31 Tiga Lelaki Asing
🌟
HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT
Chapter 31 Tiga Lelaki Asing
🌟
+62812xxx
Mpus, sudah pulang?
Pesan dari nomor tak dikenal itu belum kubuka secara resmi, hanya mengintai dari notification bar. Siapa lagi yang memanggilku 'Mpus' kalau bukan orang itu.
Lagipula, apa-apaan dia menghubungiku dengan nomor lain tanpa ultimatum sebelumnya? Tanpa salam, apalagi memperkenalkan diri.
Kalau tidak kubalas dengan alasan aku benci dihubungi nomor asing karena takut penipuan, cukup masuk akal kan?
+62812xxx
ini Garda
aku ganti nomor dan hp
i need ur help, please?
Aish! Baiklah. Kali ini saja. Aku memang lemah jika ada yang membutuhkanku. Salahkan aku.
Mel
knp?
+62812xxx
aku kesana
Bola mataku berputar muak. Tiba-tiba kurasakan urgensi untuk mengungsi ke masjid raya perumahan.
Mel
jangan skrg, Elia pulang malam
Setelahnya, tanpa pikir panjang kuaktifkan mode penerbangan.
***
Kata orang, hidup itu bagai koin yang punya dua sisi berlawanan. Kalau ada siang, pasti ada malam. Kalau ada benci, pasti ada sayang. Kalau ada malang, pasti ada mujur. Kalau ada pulang, pasti ada datang.
Yang pulang adalah Mbak Sari, sedangkan yang datang adalah Garda. Habis sudah semua kosakataku untuk mengungkapkan kebebalan lelaki ini. Tetapi sisi putih hatiku masih saja mengizinkannya muncul di rumah ini.
Tepat setelah sepeda motor Mbak Sari meninggalkan halaman parkir, sebuah Avanza menepi. Rambut keunguannya menyembul dari pintu, dia menghampiriku yang membatu, belum masuk rumah. Mulutnya segera terbuka mengatakan salam.
"Pinjem tiga puluh ribu dong?"
"HAH?" Apa katanya barusan??
"Aku nggak bawa cash. Gocarnya belom dibayar. Plis, pasti aku ganti."
Oke, aku keliru.
Garda bukan tipikal yang akan mengucap salam kecuali di atas panggung. Tapi pinjem duit cuma buat bayar ojol? Sama mahasiswi yang ongkos ke toilet umumnya pun masih ditanggung oleh kedua orang tua?
Ini beneran Master Incognito yang minimal sebulan sekali nongol di panggung lintas negara itu?
Matanya yang hanya satu, memohon pertolongan tanpa merendahkan prestise diri. Aku tidak mendapati celah kebohongan dari sorotnya, maka kubayarkan tiga puluh ribu kepada si driver. Kasihan juga kalau si driver kelamaan menunggu setoran.
Sepeninggal Avanza, kami terdiam di halaman. Ada fitur yang hilang dari wajahnya.
"Janggut kamu kemana?"
"Oh," Garda mengusap dagu halusnya. "Lagi nyawer di prapatan."
Aku mendelik. "Hish. Serius!" Sebab yang kutahu, janggut itu adalah salah satu kebanggaan terbesarnya yang dilirik banyak perempuan.
"Udah dicukur lah. Liat baek-baek dong, Mpus. Tinggal seberangan ama dokter mata gak menjamin mata kamu sehat ya?"
"Ya tapi kenapa??"
"Kenapa kamu yang gemes sih?" Baik alis maupun bibirnya terangkat sebelah. "Kecewa ya?"
Pertanyaan menggoda itu telak menamparku yang langsung memalingkan muka. Batinku melengos, iya, kecewa sedikit aja tapi. Di luar, aku hanya mendengus keras tanpa jawaban. Kakiku mengentak lebar-lebar masuk ke rumah dan kudengar langkah Garda mengekor.
"Mel… aku nggak mau jadi milik bersama lagi. Aku milik satu orang yang sudah berarti segalanya untukku."
