27 What's Done is Done

🌟

HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT

Chapter 27 What's Done is Done

🌟

Jatim Park II dan BNS memang seru. Apalagi rumah hantu. Tapi kalau ditanya tempat wisata favorit nomor satu bagiku adalah pantai: sesuatu yang tidak ada di Malang kota. Ada sih, di Kabupaten Malang yang berjarak 2 jam dari sini itupun kalau bebas macet.

Aku menyukai semuanya dari pantai. Airnya. Ombaknya. Pasirnya. Karangnya. Kerangnya. Rumput lautnya. Pohon kelapanya. Hangat mentari—atau halo rembulan. Aroma gurih laut yang melegakan paru dan terkecap sampai di lidah.

Kalau yang lain senang berenang, berlarian, bergulung di ombak, atau berjemur di tepi, sedikit berbeda denganku. Aku paling senang diam saja, benar-benar diam, di daerah pertemuan pasir dan air.

Riak-riak manja datang merenda kaki yang telapaknya segera amblas 1 cm, akibat rapuhnya pasir saat bersatu dengan air. Si riak kembali ke laut dengan temannya, untuk kemudian kembali menyapuku lagi, membenamkan kakiku semakin dalam. Berulang kali melakukannya, meledakkan produksi endorfinku. Merangsang sensasi bahagia yang aneh, yang tidak cukup dinyatakan dengan 'bahagia'.

Sensasi yang sama dengan mencium dokter McFord. Ditambah Americano dari hela napasnya. Semakin membenam bibirku padanya, kebahagiaan meletup dari setiap sudut pori-pori kulitku.

Namun semua berubah saat Bumi menendang dokter McFord di pipi.

Aku beringsut mendekap rapat si mungil dan memelorot dari tepi ranjang, bersimpuh di lantai. Jantung Bumi berdetak cepat memang wajar karena dia masih bayi. Jantungku yang menyamai detak Bumi jelas bukan wajar. Jemariku semrawut menyakari bibir nakal ini.

ASTAGA BARUSAN AKU NGAPAIN?!

Bumi masih lelap tanpa dosa. Yang dosa adalah aku, ibunya, yang tidak sengaja menekan tubuhya. Karena dengan sengaja mencium laki-laki selain Bumi. Di bibir. Lambe nyosor. Asdfghjkl.

Apa anakku marah? Kecewa kah dia pada ibunya? Tidak suka kah dia? Saat di dalam maupun di luar rahim, Bumi selalu menendangi dokter McFord di kepala, walau anehnya dokter McFord tidak keberatan dan justru sangat menikmati.

Sentuhan telapak bidang nan hangat di keningku membuyarkan semua fantasi.

"Masih hangat. Perlu ab? Aku selalu benci meresepkan ab."

Suaranya biasa. Lirih, tetapi masih biasa. Dia tahu? Atau tidak? Yang mana?!

"Kenapa di bawah? Duduk sini."

Terdengar suara ranjang ditepuk pelan. Kuberanikan untuk menengadah dan memutar kepala, mendapati dosenku dan rambut kacaunya sudah bersila di atas ranjang. Tersenyum letih, tetapi masih biasa juga. Perlahan kuangkat lagi Bumi dan menempati ruang yang tadi ditepuk dokter McFord.

Matanya masih terbuka separuh ketika mengangsurkan sebuah termometer digital padaku, ditukar dengan Bumi yang segera diambilnya.

"Cek."

Setelah memastikan aku menyisip stick itu di ketiak, dokter McFord menatap Bumi dalam. Lekat. Semakin hangat. Kemudian bibirnya melukis senyum lelah. Bibirnya. Bibir. Bibir. Bibir pahit-nikmat kopi Americano yang tadi kucium.

ETA BERTOBATLAH, MEL!!!

"Pompanya cocok?"

Ya, cocok sekali. Jantungku memang terpompa hebat. Bagaimana dia tahu? Seberisik itukah deburnya?

"Nggak cocok ya?"

"Hah?"

"Pompa ASInya. Cocok nggak? Kalau nggak cocok nanti malam kita ke tokonya, cari merk lain."

