29 Holiday : Black Out
🌟
HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT
Chapter 29 Black Out
🌟
"Nih, berkas daftar ulang. Simpen yang bener."
Sebuah stopmap buffalo biru ditepuk ringan di puncak kepalaku. Segera kuraih dan membolak-balik berkas di dalamnya. Bukti pembayaran, bukti daftar ulang, bukti daftar praktikum, KRS, dan lainnya—semua lengkap.
Aku menengadah disertai senyum termanis.
"Makasih, Dok."
Aku sayang Dokter, hehehe.
"Cuma makasih?" Alisnya terangkat sebelah bersama seringai jahil yang membuatku gerah sekaligus degdegser.
"Trus maunya apa?" Aku mencoba terdengar kalem.
"Aku mau kamu,"
"Ha?"
Kalemku drastis menjadi badai yang mengguncang, ketika dengan cepat dokter McFord menyatukan kening lami.
"Aku mau kamu tahu, selama masih ada nafas, kamu punya hak penuh untuk berharap dan bahagia. I won't let you giving up so easily."
Setelah satu panggilan dari Bu Helena di bawah, dia beranjak dari ranjang, menutup pintu kamar sebelum keluar memenuhi panggilan ibundanya. Dengan debar yang masih acakadut, aku berbaring menyamping pada putraku.
Telunjukku memainkan pipi gembulnya, refleks kepalanya berputar gelisah. Mata pekatnya membulat tegang. Bibirnya megap-megap seperti ikan cupang kehabisan oksigen. Khusus Bumi, dia bukan kehabisan oksigen.
Cari mimik dia mah.
Seperti yang sudah-sudah, kuncup bibirnya segera menempel di dadaku setelah kubuka tiga kancing teratas. Mata bulat berkilau itu sama sekali tidak berkedip, menyembul dari balik dada. Percis bayi matahari yang terbit dari balik bukit Teletubbies.
Kubisiki anak ganteng ini. "Bum, kita sekarang di rumah Papa-Mamanya Dokter. Bumi jangan ngompol di sini ya, nanti susah jemur kasurnya."
Entah perasaanku saja atau Bumi menggeleng kuat, masih sambil menyesap sumber energinya.
"Lho, jadi mau ngompol?"
Bumi mengerjap dua kali.
"Aduu jangan, Bum. Kalo Bumi ngompol di sini Mama bisa dicoret dari daftar calon istri. Bumi sayang Mama nggak nih?"
Kali ini yang kuterima berupa tepuk ringan dari jemari pendek-mekar di dadaku. Andai bukan anak sendiri sudah kukunyah pipi mochinya itu.
***
Bu Helena ingin punya anak perempuan. Anak perempuan cantik yang bisa didandani dan diajak shopping berdua. Pada dasarnya semua anak perempuan cantik dan bisa didandani, menurutku. Tapi tidak semua anak perempuan mengerti shopping.
Aku adalah salah satunya. Tanya saja Elia, aku ini tidak punya fashion sense yang bagus. Si slebor itu walau sehari-hari penampilannya tomboy, gitu-gitu lebih sering nonton FashionTV daripada aku. Maka, sebenarnya aku kurang yakin ketika malam ini Bu Helena menyeretku shopping. Tentu saja tidak hanya berdua, berempat dengan putranya dan putraku.
Beliau memilihkan gaun pesta untukku. Bukan aku ingin menolak, tapi dalam setahun berapa kali sih aku pergi ke pesta? Pesta pertama dan terakhir yang kudatangi di Malang adalah pestanya Disya; dan aku tidak mau lagi.
"Yang putih atau hitam, Mel?"
Setelah satu kerut di dahi, menimbang potongan gaunnya, aku menunjuk yang hitam.
"Yang putih kan lebih simpel, Mel. Lebih natural." Beliau mengangkat hanger si putih tinggi. "It suits your personality."
"Memang personality saya gimana, Mom?"
