35 Mencegah Jatuh

🌟

HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT

Chapter 35 Mencegah Jatuh

🌟

Firasatku Jumat minggu lalu benar: aku akan remedial post test.

Sejak melihat soalnya, aku langsung tahu hanya bisa menjawab 10 dari 20 soal. Dan kenyataannya dokter Mandala mengoreksi sangat teliti. Nilaiku 55 sedangkan standar lulusnya 75. Untuk pertama kalinya dalam sejarah masa preklinik, aku remedi.

"Tumben kamu baek sama aku, Mel, mau nemenin remed."

Alisku naik sebelah mendengar ujaran Fathir. "Emang kapan aku jahatin kamu?"

"Sejak kamu lebih milih dosen PA kita daripada aku… Pagi, Dok."

Aku berjengit dan sontak merapat ke Fathir saat dokter Mandala memasuki lift yang sama dengan kami. Pria itu tersenyum formal untuk kami, membalas sapaan Fathir. Aku ikut tersenyum getir dirundung waswas. Semoga dokter Mandala tidak hapal aku, tidak hapal siapa dosen PA-ku, dan tidak pernah dengar selentingan aneh tentang seorang dosen PA dan mahasiswi asuhannya.

Fathir kampret. Sekali-kali mulut para cowok Sora Aoi perlu dicium pampersnya Bumi yang penuh tahi fresh from the pantat.

"Sudah siap remed?"

Aku dan Fathir berpandangan. Sepertinya dokter Mandala sudah hapal kami, sampai tahu kalau kami peserta remedial pagi ini.

"InsyaAllah, Dok," jawabku sekadarnya.

"Asal jangan susah-susah lagi, Dok." Fathir menawar sambil nyengir.

"Kapan saya pernah ngasih soal susah?"

Aku dan Fathir bungkam. Ya kalo nggak sesusah itu nggak mungkin dong kami remed?

"Nggak sih, Dok. Sedikit menjebak, menurut saya." Mengingat Fathir mendapat 70, nyaris satu soal lagi dia bisa lulus, sepertinya dia masuk jebakan dokter Mandala.

"Soal remed kurang lebih yang kemarin, cuma beda skenario." Lelaki kepala empat itu membenahi letak kacamatanya. Lah, beda skenario itu sudah termasuk beda jauh, Dok. "Anak kamu sudah sembuh? Katanya Jumat minggu lalu demam?"

Lha… kok?

Barusan pertanyaan dokter Mandala untuk aku 'kan? Fathir belum punya anak 'kan?

"Alhamdulillah sudah, Dok," jawabku bingung. "Maaf, tapi Dokter tahu dari mana anak saya kemarin sakit?"

"Ada yang minta ke saya supaya kamu diizinin post test susulan Jumat kemarin karena nggak bisa tidur semaleman anaknya sakit. Saya bilang kalau itu bukan urusan saya sih. Dan sekarang orangnya ngacungin jari tengah setiap papasan sama saya."

ANJI—

"Astagfirullah!"

Ya Allah ya rahman ya rahim ya malik. Ya kudus ya salam ya mukmin ya muhaimin. Kalem Melati, kalem!

Aku memejam keras setelah mendelik tiga detik. "Dia gitu? Maaf… maksud saya dokter McFord begitu sama Dokter?"

Dokter Mandala tertawa dan mengangguk. "Nggak papa. Saya juga pernah muda kok."

"Dok, demi Allah…" Buku-buku jemariku boleh geregetan meremas modul yang kupeluk. Tapi di depan kajur (Ketua Jurusan) Pendidikan Dokter ini perangaiku harus tetap tenang. "Saya nggak pernah meminta tolong sama doktervMcFord untuk izin ke Dokter. Seandainya saya butuh izin, saya akan izin sendiri ke Dokter tanpa perantara siapapun. Sekali lagi saya minta maaf. Saya benar-benar nggak tahu, dan nggak mengerti kenapa dokter McFord sampai mengacungkan jari tengah—"

Ting.

