30 Midnight Hysteria
🌟
HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT
Chapter 30 Midnight Hysteria
🌟
"Bener nggak papa, ya, Mbak?"
Membaca kekikukanku, Mbak Jihan mengangguk yakin dibarengi senyum ramah. Pintu ruang koordinator riset dibuka lebar untukku.
"Ealah Dek, sudah seminggu pake ruang ini masih sungkan ae. Aku ya sering pake kok, Dek, kalo pas nggak ada Dokternya. Lumayan buat sholat sama tidur-tiduran. Kadang dipake sama dokter Yuan juga."
Aura gelap membayang dari Sandra di sampingku. "Mbak Jihan... tidur sama dokter Yuan?"
Mbak Jihan dan aku melengos serempak melihat ekspresi Sandra yang seolah baru divonis dokter bahwa sisa hidupnya tinggal dua bulan lagi.
"Ckckck, kupingnya bawa ke dokter Yuan dulu, Dek, minta microsuction. Emoh aku sama dokter Yuan. Kalo kata dokter McFord dia siluman buaya ekor sembilan."
Shock Sandra sampai pada klimaksnya. "Sing genah Mbak? Buaya?? Kok bisa??"
"Aduduh!" Mbak Jihan menapuki bibirnya. "Udah ah Dek, kok jadi ngerasani orang. Aku sik ngurusi konsumsi rapat, ditunggu sama dokter Wahyu. Pake aja ruangannya ya, jangan lupa tutup gorden sama dikunci dari dalem. Nanti kalo udah kuncinya kembalikan lagi di laci yang tadi."
Mendapat penerimaan ramah dan terbuka dari staf perempuan yang berjaga di depan ruang dokter McFord ini, aku mengembus penuh syukur. Betapa Tuhan memberiku segala kemudahan untuk memastikan Bumiku mendapat konsumsi terbaik di usianya: ASI.
Walau itu artinya, setiap kuliah aku harus menggotong satu tas besar berisi peralatan tempur: pompa ASI, cooler box plus ice pack, dan kantung ASI. Belum lagi ransel penuh modul-modul dengan bobot batu kali, dan kadang tas laptop plus chargernya. Tiga tas sekaligus.
Jangan dibayangkan beratnya.
Sebab, kawan-kawan lelakiku yang koplak itu ternyata begitu ringan tangan. Di setiap jadwal yang mengharuskan kami berpindah-pindah lokasi, mereka bergantian membawakan tas alat tempurku. Alasannya, cari pahala untuk bekal di akhirat kelak.
Serah dah. Mereka memang kumpulan cowok gagah, yang hobi nonton sinema pintu hidayah.
"Nyaman bener ini ruangannya dokter bule, segala macem ada," decak Sandra sambil menarik tali vertical blinds yang kompak menutup sempurna jendela. "Kalo aku keturon di sini bisa nggak bangun-bangun kecuali pake ciuman cinta sejati Oh Sehun atau Li Yuanju."
"Wani piro Sehun kesini nyium kamu, San?" cibirku selagi mengaktifkan penutup kamera CCTV dengan remote. "Nggak denger barusan kata Mbak Jihan dokter Yuan itu buaya? Yang ada bukan dicium, dicaplok mah."
Terdengar tawa miris Sandra separuh ingin menangis. Buset Neng, segitunya demi si kembaran Joong Ki.
Tetapi yang dikatakan Sandra tidak salah sama sekali. Ruang koordinator riset, ruang kerja dokter McFord ini seperti rumah dinas dengan fasilitas lengkap, selain seperangkat meja kerja dan lemari buku-buku. Ada kulkas dua pintu, dispenser, rak penuh camilan, sofa panjang-empuk, wastafel, dan ada sekat di balik lemari buku untuk sholat. Tidak heran Mbak Jihan ataupun dokter Yuan bisa ketiduran di sini, apalagi dibelai manja hembus AC.
Kalau aku bukan mahasiswa (nyonya Lucas McFord, misalnya), ruang ini bukan hanya kupakai numpang pompa ASI. Bisa-bisa aku camping api unggun di sini.
Pompa mode elektrik sedang bekerja mengambil ASI, sementara tangan kiriku sibuk mengulir layar ponsel Sandra dan yang kanan ngemil kripik singkong. Sementara Sandra, ya Lord, aku memelotot takjub. Tanpa malu dia mengambil satu cup popmi dari rak camilan dan menyeduhnya dengan air panas dispenser.