"Pure," jawab beliau segera. "Saya ngerasa kamu anaknya lurus-lurus aja. Nggak aneh-aneh, nggak punya pikiran kotor. You look beautiful in white."
Aku meringis. Andai beliau tahu aku pernah diam-diam mencuri ciuman dari dokter McFord, warnaku langsung diganti dengan merah genjreng gincu Arab oleh-oleh haji.
"I prefer the black one too," dokter McFord yang tidak dimintai pendapat justru bersuara. "Kancingnya bisa dibuka dari depan."
Excuse me?
Bu Helena mendelik lebar. "Kenapa harus dibuka dari depan? Biar gampang grepe-grepe, hah?"
"Mom, dia menyusui. Dia perlu pakaian yang bisa dibuka dari depan."
"Halah." Bu Helena mengibas tak sudi. "Alesan. Someone obviously can't breastfeed at a party, Luke."
"She can." Puncak kepalaku ditepuk-tepuk. "If she's with me, I will seek a proper space for her to breastfeed."
Kemudian, dia melenggang bersama Bumi yang ceria di dalam stroller, menyisakanku yang mematung dan Bu Helena yang tersenyum kecut. Diam-diam, bunga hatiku bermekaran. Alasanku memilih si hitam juga karena akses untuk menyusui yang lebih mudah, dibandingkan si putih yang ritsleting belakang.
Lihat, kami memang sehati kan?
Kami beralih ke lapak Carters karena Bu Helena berniat mempermak penampilan Bumi seperti kids jaman now. Sejauh ini Bumi memang hanya kupakaikan atasan dan bawahan ala bayi, ya karena dia memang bayi. Apalagi pertumbuhan Bumi termasuk pesat: beli sekarang, bulan depan sudah sesak.
"Maklumin, ya," doktef McFord membisikiku. "Mom sering sendirian di rumah, kalo nggak lagi di salon atau kumpul sama squad sosialitanya yang kebanyakan udah bercucu. Dad sering dinas. Jadi kalo ada yang nginap di rumah, apalagi bawa anak kecil, yah begini kelakuannya. Euforia berlebihan."
Aku melipat tangan, mesam-mesem memerhatikan Bu Helena dari luar stand. Beliau sedang mengukur baju ke enam untuk Bumi.
"Makanya Dokter cepetan nikah, trus bikin anak." Aku menyikut pria di sampingku, yang lengannya terselip di saku jaket. "Kasian Mom udah ngebet cucu?"
Dia melirikku dengan seringai miring. "Jadi kamu sudah mau sama aku? Besok pagi main ke KUA yuk?"
Pelupukku jatuh separuh.
"Kenapa saya, sih? Saya mau kuliah dulu. Apalagi Dokter tau sendiri kuliah medis panjangnya gimana: Sabang sampai Merauke. Sukur kalo saya bisa ngebut kayak Dokter!"
"I don't mind waiting. Aku setuju kamu selesaikan kuliah dulu."
"Yakin? Nggak kelamaan nunggu?"
"Nggak. Atau kamu yang nggak mau kelamaan? IMHO, minimal kamu koass dulu baru kita nikah."
"Kita?" Aku berdecak takjub. "Kapan saya bilang saya mau sama Dokter?"
Dengan gerakan perlahan, tangan kirinya keluar dari saku, dan jemarinya mengisi sempurna celah kosong jemariku.
"Nanti. Suatu hari. Pasti."
Mak. Begini saja, aku langsung meleleh.
"Kenapa saya sih?" Bibirku mencebik manja seperti balita merajuk. "Banyak yang lebih cocok buat Dokter. Dokter tuh sadar nggak sih? Dokter spesialis mata, tapi matanya nggak dipakai baik-baik."
"Kamu yang aneh. It is true that first sight does matter. Tapi orang jatuh cinta pakai hati, bukan mata."