Pintu lift yang terbuka memenggal kalimatku. Lanjutannya, kutelan bulat-bulat karena dokter Mandala memiringkan kepala dan tersenyum simpul. Beliau berkata, "semoga sukses remednya," dan keluar lift mendahuluiku.

Fathir harus menyeret lenganku keluar lift karena kakiku lemas, ilmu muskuloskeletal-ku berterbangan dari kepala, dan kesadaranku tinggal separuh. Harga diriku sebagai mahasiswa baru saja terkoyak di mata kajur itu…

… semua gara-gara makhluk ganteng nan gendeng bernama Lucas McFord!

***

Aku merasa semesta menyatukanku dan dokter McFord di ruang dan waktu yang sangat tepat. Di ruang koordinator riset jam istirahat makan siang. Pas sekali, dan tidak ada Mbak Jihan. Karena ada segunung repetan interogasi bernada runcing yang siap kutikamkan di telinganya dan tidak bagus untuk telinga orang lain.

Waktu aku sampai, tebak dia sedang apa?

Aku berkacak pinggang di sebelahnya yang tidak bergeming, sama sekali tidak menoleh ketika aku datang memergoki layar komputernya.

"Bagus ya, Dok. Main Mario Bros di jam kerja."

"Eh… Mamanya Bumi. Mau pumping?" Sudut bibirnya terangkat sebelah tanpa mau repot memalingkan muka dari layar padaku. "Bentar ya. Nurunin bendera dulu supaya ngesave. Marionya udah besar, sayang kalo ngulang."

Ya ya ya. Marionya udah segendut Bumi.

"Sayang aja Marionya, Dok. Dokter memang udah nggak sayang sama saya."

Dahinya mengerut kusut. Lagi-lagi, tanpa melihatku. "What…?"

"Dokter ngapain kayak begitu ke dokter Mandala, hah?! Saya udah nggak punya muka di depan beliau! Sukur tadi remed saya lulus!"

"Alhamdulillah lulus… tapi nilainya ngepas standar dong?" Ini ketawa mengejek atau gimana ya? Perlu ditabok atlas Gray kayaknya. "Anyway, kayak begitu maksud kamu apa?"

Hish! Pura-pura bego apa bolot beneran sih?

"Dokter minta ke dokter Mandala buat ngasih saya izin post test Jumat kemaren?!"

"I… yap," akunya dengan terbata.

"Memangnya kapan saya minta tolong Dokter?! Saya nggak butuh. Toh saya tetep mau ikut post test kemaren 'kan?! Saya bukan anak TK. Dokter bukan orang tua saya, dan saya bisa izin sendiri kalau memang butuh!"

"Well… I, um…" Dia masih tergugu. "Sorry about that. Aku nggak tega karena kamu cuma tidur 2 jam. Tapi waktu aku tawarkan izin kamu tetep kukuh mau ikut post test, dan Mandala juga nggak mau menerima izin kalau bukan yang bersangkutan yang minta… So that was it, aku diam."

"Kenapa Dokter yang nggak tega sih?! Saya yang test, saya yang belajar—oke, saya nggak belajar maksimal—saya yang remed, bukan Dokter! Saya nggak butuh dikasihani, Dok!"

Setelah si Mario jumbo menurunkan bendera di kastil, aku berjengit karena samudera dokter McFord menusukku.

"Aku nggak kasihan sama kamu. Aku peduli. Kita bukan dua orang yang baru kenalan kemarin sore, Melati."

Kuturunkan lagi volume suaraku, namun bukan berarti aku gentar. Aku tidak bersalah di sini.

"Kalo Dokter peduli sama saya, Dokter nggak akan ngacungin jari tengah ke dokter Mandala dan bikin saya malu!"

Dia memutar kursi menghadapku dan langsung tersentak. Kelopaknya meregang.

"Excuse me? What?"