"Oh." Astaga, pompa ASI. "Cocok. Harganya berapa, Dok? Ntar saya ganti kalo sudah ambil—"

"It's for you. Aku belum kasih hadiah kan?" Dia masih tidak melirikku sedikitpun. Jemarinya mengusap ringan ubun-ubun Bumi. "His jet black hair is exactly yours, Mel."

Hadiah apa lagi yang bisa lebih epic dari pompa ASI, dari lelaki yang bukan siapa-siapaku?

"Dok, jangan…"

"Ada cooler bag dan ice packnya juga. Don't 'don't' me, please. Kamu menolak pun percuma, barang yang sudah dibeli nggak bisa dikembalikan. Dan alat itu nggak berguna di tanganku."

Terdengar sedikit nada kesal darinya, yang praktis menyentil hatiku dengan kerikil rasa bersalah.

"Siap, Dok." Kuacungkan ibu jari mantap. "Saya nggak nolak. Saya akan manfaatkan sebaik-baiknya untuk Bumi. Dokter lihat aja."

Barulah dia menolehku dengan dahi mengernyit.

"Aku nggak mau lihat itu lagi."

Mendengar penekanan di kata 'itu', aku terhenyak. Tersadar bahwa kalimat pilihanku memang bermakna ganda.

"Maksudnya jangan khawatir. Bukan berarti Dokter harus lihat saya pumping." Aku mengembus kasar. Dia mengembalikan wajah meronanya pada Bumi. "Dokter berapa tahun di dunia medis, masa' nggak pernah ada praktik ngeraba pasien beneran di area thorax?"

"Pernah," jawabnya segera. Jeda sesaat ketika jakunnya naik-turun meneguk ludah. Kemudian suaranya menukik rendah. "Tapi kalau objeknya kamu, beda. Karena aku laki-laki normal, yang punya hasrat seksual, untuk perempuan yang dianggap spesial."

Kali ini aku yang membuang muka. Bahkan berbalik memunggunginya.

Wajahku menghangat lagi. Apa yang ada di kerut otaknya saat memeriksaku sampai melontarkan kalimat sevulgar itu? Kalimat yang tidak baik untuk telinga dan jantungku. Aku butuh donor jantung baru yang lebih sehat dan tahan banting.

Tunggu.

Bukankah aku lebih parah darinya? Maksudku, barusan aku tidak bisa menahan diri untuk menciumnya. Apa yang akan dilakukannya kalau tahu aku sudah lancang mencumbu bibirnya saat tidur? Mengusirku dari sini?

Atau… mencium balik?

Ya Tuhan, yang perlu diganti bukan jantungku tapi otakku.

"Mel, termonya."

Segera kucabut termometer yang tanpa kusadari telah menjerit. Dokter McFord menempel terlalu dekat di sampingku untuk melihat hasilnya.

"Udah 36. Normal. Kok aneh, padahal tadi rasanya masih hangat. Mukamu juga merah."

Itu karena aku baru menciummu, di bibir, Dokter pe'ak.

"Tangan bukan alat ukur suhu yang baku, Dok," jawabku diplomatis.

Dia mencebik, tapi tak ayal mengangguk juga. Kemudian mengembalikan termometer di meja dan meraih jemariku.

"Betul. Tangan untuk digenggam kan?"

Belingsatan kutarik tangan yang segera terlepas. Tawa jahilnya berderai penuh kepuasan melihatku melotot. Sial, dia berbahaya!

"Dokter gila!" desisku tertahan, padahal aku mahasiswi gila yang menciumnya.

"Kalo kamu sudah bisa melawan begini, artinya sudah sehat. That's good, mastitisnya nggak sampai akut."

Aku menyimak dengan seksama penjelasan dosenku mengenai mastitis laktasi. Singkatnya, mastitis adalah peradangan kelenjar air susu. Gejalanya mirip dengan influenza pada umumnya—demam tinggi, tubuh menggigil, pusing, lemas—disertai payudara yang bengkak dan panas. Penyebabnya adalah infeksi bakteri, atau pengeluaran ASI yang tidak lancar sehingga menyumbat dan menimbulkan abses.

