28 Holiday : Card Flourishing

🌟

HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT

Chapter 28 Card Flourishing

🌟

"MBAK! ITU TERONG JATAHKU!"

"Apasih ah, bengak-bengok bikin congek. Kamu kan tadi ngambil tempenya lebih satu dari aku. Jadi aku ngambil terongnya lebih satu dari kamu. Impas tho."

"Impas gigimu! Tempe dibales tempe, terong dibales terong. Ora nyambung tempe dibales terong!"

"Kalo aku ngambil tempe juga, Ibu sama Melati yang nggak dapet tempe. Mikir dong! Katanya juara satu olimpiade, terong penyet thok di baperin. Gak ada bedanya kamu sama Ezra, congore saingan karo lelambean netizen!"

"Eergghhh... kamu ngapain pulang sih, Mbak?! Kuliah sana lama-lamain, gak usah pulang lagi! Pikirmu aku sudi punya Mbak lambung karung goni? Kalo bisa milih, aku prefer Mas Ezra yang jadi kakakku!"

"Eleh. Ezra maniak terong penyet sambel. Dia jadi Masmu, pasti tiap hari kamu anjing-anjingin dia demi terong penyet. Panen dosa di akherat."

"Kamu yang anj--"

"Tu," dengan sendok, kuangkat terong gorengku yang belum tersentuh sama sekali untuk Restu, sebelum dia menganjing-anjingkan kakaknya yang tidak lebih dewasa darinya. "Mau?"

"Eh, jangan Mbak." Cowok semampai berusia 16 tahun itu menolak dengan nada sopan dan seringai sungkan. "Buat Mbak Melati aja," kemudian meraih sebuah kerupuk bulat dari toples. "Aku cukup ini."

"Nah gitu. Sejatinya lakik kudu ngalah sama ibu menyus--ADUH!" Lebih dulu kujejak kaki Elia sebelum terjadi pertumpahan darah di meja makan ini. Hanya demi sepotong lalapan terong loyo, demi Allah.

Sebagai satu-satunya yang paling akil balig di meja, aku mengulek sayuran ungu tersebut di cobek sambal, dan menaruhnya di piring Restu. Dia tetap malu-malu kucing, mengembalikan si terong ke piringku.

"Udaaah. Mbak Melati aja."

Kupaksa terus Restu menerima si terong, akhirnya dia mau. Aku mengurut pelipis yang masih berdenyut akibat pertikaian unfaedah kakak-adik dalam keluarga tanpa ayah ini. Pertikaian yang kadang terjadi padaku dan Fikar...

Ah, demi apa Melati Pusparana kangen sama Syafikar Dirgatama. Bisa muntah pelangi dia kalau tahu kakaknya sedang rindu.

"Oiya, Mbak." Restu menoleh lagi setelah memamah terong. "Mas yang kemaren nggak ke sini lagi? Aku belom selesai belajar sulapnya."

Aku tersedak air yang sedang kutenggak. Elia menyodoriku tisu makan untuk menyeka mulut yang belepotan.

"Iya Mel. Suruh Masnya bawa martabak Holland, ya. Trus banyakan dikit kek. Kemaren donat Jco cuman selusin, mana cukup buat orang serumah."

Serumah yang dimaksud Elia adalah kami berempat. Aku, Restu, dan Bu Dewi masing-masing dua, sisanya siapa lagi kalau bukan si mulut vacuum cleaner.

"Nggak." Aku menepuk meja mantap. "Sudah aku larang jangan ke sini lagi. Dia juga punya kehidupan sendiri, bukan buat bawain kamu donat atau ngasih privat sulap."

"Yaaahhh..." Kakak-beradik mencelos bersama.

"Kalo cuma martabak kan bisa minta ajarin bikin sama Ibu. Belajar sulap? Noh tungguin story dia, seminggu sekali dia live pake hashtag SURAM: Sulap Rumahan Anti Murahan. Biasanya malem Minggu, bagai pelita menerangi kelam relung hati para jomblo."

Kakak-beradik mengerutkan hidung serta mencucukan bibir semaju-majunya.

Seharusnya aku yang melengos. Bukan, aku sudah berteriak malah. Terperangah sejadi-jadinya karena kemarin Garda muncul di ambang pintu rumah Elia, bersama sekotak donat isi satu lusin dengan aneka topping. Dia mau main sama Bumi, katanya.

Main ke rumahku--haish, Ezra--masih wajar. Masih satu kota Malang dengan tempat tinggalnya di dekat cafe. Tapi rumah Elia? Dia pikir kenapa Elia harus repot-repot ngekos, bahkan mengontrak di rumah Ezra demi kuliahnya?