Aku makin kehilangan napas ketika kening kami bersinggungan. Aroma spearmint menggigit saraf penciumanku.
"Ngapain deket-deket gini? PDA?" Mau dicium lagi? Modyar kamu, Dok, kalau kucium dalam keadaan sadar.
"Ngapain balas mengenggam tanganku? Such a lovely reflexes."
What?
Sontak aku menjauh. Seringaiku berganti rahang menegang. Aku menyentak, berusaha menarik kembali lenganku, tetapi gagal karena pria ini enggan meloloskanku. Wajahnya mendekat lagi di jarak intim. Tajam tatapan itu mengiris nyaliku, lapis demi lapis tanpa sisa.
"You're honestly into me, Mel. Admit it."
Lalu, kusundul keras dahinya dengan dahiku. Dia melepaskanku dan mengaduh gaduh. Salah sendiri dia main-main dengan akal sehatku, jadi kuajak sabung jidat.
***
Terungkap sudah mengapa Bu Helena yang pure one hundred percent bule itu suka menonton siaran kompetisi dangdut yang judges dan hostsnya lebih geger daripada kompetisinya. Sebab Bi Imah, ART di rumah ini, menonton acara itu setiap hari. Penyebarannya seperti kutu rambut: satu kena, besoknya serumah kena.
"Aduuhhh, Mbak! Eman tenan, Mbak! (Sayang banget, Mbak!)" Bi Imah menggebrak geram sepasang pahanya yang bersila. "Si Fitri iki ora ono opo-opone timbang Galang sing wingi metu. Saking ae ayu akeh ngeSMS. Suarane jan percis pithik keloloten ngono kok yo iso-isone lolos audisine mbiyen? (Si Fitri ini nggak ada apa-apanya daripada Galang yang kemarin keluar. Soalnya cantik makanya banyak yang SMS. Suara percis ayam keselek gitu kok bisa-bisanya dulu lolos audisi?)"
Kutepuk pelan lengan Bi Imah, dengan sebelah lengan lagi mengayun Bumi di bouncer. "Makanya Bi, SMS yang banyak. Bibi sih nggak SMS si Galang, pulang kampung dah dia."
"Waduh, mending gae TM-an Mas Anton, Mbak, (mending buat TM-an sama Mas Anton, Mbak)" Bibir Bi Imah mengeriting. Aku tersenyum kecut dan mengembus satu celosan.
"Mesti ae Galang sing metu, Bi, (pantesan Galang yang keluar, Bi)"
Yang disindir meringis semakin lebar. "SMSe larang e Mbak, rongewu. Eh tapi ancen Mbak lek samean kerungu Galang winginane Mbak, byuh, adem tenan Mbak suarane. Wonge gak sengganteng Mas Luke utowo Mas Ezra, tapi suarane joss Mbak. Opo meneh pas adzan ya Allah ndadak pengen dadi makmume, (SMSnya mahal Mbak, 2 ribu. Tapi memang Mbak kalo kamu denger suaranya Galang kemaren adem banget. Orangnya nggak seganteng Mas Luke atau Mas Ezra, tapi suaranya joss Mbak. Apalagi pas adzan ya Allah tiba-tiba pengen dimakmumin)"
Bi Imah mengisahkan biografi sederet kontestan junjungannya dengan api berkobar di sepasang matanya. Aku menyimak antusias, sesekali memegangi perut karena tergelak berlebihan. Bukan karena kontestannya, tapi karena Bi Imah mengingatkanku pada Sandra kalau sedang fangirling sama Oh Sehun: lucu-lucu norak, seperti menyembah berhala.
Aku menduga sendiri jangan-jangan ayah tiri dokter McFord—ayah kandung Ezra—juga gemar nonton kompetisi dangdut ini. Sayang beliau sedang dinas ke Singapur.
Ponselku berdenting saat Bi Imah memperagakan gaya bernyayi Fitri yang menurutnya ndeso.
