keliru masukin deterjen 'kan?

"Anjir! Pait, Mpus!"

Hoh. Aku memegangi dada karena lega. Ternyata cuma pahit. Kopi buatanku memang pahit, karena…

"Soriii!" Aku meringis lebar, sambil menangkup kedua tangan. "Itu takarannya Dokter, gula cuman setengah sendok teh. Kirain semua cowok sama aja seleranya… maaf. Maaf banget, yaa? Insani?"

Kuberikan senyum termanis beserta kedipan genit untuk meluluhkan hatinya. Garda menurunkan cangkir itu kembali di meja. Matanya melirikku tak senang. Seandainya kubilang juga kalau alasan dokter McFord tidak mau kopi banyak gula karena baginya aku sudah terlalu manis, Garda bisa muntah nanah.

Hahaha jangan percaya gombalan Dokter itu. Pada dasarnya dia memang suka kopi pahit… dan aku.

"Bisa nggak, kalo kita lagi bareng, jangan sebut-sebut dia?" lekuk nada pintanya, percis dengan caraku memintanya tidak merokok di depanku. "Aku ya aku, dia ya dia."

"Maaf," dan saat itu juga senyumku pudar. Aku melihat kekecewaan di matanya. "Aku tambahin gulanya, ya?"

"Nggak perlu."

Tanganku yang hendak mengambil cangkir ditahannya. Tatapan kami bertitik di satu garis lurus.  Untuk sesaat, duniaku ditarik ke dalam iris pekat itu.

"Kamu cuma harus tau, aku sama dia nggak sama. Soal kopi, dan soal perasaan. Dia cuma orang yang kagum… kagum dengan cantiknya kamu, kuatnya kamu, dan hebatnya kamu bertahan di tengah absurdnya ujian hidup kamu."

Sepasang kelopakku memipih tak yakin. Ada yang berdenyut semakin cepat di dadaku.

"Dan... kalo kamu?"

Tak menjawab, Garda justru mencondongkan tubuhnya padaku. Satu tangan bidangnya merangkum kepalaku, yang seketika beku tanpa perlawanan. Dengan gerak cepat, tanpa peringatan, bibirnya ditautkan dengan bibirku.

Pahit kopi… dan keras tembakau.

Aku masih jadi mayat hidup ketika dia melepas bibirku, dan melirih tepat di telingaku.

"Aku, orang yang mencintai kamu."

-BERSAMBUNG-


Malang, 30 April 2018
Love you to the moon and back, MeLuk 💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top