Ya sudahlah, memang dokter McFord bilang semua makanan di rak itu boleh diambil. Aku saja yang memupuk subur gengsi, seminggu di sini tidak menyentuh camilan apapun kecuali numpang pompa ASI. Padahal sebenarnya ibu menyusui ini selalu lapar.
Aku menyikut Sandra yang segera merapat padaku. Mulutnya menyeruput uraian kisut mie. Aku meneguk saliva kasar.
Sandra kampret, wanginya itu lho.
"San, aku buatin popmi juga dong,"
Dia mengembus kasar. "Dasar lemah iman!"
Namun tak ayal Sandra beranjak juga menyeduh popmi untukku. Selesai memindah corong pompa dari dada kanan ke dada kiri, aku memakan si keriting itu panas-panas.
Masya Allah.
Nikmat popmi ayam bawang manalagi yang kamu dustakan?
Aku menjilati minyak di bibir ketika Sandra memanggil lirih, masih dengan gawaiku di tangannya. Matanya tidak lepas dari benda itu, yang menampilkan fotoku dan Bumi di pasar malam.
"Mel..."
"Hmm?"
"Emang bener ya dokter Yuan buaya...?"
"Uhukk--"
Mataku mengerjap kecepatan tinggi. Berair karena tersedak bumbu pedas popmi. Sandra buru-buru mengangsurkan segelas air mineral untukku. Setelah tiga teguk untuk meredakan radang, aku terbelalak pada sahabatku ini.
"Dokter Yuan lagi...?"
Yang dipelototi malah tersipu menggaruk pelipis. "Hehehe, penasaran Mel..." Bibir bawahnya maju seperti Bumi kalau merajuk. "Kamu kan deket sama dokter McFord, Mel..."
Sepasang alisku mengait. "Ya terus?"
"Tanyain..." Telunjuknya menjawil manja lengan atasku. "Ya? Ya? Yaaa?" Aku bergidik jijik.
"Emoh!" tegasku segera. "Buat apa juga aku tau soal dokter Yuan?"
"Buat akuuu." Kali ini dia memainkan ujung roknya. "Emang kamu nggak penasaran Ito statusnya apaan? Tipe ceweknya yang gimana? Nah sama, aku juga penasaran tapi sama doktee Yuan..."
Mendengar Garda disebut-sebut, garpu plastikku berhenti menyendok. Pelipisku berkedut, tersulut panas. Aku menyelip rambut di balik telinga.
"Nggak tuh." Aku menjulurkan lidah. "Aku tau dia jomblo. Kemaren dia bilang jodohnya masih entah di mana rimbanya." Dan tidak mungkin kubilang tipenya Garda adalah aku.
"Hish! Kamu sih enak deket sama orangnya!"
"Yee, yaudah deketin dokter Yuan, San. Kalo memang dokter Yuan buaya pasti seneng dong dideketin cewek?"
"Melatiii..."
"Jangan takut, San." Kutepuk mantap bahunya disertai senyum lebar. "Aku jarang ngobrol sama dokter Yuan sih. Tapi sengertiku orangnya baek, beberapa kali ketemu di rumah dokter McFord. Kalo di luar kampus orangnya nggak sekaku biasanya. Mungkin kalo di depan mahasiswanya dia emang pake topeng dosen."
Lagipula kalau aku mengorek macam-macam tentang dokter Yuan ke dokter McFord, bisa jadi dia malah cemburu. Daripada harus menjelaskan salah paham, lebih baik menghindari sebelum terjadi.
***
Skills lab blok muskulokeletal kami diawali dengan praktik anamnesis kelainan ortopedi dan pemeriksaan umumnya. Aku mengusap tangan tak sabar. Anamnesis selalu menjadi bagian favoritku setiap skills lab atau OSCE. Mewawancarai pasien simulasi, mengorek keluhan dan riwayat penyakit hingga ke sudut terdalam. Semakin banyak informasi yang diperoleh dari anamnesis, semakin menyokong dokter untuk menegakkan diagnosa.