<dr. McFord sent you a picture>
dr. McFord
malam ini. Mau?
bertiga
Bianglala di pasar malam yang kemarin kami lewati sepulang dari mall. Aku memang sempat berseru norak di mobil karena belum pernah naik wahana tinggi itu.
"Bi, saya mau keluar sama Dokter sama Bumi malam ini."
"Wenak… kate pacaran tho, Mbak? (Enak… mau pacaran ya, Mbak?)"
"Ndak, Bi, jalan-jalan aja. Ke pasar malem deket sini kok."
"Yo kuwi pacaran, Mbak, (Ya itu pacaran, Mbak)"
Aku mengulum lidah. Serah Bibi aja dah.
Tidak mau kalah, Bi Imah juga izin untuk kencan dengan Mas Anton. Ya sudahlah, mengingat Bu Helena juga lembur malam ini karena ada rias pengantin. Daripada Bi Imah bosan jaga rumah nonton dangdut terus, 'kan kasihan?
***
Untuk memperoleh tawa Bumi, aku menggelitiki kakinya. Saat dia tergelak, aku segera berbaring di sampingnya dan mengambil potret kami berdua dengan kamera depan ponsel.
Haish lah. Hasilnya blur di Bumi. Lagi.
Aku ndusel di atas si ganteng, melumati pipinya kanan-kiri. Tawanya semakin menanjak, telapak mungilnya menjejaki dadaku.
"Bummm! Kamu kalo difoto diem, dong! Jangan ginjal-ginjal terus, blur semua jadinya."
Eh?
Kenapa ini?
Aku mengerjap lambat. Mati lampu kah?
Kuubah posisi duduk, meraih Bumi dalam dekapan. Beruntung kameraku memiliki fitur flash, bisa kugunakan untuk menerangi sekadarnya. Tak kukira rumah semegah ini tidak luput dari yang namanya pemadaman listrik bergilir.
Mengingat dokter McFord punya nyctophobia, sebaiknya aku menunggu di depan rumah. Kalau dia datang, langsung kuseret ke pasar malam. Biarlah dia tidak mandi. Mandi nggak mandi, Melati tetap jatuh hati. Orang ganteng mah bebas.
Dengan cahaya seadanya, aku memasang carry dan membawa Bumi di depan seperti bayi kanguru. Pintu kamar baru saja kukunci ketika ponsel di sakuku berdering. Dari Dokter.
"Ya, assalamualaikum,"
"…"
Tidak terdengar apapun kecuali suara gemercik. Apa tower pemancar sinyalnya juga mati lampu?
"Halo? Dokter?"
"Help…"
Hanya satu kata. Paraunya memarut daun telingaku. Jantungku merosot ke kaki.
"Dokter di mana?" Tapi aku harus tenang.
"…"
"Luke?"
"Kamar—"
Sambungan terputus di sini. Aku membeku.
***
Sialnya, Bi Imah sudah pergi. Aku benar-benar hanya berdua Bumi di rumah gelap ini—kemungkinan bertiga dengannya. Dokter aneh itu, entah sejak kapan dia sudah pulang. Kenapa tidak memberitahuku sih!? Terus gemetar, tetapi nekat kuketukkan buku jemari di pintu kamar dokter McFord. Tulang pipiku menempel di daun pintu.
"Dok?" panggilku, setengah berseru. "Ini Melati. Saya masuk sekarang."
Pintu terbuka begitu mudah hanya dengan mendorong handlenya. Aku melangkah masuk, berbekal sorot minimalis flash ponsel yang segera kuedarkan ke ruangan luas ini. Posisi furniturnya mirip kamar tamu yang kutempati. Kamar yang ini, baru kumasuki setelah 3 hari menginap di rumah Bu Helena.
"Dokter…?"
Nihil. Kosong.
Dia tidak di sini. Jadi kamar yang mana?