Karena rumah ini berjarak 2 jam dari kota Malang, itupun kalau bebas macet. Dan bebas macet di Jawa Timur jaman now--dengan volume kendaraan yang membludak sampai jalanan gang--itu hampir mustahil.

Yang membuatku tak henti berpikir, dia di sini bukan hanya satu-dua jam saja. Seharian. Dari jam 9 sampai jam 9. Pagi sampai malam. Dua belas jam.

Hanya untuk berjumpa aku dan Bumi, Garda mendaki gunung lewati lembah?

"Assalamualaikum."

Detakku berhenti sesaat mendengar suara itu. Suara lelaki disertai ketukan di pintu depan. Kakak-beradik segera menghambur ke asal suara, lupa bahwa mereka belum cuci tangan setelah melahap terong penyet sambel.

Aku lemas, enggan beranjak. Hanya sanggup memijiti pangkal hidung, membulatkan tekad, dan memantapkan hati. Harus kulakukan juga pada Garda, hal yang pernah kulakukan pada Fathir, dokter McFord, dan cowok-cowok lain: menolak sebelum ditembak.

**(

"Lagi. Ulangin!" perintahku, menjurus ke intimidasi.

"As you wish, Milady."

Aku memastikan kedua mataku tidak mengerjap sepersekian detikpun. Garda tetap berdiri membelakangi dinding ruang tamu, bersama satu pak kartu poker di tangannya, diangkat di depan dada. Ditunjukkan padaku, Bu Dewi, Elia, Restu, dan tentunya Bumi dalam pelukku. Selanjutnya, semua terjadi sekejap mata.

Tangan kanan terangkat perlahan, semakin jauh ke atas. Kartu meluncur satu-persatu dengan gerakan cepat, gemulai, sekaligus sangat estetik, ke tangan kiri yang dengan lihai menangkap tanpa terjatuh satu kartupun. Sesaat sebelum semua kartu di tangan kanan habis, Garda menungkup para kartu dengan kedua tangan.

Rapi. Bersih. Indah. Tidak bercela. Aku menganga.

Kemudian berseru kembali karena tidak puas. "Lagi! Ulangin. Pelan-pelan!"

"Iyo Mas, alon-alon ojo kesusu!" Restu mendukungku.

"Haish, kalian. Itu mana bisa pelan-pelan, emang harus cepet. Kalo pelan banget ya jatoh semua gedebug sekaligus, gak cantik kayak gitu," Elia menjitak kepala adiknya, kemudian melumat bolen keju ketiganya. "Kalo mau pelan rekam aja, trus slow motion. Iya kan, Mas?"

Garda tertawa ringan, mengembalikan dirinya di sebelahku dan Bumi. "Cari aja di YouTube banyak. Card flourishing. Ada banyak macemnya, salah satunya yang barusan, namanya card springing."

"Ajarin, Mas!"

Hari ini, yang diajarkan Garda bukan sulap, tetapi card flourish. Dalam pertunjukan sulap kartu, secara sporadis para pesulap menunjukkan keahlian memainkan kartu dengan dua tangan. Contohnya, card springing yang dilakukan Garda barusan, kartu-kartu berjatuhan dari tangan ke tangan, meliuk indah seperti ular.

Itu bukan sulap, tetapi seni yang merupakan bagian dari sulap. Penyedap rasa, mungkin mecin, bumbu tambahan agar pertunjukan sulap semakin gereget. Bandingkan pertunjukan sulap kartu antara pesulapnya mengocok kartu ala tukang ojek pengkolan, atau riffle shuffle yang dilakukan Garda. Caranya dengan membagi kartu jadi dua pak masing-masing di satu tangan. Keduanya dicampur selang-seling dengan bantuan ibu jari, kemudian disatukan kembali dalam kungkungan tangan.

Karena Bumi mulai meringik, aku pamit untuk menyusui di kamar Elia. Sambil menciumi si gembil yang sedang isi bensin, ibu jariku mengecek pesan baru di smartphone. Ada dari Fikar dan dokter McFord.

Adik yang Tertukar
mbak, papa beli xpander baru
<Adik yang Tertukar sent you a video>
baru dua hari dari dealer
udah disosorin ke pager rumah sama mama lol
km pulang kapan?

Kuputar rekaman video yang menyorot Papa dan Mama di garasi rumah, wajah keduanya sama-sama mengetat.

"... makanya kalo SIM nembak nggak usah banyak gaya, Ma!"

"Papa gimana kok nyalahin SIM?! Salah Papa lah ngotot beli mobil segede ini!"

"Kok Papa? Kan Mama bilang suka yang gede-gede!"