Aku mengembus gerah, menatapnya lelah. "Bener atau nggak, Dokter ngacungin jari tengah ke dokter Mandala karena beliau nggak mau nerima izin dari Dokter? Dok, ya Allah…" Suaraku semakin rendah, begitu pula mataku yang jatuh memandangi ujung flatshoes. "Saya malu, Dok. Saya nggak pernah minta tolong seperti itu sama Dokter…"

Jemariku yang sejak tadi meremas ujung rok hingga kusut, diambil dalam sepasang genggam dingin. Aku ditarik mendekat, begitu dekat, hingga ujung flat shoesku bertumpu di atas pantofel hitamnya, tapi dia tidak peduli. Kepalanya sedikit menengadah mencari fokus mataku, yang langsung kubuang ke rak buku.

"You're not going to believe it… are you?"

Lidahku mati rasa. Tentu saja demi apapun aku tidak ingin percaya kalau pria yang kucintai bisa melakukan tindakan preman terminal seperti itu. Tapi dokter Mandala juga tidak mungkin berbohong…

"Aku nggak melakukan itu, Mel. Look at me."

Tidak, aku tidak bernyali…

"Come on, look at me. Mumpung nggak ada Mbak Jihan, kita nggak akan terciduk."

"Dok…"

Ampun deh orang ini.

Akhirnya aku menatapnya juga. Karena gemas. Bercampur kesal. Bisaaa aja. Adaaa aja idenya, curi-curi kesempatan berdekatan seperti ini denganku di kampus. Dan yang lebih bodoh adalah aku.

Mau-maunya aku dihipnosis oleh iris samudera itu, beserta wangi citrusnya yang menggelitik gairah. Wajahku memanas dengan cepat, dan pastinya sudah berpijar merah.

"Kamu pernah bilang, kamu nggak mau direpotkan dengan hal selain kuliah dan Bumi. Dan aku hargai itu. Aku setuju. Aku mendukung penuh semua keputusanmu, termasuk waktu kamu tetap mau ikut post test Jumat kemarin. Karena itu, yang kamu tanyakan barusan, aku nggak akan melakukan hal seperti itu."

"Jadi kenapa?" Otot wajahku mulai melunak. Jemariku membalas meremasnya. "Kenapa dokter Mandala bilang begitu ke saya?"

"Because he simply wanted to tease you, Mel." Dia tertawa santai, namun seketika tawanya menguap habis. Kepalanya lunglai, menumpukan dahi di eratnya genggam tangan kami. "Maybe… me. Or us. Oh fuck, I'm sorry."

Hah? Apa? "Kenapa dokter Mandala godain kita?"

"Because apparently, everybody knew."

"Knew what?"

"They knew I'm in love with you."

Gila!

Belingsatan kuhempas kasar tangan itu. Kakiku terseok mundur tiga langkah. Dia menegak kembali di kursinya dan memandangku dengan bingung, tapi rahangku terlanjur mengetat hingga sesak.

"Dokter ngomong apa sama orang-orang!"

"Nothing," Dia mengangkat enteng kedua bahu. "Mereka tahu sendiri. Mereka punya mata dan bisa lihat sendiri."

Aku mereguk oksigen dalam-dalam, memenuhi paru-paruku. Tenang Mel, tenang.

"Dok, saya masih sanggup tutup kuping kalo digunjingkan temen biasa di belakang. Tapi dosen bukan temen saya, Dok. Nilai saya di tangan mereka! Saya nggak mau—"

"SOP kami sebagai dosen nggak seinvalid itu, Mel." Dia mencondongkan tubuh padaku dan berpangku siku di paha. "Ada kaidah baku dalam menilai mahasiswa. Aku nggak bisa nepotis asal aku cinta sama kamu, lantas aku bebas kasih kamu nilai A. Atau sebaliknya, karena kamu nolak aku, aku kasih kamu E. It's totally wrong. Di akhir semester ada nilai dan pencapaian mahasiswa, yang harus kami pertanggung jawabkan untuk evaluasi kinerja kami sebagai dosen. Kami nggak hanya menilai; kami juga dinilai. Kami juga dapat konsekuensi berupa reward poin untuk kenaikan pangkat golongan… atau justru sanksi pemotongan poin."

