33 Pulang

🌟

HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT

Chapter 33 Pulang

🌟

"Ke Jogja? Borobudur? Prambanan? Parang Tritis?" Roman mengabsen nama-nama tempat wisata di Jogja, lalu menutup dengan satu sedot soda gembiranya.

"Basi. Dah sering," seloroh Danny.

"Raimu basi, Dan, (Mukamu basi, Dan)" ejek Fathir, diamini oleh Danny sendiri. "Gak ada yang mau ke gunung? View-ne apik lho."

Roman melirik stand tahu campur sekilas, kemudian bergumam, "ke mana? Puncak?"

"Cek adohe nang Puncak, Ngalam ada Batu, (Jaoh bener ke Puncak, di Malang ada Batu)" omel Joko. "Puncak ruame, males."

"Di mana-mana musim libur mesti rame, Joko Bodo," Danny mendorong bahu Joko. "Hatimu thok sing sepi."

"Apa? Apa?" Roman mendelik, memajukan badan ke Joko. "Masih gagal move on sama Elia?"

"Menengo, Mbut! (Diem, Mbut!)"

"Lambemu, Jok. Ojo mbat mbut mbat mbut ae kon ngarep kodew. (Mulutmu, Jok. Jangan mbat mbut mbat mbut kamu depan cewek)"

"Halah, Dan," aku mengibas geli. "Terusin dah. Anggep aku cowok juga."

Roman menggeleng serius. "Gak bisa, Mel. Kamu nggak punya titit. Kalo mau disamakan ama kita sana kamu transplantasi titit dulu."

Aku menganga hingga kuah bakso yang baru kusesap terjun lagi ke mangkuk.

Tak ayal Roman dihujan umpatan dari ketiga cowok lain. Aku memerhatikan sambil menderai tawa ringan. Jadi penasaran apa saja ritual mereka berempat kalau berkumpul tanpa aku dan Sandra, selain mabar tentunya?

Fathir menolehku dengan mata berkilat. "Kamu nggak mau kemana gitu, Mel, minggu tenang nanti?"

"Mau lah," dengusku disertai bibir maju. "Tapi aku 'kan ada Bumi. Kamu mau aku manjat gunung sambil manggul bayi beratnya dua karung beras?"

"Iya juga ya," Joko mengusap dagu. "Kalo ke pantai? Batu Bengkung bagus lho. Nginep aja daripada Eneng dan putra mahkota kita kecapekan."

Kalau pantai sih... "Pantai di kampung aku buagus lho, Rek." Aku jemawa menyampir poni ke samping.

"Ayo ke sana," Fathir bertepuk meja. "Pantai Bening Kristal yang mirip Maldives itu kan? Lagi booming backpaker-an ke sana."

"Fathir Miskin gini banget ya. Gak mampu ke Maldives, pelarian ke pantainya Melati," celetuk Danny.

Aku memicing runcing. "Heh, bagusan Bening Kristal ya daripada Maldives!" Lagian putra tunggal profesor pemilik perusahaan farmasi seperti Fathir, mau tiap hari bolak-balik Malang-Maldives juga bisa.

"Kalo kita ke sana, rumah kamu mau nampung nggak, Mel?"

Aku diam sesaat mendengar pertanyaan Fathir. "Mamaku sih mau aja." Hidungku mengerut teringat seseorang. "Tapi Papaku, ntar kalian pasti diuber-uber main catur terus. Adek aku lagi... hadeh." Bisa kubayangkan bagaimana klopnya Fikar featuring geng Sora Aoi ini. Jodoh. Leherku menggeleng kebas. "Jangan deh, adek aku jangan."

"Ih, kenapa? Adek kamu yang mirip Iqbaal itu kan? Masih suci keknya. Sini kita racunin."

Yang lain mengamini sahutan Roman, aku mengulum senyum ketir. Asal kalian tahu, Fikar sudah teracuni sejak lahir dan dia malah kebal. Keracunan ketuban awalnya. Gendeng memang anak itu.