"Tapi nggak mobil yang gede! Papa juga yang buka pagernya terlalu sempit. Mama sudah teriak-teriak buka yang lebar nggak didengerin!"

"Ya udah tau terbukanya belum lebar Mama kenapa masih maksa? Mama juga nggak suka kan kalo masih sempit trus Papa ngotot maksain masuk? Sakit kan?!"

"PAPA!"

"Mobilnya, Ma! Mobilnya yang sakit. Bah Mama mikir apa sih?!"

"Papa yang barusan mikir apa?!"

"Fikar kamu ngapain?!"

Video terputus dengan Papa merampas smartphone Fikar. Aku menyeka air dari sudut mata yang keluar karena dua alasan: geli, sekaligus rindu. Pertikaian-pertikaian absurd yang karena hebohnya seringkali membuatku menanggung malu pada tetangga.

"Bum." Kubisiki si kecil yang sudah lelap, tetapi otot pipinya masih bergerak di dadaku. "Ini Kung, Uti, sama Om. Kapan-kapan kita ke sana..."

Kerongkonganku tersekat. Menenggak ludah pahit. Mendekap Bumi lebih dalam untuk meredam remuk di dada.

"... nanti, kalau sudah waktunya..."

Setelah mengucek mata yang basah, pesan Fikar hanya kubalas bahwa aku tidak mungkin pulang dengan dalih Pengabdian Mahasiswa (Penmas). Sebenarnya Penmas sedang berlangsung sekarang selama 4 hari di kabupaten Malang. Satu angkatan ikut, kecuali aku yang diizinkan untuk menebus di semester genap berikutnya.

Maafin Melati, Ma, Pa, Fik...

Kemudian, pesan dari pria spesialku.

dr. McFord
lagi apa?

Hari gini penjajakan ke cewek cuma modal 'lagi apa'? HAHA DOKTER CULUN.

Tetapi ajaibnya, dia selalu mampu menarik kedua sudut bibirku tinggi ke atas.

Mel
lagi kangen
dokter?

dr. McFord
lagi rapat akreditasi, bosen
baru seminggu sudah kangen?
should I come over?

Level percaya dirinya menyaingi Mimi Peri.

Mel
ORA SUDI CUIH
kangen rumah.. papa beli mobil baru

dr. McFord
pulang?

Mel
gak bisa..

dr. McFord
bisa, sama aku. Shall we? :)
sorry got to go
bye, cium sayang untuk Bumi

Bibirku mengerucut ke samping.

Mel
Bumi doang yang dicium?

Terima kasih pada fitur retract, pesan terakhir itu berhasil kutarik kembali sebelum terkirim. Harga diriku selamat.

***

Satu hal yang membuat pelipisku cekit-cekit saat mencuci pakaian Bumi adalah nodanya. Noda emas feses khas bayi yang masih full ASI ternyata sangat sulit dihilangkan dari pakaian. Tidak cukup dikucek hanya sekali. Harus berulang kali, ditambah deterjen lalu dikucek lagi.

Bebal sekali si noda tinja ini. Mirip dokter McFord yang susah disingkirkan dari hati.

Setelah 10 menit, aku baru berhasil menghapus noda dari 7 celana Bumi. Kulirik rendaman baju bayi kotor di ember hijau, tersadar bahwa 7 celana tersebut belum ada setengahnya dari seluruh cucian. Tanganku sudah kebas mengucek. Kulitku memerah, hampir melepuh berkat deterjen bubuk. Satu hembus lelah panjang lolos dari mulutku.

Celana kedelapan mulai kukucek, ketika sebutir peluh meluncur dari dahi kananku. Hampir menitik di mataku tetapi tanganku lebih cepat bergerak menyeka--

"AAAHHH!!!"

Perih. PERIH!

Aku mencelat dari kursi plastik.

Goblok. Goblok. Goblok. Mengucek mata dengan tangan penuh busa deterjen, apa yang kupikirkan?!

Bibirku tak bisa berhenti merintih. Mataku memejam keras, mengulurkan lengan yang bergerak acak, mengira-ngira di mana posisi keran air bersih seingatku. Alih-alih keran, justru wajahku mendadak dingin diraih sepasang telapak yang basah. Jemarinya mengusap lembut pelupukku yang refleks berkedipnya semakin cepat akibat perih.

"Kamu ngapain sih, Mpus? Matamu masih lengkap, disayang dikit kenapa?" terdengar lirih khawatir Garda di depan hidungku.

"Umbah-umbah!"

"Diem dulu!"