Aku tergugu tanpa bantahan. Tidak ada tekanan emosional dari cara dokter McFord menjelaskan. Sebaliknya, aku mendengar nada pengertian, serta sorot sayang dari tatapannya.

"Moreover, kamu tahu sendiri sistem di sini team teaching. Satu blok bisa diajar banyak dosen. Kami saling mengawasi satu sama lain dalam PBM, karena pada dasarnya, nggak semua dosen bisa berlaku adil untuk semua mahasiswa. Termasuk aku sendiri."

Lidah dan rahangku benar-benar mati rasa. Aku menciut, menunduk lagi di tempat. Segala macam rasa bergumul jadi satu menyesaki dadaku. Kursi dokter McFord mendekat lagi, dan tangannya menggamitku lembut, lagi.

"Aku sudah pernah bilang, aku ingin jadi bagian dari semua senangmu, bahagiamu, sakitmu, susahmu, marahmu, bebanmu… semua tentang kamu. Say out loud. I know you're hiding something in that cranium."

"Saya…" Kuberanikan diri menatapnya di satu garis lurus. "Saya bukan meragukan kompetensi Dokter atau dosen-dosen lain, saya cuma… nggak suka jadi bahan omongan orang,"

"Yang penting kamu nggak nggak suka sama aku."

"Dok!"

Haish! Aku menjejak keras kakinya karena demi sempol, bisa-bisanya dia cengengesan menggombali anak perempuan orang di saat aku serius seperti ini!

"Aku pribadi nggak mau ambil pusing dengan apa yang orang katakan tentang kita. Aku nggak akan malu mengakui kalau aku sudah jatuh cinta sama kamu, karena aku nggak salah. Inget nggak? Dulu kamu pernah bilang ke Peter, kalau dia nggak punya salah sama si hantu, nggak perlu takut?"

Aku mengangguk seperti anak kecil. Hanya saja, Dok, manusia jauh lebih mengerikan daripada hantu.

"Menurutmu, aku jatuh cinta sama kamu itu salah?"

Aku menggeleng. Tidak, tentu saja, kecuali kami sedarah. Tapi garis nasab kami sejak awal sudah jelas.

"Jadi nggak ada yang perlu ditakutkan, right?"

Aku mengangguk, lagi. "Ini nggak salah, tapi ini tabu, Dok."

Dia menggeleng, masih mempertahankan senyumnya. "Nggak ada yang tabu di zaman seorang CEO bisa terobsesi tujuh turunan sama bocah SMU, Mel. Even a teacher marrying his student is not a rare case anymore, and it is socially acceptable."

Hah? Ini orang keracunan wattpad apa gimana?

"Kalau nilai kuliahmu dipermasalahkan oleh dosen lain karena perasaanku, aku bersedia menjauh dari kamu."

***

Akhir dari satu blok adalah dimulainya blok baru di minggu depan, sesuai timeline. Akhir dari satu blok juga ditandai oleh datangnya UTB di hari Jumat terakhir minggu ini. Daaan, karena Rabu ini semua materi muskuloskeletal sudah rampung, kami diizinkan belajar mandiri.

Aku bisa pulang lebih cepat dari biasa. Pulang jam 1 siang adalah hal yang sangat langka, karenanya, Mbak Sari berdecak heran melihatku turun dari Rush-nya Fathir.

"Kok tumben pulang cepet, Mbak?"

"Iyo, diculno karo dosene, Mbak. (Iya, dibebasin sama dosennya, Mbak)" Joko yang menyeletuk dari dalam mobil.

"Bumbum mana, Mbak? Tidur?" tanyaku.

"Ada di dalem mainan sama Mbak Elia."

Iya sih, jam kuliah Elia memang bolong-bolong karena bisa memilih jam saat KRS-an. Sedangkan jadwal kuliahku sudah fix seperti zaman sekolah dulu, dan mahasiswa FK harus legowo lan nrimo semua keputusan jadwal dari pihak akademik.

Walaupun jelas-jelas dua hari lagi UTB, entah mengapa aku malas belajar. Aku ingin main, main, dan main dengan anakku. Setelah bersih-bersih diri, aku menghambur ke pipi yang saking bengkaknya sudah menyatu dengan dagu.