***
Ketika aku datang dengan baki berisi dua gelas es sirup cocopandan, Garda sedang duduk merunduk di sofa, bertopang siku di sepasang paha. Matanya fokus pada smartphone di genggam kanan, sementara jemari kirinya mengetuki dagu. Gestur khas Ringgarda saat sedang berpikir.
Dia masih saja serius dengan gawai yang sepertinya masih anyar itu, dan tidak mengacuhkanku yang sudah di sebelahnya. Aku ingin mempercepat pertemuan ini sebelum dokter McFord pulang dari kampus. Kalau dia lihat Garda di rumah ini, aku bisa dipenyet sambal terasi.
"Gar," bukaku. "Cepetan mau minta tolong apa? Aku mau ngerjain laporan lagi. Cuma bayarin gocar itu tadi?"
"Oh, yah." Dia buru-buru menengadah padaku dan meletakkan smartphone di meja. "Sementara aku mau tinggal di sini."
"Hmm." Aku mengangguk-angguk. Tinggal di sini. Wait. "HAH?!"
Bilang apa dia?!
Aku menggeser pantat menjauh satu meter. "Tinggal di sini jidatmu jenong! Maksudmu apa?!"
"Yaa… numpang di sini, boleh ya?" Si goblok ini malah menggaruk pelipisnya salah tingkah. "Aku butuh tempat sembunyi. Serius. Cuma tempat ini yang paling aman buat aku."
Mataku sudah nyaris mencelat dari rongganya. Sabar Melati, sabar. Tarik napas… keluarin…
"Kalo kamu butuh perlindungan, nggak gini." Aku menggeleng, melipat tangan di dada. "Ke polisi. Sewa bodyguard atau apalah. Kalo sembunyi ke rumah temen lain yang cowok. Atau ke hotel. Kamu pikir dua cewek dan satu bayi di rumah ini bisa apa buat kamu?!"
Manik matanya merewang. Aku benci kalau ditatap seperti ini olehnya, mana yang jujur mana yang dusta menjadi abu-abu.
"Polisi... sadly said, mereka pilihan paling buruk." Tangannya menangkup kasar wajah, meremas frustasi, dan setelah satu hembusan dia melanjutkan. "Semua hotel, bodyguard, semua yang kukenal dari balita sampe bangkotan… semua diawasi, semua bisa diakses kecuali kamu. Karena aku merahasiakan kamu dari mereka."
"Emang kamu habis ngapain?" selidikku. "Habis gak sengaja mutilasi orang buat trik sulap? Mereka siapa? Rentenir? Kamu ngutang gak bisa bayar?"
"Worse than that, Mpus. Aku nggak semiskin itu sampe harus ngutang."
"Lah Gocar barusan? Kamu kira hatiku seluas samudera mau ngikhlasin tiga puluh ribu?"
Dia tertawa kaku sesaat, lantas meremas gusar rambut sarangnya. "Pasti kuganti, Mpus. Tapi nggak sekarang. ATM, CC, e-banking, semua akses rekening aku matikan. Hape aku tinggal. Ini hape baru tadi belinya nyuruh orang, dan yah, ngutang juga. Aku cuma bawa badan sama ini baju."
"Noh tuh ada orang suruhan," sewotku langsung. "Tinggal aja sama dia."
"Nggak bisa. Pasti mereka juga nyari ke sana, aku nggak mau melibatkan keluarganya. Dia cuma bisa bantu sampai beliin hape ini."
"Mereka, mereka. Siapa sih?!"
"Bukan sesuatu yang penting buat kamu, dan aku juga nggak mau kamu terlibat."
"Uhhh—whatever, Gar!" Kutahan jemari yang sudah mengepal ingin menonjok. "Memangnya dengan kamu tinggal di sini itu nggak melibatkan aku?!"
"Nggak." Dia menggeleng enteng sekali. "Mereka nggak tau kamu. Selama aku nggak keluar sama sekali, aku jamin kamu nggak terlibat."
"Ah!" seruku tertahan. "Orang tua kamu. Kamu tanggung jawab mereka, bukan aku."
Garda tertawa tanpa suara. "Mereka nggak mau tau soal aku."
Ya mbok pikir aku mau tau gitu?