Dihardik seperti itu, aku terkesiap dan tetap memejam, mengizinkan jemari Garda yang bekerja. Dia membilas area mataku dengan air bersih. Sekali-dua kali aku mengerjap, mendapati mata tunggalnya berjarak hanya satu kepal dariku. Manik pekat kopi itu menancap dalam, bergantian untuk sepasang mataku.

Aku mati-matian merapal anatomi lapisan cranial sebab jantungku mulai cangcingcup kembang kuncup.

"Duh merah banget... Masih perih?"

"Masih lah!" decakku sebal.

Salahku menjawab begitu, bibir Garda mendekat dan menguncup. Segar hembus napasnya menelusup berkali-kali di sela pelupuk, mendinginkan skleraku seperti es degan di siang hari setelah makan semangkuk bakso pedas.

Kusentak pelan tubuhnya sebelum kewarasanku terkikis habis. Mataku sudah mendapat pandangan memadai untuk meraih keran air dan melanjutkan sisanya sendiri.

Sesudah kurasa cukup adem, aku berjengit lagi mendapati Garda sudah duduk di kursi kecil dekat ember dan menguceki celana-celana Bumi. Dia menanggalkan kemejanya yang disampirkan di tali jemuran, sekarang hanya berbalut kaus v-neck putih yang rapat di tubuhnya.

"Kamu ngapain sih?!" Aku berkacak pinggang di sebelahnya.

Dia tak melirikku sedikitpun. "Umbah-umbah. Hush sana duduk dulu."

Kalau aku tidak ingat dia adalah sosok yang kukagumi, pasti sudah kutarik kursinya supaya dia nggeblag.

Aku termangu berpangku tangan di teras samping, mengamati pria yang rambut keunguannya berpendar disentuh terik mentari. Dahi dan hidungnya mengerut, sesekali menjilat sudut bibir. Satu matanya difokuskan nyata pada kain basah di tangan.

Andai dia tahu, betapa lucu ekspresinya saat ini. Ekspresi yang tidak pernah nampak di media sosial atau layar kaca. Sadar kalau sedang kuperhatikan, dia melirik sekilas saja dengan gestur salah tingkah.

"Heh, ngapain senyum-senyum?"

Bukannya luntur, senyumku makin naik. Aku menggeleng takjub. "Kekuatan sepuluh tangan!"

Garda meringis dengan alis terangkat sebelah. "Kalo ngucek biasa aja Mpus, nggak perlu ngotot-ngotot amat. Noda begini lebih ampuh pake sabun batangan biasa." Dia menggesek sabun batang ke baju Bumi, mengucek baju itu sebentar, kemudian dipindahkan bersama baju lain yang sudah dikuceknya. "Kucek dikit sampe nodanya mulai ilang, trus diemin bentar. Kumpulin aja dulu di ember, baru bilas barengan. Dijamin ilang semua nodanya. Ntar kalo Bumi udah makan, noda begini pasti tambah banyak. Kucekin aja sabun batang sebentar, jangan direndem deterjen."

Aku manggut-manggut mencerna penjelasannya. Pandangku masih lekat pada sepasang lengan yang cekatan mengucek-bilas pakaian bayi. Tangan yang sama dengan tangan yang beberapa jam lalu begitu lemas melakukan card flourishing dan membuatku berdecak kagum.

Memandikan bayi, membasmi noda membandel, card flourishing... keajaiban apa lagi yang bisa dihadirkan tangan itu?

"Umbah-umbah like a pro," pujiku, separuh mengejek. "Kirain tangan semulus itu nggak pernah nyuci seumur-umur."

"Enak aja, kudu nyuci lah," Sepasang dekik menyempil di pipinya. "Yekali sempak gue biarin dikucekin pembantu. Kalo dia kongkalikong ama haters gue di dunia sulap, trus gue disantet via sempak, trus tongkat ajaib gue impotensi?"

Langsung saja kutimpuk dadanya dengan tutup botol deterjen cair, dibarengi mendelik selebar-lebarnya.

"Itu mulut kalo ngomong lemes banget ya. Impotensi beneran kualat kamu."

Dia tergelak selagi memeras pakaian terakhir dari ember baju kotor. "Makanya aku bilang tuh segitiga bermuda kudu disikat sendiri. Besok kalo Bumi udah lepas pempers, mulai dilatih cuci sempak sendiri."

Aku mengurut pelipis yang berkedut. "Ck, iya bawel," decihku gerah, kemudian bertepuk tangan hiperbolis. "Pemirsa yang saya homati. Ini dia Ringgarda Sinatra! Putra sulung maestro internasional Iskandar Sinatra! Ter-nya-ta, gak disangka bisa nyuci sempak sendiri sejak lepas pempers!"