"Kalo catur, aku bisa dikit," kata Danny.

"Oh ya?" Mataku mendadak segar. "Sering main, Dan?"

"Maksudnya bisa nyusun aja… prajurit di baris dua dari belakang, trus benteng, kuda, mentri, ratu, raja…"

Aku meraup wajah gemas. Ya kupret, itu sih dari kelas 1 SD aku juga bisa.

Keempatnya semakin seru merencanakan liburan minggu tenang mereka bulan Desember akhir nanti, yang masih sekitar 3.5 bulan lagi. Diam-diam, aku tertunduk menekuri es campur yang setengah esnya sudah mencair.

Bisa-bisanya aku menawari mereka untuk berlibur ke rumahku, sementara aku sendiri adalah pecundang yang tidak bernyali pulang ke rumah. Satu tahun lebih aku tidak pulang, Mama menelepon hampir setiap hari. Isinya adalah pembicaraan yang menyesakkan rindu di dada. Omelan-omelan tentang bagaimana bandelnya Papa dan Fikar tanpa aku di rumah. Atau keluhan tentang atasan Mama yang dikit-dikit membebankan tugas yang bukan jobdesc Mama. Atau terkadang, hanya sekadar bertanya apakah aku sehat dan sudah makan.

Kalau sudah begitu, aku hanya bisa memainkan peranku sebagai anak pertama yang baik... dari jauh. Sebagai panutan bagi adikku. Aku akan menjawab bahwa aku sehat, sudah makan cukup, dan sedang belajar. Yang belum bisa kukatakan adalah aku melakukan semuanya sambil menyusui seorang bayi tak berdosa.

Tapi sampai kapan, Mel?

Sampai kapan aku harus menutupi kondisi ini? Sampai kapan aku harus tinggal di Malang dan tidak pulang ke rumah? Sampai kapan aku harus bertahan didera rindu ayah ibu?

Pa, Ma, aku kangen...

"Di sini kosong?"

Kepalaku terangkat menemukan dokter McFord bertanya pada kami, termasuk aku. Cepat-cepat kuhapus air di sudut mata dengan pergelangan kemeja.

"Kosong, Dok. Silakan," jawab Danny yang tepat di seberangku, menggeser diri untuk memperlebar ruang antara dia dan dokter Yuan. Aku juga bergeser sedikit karena dokter McFord mengambil tempat di sampingku.

Kepalaku celingukan. Benar juga, cafetaria FK jam makan siang selalu padat. Hampir mustahil dapat meja kosong kalau tidak memberi tanda (biasanya dengan tas atau satu orang berjaga di meja) atau mau tidak mau seperti dua dokter ini: nebeng di meja lain yang sudah ada penghuninya.

Sebenarnya, kata dokter McFord, dokter-dokter kami jarang makan di cafetaria karena alasan kenyamanan. Pada jam istirahat, kebanyakan dari mereka makan di ruang masing-masing atau berburu santapan di luar kampus. Makan di cafetaria hanya jika terdesak saja, atau ada alasan lain yang tidak memungkinkan untuk makan di luar.

Tapi dengan datangnya dua dokter ini di meja kami, seseorang akan menyesal seumur hidup karena memilih latihan band daripada makan denganku.

Sambil menahan bibir yang hampir mengembangkan senyum, diam-diam kuarahkan kamera belakang smartphone ke arah jam 10. Setelah satu jepret dari balik mangkuk es campur, aku berhasil mendapat foto candid dokter Tionghoa itu tanpa ketahuan.

Sebelum mengirim pesan ke Sandra, terlebih dahulu kuberi caption: "Makan siang semeja sama ahjussi FK" plus emoticon love 3 buah supaya Isyandra makin gagal fokus ngeband-nya. Yekan siapa suruh meninggalkanku makan siang di antara empat terong sompret ini?

Sent.

Sekarang aku benar-benar cengengesan mengimajinasikan reaksi Sandra di sana. Joko menyikut dan berbisik di bahuku.