Andai aku bisa jahat barang sedikit saja padanya, aku ingin bilang begitu. Tetapi lagi, lagi, dan lagi… sorot putus asa itu melemahkanku. Jiwanya seakan didesak untuk menyeberangi jurang kehancuran, hanya bergantung pada satu tali goyah, dan tali itu adalah aku.
"Aku bersedia kamu suruh tidur di gudang, di garasi, di jemuran... selama aku bisa di sini." Ada jeda sedetik, sebelum suaranya makin tersayat. "Aku bisa diem mendekam seharian di sana kalo memang kamu risi… supaya kamu nggak perlu ngelihat aku biarpun satu rumah."
Kuurut pelipis yang mulai berkedut gila. Aku mengembus pasrah dari celah gigi.
"Izin dulu."
"Memangnya aku ngapain daritadi kalo bukan izin?"
"Ini bukan rumahku." Aku menatapnya lurus. "Rumah keluarga McFord. Izin sama Dokter."
***
Tak ingin membuat dokter McFord panik sepulang kerja, aku menunggu 5 menit setelah dia masuk rumahnya, kemudian kukirim pesan.
Mel
Dok, sudah pulang?
dr. McFord
ya. Miss me?
Aku menggigiti sebelah bibir bawah yang sudah hampir melengkung. Gila, kenapa aku seneng banget dibaperin orang ini?
"Dia bilang apa? Kenapa senyum-senyum?"
Kujauhkan ponsel dari Garda yang memajukan kepala untuk mengintip pesanku. Aku mengibas ketus, dan dia kembali main cilukba dengan Bumi. Bibirnya mengerucut tajam.
Mel
mimpimu dok
saya mau ngomong, dirumah
tolong dokter bisa kesini?
dr. McFord
denial aja terus
ok, aku mandi dulu
Mau membalas 'ikut dong, Dok' tapi kuingat lagi aku sudah mandi sore ini. Jadi aku urung membalas dan memilih diam saja. Kulanjutkan mencari poin-poin penting modul fisiologi tulang, sendi, dan otot, kemudian menandai dengan stabilo hijau.
Sekilas kulirik Garda yang binar wajahnya sudah kembali karena pengaruh Bumi. Dia sedang menyuapi ASI untuk Bumi, sesekali menarik spoon feeder-nya menjauh untuk menggoda Bumi. Lengan ketela mungil itu terangkat heboh setiap spoon feeder menjauh dari bibirnya, dan Garda tertawa renyah.
Ada bagusnya juga Garda di sini; aku bisa menyelesaikan laporan sementara dia bermain dengan Bumi. Sebab kalau Bumi bangun, dia hampir selalu ingin menempel Mamanya.
Fokus mataku mulai bias karena lelah, maka di paragraf terakhir kututup stabilo. Kemudian aku baru sadar, hampir semua paragraf kuberi stabilo: harus dihapal semua. Entah memang begitu atau aku saja yang belum pintar memilah mana yang need to know mana yang nice to know.
Biarlah, nanti minta tolong Dokter.
Ketika terdengar ketuk tiga kali dari arah pintu, aku bergegas menutup modul dan laporan. Kusingkirkan semuanya ke kamar, lalu berlari membuka pintu rumah.
Dokterku muncul dengan wangi sejuk sabun menguar, menggoda saraf penciumku. Dia mengenakan kaus santai yang selaras dengan warna iris samuderanya. Mataku tidak bisa lepas darinya, begitupun dia yang membatu, menatapku intim.
Lima detik berlalu sebelum dia mengulurkan tangan, mengusap satu sudut bibirku dengan ibu jari. Garis matanya membentuk sabit, dibarengi tawa segarnya meluncur.
"Ini kenapa ijo-ijo?"
Kalang kabut kutampik tangannya dari wajahku, daripada aku diabetes karena perlakuan manisnya. Dia masih lekat memerhatikanku tanpa mengurangi senyum. Uh, ini pasti bekas stabilo. Kebiasaan burukku bertopang dagu, sambil menggenggam alat tulis yang lupa ditutup ujungnya.