Sebelum keluar, kupastikan sekali lagi dia tidak di sini dengan berkeliling. Perhatianku jatuh pada ranjang kingsizenya. Di situ berserak kemeja kerja batik khas dosen Fakultas Kedokteran serta celana panjangnya. Satu hal yang pasti, dia sudah pulang.
Tapi di mana?
Allah. Jangan bilang dia di…
Tak mau banyak berpikir, saat ini prioritasku menemukan Dokter. Kugedor kasar pintu kamar mandi, hanya untuk meyakinkan dia tidak di dalamnya.
"Dok? Dokter?! Ini Melati!"
"I'm sorry…"
Ketemu. Kenapa di sini?!
Lirih itu. Begitu tipis membelah hening. Isak tangis yang sama dengan malam itu di muka haunted house BNS. Kuraup napas dalam, memejam keras, dan mengentak sesaat.
Jangan panik. Dia membutuhkan aku.
Tanganku menjajak dan mengguncang kasar gagang pintu. Terkunci, sudah pasti. Tidak mungkin mendobrak pintu dengan Bumi di dada, kubaringkan anakku di ranjang bersama carrynya. Menyibak tirai arogan yang menutupi jendela kaca raksasa kamar ini. Mengizinkan sorot rembulan masuk, memudahkan aku melihat dalam temaram. Kusen jendela mencetak siluet kotak-kotak di hamparan rimbun karpet wol.
Tanpa mematikan flash, kujejalkan ponsel di saku celana. Aku merapatkan dada di pintu kamar mandi.
"Dok… maaf saya paksa."
Aku memfokus tenaga di lengan, menubruk berkali-kali ke pintu kukuh itu. Papan angkuh itu masih menolakku. Yang kudapat hanya lengan berkedut gila dan panas menjalar hingga ke tulang.
Goblok. Bukan tangan, tapi kaki. Aku tidak pernah ikut bela diri atau semacamnya sepeeti Fikar, tapi kutendang saja titik terdekat dengan lubang kunci itu. Sebrutalnya. Segila-gilanya. Tanpa aba-aba, tanpa teknik.
Dan pada tendangan ketiga, daun pintu menggebrak. Bersama dengan mencelatnya pelat timbal bagian dari kunci pintu.
Aku menyeruak memasuki gelap pekat, dan mengeluarkan ponsel. Mengarahkan cahayanya ke sumber sedu sedan seorang pria… yang terendam di bathub.
"Uhh. Uhh. Uhh—"
"Dokter!"
Ponsel kutungkupkan di meja sebelah bathub. Jemariku gemetar gila, menyusuri wajah pias dosenku. Napasnya pendek, tersekat dan berantakan. Dadanya semrawut naik-turun. Dan, iris biru samuderanya lenyap.
Hilang. Musnah. Tanpa bekas.
Hanya hitam pekat.
Paling tidak dia harus dikeluarkan dari sini. Aku berpindah ke sisi lain dari bathub, mencabut rantai sumbat. Air mulai terhisap dengan cepat, sementara aku beranjak mencari handuk, kain, atau apapun. Tanganku menyambar sebuah bathrobe biru.
Ketika berbalik, air telah terkuras seluruhnya. Menyisakan sebuah ponsel perak di dasar bathub, dan tentu saja dia yang—
Aku berbalik sesaat, menggigiti bathrobe dengan gigi bergemeletuk.
Mataku melihatnya. Sesuatu yang haram. Remang, namun sangat jelas. Sangat pasti. Sangat bersih. Zina mata yang mustahil kulupakan sepanjang umur.
Bagian itu.
Ah, bukan. Bukan waktunya ragu!
Kalau ini termasuk zina mata, maka aku sudah sangat berdosa. Lebih berdosa lagi jika mengabaikannya. Dengan bathrobe, kurengkuh tubuh basah yang tak berbalut sehelai benangpun itu.