Pada intinya, kata konsulen laktasi yang dihubungi dokter McFord, aku harus rutin mengeluarkan ASI untuk mencegah mastitis. Tentunya dengan bantuan pompa ASI itu jauh lebih mudah. Dan itu artinya aku akan menjadi sapi perah untuk 2 tahun ke depan. Perutku melar berhias stretch mark, begitupun payudara yang akan mengendur.

Ucapkan selamat tinggal pada Melati yang paling cantik se-FK.

"Tidur yuk. I'm still sleepy," dr. McFord menguap, menutup mulut dengan satu tangan yang tidak menopang Bumi. Ya, samuderanya memang meredup.

"Tadi malem tidur jam berapa?"

"Habis subuh. Aku nggak bisa tidur di pesawat. Dan semalem ada kecelakaan massal. IGD kurang tenaga, aku harus ke sana."

Aku berjengit. "Innalillahi… gimana korbannya, Dok?"

"Dua puluh luka minor, dua belas mayor, dua tewas di IGD, tiga tewas di lokasi. Dua di antara yang tewas," manik birunya merewang sesaat. "Ibu, dan bayinya yang masih satu minggu."

Ada yang remuk dari dadaku mendengar kalimat terakhir itu.

Kematian, bagi seorang dokter, adalah sahabat tak diinginkan sepanjang sejarah karir mereka. Tanpa belas kasih, sahabat tersebut kerap menghantui setiap pasien yang datang, mengharap pertolongan dari para dokter. Dokter adalah perpanjangan tangan Tuhan, itu kata mereka. Tetapi jika yang dihadapi adalah kematian pasien, untuk beberapa hari ke depan seorang dokter akan menganggap dirinya malaikat pencabut nyawa.

Pria lemah di sisiku kembali berbaring, kali ini dengan malaikat kecilku dalam dekapnya. Samuderanya memejam lekat. Setelah satu malam yang lebih panjang, ditambah pagi yang hectic oleh perempuan spesialnya, Dokterku pantas mendapat usapan sayang di puncak kepala sampai benar-benar terlelap kembali.

***

"Cieee, wallpaper barunya, Rek. Ganteng!"

Aku tersenyum lebar menanggapi celoteh Ayudia untuk layar ponselku. Ada kebahagiaan sendiri di sudut hati ketika temanku menganggap pria kesayanganku ganteng.

"Iyalah. Ganteng tak terbantahkan. Tidak ada keraguan di dalamnya, Yu."

Ayudia mencebik, tapi sangat antusias ketika kupameri foto-foto si ganteng ini, ada ratusan dengan berbagai pose. Bahkan mengundang belasan teman lain mengerubungi mejaku. Efek si gantengku memang bombastis.

"Ya Gusti, bayi badak bercula satu. Siapa namanya, Mel?"

"Namanya—"

"Bentar," potong Nindi cepat, menghentikan scroll ponselku. "Namanya Dino. Nama lengkap Dinosaurus."

Kujitak tidak terima kepalanya. "Namanya Bumi!"

"Cocok. Bumi lebih gede dari dino." Dia cengengesan dan kembali scrolling. "Nama lengkapnya mesti Gempa Bumi?"

Aku mendengus kasar. "Bumi. Just Bumi, Nin."

Seperti yang sudah-sudah, aku diwawancara tentang proses persalinanku. Tentang Bumi. Juga perihal perawatan pascapersalinan. Semua kekepoan (atau perhatian) mereka bisa kujawab dengan santai, kecuali…

"Tapi kamu pulihnya termasuk cepet ya, Mel. Sepuluh hari udah bisa ngampus lagi," gumam Orin.

"Alhamdulillah, Rin. Tapi aku cuma masuk 2 jam ini aja buat UAS bahasa. Nanti juga masuk lagi cuma ikut UAB sama OSCE. Kuliah, praktikum, tutorial, sama plenonya udah nggak ikut, dapet dispen."

"Ck, enaknya ya dapet dispen,"

"Enak dari Monas, Fan." Aku memajukan bibir untuk Fanti. "Aku disuruh bikin esai 3 macem buat ganti kuliah 2 minggu itu. Satu esai minimal 10 halaman. Font times ukuran 12 spasi 1. Gambar nggak boleh digede-gedein. Kurang apalagi?"