Garda hanya memberiku segaris senyum dalam hening berkepanjangan, sambil membilasi pakaian mungil yang telah dikucek. Aku mendengar suara jangkrik imajinasi. Kenapa jadi garing gini ya? Kupikir normalnya Garda akan membusungkan dada jemawa sambil berujar songong, "Jangankan cuci sempak, dari orok eksistensi gue udah bisa buat cuci mata bidadari surga."

Mungkin dia risi karena aku menyebut-nyebut ayahnya? Kan biasa begitu, beberapa keluarga selebriti terpandang lebih nyaman membungkus rapat kehidupan pribadi mereka dari publik agar tidak jadi bahan nyinyiran.

"Garda, sori."

Garda bangkit menenteng ember, menuju pengering mesin cuci. Dia memutar leher padaku sambil memasukkan baju demi baju ke tabung pengering.

"Sori kenapa?"

"Yah." Aku mengusap tengkuk. "Sori, kamu nggak seneng bahas keluarga ya?"

Setelah memutar mesin pengering, Garda menempatkan diri di sisiku dan lantas menyentil keningku.

"Aku nggak bisa nggak seneng sama kamu, Mpus." Mata tunggalnya berbinar dan menyabit. "Jadi kamu udah penasaran sama aku?"

Wajahku menghangat. Kemudian mengangguk perlahan, terdesak ingatan tekad bulatku di meja makan tadi.

"Asiikk!" Dia menggesek telapak tangan, irisnya makin mengilat. "Tanya aja. Apapun. Aku jawab."

"Apa tujuanmu?"

Otot wajahnya mengendur, sontak melenyapkan senyumnya. "Tujuanku?"

"Tujuanmu. Ngebatalin semua schedule untuk aku. Dateng ke rumah tiap hari. Nyusul sejauh ini, ke sini, yang jelas-jelas bukan rumah aku. Bawain banyak makanan. Nyuciin baju-baju aku dan Bumi. Buat apa...?"

Manik kopinya merewang. Tawanya meluncur kaku dan hanya memunculkan satu dekik.

"Karena aku nggak mau kamu melewati semuanya sendiri."

Kuhela napas panjang, dan melempar pandang pada langit cerah berawan.

"Gar, aku..." Kulumat bibir sendiri, yakin tak yakin dengan ucapanku. "Aku memang nggak punya mental baja, tapi... aku juga nggak selemah itu. Aku makasih, makasih banget. Kapan lagi sih, dikasih perhatian lebih sama idol sendiri? Bener-bener kayak mimpi. Tapi, Gar..."

Setelah meneguk ludah kasar, kukembalikan pandang padanya.

"Kita tetap asing. Kamu siapa, aku siapa? Aku bukan tanggung jawabmu." Bahkan walau andaikata, seburuk-buruknya kemungkinan, dia ayahnya Bumi. Aku menggeleng lemah. "Apa kamu kasihan sama aku yang single parent?"

"Mel..."

"Aku nggak perlu dikasihani, Gar." Aku tersenyum jujur, tanpa bermaksud tinggi hati. "Kalaupun aku kesulitan, dan aku butuh bantuan kamu, aku nggak akan sungkan kok minta tolong sama kamu. Aku bersedia ngelakuin apapun untuk Bumi, meskipun harus ngemis-ngemis bantuan dari kamu, atau siapapun. Tapi nggak--"

"Dan aku bersedia melakukan apapun untuk kamu, Mel."

"Iya, iya aku ngerti," Kuanggukkan kepala pelan. "Tapi kamu nggak perlu melakukannya kalau aku nggak minta... Bisa?"

Wajahnya meregang di sela pilu. Bisu menguasai kami sebelum akhirnya dia bersuara serak, "kamu nggak enak hati sama aku?"

Keberanian menyuruhku untuk mengangguk. "To be honest, yes. Aku nggak bisa membalas semua perhatian kamu, Gar. Dan," aku memejam sesaat. "Aku nggak bisa membalas perasaanmu."

Tolong tertawalah.

Katakan aku salah.

Katakan aku terlalu gede rasa dan baper sendiri.

Katakan aku terlalu banyak nonton drakor dan dengar lagu cinta menye-menye.

Katakan kamu nggak cinta sama aku...

"Then don't. Aku nggak butuh apapun dari kamu. Aku nggak butuh perhatian balik dari kamu. Aku juga nggak butuh kamu berusaha membalas perasaanku."

Astaga orang ini! "Aku nggak nyaman--"

"I only wish for a permission to love you unconditionally."

-BERSAMBUNG-

Malang, 4 April 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top