"Ehee ehee ehee~"

Anak ini ya... diusel-usel bukannya risi malah ngekek kesenangan. Dan ya ampun, aku baru sadar dagunya Bumi sudah bergelambir dua. Haruskah Bumi diet sebelum tumbuh dagu ketiga?

Tapi Bumi cuma minum ASI kok. Memang sih, sehari dia bisa habis 2 liter atau lebih. Apalagi setelah sembuh dari demam kemarin, dia kalap menghabiskan persediaan untuk 2 hari dalam sehari. Kurang rakus gimana lagi anak ini? Untungnya bisa diimbangi dengan deras ASI dariku, yang bahkan sampai LDR.

Belum apa-apa, jejari gempalnya sudah menelusup masuk di sela kancing blusku. Minta mimik. Kalau di rumah sedang tidak ada laki-laki (baca: dokter lima langkah) aku bebas menyusui di mana saja sesuka hati. Paling enak menyusui di depan TV, sambil nonton, sambil ngemil kacang, dan ongkang-ongkang kaki.

"MasyaAllah… baru setengah jam lalu aku minumin dia, Mel. Gentong amat buset."

Elia tidak rela aku mengunyah kacang sendirian dan langsung duduk di sebelah toples, mengambil segenggam.

"Bum, ndang jalan. Ndang iso mblayu megal-megol cek ora njarem aku nggendong (Bum, cepetan jalan. Cepetan bisa lari megal-megol supaya aku nggak keram ngegendong). Supaya nggak mau jatuh nggelundung kasur lagi."

Benar. Aku tidak sabar menunggu perkembangan—

Bentar. Apa katanya?

Mataku nyaris mencelat dari rongga. "Nggelundung kasur? Kapan?!"

"Iya, hampir ae, Mel. Sekali balik lagi wes jatoh, untung aku pas lihat." Jariku bergerak mengelus ubun-ubun yang berdenyut di pelukku. Kenapa bisa…? "Tadinya dia tidur di kamar. Trus kan ditinggal nyapu sama Mbak Sari kayak biasa, tapi ternyata dia bangunnya nggak pake nangis. Tau-tau aku intip udah di pinggir kasur mau ngguling ke bawah. Ya dia ketawa-ketawa aja sih waktu aku tangkep, tapi kan jantungku yang potek…"

Sepasang mata bulat itu sudah memejam sejak 5 menit lalu. Sesekali bibir mungilnya yang masih menempel di dadaku menarik senyum. Refleks menghisap masih tersisa di gerak pipinya. Begitu damai wajah ini saat terlelap.

Dia tidak sadar ibunya membatu seperti disambar petir setelah mendengar dia hampir jatuh dari kasur. Jatuh… dari spring bed setinggi itu. Tidak sampai satu meter, mungkin hanya tiga perempatnya, tapi membayangkan kepala yang masih berdenyut ini menghantam keramik—

Aku menggeleng kuat.

Kepalaku terlalu lemah untuk menanggung rasa sakitnya. Terlebih, bayi serapuh ini..

Saat ini yang kupikirkan adalah bagaimana caranya supaya musibah semacam itu tidak menyentuh anakku. Menyingkirkan rangka ranjangnya? Itu mungkin saja. Dulu waktu Fikar masih bayi, Papa juga membongkar ranjang kami jadi lesehan di bawah, tanpa ranjang. Dengan begitu walau Fikar break dance di kasur juga aman-aman saja.

Masalahnya ini bukan rumahku. Bukan pula furniturku. Aku tidak yakin dokter McFord mengizinkan dan bersedia menolongku membongkar spring bed di kamar demi Bumi.

Suara notifikasi pesan mengacaukan lamunanku. Buru-buru kuraih smartphone di dekat kaki Bumi.

Garda
kamu dimana?

***

"Kamu nggak ada kerjaan ato gimana sih?" selidikku, sambil bersusah-payah mengunci seatbelt yang tertimpa pantat gempal Bumi.