***
Bumi terlelap dalam temaram dan himpitan guling. Syukurlah, anakku kooperatif dengan keadaan Mamanya yang terguncang tetapi harus tetap waras. Karena kalau bukan aku, siapa lagi…?
Sampir bathrobe yang asal-asalan tentu saja tidak mengeringkan tubuh besar tak berdaya ini. Blusku pun tertular basah tubuhnya, bercampur dengan keringatku sendiri karena—demi Tuhan! Dia laki-laki dewasa dan aku hanya perempuan mini yang berusaha menyokong tubuhnya keluar kamar mandi.
Limit kekuatanku hanya mampu mendudukkannya di karpet wol, menyandarkan punggung dan kepalanya di sisi ranjang. Dengan handuk kecil yang kuperoleh hasil menghambur isi lemari pakaian, kuusap rambut keemasan yang berpendar diterpa sinar bulan. Napasnya masih cepat, tetap melalui hirupan mulut, namun tidak lagi memburu seperti dikejar setan. Tubuhnya masih menggigil. Iris birunya sudah kembali, tetapi dia bukan dokter McFord.
Dia menatapku seolah aku tidak di sini.
Kepalanya masih terbalut handuk, yang segera kuraih mendekat. Kububuhkan ciuman-ciuman panik panik di kening, pelipis, kelopak, pipi, hidung, dagu, bibir… semuanya.
Semuanya. Demi dia.
"Dok, ini saya…"
Aku melirih di sela kedua bibirnya. Ritme napas kami berlomba bersahut-sahutan. Dia masih vakum tanpa nyawa.
Ya Tuhan, Dokterku… kembalilah!
Jangan menakutiku! Kembalilah!
Di tengah gemetarku, berlomba dengan gemeletuk deret giginya, kuusap lagi setiap sudut tubuhnya dengan handuk. Lehernya, bahunya, ketiak, dan sepasang lengan lunglainya. Lalu dadanya…
Dadanya.
Di dada itu, bukan hanya satu. Ada banyak.
Banyak.
Dari rusuk hingga bawah pusar. Menghias abstrak, bilur yang carut-marut dengan warna tiga tingkat lebih pucat daripada pigmen asli dokter McFord. Beberapa di antaranya tumpang-tindih satu sama lain. Jemariku gemetar mengusap jejak air pada bekas luka pecut puluhan tahun lalu itu.
Iblis macam apa yang menoreh semua ini...?
Kemudian tubuhku ditarik lemah oleh sepasang lengannya, dalam peluk dingin yang goyah. Aku balas memeluknya, rapat, tidak peduli walau mendesak tubuh telanjang ini.
"Mel…"
Dia kembali.
Tunggu. Dia kembali?!
Tapi yang terjadi selanjutnya di luar ekspektasi. Daun telingaku dikulum lembut, hingga tak bisa kucegah erangan lolos dari bibirku. Aku lumpuh. Terjatuh di karpet rimbun. Dengan tubuh tersingkap seluruhnya, Dokter mengukungku di atas, bertopang sepasang biseps yang berguncang. Setitik air luruh dari matanya membasahi pipiku.
Dia merendah untuk mencumbuku lagi, di kening dan rambut. Ingatanku berputar ke belakang pada kalimatnya sebulan yang lalu. Aku menggeliat tak nyaman di sela desah beratnya.
"Serumah sama kamu, aku takut khilaf. I might unleash the hidden beast inside of me, and it's too dangerous."
***
Gigi-gigiku mencacah intens slice pizza ketigaku malam ini. Jarang-jarang seorang Melati makan rakus seperti seekor Elia. Bagaimana tidak, gara-gara dokter McFord aku harus olahraga malam: mendobrak pintu, mengangkut tubuh besar dan licin keluar kamar mandi, dan yang terakhir…
Kucolek lengannya yang sedang fokus mengetik sesuatu di depan lcd laptop.
"Dok, makan juga dong. Masa' saya rakus sendiri," cebikku manja.