"Tiap hari udah ketemu di depan rumah, masih segitu senengnya sebelahan sama dokter McFord?"

"Yee, bukan," desisku tertahan. Walau, memang iya setiap ada dokter mata biru ini di sisiku semuanya serasa surga. Kemudian kutunjukkan ponsel ke Joko. "Ini lho buat Sandra."

Eh. Bentar.

KOK NGIRIMNYA KE—

Jempolku semburat menekan-nekan layar.

Aaaahhh, retract! RETRACT! BATALKAN!

Yah, nggak bisa!? KENAPA?! KAN BELUM DI READ?!

"Kalo statusnya udah sent nggak bisa retract, Neng, biarpun belum di read—ADUH!"

Hish.

Rasanya. Rasanya. Rasanya... ingin kutabok wajah cengengesan Joko. Tetapi kakiku bergerak lebih cepat menginjak ujung sepatu ketsnya. Dua dokter di sebelahku menghentikan percakapan privat mereka dan menoleh dengan wajah berkerut.

Aku bergerak cepat mengemasi modul dan segera meninggalkan meja. Sebelumnya, kusempatkan pamit pada cowok-cowok sableng dan membungkuk sopan pada dua dokter. Kakiku berlari menuju lift.

Punggungku segera menubruk lift. Sambil memeluk modul, aku menggigiti kuku ibu jari kiri. Genggam kananku belingsatan di layar ponsel mengirim pesan klarifikasi.



Mel
Dok, maaf. Saya salah kirim


Iya. Begitu saja.

Duh, Mak. Langsung di read.


dr. Yuan
should I tell him?


Aarrrrggghhh!!!

Untungnya aku sendirian di lift. Tidak ada yang melihatku mengentakkan kepala seperti band underground kerasukan setan kuda.



Mel
Dok, maaf
salah kirim, saya serius
itu untuk teman saya
saya minta maaf banget..

dr. Yuan
should I tell him? (2)

Hanjiiirrr.


Mel
JANGAN LAH

dr. Yuan
kasih tau ah~

Mel
DOK PLIS

dr. Yuan
kasih tau ah~ (2)


Ya Allah, beri hamba kesabaran lebih menghadapi dokter titisan buaya ini.


Mel
saya cuma mau minta maaf. Itu aja
permisi, Dok



Kujejalkan kasar gawaiku ke saku rok. Baru beberapa langkah keluar lift, benda itu berbunyi lagi. Aku duduk di bangku depan ruang kuliah untuk mematikan suara notifikasi.

Niat awalku begitu.

Tetapi membaca isi pesan yang masuk itu dari kotak popup, sendi antar jemariku sontak lumpuh. Benda pipih itu meluncur dari genggamku. Setelah satu raup napas yang macet, tidak bisa kuhembus, aku menyambar ponsel lagi. Memastikan bahwa aku salah baca. Atau dokter Yuan salah kirim.

Sayangnya, mataku tidak salah. Bukan pula dokter Yuan salah kirim.


dr. Yuan
sudah tau ayahnya tadi pagi meninggal di SF?

***

"Nggak ikut tidur?"

Supaya Bumi tidak terbangun, aku menutup pintu perlahan, lalu menggeleng. Kepala Garda berputar mengikutiku yang bergerak duduk di sampingnya. Ibu jariku memenceti remote TV, dan berhenti pada satu siaran stasiun swasta yang menayangkan kompetisi menyanyi. Bukan kompetisi dangdut, kali ini kompetisi menyanyi remaja yang mengundang ayahnya Garda sebagai komentator.

Mataku mengerling sekilas. "Nggak kangen beliau?"

"Be aja sih," Garda menyahut dengan entengnya. "Nggak serumah juga. Sering nggak ketemunya daripada ketemu."

Benar juga sih, beliau berdomisili Jakarta. Garda sendiri, entah mengapa, malah tersesat di Malang. Tapi kan…

"Bukannya kalo jauh justru kangen, ya?"