"Justru karena besok ada kerjaan seminggu full, aku bisanya hari ini."

Aku mengangguk dan membenahi posisi duduk. Mobil mulai bergerak menjauhi rumah.

"Kerjaan kemana?"

"Ke UK, keliling-keliling. Diajak guruku."

Mataku membulat. "Woah, kamu punya guru?! Kayak di film-film gitu?"

"Punya dong. Semua orang yang lagi belajar pasti punya minimal satu sosok yang dianggap guru." Aku mengangguk-angguk. Benar juga, buktinya Sora Aoi. "Kamu nonton film sulap apa yang ada gurunya?"

"Kungfu Panda."

Garda sontak menyembur udara, entah mengapa.

"Itu bukan film sulap, anjir!"

Dih lah. "Emang kapan aku bilang aku nontonnya film sulap?"

"Lah guru aku ya guru sulap, lu kata guru kungfu?!"

Ngaco nih orang. "Emang kapan kamu bilang guru sulap?"

"Hoh," Dia menganga dan menoleh sesaat. "Iya ya. Aku nggak bilang guru sulap ya? Bilang guru doang?"

Aku terkekeh memeluk Bumi. Sebenarnya aku juga nggak polos-polos amat, aku tahu lah maksudnya si Garda guru sulap. Aku cuma buta film sulap, jadi asal saja aku menyebut judul Kungfu Panda.

Kata Garda, tidak banyak production house yang mau memproduksi film sulap karena kalau triknya be aja, alias standar, sudah pasti tidak laku. Berbeda dengan genre romance dan action, ada hole sedikit, orang tidak terlalu mempermasalahkan. Sedangkan film dengan unsur sulap (tapi bukan fantasy) cuma ada dua pilihan: sempurna, atau hina.

Salah dua film bertema sulap yang Garda rekomendasikan untukku dengan rating lumayan tinggi adalah The Prestige dan trilogi Now You See Me. Aku tidak tahu sulap macam apa di film itu, tapi aku suka film penuh misteri dan teka-teki. Sudah kucatat judulnya, barangkali Elia atau geng Sora Aoi ada yang punya.

"Kamu biasa nonton di mana, Mpus?"

"Yaa, selama di Malang ya di 21." Bola mataku berputar. "Ato paling sering di laptop kalo lagi miskin. Tapi perasaan miskin terus dah aku."

"Iya, nonton di laptop aja. Enak bisa di pause," Dia tersenyum saat mobil memasuki pelataran parkir mall. "Tapi kalo diajak nonton layar lebar, mau nggak?"

Aku mengulum senyum. "Tergantung deh, kalo nggak mager."

"Subhanallah ya ukhti… baru ini cewek mikir-mikir dulu gue ajak nonton."

"Lho, seriusan ini, Gar," sahutku lagi, sambil melepas seatbelt. "Sekarang tuh kayak mager mau kemana-mana. Pulang kuliah ya udah, enakan di rumah, goler-goler mainan sama Bumbum." Aku menciumi pipi Bumi penuh sayang. "Melati udah jadi emak-emak beneran, ya 'kan, Bum?"

Garda tersenyum lembut. Memar di matanya memang sudah sembuh, tetapi lensa itu menyorotkan… kerinduan? Atau kepedihan?

"Kamu nyesel dengan semua itu?"

Owalah, ini lagi. Aku tertawa ikhlas, melepas semua sesal itu.

"Iya dulu, Gar. Kalo sekarang mau diratapi lagi juga nggak bisa dibalikin, jadi yaa gimana lagi… Pada akhirnya aku sadar, aku kayak ditampar sama takdir. Aku nggak punya kesempatan menang. Pilihan yang aku punya cuma bertahan supaya nggak bener-bener kalah…"

Sejujurnya, dadaku masih sesak bahkan hingga detik ini, setiap teringat pelik itu. Tetapi tepuk ringan Garda di kepalaku dan Bumi mengalirkan semangat tak kasatmata.

"Good baby, both of you."