Sedangkan pemeriksaan umum, seperti yang sudah-sudah di semester 1 dan 2, dokter Mandala melewatinya karena toh kami sudah lulus OSCE. Untuk mempersingkat waktu, kami langsung diminta menganalisis bentuk tubuh, cara berjalan, tonus dan atrofi pasien.
Kami yang kumaksud adalah aku yang dipanggil pertama. Aku baru mengembalikan pita meteran selesai mengukur lingkar otot pasienku, ketika dokter Mandala menutup stopmap ceklis penilaianku. Beliau membuka stopmap ceklis mahasiswa lain.
"Cukup. Hasil pengukuran sama diagnosanya besok taruh di meja saya ya."
"Baik, Dok." Aku segera mencatat hasilnya di binder sebelum lupa. Semakin hari tulisanku benar-benar mencerminkan seorang dokter. Semoga dokter Mandala bisa membacanya besok.
"Dan tolong ambilkan daftar presensi di recording. Saya lupa tadi buru-buru."
Pipiku menggembung, bibirku terkatup supaya tidak melengos. Kuregangkan otot mata agar tidak berputar jengah. Aku hanya mengatakan, "Baik, Dok," lagi dan menyuarakan izin ke recording di lantai dua.
Di luar kelas takdir mempertemukanku dengan dokter tionghoa yang terduga homo dengan dokter McFord. Kami sama-sama melempar senyum formal, sementara batinku meringis. Kenapa bukan Cassandra Pramestika aja yang ketemu dia?
Menjinjing tas kerjanya, dokter Yuan bergerak ke tangga yang sama denganku. Aku melontarkan pertanyaan basa-basi.
"Kok sendirian, Dok?"
Dia tertawa pendek. "Ini sama kamu."
"Maksud saya bukan itu."
"Luke?" Dia memutar mata padaku. Ya iya, siapa lagi memangnya? Aku mengangguk kaku karena malu. "Dia praktik di klinik eye center kalo jam segini."
Sebenarnya aku sudah tahu itu. Dokterku itu praktik malam di RS setiap Senin, Rabu, Jumat, dan praktik siang di klinik eye center setiap Selasa dan Kamis. Sedangkan shift jaga malamnya satu bulan sekali tergantung kesibukan. Urusan akademik dilakukan di sela-sela waktunya. Kalau Sabtu dan Minggu, banyak dihabiskannya untuk mengurus GOAT... dan bermain denganku.
Gimana, aku sudah cocok jadi dokter spesialis Luke kan?
"Melati."
Karena suara dokter Yuan merosot rendah, dan tidak memanggilku sempol, aku menoleh. Maniknya menatapku lurus tanpa cela.
"Aku sudah punya pacar. Tipeku perempuan yang ramah. Bukan yang flat dan jual mahal seperti kamu."
Ya?
Tiga detik, adalah waktu yang kubutuhkan untuk mencerna kalimat itu. Hasilnya tetap tidak mengerti. Skleraku perih karena terbelalak kencang. Sebelah sudut bibirku sontak terangkat tinggi.
"Maksud Dokter...?" selidikku hati-hati, masih menyejajarkan langkah menapak anak tangga.
"Aku bukan Luke yang bisa tertarik sama mahasiswinya sendiri."
Hah? Maksud loh?
"Memangnya kenapa kalau dokter McFord tertarik sama saya?" Suaraku meninggi satu oktaf dengan sendirinya.
"Ya bodo amat sih." Lah terus? Bibirnya mengerucut ke samping. "Cuma sekali lagi aku minta baik-baik, jangan mainin dia. Jangan seret aku juga."
Sumpah kon?
Aku mengangakan mulut sejatuhnya. Kemudian mengatup serapatnya, dan menelan ludah. Perutku jadi geli sendiri. Dia habis keselek selang endoskop kali ya?
"Maaf, Dok, sebenernya saya nggak paham Dokter ngebahas apa." Kali ini aku yang menusuk fokus pada sepasang mata dosen aneh ini. "Saya nggak pernah mainin dokter McFord. Saya juga nggak berminat ganggu Dokter sama pacar Dokter. Tapi kalau menurut Dokter saya flat dan jual mahal, saya berterima kasih untuk itu. Permisi, Dok, saya ditunggu di kelas."