Bibirku menarik senyum sepi. Mataku tidak lepas dari sosok Iskandar Sinatra yang meminta aransemen lagu pilihan di kunci E yang menurutnya akan lebih apik. Dan, memang hasilnya terdengar lebih syahdu bagiku. Beliau memiliki telinga yang sangat sensitif, sesensitif Papaku terhadap setiap langkah yang diambilnya dalam menggerakkan pion catur.

"Aku kangen Papa, Gar…"

Aku tenggelam dalam lautan kenangan.

Cara Papa menatapku yang selalu tajam dan ingin tahu. Cara Papa menggemblengku untuk jadi perempuan yang kuat dan tidak kalah dari lelaki. Cara Papa menginterogasi setiap cowok yang ketahuan mendekatiku. Cara Papa mencemooh setiap aku bermake-up yang katanya norak lah, kampungan lah, ndeso lah… padahal Mama bilang Papa begitu karena kalau aku dandan yang cantik, semakin banyak cowok yang bertandang ke rumah dan Papa sangat benci hal itu.

Bersama pesatnya waktu, jumlah kekecewaan Papa padaku kian meningkat. Awalnya, yang bisa kuingat, adalah ketika Fikar baru lahir. Aku menangis seharian karena semua orang, termasuk Mama, melupakan eksistensiku sebagai salah satu anak di rumah. Semua mua muanya untuk Fikar. Demi Fikar. Umurku saat itu masih 3 tahunan, tetapi ingin rasanya aku sengaja menenggelamkan diri di kolam ikan agar orang-orang memerhatikanku lagi.

Satu-satunya yang masih perhatian padaku adalah Papa. Papa menggantikan Mama menyuapiku, memandikanku, atau bermain permainan yang justru semakin membuatku senewen karena… Papa bego. Papa mematahkan gagang panci mainan masak-masakanku!

Jelas saja aku makin histeris karena kebodohan Papa. Aku tantrum di tempat dan melempari Papa dengan peralatan masak mainan lain. Papa mencengkram kedua bahuku, menghardikku dengan intonasi keras. Aku tidak dengar apa nasihatnya, yang kuingat hanya wajah seramnya yang tampak kabur di balik deras arus air mataku. Tidak lama, aku tertidur didekap hangat Papa setelah kelelahan menangis.

Sementara terakhir kali aku membuat Papa kecewa adalah ketidak pulanganku di liburan semester lalu. Papa tersenyum. Ya, tersenyum. Begitu pula kerut halus di sudut mata dan dahinya. Semua fitur wajahnya tersenyum maklum, sekaligus memanggil, memohon, mengiba padaku untuk pulang.

Pulang, ke rumah.

Rumahku.

Di sini bukan rumahku…

Aku tersadar ketika air mataku merembes di kaus dokter McFord yang dipakai Garda. Tepuk dan usap silih berganti menyapu puncak kepalaku. Untuk beberapa saat, Garda memelukku dalam hening. Memberiku ruang untuk menangis, tanpa meninggalkanku sendiri. Seperti yang Papa lakukan.

Saat napasku berangsur teratur, aku melepaskan diri. Dia menangkup wajahku dengan dua tangan dan menyeka sisa lembap di pipiku. Iris pekatnya merewang, menyusuri setiap kontur wajahku tetapi tidak di mata.

"Kamu bisa pulang,"

Di sela sisa isak, aku tertawa hening. "Trus apa?" Kepalaku terangkat, pelupukku mengerjap basah. "Hai, Pa, Ma… aku pulang. Kenalin ini anakku. Namanya Bumi... cucu kalian…"

"Mel."

"Tapi dia nggak… dia nggak punya—"

"Punya," racauku diputus lagi oleh pelukan tiba-tiba. Dia berbisik di sela rambutku. "Bumi akan punya ayah. Ayah yang terbaik."