"Dok, ada yang mau ketemu."
Aku memberi gestur untuk mengikutiku masuk.
"Iya. Mamanya Bumi kan? Atau Bumi?"
Sampai di ruang keluarga, senyum dokter McFord benar-benar amblas. Wajah kaukasianya membeku, bersitegang dengan Garda yang membawa Bumi dalam peluknya. Aku menangkup wajah pusing.
Plis jangan gelut.
Aku mengambil tempat di sisi Garda. Dokter McFord tampak enggan duduk, melipat tangan di dada, mengetatkan zirah intimidasi yang digunakannya setiap menjadi penguji OSCE.
Tanpa perlu dia bertanya, kujelaskan semuanya pelan-pelan. Garda membisu, tidak menyela, menatap monoton pada dokter McFord. Sebagai moderator kepaku harus dingin… ah, kenapa aku harus melakukan mediasi ini demi Garda?
"… jadi saya bilang, kalo mau tinggal di sini, izin sama keluarga yang punya rumah, yaitu Dokter," tutupku singkat.
Dokter McFord masih bergeming, samuderanya melirik kaku pada Garda yang posisinya lebih di bawah karena duduk.
"I need to talk to him in private."
Aku meneguk ludah. "Jangan!"
Dokter McFord menyipit tidak senang. Aduh…
"Saya nggak mau ada yang disembunyiin dari saya. Yang paling penting," kuhirup napas tertahan. "saya nggak mau ada tarik otot. Saya moderator di sinim"
"Well then," dia mengangkat bahu. "I think it's pretty clear that my answer is NO."
"Please," Garda memohon ketika aku baru membuka mulut. Dia menggeleng lemah. "I don't know what to say but… please."
"Kenapa aku dan Melati harus mau nolong kamu?"
"Karena kalo lo biarin gue di luar, gue pasti mati terbunuh. Sebagai dokter lo nggak boleh biarin seseorang mati, right?"
"Right." Dr. McFord mengangguk dalam. "Sebagai dokter aku juga pernah ada di state forensik. Aku bersedia otopsi jenazahmu kalau dibutuhkan. Polisi bisa cari pelakunya, and you will rest in peace."
"Dokter!"
Kalimat itu membekukan Garda. Aku memelotot, tapi dokter McFord tidak juga berhenti menancap tombak muak untuk Garda yang pias. Aku tahu dia benci, tapi pantaskah seorang dokter berkata seperti itu…?
Garda tersadar karena lengan Bumi terulur, jemarinya mengais manja dagu bersih Garda, meminta perhatian. Rahang dokter McFord tampak melunak ketika Garda meraih tangan kecil itu, mencium-ciumi telapaknya diikuti derai tawa.
Alis dokter McFord masih terlipat. Dia menjilat bibir sekilas, menatapku dengan sorot yang tidak bisa kuartikan, lantas menuju Garda lagi. Hidungnya mengerut dan mengembus pendek.
"Kamu bisa tinggal di rumahku."
"Nah." Aku menegak dan mengatup tangan. Dokterku memang cerdas, pantesan aku sayang. "Bener banget." Eh, nggak jadi. Punggungku lemas lagi. "Jangan. Aku nggak mau kalian gelut lagi."
"Lalu apa?" Sekarang makiannnya menusukku. "Kamu mau tinggal sama laki-laki asing di bawah satu atap untuk jangka waktu yang belum pasti berapa lamanya?"
"Bu-bukan itu… saya takut—"
"Aku yang takut! Aku takut kamu diapa-apain sama dia. You know what I am saying."
Haish. Padahal kemarin dia yang hampir ngapa-ngapain aku.
Meski intonasi dokter McFord sudah naik dua oktaf dan terdengar gusar, aku merasakan darahku menghangat karena senang. Dia nyata sekali khawatir padaku. Aku tersenyum jahil.
"Kalo dia mau ngapa-ngapain, Dokter tau saya bisa gigit kan?" Sontak merah darah mengepul di wajahnya. "Saya nggak takut. Karena selama ini kalo ada apa-apa, Dokter selalu ada buat saya. Tanpa harus saya minta, Dokter pasti ada. Selama ada Dokter nggak ada yang perlu saya takutkan."