***
Pulang kuliah pada akhirnya terasa berbeda bagiku. Mahasiswa umumnya setelah sampai rumah akan beristirahat mengembalikan tenaga, tapi aku tidak. Energiku semakin melimpah justru ketika di rumah.
Bagaimana tidak, sekarang aku punya seseorang yang menungguku di rumah. Seseorang yang nyata bisa kuakui sebagai 'milikku' selama dia masih bernapas. Seseorang yang aku bersedia melakukan apapun demi kebaikannya.
Tidak seperti biasanya, hari ini aku disambut dengan tangisan kejer. Paras gembulnya menghitam saking merahnya. Wajahnya mengerut kusut, jerit melengking lolos dari mulutnya. Dan keringatnya...
Ya Allah, banjir.
"Mbak," kudekati Bumi yang mengamuk di peluk Mbak Sari hati-hati. "Bumi sudah mandi sore ini?"
"Sudah Mbak..." Kerut panik tampak jelas di dahinya. "Tapi dari tadi siang nangis terus, Mbak. Saya ajak main, saya gendong-gendong juga masih nangis... minum ASInya dikit, bingung juga saya, Mbak..."
"Tapi nggak panas kan?"
Aku mengulurkan tangan yang sontak dipukul Elia dari samping.
"Cuci tangan dulu. Ganti baju. Baru pegang Bumi."
Benar juga. Peraturan pertama yang kuterapkan untuk setiap tangan yang ingin menyentuh Bumi adalah cuci tangan. Pakai standar WHO, please. Lalu ganti baju, terutama dan khusus sekali bagi dokter McFord kalau sepulang dari klinik atau RS dia ingin memeluk Bumi.
Bukannya lebay dengan aturan strict ini, aku hanya tidak mau anakku terpapar virus atau bakteri. Si gantengku masih bayi: sistem imunnya belum sekuat orang dewasa. Dia rentan penyakit. Kalau Bumi sakit yang susah bukan mereka, tapi aku. Dan isi dompetku.
Selesai dengan semua ritual bersih-bersih diri, aku segera merengkuh sayang anakku di sofa. Seolah mengerti luapan kangen Mamanya, jemari ceker itu menggelitiki di pipiku. Aku membenamkan wajah di perutnya, mengusel-usel dan perlahan rintihannya berbelok jadi tawa.
Tawa khas Bumi yang bertingkat, dari pelan kemudian makin tergelak.
Tanpa pikir panjang, aku mengurai tiga kancing teratas piyamaku. Kali ini kepala bundarnya yang mendusel gesit karena aroma manis susu kesukaannya.
"Ealah, Bum... kangen nenen."
Satu celetuk dan hembus lega keluar dari Mbak Sari dibarengi senyum. Janda satu anak ini duduk menemaniku nonton acara kuis asah otak.
"Bumi gimana Mbak, seneng diajak jalan-jalan?" tanyaku. Lalu Mbak Sari memandangku dengan semringah.
"Seneng banget dia, Mbak, saya dorong ke taman deket sini. Kalo ada burung cicit-cicit gitu dia gelisah, sambil ngowoh, tolah-toleh nggolek'i... mana ya ini burungnya?"
Aku tersenyum tipis. Sedikit tersiksa karena hanya bisa mendengar dari orang lain tentang detil setiap aksi menggemaskannya. Aku tidak menjadi saksi mata atas perkembangan anakku sendiri yang semakin hari semakin pintar.
Maaf, Sayang... Mama janji akan menggantinya suatu hari.
Bumi langsung lelap dalam dekap. Ibu jariku menyapu sisa jejak air di sudut luar matanya. Dadanya masih sesengukan sesekali. Kelihatannya dia lelah sekali setelah menangis berjam-jam, merindukan ketiak ibunya.
"Oiya, tadi ada cowok ke sini nyariin Mbak." Mbak Sari tampak meringis bingung. "Guanteng pol percis artis Korea. Tapi saya agak serem, dia pake penutup satu mata Mbak. Jadi saya suruh pulang lagi. Kayaknya saya pernah lihat di mana gitu."
Sisa tawaku kontan menguap.
Ternyata Ringgarda memang se-ndableg dokter McFord.
"Itu kenalan Mbak Melati?" Mbak Sari bertanya lagi.
Aku mengangguk. "Iya, Mbak. Besok misalnya dateng lagi tetep jangan ijinin masuk ya, Mbak. Kalo mau ke sini suruh janjian dulu sama saya."