Ingin sekali kupercaya kalimat yang terdengar manis itu. Tetapi hatiku kerap berontak. Ayah yang terbaik untuk anakku. Bukan aku tidak pernah mendambakan hal itu. Hanya, aku cukup tahu diri. Aku masih sama anak-anaknya dengan anakku sendiri. Mentalku tidak cukup kukuh untuk berperan sebagai ibu, mahasiswa, dan istri di waktu yang bersamaan.

Yang aku ingin hanya penerimaan.

Tangan terbuka dari kedua orang tuaku.

Masihkah?

"Oh ya, Mel. Bumi sudah bisa tengkurap sendiri. Sudah tau?"

Sontak kudorong tubuh Garda.

"Yang benar? Bumbum bisa?!"

Dia mengangguk semringah. "Tadi aku rekam. Bentar."

Sementara Garda menggeser-geser layar ponsel, aku mengucek wajah serampangan.

Di rekaman itu, Bumi susah payah mengangkat miring paha kirinya yang sebesar bonggol singkong. Setelah sederet erangan seperti anak kucing, dia juga berhasil mengangkat pantat yang langsung berputar ke kanan.

Dalam sekali hup, si ganteng berhasil tengkurap. Nyaris sempurna, kecuali tangan kanannya yang terlipat, tertindih tubuh gempalnya. Mbak Sari membantu membenahi tangan itu ketika Bumi terlihat akan menangis.

Bukan hanya bisa tengkurap, Bumi juga bisa berbalik sendiri. Justru lebih mudah berbalik daripada tengkurapnya. Dia cukup menjatuhkan kepala besarnya ke kanan, dan huwala, anggota tubuh lain otomatis mengikuti kepala. Kembali terlentang.

"Alhamdulillaaahhh…" Aku bertepuk tahan haru. "Kirimin dong."

"Siap, Cantik," Garda segera melaksanakan perintah.

"Gar."

"Ya?" Dia tersenyum pada layar ponsel.

"Aku kasih tau ya. Tanpa bermaksud menggurui kamu, karena kamu lebih tua dari aku."

Kali ini dia menolehku. "Apapun yang keluar dari mulut kamu, aku siap denger. Asal jangan minta aku jauh-jauh dari kamu," lantas, kembali menekuri gawainya.

Aku mengulum senyum. "Gar, kalau memang nggak ada apa-apa, sayangin orang tua kamu. Telpon mereka, minimal kirim pesen. Pa, Ma, aku lagi ini. Pa, Ma, besok aku mau gini, doain ya. Pa, Ma, sehat? Karena kita nggak tau, Gar..."

"Nggak tau apa?"

"Nggak tau sampai kapan kita hidup," jawabku lugas. "Atau, sampai kapan mereka hidup."

Mataku melirik jam di atas TV. Pukul 11 malam, dan Dokter belum di sini. Pesanku sore tadi, yang bertanya dia akan pulang jam berapa, hanya sekadar terkirim tanpa dibaca.

Aku tidak ingin tidur tanpa memastikan dia baik-baik saja…

"Mereka bukan orang tua kandungku, Mel."

Aku diseret keluar lamunan oleh kalimat itu. Ada sesak yang menghimpitku ketika Garda mengatakannya dengan santai.

"Maaf."

"It is okay," Garda menyimpan smartphone-nya dan kembali menyimakku. "Memang, banyak orang tua angkat yang baik sama anak angkat mereka. Aku nggak akan bilang mereka bukan orang tua yang baik, tapi… kami sudah terlalu jauh."

"Gar, yang paling jauh adalah masa lalu. Yang paling dekat adalah kematian," Aku mengutip nasihat Imam Al-Ghazali. "Kalau punya nyali, aku mau, Gar… Aku yang paling pingin pulang. Aku yang paling kangen orang tua. Aku yang paling nyesek setiap denger cerita temen-temenku waktu mereka pulang kampung…"

"Keluargaku nggak semanis itu, Mel." Dia tersenyum, bersama datangnya sejumlah tanya baru di kepalaku. Kemudian jemariku lemas diraihnya. "Makanya, punya keluarga kecil yang bahagia adalah cita-cita terbesarku. Kamu mau?"