***

Box bayi alias crib yang kami pilih modelnya sederhana saja, terbuat dari kayu yang dicat dan dipernis warna putih. Sudah dapat satu set kasur, satu bantal dan dua guling kecil, plus selambunya. Nominal 5 juta yang ditransfer Garda jelas berlebih karena harga boxnya hanya 2 juta. Boleh-boleh saja kalau dia ingin memberi kado Bumi, tapi kelebihan 3 juta, buat apa?

Dia berkelit seperti uler keket setiap kutanya nomor rekening. Sepertinya harus dikembalikan dengan cara lain.

"Mau kemana?" tanyanya, ketika aku beranjak.

"Ke WC. Titip Bumi bentar ya."

Tak menunggu persetujuannya, aku keluar dari kedai sushi dan menghilang dari jangkauan pandangnya. Bagus sekali di mall ini ada banyak ATM, aku bisa tarik tunai dan mengembalikan duit sang sultan tanpa perlu tahu nomor rekeningnya.

Di ATM, untungnya sedang sepi, hanya ada sekuriti yang menjaga. Kan takut juga tarik tunai 4 juta kalau dilihat orang lain.

Sushi sudah tersaji dan Garda sedang memasukkan satu roll ke dalam mulutnya ketika aku kembali. Bumi tertidur lagi di bangku panjang, beralaskan jaket tebal Garda yang memeluk hangat tubuh gempalnya.

"Nih," tanpa bungkus apapun, kuserahkan tumpukan merah Soekarno-Hatta di dekat piring sushi Garda. Sudah kupastikan jumlahnya 40 lembar.

Iris pekatnya membesar, tapi pura-pura tak kulihat dan menyesap sedikit teh.

"Mpus, nggak." Dan tumpukan itu dikembalikan di depanku. Sudah kuduga.

"Aku yang nggak mau." Kudorong lagi kertas bernilai itu. "Nggak gini caranya, Gar. Boleh kalo kamu mau beliin Bumi macem-macem. Beliin box bayi, iya boleh. Tapi selayaknya aja, nggak berlebihan gini. Bukan berarti aku nggak butuh uang, cuman gimanapun juga aku nggak bisa nerima ini…"

Beberapa detik berlalu, Garda hanya bisu memandangku. Uang itu disodorkan lagi, tapi kali ini tidak tepat di depanku. Di tengah-tengah meja antara kami.

"Ini sudah aku kasih untuk kamu, jadi aku nggak bisa nerima lagi. Trus sekarang gimana?"

"Yaudah." Karena lapar, kusempatkan menggigit satu roll sebelum berkata lagi. "Kasih buat tip mbak-mbak waiter itu. Yang rambutnya dicat merah." Telunjukku sembunyi-sembunyi mengarah ke waiter di jam 3 ku. "Pasti dia langsung beli iPhone X soalnya tadi dia galau mau beli iPhone X atau iPhone 4 aja karena duitnya kurang… aw!"

Sial!

Aku mengusap-usap dahi yang barusan ditoyor menggunakan sumpit. Tega memang ini cowok satu.

"Kalo dia mau nyumbang kemana gitu okelah. Lah beli iPhone, enak bener dia dapet uang kaget!"

"Nah tuh," Senyumku terangkat cepat. "Sumbangin aja. Ke masjid kek, panti asuhan kek, ato kemana lah aku nggak tau di Malang yang butuh-butuh begitu ada di mana."

Garda tampak berpikir, memainkan dagu dengan dua jari dan alis yang naik sebelah.

"Kalo panti asuhan, aku tau satu. Mau kesana?"

.

-BERSAMBUNG-


.

Glossarium

LDR: Let-Down Reflex
Refleks keluarnya ASI dari payudara yang tidak sedang menyusui/pumping. Misalnya menyusui/pumping di payudara kanan, lalu ASI di payudara kiri ikut keluar dengan sendirinya, atau sebaliknya. Kadang, ASI keluar sendiri biarpun nggak lagi menyusui/pumping, misalnya karena sang ibu lagi bahagia ♥

Malang, 28 April 2018
Love you to the moon and back, MeLuk 💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top