"Busyet. Trus kamu masih sempet bikin, Mel? Nggak sibuk ngurus Bumi sendirian?"

"Disempetin, Fan. Lagian kalo malem aku begadang nyusuin, jadi sekalian nyicil esainya."

"Kuat begadang kamu, Mel," decak Orin lagi. "Trus Bumi kok nggak dibawa? Sama siapa dia sekarang?"

"Iya lho, Mel. Aku kirain tadi sama debaynya juga," tambah Ayudia.

"Sama…" Aku memutar bola mata, dan menyelip rambut di telinga. Tak yakin harus berkata apa perihal Bu Helena yang sedang menjaga Bumi di rumah. "Sama orang baik, Yu."

"Ciyeee," Sepasang mata Nindy menyabit, dengan jemari menutup mulut. "Pasti dokter Luke."

"Bukan!" sanggahku segera. Bukan dia, tapi ibunya.

"Bukan, Nin, kan tadi Melati ke sini bareng sama dokter McFord. Nggak mungkin dokternya yang jagain si dedek." Aku menganga lepas pada Ayudia.

"Ho oh, tadi di parkiran kan, Yu?" Sepasang iris Orin mengilat. "Ada adegan ngacak-ngacak rambutnya Melati segala. Yang diacak rambut Melati, yang berantakan hatiku…"

"Nggak ada larangan dosen pacaran sama mahasiswa kan?"

"Nggak ada yang pacaran!" bantahku cepat.

"Nggak dilarang, Yu. Tabu aja," seloroh Nindy sok tahu. "Tapi hari gini cinta masih main tabu-tabuan? Emang kita hidup di jaman kompeni Belanda? Kita di jaman tiang listrik yang diem aja dituntut sama orang yang nabrak. Everything is possible."

"Udah Mel, takis dokternya. Sebelum ditakis yang lain."

"Inget Mel, penyesalan selalu datang di akhir. Kalo datang di awal namanya pembagian raskin."

"Datang di akhir pembagian doorprize, Rin. Eh kalo doorprize-nya yang kayak dokter McFord sih bukan doorprize. Jackpot besar. Iya apa iya, Mel??"

Pada akhirnya, aku hanya mampu membenamkan wajah di lipatan lengan, dihujani godaan beruntun dari teman-teman tengilku. Wajahku, skleraku, telingaku, semuanya mendidih. Sampai jemariku pun terkonduksi panas dari wajah. Tetapi yang teman-temanku tidak tahu, di balik wajah yang tertungkup ini, bibirku mati-matian kutahan untuk tidak menarik senyum.

Hubungan dosen lajang dan mahasiswa seperti aku, benarkah dapat diterima? Aku memiliki kekasih dan bahagia seperti remaja biasa, masih pantaskah?

Tidak ingin membumbung ke langit fantasi cinta, aku menata hati lagi. Mengembalikan semua rasa dan asa pada tempatnya semula. Menghindari bermimpi dan fokus pada realita di depan mata. Seperti ini, Bumi dapat diterima oleh teman-teman saja, aku berjanji akan sujud lebih lama di sholat-sholat berikutnya.

Ah, Bumi. Baru 20 menit berpisah, Mamamu sudah rindu.  Bum, tunggu Mama ya. Dua jam lagi. Ini juga Bu Iriana jam karet banget sih, UASnya jadi tertunda kan. Keburu ilmu kalimat efektif dalam paragraf ilmiah-ku menguap diserap waktu.

"Mel, itu anak kamu?"

Karena Disya datang baik-baik, aku mengangguk mantap disertai senyum. Lelah untuk bermasalah dengan tuan puteri satu ini, aku memilih jalan damai dengan keadaan.

"Bibit ganteng nih, rambutnya tebel banget," decaknya penuh kekaguman pada layar ponselku. Tetapi senyumku luntur setelah kalimat selanjutnya. "Ini lebih ke Mamanya atau Papanya, ya? Namanya siapa?"

"Namanya Bumi, Dis." Kuselipkan seringai jahil. "Mutlak mirip Mamanya, gen paling cantik se-FK."

"Ooo emak-emak mayak!"

"Ancene songong Meler iki!"