Hatiku terhenyak. Hanya saja di luar, tubuhku membatu. Berusaha mencerna apa makna kalimat tanya barusan.

"Mau apa?"

"Bantu aku."

Aku gemas dengan percakapan dipenggal-penggal begini.

"Bantu apa?"

"Mewujudkan cita-citaku."

"Caranya?"

Garda akan menjawab, tetapi sebait denting halus dari ponsel membias fokusnya. Dia melepas tanganku, tertegun melihat layar benda itu, dan memberi gestur padaku untuk menunggu.

Setelah jeda satu pariwara di TV, Garda menoleh lagi. Kali ini dengan raut berbeda 180 derajat dengan semula.

"Mpus, kamu bener. Aku harus pulang sekarang."

Lha… kok?

"Sekarang?" Aku mengerjap dungu. "Hampir jam 12 malem?"

Garda mengangguk, dan tersenyum lagi. Mungkin untuk meredam kebingunganku, tapi sebaliknya aku semakin bertanya-tanya.

Ini orang kenapa, sih?

"Makasih buat seminggu ini," Tangannya mengacak pelan puncak kepalaku. "Ntar aku ganti semua uang kamu. Kirim aja nomer rekeningmya. Nanti kita beli box bayi buat Bumi, OK?"

***


Satu, dua, tiga… berulang kali. Belai lembut di pipiku sontak membuka kedua mataku bersamaan. Aku menemukan raut lelah doktee McFord di jarak intim dari wajahku. Tetapi dia masih memberi senyuman terbaik.

"Kenapa tidur di sini?"

Aku bergerak membenahi posisi menjadi duduk sambil mengucek mata. Bumi yang sejak tadi kupeluk sebagai teman menunggu, perlahan diambil dokter McFord yang segera duduk bersamaku.

"Dokter ke mana? Saya WA nggak dibaca!"

"Maaf."

Hanya itu. Selanjutnya hening yang menguasai kami. Aku menggamit satu tangannya yang tidak menopang Bumi. Tangannya yang dingin dan besar, hingga aku harus menggenggam dengan dua tangan. Mataku tidak bisa lepas dari sorot hampa di matanya.

"Dokter kemarin bilang mau saya berbagi sama Dokter. Sekarang saya mau Dokter juga berbagi sama saya."

Dia hanya menyipitkan mata. Aku mengeratkan genggamku, setengah meremas.

"Saya juga mau tau semua tentang Dokter. Semua senang, bahagia, susah, sedih, bingung, marah, atau beban… atau semuanya. Tentang Dokter. Saya ingin jadi bagian dari semua yang Dokter lalui dan Dokter rasakan…" Aku menggigit bibir bawah sesaat. "I'd love to see you smile too, Dok."

Sebelum menjawabku, dokter McFord tertawa bisu, kemudian mencium ringan jemari tanganku yang ia balas genggam.

"Kamu sudah tau ya? Dari Mom, I suppose."

Aku menunduk pada Bumi. "Dari dokter Yuan." Sepertinya dokter Yuan tidak cerita tentang pesan yang salah kukirim. Syukurlah.

Tanganku dilepas perlahan.

Aku menyimak semuanya tanpa memotong sedikitpun. Seharusnya malam ini shift jaga dokter McFord, tapi dokter Yuan memaksa tukar shift karena menurutnya dokter McFord sudah hilang fokus sejak di kampus. Yang membuatku kesal adalah bukannya pulang padaku, dokter McFord malah kelayapan bersama Priusnya di jalan sampai jam 3 pagi.

Ayah dokter McFord memang mempunyai stroke 10 tahun belakangan, dan kali ini sudah tidak tertolong. Terakhir kali Dokter bertemu dengannya adalah waktu dia masih kuliah. Pria tua yang tak dianggap sebagai ayah itu tak diacuhkannya, walau sebenarnya sang ayah berusaha bicara baik-baik dengan putranya.