"Oke Mbak. Mbak, saya pamit ya. Kangen juga sama Riri."
Ini memang sudah setengah 5 sore, lewat 30 menit dari waktu seharusnya Mbak Sari pulang. Setelah satu terima kasih dariku, Mbak Sari menutup pintu dari luar, meninggalkan aku yang tercenung bersama Bumi.
Mungkin, aku dan Mbak Sari tidak terlalu berbeda. Mbak Sari meninggalkan putrinya dengan ibunya untuk bekerja di sini, menjaga anak orang lain. Semoga untuk seterusnya Mbak Sari betah di sini, sabar menghadapi kerewelan Bumiku.
Walau, menggaji baby sitter yang ditawarkan Bu Helena itu ternyata tidak murah. Satu juta dua ratus per bulan. Tadinya Bu Helena ingin membayarnya, tapi demi apa? Mana mungkin aku setidak tahu diri itu, menerima semua kemurahan hati beliau sedangkan aku bukan siapa-siapa?
Aku menolak, tentu saja. Aku membayar sendiri. Uangnya tentu saja dari ATM. Entah mengapa Papa menaikkan uang sakuku semester ini sebanyak 1.5 juta. Padahal Papa baru saja membeli si roda empat keluaran terbaru itu. Seandainya belum ada Bumi, aku pasti menolak dan mengembalikan kelebihan itu ke rekening Papa. Tapi aku membutuhkannya, jadi yah, uang itu kuhemat-hemat untuk membayar Mbak Sari dan keperluan Bumi.
***
"Bumi bobo, ooh Bumi bobo... Kalau tidak bobo, besoknya ngantuk..."
Menimang Bumi yang berkecamuk, otot lengan dan betisku berkedut parah karena sudah hampir satu jam aku tidak duduk. Dia menolakku. Dia menolak disusui. Dia menolak Elia. Tangisnya menggema ke setiap sudut rumah. Dan, menyesak kencang, melubangi rongga dadaku.
Berkali-kali kucek dengan termometer, dia tidak demam. Tidak batuk, tidak pilek, tidak flu. Napasnya lancar, tetapi naik-turun karena tangis yang semakin kejer. Berkali-kali pula kujejali dada, kepalang putus asa, dia tetap menolak sumber energinya.
Bum, kamu kenapa...?
"Li," lirihku sengau. "Tolong panggilin dokter McFord."
Elia mendengus hiperbolis dan menyambar ponselku. "Hah, akhirnya!"
Aku menunduk dalam, mengapit anakku yang jeritnya menyolok gendang telingaku. Elia sudah menyarankan untuk minta tolong dokter McFord sejak 2 jam yang lalu, namun aku bersikeras menenangkan Bumi sendiri. Lagipula ini jam satu malam, dia pasti sudah tidur kelelahan. Aku mana tega.
Tapi rupanya aku lebih lemah menghadapi anakku berontak gila, seperti tidak lagi mengenali ibunya.
Tidak sampai lima menit, dokter McFord yang hanya berkaus pendek dan celana selutut sudah di rumahku. Dia mulai dengan membuka baju Bumi, lapis demi lapis di atas ranjang. Bibirnya tetap tersenyum tenang walau Bumi sudah kehabisan suara, dan aku kehabisan akal sehat di jam satu malam.
"Head, shoulder, knees and toes, knees and toes..." dokter McFord bersenandung manis, mengarahkan tangan anakku ke kepala, pundak, lutut, kaki. Pagi buta begini, mengajak Bumi bermain? "And eyes, and ears, and mouth, and nose... Head, shoulders, knees and toes, knees and toes~"
Bumi tentu saja belum bisa meraih lutut dan telapaknya, maka dokter McFord menggelitik di dua bagian itu. Mata lelahnya menyorot lembut, tertawa tulus, menular pada anakku yang lantas tergelak. Hanya sedetik sebelum dia histeris kembali.
"Hey, Bum... Lemme see your tummy. Uthuk uthuk uthuk..." Perlahan, dia membuka pengerat popok Bumi dan memeriksa Bumi di selangkang, kemudian pantat.
Aku mengangakan mulut melihat bercak merah kasar di sepasang tungkai atas anakku. Juga di sela paha dan panggul. Dokter McFord menatapku lurus.