Kalimatku berbuah hujatan tidak terima dan toyoran di kepala dari teman-teman. Aku tergelak menerima cacian mereka selanjutnya. Disya hanya tersenyum separuh hati.

"Nggak capek ngurusin sendirian, Mel?" tanyanya lagi. Retoris.

"Kalau pun ada yang bantu, aku tetep capek, Dis. Tapi aku punya tanggung jawab sebagai ibunya."

"Nggak minta bantuan bapaknya?" Tatapnya berubah sendu bercampur iba. Hening menguasai meja di sekelilingku. "Bapaknya juga punya tanggung jawab. Kalau aku nggak terima digituin, Mel. Aku cari siapa orangnya sampe dapet. Dia nggak boleh lari gitu aja. Penjahat kelamin macem itu harus dikasih pelajaran, dikebiri sekalian biar nggak bisa nidurin cewek sembarangan. Enak bener habis manis sepah dibuang. Dia pikir kamu apa, sari tebu?"

Aku tersenyum biasa, sesantai dengan teman-teman lain. Aku bukan Melati yang baperan lagi. Aku Melati, ibu dari Bumi yang kuat.

"Buat apa, Dis?" Aku mengembus pelan. "What's done is done. Itu sudah lewat, mau gimana pun aku dendam dan marah, semuanya nggak bisa dikembalikan. Aku rasa percuma mundur ke masa lalu kalo pada akhirnya yang aku dapet cuma penyakit hati, Dis."

Wajahnya mengeras tak senang, tentu saja. Tetapi karena sentimen pribadi yang kuat, ditambah (sepertinya, entahlah) Mas Diandra yang tidak berminat padanya, Disya masih bisa menggeleng dan membalas, "Itu nggak adil buat kamu, Mel. Ini era emansipasi, nggak bisa perempuan diinjek-injek lelaki. Apalagi dia ngerusak masa depanmu, itu nggak bisa dimaafin!"

"Yee, Dis. Bahasamu dulu dapet berapa sih?" ejekku, disisipi tawa bercanda. "Masa depan. De-pan. Namanya masa depan ya belum terjadi, Sayangku. Jadi nggak mungkin ada masa depan yang rusak. Justru karena masa laluku udah rusak, sekarang aku harus fokus di dua hal." Aku mengacungkan V di depan hidungnya. "Anakku, dan kuliah. Supaya masa depanku bagus. Kamu bener, ini nggak adil. Namanya juga hidup, Dis, emang nggak harus adil. Nikmatin aja. Yang pasti adil cuma satu: yaumul hisab dan mizan, pas amal ibadah kita dihitung dan ditimbang, abis kiamat kubra nanti."

"Tsadeest!" Kepalaku dijitak dari belakang oleh Nindy yang berseru norak. "Habis brojol kenapa jadi bener kamu, Mel?"

Aku mendengus tak terima, mengibas rambut yang hari ini digerai. "Ya mesti lah, Nin! Sekarang aku Mama. Em-a-em-a. Ma… ma. Pasal satu, emak selalu benar. Pasal dua, jika emak bersalah kembali ke pasal satu!"

"Hilih. Ngomong gitu coba pas OSCE besok!"

"Oke, Rin," aku bertepuk mantap. Lalu meringis takut. "Dalem hati tapi."

"Hish. Mamah Dedeh kawe," cebik Ayudia.

"Bukan dong." Kuberikan senyum termanis. "Aku ini Mama Bumi."

***

Ketika turun dari si Prius, aku menganga karena adanya Ninja merah darah di pelataran parkir rumahku. Aduh, rumah Ezra. Si mata satu masih berani bertandang kemari?!

Dan, astaga dragon. Sampai di sofa depan tv aku mematung. Dia sedang tergelak bersama Bu Helena menonton kompetisi dangdut yang para host dan jurinya lebih heboh ketimbang kompetisi itu sendiri. Keduanya ikut-ikutan berkomentar, menjadi juri satu arah. Lebih absurd lagi karena Garda menyusui Bumi.

Maksudku, Garda menopang Bumi dengan satu lengan, sementara tangan satunya memegangi spoon feeder yang ujungnya ditempelkan ke bibir Bumi. Seperti kucing, bibir anakku menguncup dan merekah, lidah mungilnya maju-mundur, mengecapi ASI dari spoon feeder. Keduanya terlihat hangat dan erat, tanpa celah.