Dia bergeming, tak mengacuhkanku.
"Dok, marah ya?"
Dia melirik sekilas, lalu kembali ke laptop. Beneran marah kayaknya.
"Sakit banget, Dok?" godaku, tanpa merasa berdosa. "Maaf lahir batin deh, Dok. Tenang aja, saya nggak punya rabies. Udah bagus cuma bahu yang saya gigit, Dok. Tadinya mau gigit leher, tapi takutnya Dokter cuti ngampus seminggu karena malu ada bekas cupang."
… yang terakhir, menggigit bahunya keras-keras. Ya iyalah, daripada aku kebobolan lagi seperti 10 bulan lalu?
Untung sekali setelah menggigitnya, listrik mengalir, penerangan pun kembali bersama kewarasanku dan dokter McFord. Aku belingsatan keluar kamar membawa Bumi. Sudah pasti batal ke pasar malam, aku memilih nonton acara dangdut bersama Bumi. Dokter yang sudah berpakaian turun, memesan pizza via Go-Food untuk makan malam kami.
Dia tidak berkata sepatah pun padaku, malah sibuk dengan laptop dan berkas-berkas. Bahkan duduknya diberi jarak 2 meter dariku.
Kecuali setelah kata-kata cupang barusan, dia menoleh disertai delik lebar. Tetapi kemudian mengembus desah panjang, kembali menekuri laptop dengan punggung melengkung lesu.
"Seharusnya kamu yang marah." Akhirnya dia buka mulut. Meski tanpa melihatku.
"Hmm, iya sih," gumamku, memamah gigitan terakhir pizza. "Tapi saya nggak bisa marah, apalagi sama Dokter. Saya bisanya gigit… rawr!"
Kucakar manja punggungnya, dan dia menjauh lagi bersama laptopnya. Kali ini tatapannya mencucuk tepat manik mataku. Rahangnya mengetat keras.
"Jangan memancingku."
Aku mengulum lidah. Dosenku memelototi laptopnya lagi. Setelah menelan pizza, aku mengambil Bumi dari bouncer, memeluk boneka hidup kesayanganku itu.
Dipikir-pikir, sebagian yang terjadi adalah salahku. Salahku yang panik, main asal peluk-cium. Serampangan menjamah tubuhnya dengan handuk, meski maksudku untuk mengeringkan jejak air. Tidak kusadari kelakuanku malah melepas si hidden beast inside of him.
Di satu titik dalam perjalananku di dunia medis, aku akan menemukan situasi yang lebih arrgghhh daripada sekadar menolong pria telanjang di bathub. Kuanggap semua yang terjadi barusan adalah bekal persiapan mental.
Tapi sepertinya tidak begitu untuk dokter McFord. Dia merasa seolah aku melucuti keperjakaannya hanya karena melihat organ seksnya. Cih, apa nggak kebalik?!
Bukannya dia yang hilang akal mau meniduriku, mahasiswinya sendiri?
Huh, biarlah.
Aku tersenyum sendiri memandangi punggung bisunya. Kuberi dia ruang dan waktu untuk menetralkan rasa. Tangan mungil menapuki pipiku, meminta perhatian. Dia tertawa kegelian saat kuciumi pucuk jari-jarinya.
Bum, kamu kok too cute to be true, sih?
"Bumi boleh kugendong?"
Aku menengadah, kemudian mengangguk, menyerahkan anakku yang diraih dalam timangan suka cita. Ciuman-ciuman gemas menyesaki pipi gembil Bumi yang semakin tergelak.
Setelah semua bilur hasil pecut di dada dokter McFord, yang perihnya seakan bertelepati dengan dadaku, aku menyadari satu hal. Aku tidak akan bisa marah padanya. Dia kuat, sekaligus rapuh di saat bersamaan. Dan seperti Bumi, dia berharga, lebih dari segalanya.
-BERSAMBUNG-
Malang, 4 April 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top