"It's diaper rash." Terselip senyum tipis di bibirnya. "It's ok. Kita basuh air dulu dan ganti diaper. Kalau besok masih belum reda, kita ke pediatris."
Aku mengangguk cepat dan segera membantu dokter McFord menyeka Bumi. Sekilas ekor matanya melirik pada meja berisi peralatan mandi Bumi, dan dia bertanya.
"Sejak kapan Bumi pakai bedak?"
Mencoba mengingat, mataku menyipit. "Baru seminggu. Kata Mbak Sari eman bedak hadiahnya kalo didiemin."
Setelah mengancingkan baju kecil, dokter McFord menggesek lembut hidung tegasnya dengan hidung mungil Bumi. "Stop aja bedaknya. Kulit bayi itu sensitif. Salah treatment sedikit, faktor resiko sakit kulitnya tinggi. Manifestasinya ya ini, iritasi atau radang. Bumbum yang sabar yaa? Skuy, nightcrawling sama Papa Luke."
Hah?
Yang dimaksud nightcrawling oleh dokter McFord adalah keliling perumahan dengan Prius untuk menidurkan Bumi. Katanya, dulu ayah Ezra melakukan ini kalau Ezra bayi sulit ditidurkan dengan cara biasa. Ezra langsung pingsan seperti bayi gajah dibius setelah setengah putaran kompleks.
Bumi sendiri belum tidur, meski tangisnya hanya bersisa sesengukan. Pelupuknya sempat menutup ragu, tetapi terangkat lagi karena roda Prius melompati polisi tidur. Pipi mochinya memantul berirama.
Di tengah temaram, dosenku menyelip lirik dan tertawa tanpa suara, lantas menyeletuk, "Pipinya perlu dibehain kayaknya,"
Innalillah.
Mataku memejam keras, mulutku penuh udara yang kubendung agar tidak menyembur. Kalau aku tidak ingat pria ini baru saja berhasil menenangkan anakku, sudah kuumpat dia habis-habisan.
"Maksud Dokter?" desisku tertahan supaya Bumi tidak terusik.
"Itu pipinya Bumi bouncing around terus. Kalo dibiarin sampai dewasa bisa nggak ketolong lagi lubernya. Dibehain aja mulai sekarang supaya kencang,"
Duh... gemes pengen nyium kamu, Dok.
"Nggak dokter Yuan, nggak dokter McFord, kalian berdua sama anehnya." Aku merapatkan bibir yang hendak mengeriting.
"Kamu tertarik sama Yuan?"
Pertanyaan singkat peruntuh hening itu langsung membelokkan kepalaku pada dokter McFord yang lensanya masih fokus ke jalan aspal.
"Tertarik? Saya?" Aku mengerjap tak paham. Terlintas di mimpiku saja dokter sipit itu tidak pernah. "Tadi siang dokter Yuan juga ngomong aneh sama saya. Sekarang Dokter. Kalian ada apa sih?"
Dia melirik dengan mata menyipit. "Ngomong aneh?"
Kuceritakan saja kata-kata melantur dokter Yuan tadi siang waktu kami menaiki tangga bersama. Dengan volume di bawah tentunya, karena Bumi sudah lelap. Setelahnya, dokter McFord justru menampakkan wajah terperangah.
"Dia bilang gitu ke kamu?"
Hidungku mengernyit. "Kenapa Dokter yang kaget? Harusnya saya yang bingung sama kalian."
"Ck." Dia mendecih pendek dan pelupuknya jatuh separuh. "I've warned him to shut up, though."
"Hish!" Deret gigiku menggertak. Kesabaranku sudah klimaks. "Jangan rahasia-rahasiaan sama saya. Dokter tau kan, semester 4 besok blok THT dan Mata pasti kalian dosennya. Saya nggak mau IP saya jadi taruhan gara-gara sentimen pribadi yang saya sendiri nggak tau apa-kenapanya."
Setelah satu tarikan napas panjang, dosenku akhirnya berkata, "Then why were you asked me about Yuan, as if you were one of his devoted fan?"
Lha?
Sepasang alisku terangkat. "Saya? Nanya ke Dokter soal dokter Yuan?"
Dia mengangguk kaku. "Ya, kamu. Kenapa? Baru sadar dia lebih ganteng dari aku? Indeed."