Dia lunglai menangkup wajah dengan satu tangan, memijati pangkal hidung tegasnya. Segera saja dia memalingkan wajah ke buffet di dinding belakang sofa sambil samar-samar menggumamkan sesuatu.
Kamu lemah, Dok. Digituin doang langsung ambyar. Tapi, aku suka...
"Bapernya gue potong bentar boleh?" Aku mengerling Garda yang mendengus sebal. Dokter McFord masih menutupi wajah uculnya, menilik dari sela jemari panjangnya. "Karena lo lumayan lama jadi dokter gue, otomatis nama lo masuk list kenalan. Paling lambat dua hari lagi mereka akan kirim orang untuk geledah rumah lo, nyari apakah gue di sana atau nggak."
Sekarang aku yang menungkup wajah, dan dokter McFord menurunkan tangan.
"Nggak semudah itu geledah rumah tanpa surat-surat."
"Mereka nggak butuh itu," Dia menggenggam jemari Bumi. "Mereka akan nyuruh kenalan lo untuk pura-pura bertamu, trus pura-pura keliling ngamatin seisi rumah lo. Mereka selalu main halus tanpa bekas, nggak pernah terjun langsung di lapangan."
Mataku terbelalak. "Jadi Dokter dalam bahaya?" Mana bisa aku menerima Garda tapi membahayakan Dokter?!
"Bukan, Mel." Garda menatapku lurus. "Aku bilang mereka main halus. Mereka rapi, mereka licin, mereka terkoordinir. Doktermu tercinta nggak akan disentuh sama mereka kalo dia nggak nyembunyiin aku."
Bergantian kutatap lelah kedua pria tegang ini. Sekarang aku benar-benar buta mana yang benar, mana yang salah. Mana yang fakta, mana yang rekayasa. Mana yang harus kuikuti, akal sehatku yang mengarah ke dokter McFord, atau hatiku yang memilih Garda karena jelas dia sangat putus asa.
"Dok." Kucoba lagi melunakkan hatinya. "Dia… bisa ditaruh di kamar tamu. Tapi kuncinya saya yang bawa. Jadi kalo ada saya di rumah, Garda bisa di dalem dan saya kunci dari luar. Dia saya keluarin pas saya sama Eli nggak di rumah, jadi dia juga nggak bisa macem-macem."
Dokter McFord mengerjap singkat, mengembus kasar dari celah gigi putihnya.
"Fine, dia di sini."
Punggungku baru menegak kembali, hampir tersenyum lega, sebelum akhirnya dosenku menambahkan.
"Aku juga di sini. Kita berlima."
***
Berlima? Matamu, Dok.
Elia si slebor itu ternyata harus menginap di UKM untuk begadang menyelesaikan artikel tabloid, atau apalah itu. Katanya deadline Senin besok. Bukan salah dia sih, tapi duhai Penulis Takdir, harus banget ya malam ini aku tidur seatap dengan 3 lelaki?
Lelaki yang paling kecil berguling-guling di depanku, di atas karpet. Setelah dia 'makan malam', aku melatihnya tengkurap karena belakangan dia sudah bisa memiringkan badan. Ah, tapi kalau dia bisa tengkurap, dia tidak boleh tidur di ranjang lagi. Bisa jatuh kalau aku atau Mbak Sari lengah. Apa harus kubeli box bayi?
Aku menoleh dokter McFord di kiriku. "Dok, kemaren beli breast pump di mana?"
"Baby shop. Why?" Dia balik bertanya tanpa melepas pandang dari mailbox di layar laptop.
"Nothing." Aku mengangkat bahu. Kalau kubilang mau beli box bayi, bisa-bisa detik ini dia order langsung via go-shop.
"Mau beli apa?"
Garda di kananku sudah tersenyum penuh arti, sebelah mata membentuk sabit. Aku bersikeras menggeleng namun dia mengikuti raut wajahku.
"Baju bayi?"
Aku terus menggeleng. Kepo amat sih?
"Pampers?"