Sebab luka itu masih ada. Nyata.

Puluhan toreh bilur di dada dan punggungnya yang pernah kusaksikan sendiri adalah buktinya. Salah satu alasan dokter McFord tidak seberani Ezra dalam membuka dada bidangnya di tempat umum seperti kolam renang atau pantai. Atau sekadar ganti baju bersama teman laki-laki, dokter McFord selalu melakukannya sendiri di kamar mandi.

Bersama luka, datang amarah. Bersama amarah, datang sesal. Meski hanya sebersit, aku menangkap kilatan sesal dari kosong tatapannya.

"I was just curious… at that time, if I had not walked away, what would he have said to me? Was it something that could made any difference between me and him?"

"I… don't know, Dok," jawabku jujur.

"Me neither."

Aku meraih tangannya lagi, memeriksa luka sayat pisau di telapak beberapa hari lalu. Luka itu sudah mengering meski belum tertutup sempurna. Kalaupun tertutup akan menjadi bekas permanen melihat ukurannya yang cukup besar.

"Ini masih sakit, Dok?"

"Kadang."

Aku tertunduk mengusap luka itu.

"Saya nggak kenal orangnya seperti apa." Aku setengah berbisik. Sekelebat bayang-bayang Papa menyesaki setiap sudut hatiku. "Tapi tanpa beliau, nggak ada Dokter yang pernah menukar cola saya sama Aqua. Nggak ada Dokter yang pernah saya lempar kondom dan saya muntahi. Nggak ada Dokter yang menemani saya nonton film horror sambil makan sempol. Nggak ada Dokter yang ngasih kalung dan nembak saya di atraksi lumba-lumba…"

"But you said no?" Ah, dia mulai tertawa dengan sedikit memajukan bibir bawah.

"Memang kenapa? Otoritas mutlak saya untuk nolak Dokter."

"You have every right."

"Nggak ada Dokter yang masakin saya macaroni schotel." Aku meneruskan dengan semangat. Dokter mendengar dengan senyum permanen. "Nggak ada Dokter yang menemani saya nahan kontraksi lewat video call. Nggak ada Dokter yang nolongin saya waktu mastitis. Nggak ada Dokter yang naik bianglala sama saya dan Bumi di pasar malam. Nggak ada Dokter yang minjemin ruang kerja pribadinya di kampus untuk jadi tempat saya pumping ASI…"

… dan nggak ada Luke yang aku cintai.

"… dan nggak ada Dokter yang bisa saya genggam tangannya seperti sekarang ini."

Aku mengecup pelan luka di tangan itu.

"Saya berterima kasih karena beliau menghadirkan anaknya yang… ehem." Aku membuang pandang canggung pada Bumi. "Yang sayaaang pake banget sama saya ini. Semoga beliau tenang, mendapat tempat terbaik di sana."

Semoga. Aamiin.

Dan semoga Dokter juga lepas, bebas dari segala beban rasa yang membelenggu selama ini. Setelah semua pelik masa kecilnya, serta kesabaran panjang dalam menjalaninya, Lucas McFord berhak untuk masa depan yang ramah bersahabat.

Kemudian, ibu jarinya yang masih di wajahku, bergerak sendiri membelai tulang pipiku. Mataku terpaku pada senyum bisunya yang tetap lelah, tetapi kehangatan biru samuderanya mulai cair.

Tangan itu berpindah pelan di balik telinga kananku. Iris samudera yang kian dekat itu menyulut letup petasan bahagia di dadaku. Hela napas dinginnya terlebih dulu menggelitik pori wajahku. Pucuk hidungnya bersinggungan denganku. Pelupuk matanya mulai menutup seiring terkikisnya jarak kami.

Begitu pula, mataku yang telah memejam.

-BERSAMBUNG-



Malang, 19 April 2019
Love you to the moon and back, MeLuk 💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top