Tung tarara tung tung.
Aish Dok, andai kamu tahu, betapa ganteng dan manisnya ekspresi cemburumu saat ini. Yah, mana ada bagiku yang lebih ganteng daripada titisan Poseidon ini? Ingin kukecup bercak merah di pipi itu, dan bibir bawah itu yang lebih maju daripada yang atas.
"Dokteeerrr..." godaku manja, menyerongkan wajah untuk melihatnya lebih jelas. "Saya nggak pernah nanya begituan. Buat apa juga? Kalo A to Z about dokter Yuan keluar di ujian blok, baru deh saya tanya-tanya ke Dokter."
Bibirnya kembali ke posisi semula, sekilas menunjukkan wajah polosnya padaku. "Trus siapa yang tadi pas jam makan siang kirim WA ke aku, nanya Yuan sudah punya pacar belum? Tipenya yang kayak gimana? Apa bener kalo dia buaya? Jelas-jelas itu dari nomer kamu."
"HAH?!"
Aku membekap mulut rapat sebelum Bumi terbangun. Sambil mengelus-elus puncak kepala Bumi yang menggeliat gelisah, kupandang lurus tampak samping dokter McFord.
"Dok, terserah Dokter percaya apa nggak," jelasku lambat. "Tapi itu bukan saya. Itu temen saya, yang rencananya besok mau saya jemur di lapangan rektorat sampai jadi terasi, trus saya kirim ke Boston buat Ezra."
"Jadi..." Dia kebingungan membagi fokus antara aku atau jalan. "It wasn't you?"
"Bukan lah! Udah lihat depan aja!"
Sandra laknat! Mampus kamu besok, Nak.
Dokter McFord menegakkan punggungnya yang sempat layu dan menatap lurus lagi ke depan. Kemudian, samar-samar, dia tertawa sumbang dan sekilas terdengar lega.
"Gosh... I had no idea it wasn't you. Though I cannot believe that it was you."
Aku hanya senyum-senyum melihatnya. Sudah lupa dengan emosi pada Sandra, berganti meleleh karena pesona Dokterku. Dia kok masih tetep ucul sih?
Sampai, dahinya mengernyit lagi. "Tapi kenapa kamu bilang begitu sama Yuan? Just so you know, tipe Yuan justru yang jual mahal. Semakin susah didapat dia semakin suka," dan irisnya melirikku. "Apalagi yang cantik kayak kamu, literally for him, kamu punya nilai plus."
"Saya? Emang iya saya susah didapat?" Aku rasa tidak perlu waktu lama untukku menyadari sudah jatuh hati pada orang ini. Mananya yang susah?
"Pikir sendiri." Dan aku baru ingat aku tidak pernah menerima cinta dokter McFord. Cukup menjelaskan mengapa baginya aku susah didapat.
"Okelah." Aku mengatup tangan lega. "Besok saya kasih tau temen saya, dokter Yuan punya pacar. Biar dia gagal move on sampai selesai preklinik."
"Huh," Dia mendengus. "Paling bentar lagi putus juga, as usual."
"Loh, kenapa? Kan susah dapatnya."
"Justru karena sudah dapat tantangannya berkurang, lalu hilang. Pada dasarnya, semua laki-laki suka tantangan, Melati. Dan untuk Yuan, menaklukan perempuan yang jual mahal itu tantangan. Dia berhasil, dia puas. Dia puas, dia bosan. Then he will look for another challenging woman."
Aku bergidik. "Jadi dia memang buaya?"
"Sebagai laki-laki, mungkin," dokter McFord mengangguk-angguk. "Tapi sebagai teman, dia baik. Dia bilang begitu ke kamu karena nggak mau aku patah hati. Padahal hatiku bukan cuma sudah kamu patahin, sudah kamu edel-edel malahan."
Aku tertegun sejenak. Apa iya aku sejahat itu?
"Buat Dokter sendiri gimana? Apa perempuan juga tantangan?" selidikku.
"Untukku, kamu bukan tantangan."
"Jadi?"
Dia menarik senyum sehangat mentari di tengah dingin malam.
"Kamu tujuanku... untuk menetap."
-BERSAMBUNG-
Malang, 7 April 2018
Love you to the moon and back, MeLuk 💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top