"Enggak!"
"Dot?"
"Bumi nggak ngedot ya."
"Oh iya sih, sorry." Sorry katanya, tapi senyumnya makin mengembang lucu. Jenis senyum yang tidak ada di media sosialnya.
"Sepatu?"
"Bumi belom butuh."
"Feeding set?"
"Ada kado dari temen-temen."
"Barbie?"
"Sialan!" Aku melotot.
"Terus apa?"
"Kalo emang kamu sakti, read me."
Satu matanya bergantian melirikku dan Bumi. Bumi masih memiringkan badan, ingin berguling tapi apa daya dia gembrot. Seperti kura-kura terlentang yang tidak bisa kembali.
"Baby box?"
Aku lekas menggeleng sebelum Garda membacaku. Tapi sepertinya aku menggeleng terlalu cepat hingga dia malah makin semringah.
Dia membentuk pistol dengan sepasang tangan yang ditoyor-toyorkan ke pelipisku. "Ih bener kaaan, box bayi?"
Kampret.
"Bukan!" Belingsatan kusingkirkan tangannya yang semakin ngotot menembaki dahiku.
"Bener!"
"Bukan!"
"Besok aku beliin ya?"
Aku mengangkat dagu, kemudian mengibas rambut songong. "Duitnya? Ngutang lagi sama aku? Ngutang sama Melati bunganya berbunga tau. Bunga bertingkat!"
Garda menarik tangannya seraya mengulum lidah lalu mendecih.
"Elah, Mpus. Nggak besok bener. Aku selesein ini dulu baru bisa beli. Browsing deh mau yang gimana, ntar kita beli bareng." Puncak kepalaku ditepuk-tepuk lembut. "Sabar ya. Aku janji nggak ngerepotin kamu selama di sini."
"Do not touch her. Would you? Please."
Itu bukan kalimatku. Dokter McFord yang menampik tangan Garda dari kepalaku dengan gestur protektif. Garda mengganti senyumnya dengan bibir ditekuk ke atas. Sesaat kemudian, dia malah tertawa satir.
"Aduuuh… lagi gerah ya, Dok?"
Aku memelotot untuk keseratus kalinya hari ini. "Gar!"
"Lo setiap hari ketemu Melati, kurang puas gimana? Gue seminggu sekali juga belum tentu. Baru gue ngobrol doang lo senewen?"
"Garda! Mulut!"
Astagfirullah… ini dia air susu dibalas air tuba.
Dokter McFord bergeming, hanya menangkup mulut, tetapi manik runcingnya semakin dalam menancap pada Garda. Dokter membisu, justru itu menakutkan.
"Gar, mending diem deh. Selama kamu di sini kita emang harus jaga jarak, ngerti?" Mataku menyusuri raut keras Garda, meminta pengertian.
"Jadi kalo aku keluar dari sini, kita boleh nggak jaga jarak dong?"
"Di rumah ataupun di luar kita memang harus jaga jarak!"
"Kenapa kamu cuma sewot sama aku sih? Dokter itu tadi grepe-grepe muka kamu di pintu, kamu iyain aja. Kenapa giliran aku kamu nyolot? Takut keciduk dosenmu trus dikasih E?"
Aduduh…
"I-itu…" Mataku beredar mencari alasan yang tepat. Tunggu, kenapa jadi aku yang disudutkan di sini? Aku terjebak manipulasi. "Jangan ngalihin topik! Kamu memang janji nggak akan macem-macem kan?! Ikutin aja peraturannya apa susahnya sih? Atau kamu lebih mau kutendang ke emperan?"
"Peraturan itu berlaku untuk si Dokter juga nggak?"
"At least… aku lebih bisa menahan diri daripada kamu, bukan begitu, Ringgarda?" Aku beralih pada dokter McFord yang tiba-tiba buka mulut. "I'm not a wicked coward who runs away from problems and responsibilities."
Sejujurnya aku tidak mengerti apa yang dikatakan dokter McFord. Menahan diri? Masalah? Tanggung jawab? Apa ini ada hubungannya dengan Garda yang bersembunyi di sini?
Tetapi dua kalimat kental intimidasi itu langsung menyerang telak Garda tanpa perlawanan. Wajahnya pias dan bahunya merendah. Dia menyandar lunglai di bantalan duduk sofa, seperti dokter McFord baru saja melempar kulit durian montong ke dadanya.
Aku menarik udara dalam-dalam, mengeluarkannya perlahan untuk menetralkan rasa.
"Saya, aku… nggak ngerti kalian kenapa." Kupandangi bergantian dua pria dewasa yang kadang tingkahnya lebih kekanakan daripada bocah SMA. "Kalian tinju-tinjuan kek, main rahasia-rahasia kek, terserah. Sak karepmu. Rumah ini hawanya adem-adem aja sebelum kalian datang, dan aku mau tetep begitu biarpun ada kalian berdua. Terserah gimana caranya. Aku nggak mau ada cekcok unfaedah kayak tadi. Itu ganggu banget buat aku dan Bumi."
"Mel."
"Terutama kamu, Gar," potongku cepat. Garda tergugu. "Aku sudah bilang belum, sih?" Bola mataku berputar jengah. "Udah deh seingetku. Aku bukan cewek biasa yang mau repot-repot ngurusin cinta monyet, kencan malem Minggu, cemburu buta, whatever baper feeling you can name it lah.
"Aku nggak punya waktu buat begituan. Aku tidur larut bangun subuh, kuliah full pagi sampe sore, ditambah di rumah masih harus belajar juga sambil rempong ngurus anak. Belum lagi kerjaan rumah yang lain. Baju-baju rumah aku sama Bumi nggak ada yang aku setrika. Entah sejak kapan aku punya mindset: yaudah kusut gini bodo amat sih kan cuma di rumah—" Sial, mataku mulai panas. Tenggorokanku sakit tersekat batu. "Aku tidur empat jam sehariii aja udah seneng, Gar..."
Aku mengangkat kepala agar air di pelupukku tidak menitik.
"Intinya, aku cuma mau tenang sama Bumi." Sialnya, air mata ini luruh di depan dua lelaki. Tanganku bergerak mengucek mata sembarangan. "Kalo kalian mau saling panas… cemburu… apapun… sorry to say, aku nggak peduli sama hal semacam itu. Itu urusan kalian. Out of my league. Gak ada hubungannya sama Bumi dan kuliahku."
"Sorry." Garda menatapku intens, wajahnya merah padam, menahan sesuatu. "Aku nggak tahu kamu selelah itu."
"Kamu nggak harus tahu, Gar." Aku menggeleng tegak. "Cukup jangan nambah cenut-cenut kepala aku, oke?"
Dia hanya mengangguk bersama senyum tipis.
Aku beralih pada dokter McFord yang ekspresinya tak dapat kuartikan. Dia tersenyum, kelihatannya, sedang berusaha memaklumi repetan frustasi dari mulut ibu satu anak ini.
"This is why I adore you, Mel. You're full of surprises."
Normalnya, aku akan terbang keluar menembus karena ucapan polos nan manisnya. Tapi aku terlalu letih, jadi kuambil Bumi dan masuk kamar untuk menidurkannya. Semoga dua orang itu tidak diam-diam adu jotos.
Entah bagaimana kecewanya Papa-Mama andai mereka tahu aku sedang tinggal seatap dengan tiga lelaki asing: dosenku, idolaku di dunia maya, dan putra kandungku.
-BERSAMBUNG-
In case ada yang merasa ini cerita alurnya lambat, bukan. Hangover #1 ini intinya memperbaiki semangat hidup Melati yang sempet hancur. Dan ini nggak gampang--terutama buat Luke. Luke mesti jungkir-balik keliling tujuh samudera tujuh benua (apasiiih?) buat mecahin keras kepala si Mel. Misi utamanya meyakinkan Mel bahwa even after all these hangovers, still, she deserves happiness (and of course, love, from Luke)
Kalo ga sabar ya nanti langsung baca bab terakhir aja. Tapi dimana serunya yekan?
Malang, 10 April 2018
Love you to the moon and back, MeLuk 💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top