Entah Bumi yang terlalu pintar menyesuaikan diri, atau Garda yang terlalu professional.

"Mel, pinter banget si Bumi. Diminumin saya dia ngamuk. Semua media saya cobain, he was still insisted. Eh Ringgarda dateng, nyobain spoon feeder tiga kali langsung mau. He is just amazing." Bu Helena menggeleng terkesima. "Kamu kapan kawin, Gar? Nanti saya salonin, gratis deh."

Aku meringis di samping Bu Helena, tidak tahu harus berkomentar apa. Garda tertawa bercampur sipu, memandang sayang anakku.

"Kan saya bilang, Bumi maunya sama yang ganteng, Bu." Bu Helena mencebik lucu mendengar penuturan sopan Garda. "Kawin gampang, Bu. Nikah dulu. Jodoh aja masih tak tau di mana rimbanya."

"Belum punya pacar?"

"Belum." Dia menggeleng, menatap Bu Helena lagi.

"Saya kenalin anak temen saya, mau? Kemaren Luke nggak mau. Ah, Luke nggak pernah mau sama siapapun yang saya tawarin. Bening-bening pisan padahal pilihan saya."

"Oh ya? Why so?"

"Dia milih sendiri." Sekilas, Bu Helena melirikku dan cepat-cepat berbalik pada Garda. "Seleranya sendiri. Saya sih asal dia bahagia." Jleb. Memangnya kapan aku pernah membahagiakan dokter McFord? "Anyway, what's your type?"

"My type?" Garda mengerjap memastikan.

"Yes. Yang rambut panjang, pendek, langsing, berisi, yang cerewet, atau kalem… yang anak rumahan atau anak nongkrong depan gang..." Dari cara Bu Helena berpromosi, sepertinya sudah satu kodi perempuan beliau ajukan pada dokter McFord.

Garda tersenyum saat mengatakan, "Misalnya ada lagi, saya mau yang persis dengan pilihan Luke, Bu."

What?

Hanya perasaanku saja, atau sesaat tadi manik tunggal Garda mengerlingku. Tidak tahu. Tidak mau tahu. Aku bangkit, pamit ke dapur untuk minum, membawa berbagai rasa berkecamuk di dada.

Garda menyukai—ah, tidak. Mengapa aku? Mengapa aku kepikiran?

Aku menggeleng kuat, menepis semua 'mungkin' yang menyergap benakku.

Ada doktef McFord di meja makan, menyesap secangkir kopinya dengan wajah ditekuk dalam. Setelah mengambil segelas air dingin dari dispenser, aku menempati kursi di sisinya.

"Dok."

"How was it?"

"Hmm?" Aku mengernyit tak yakin, padahal ingin bertanya duluan.

"UAS bahasanya. Bisa?"

Aku meneguk beberapa kali sebelum akhirnya menjawab, "Dunno."

Alisnya naik sebelah. "Nggak tau kenapa senyum?"

"Memang nggak tau. Kan belum dibagiin hasilnya," dan senyumku ini tidak ada hubungannya dengan UAS. Aku sekadar bahagia berlebihan di dekat hangatmu, Dok. "Tadi sih saya jawab semua. Dan saya pede. Tapi hasilnya terserah Bu Iriana."

Puncak kepalaku ditepuk-tepuk. Kami saling mengait pandang dalam. Tepukan yang sama, pandangan yang sama dengan yang dilakukannya di parkiran kampus. Aksi naluriah yang tanpa kami sadari mengundang perhatian teman-temanku.

Setelah dokter McFord melepaskan tangannya, kami menggamit dan menekuri minuman masing-masing dalam atmosfer kikuk. Takut-takut, kulirik dia, yang ternyata ekor matanya juga melirikku.

Kami terkesiap dan menatap gelas lagi. Dan terulang lagi. Aku mencuri segaris lirik, begitu pun dia, dan seperti orang dungu kami kembali pada gelas pengalihan.

Ya, gitu terus sampai uangnya Bu Dendy habis dihamburin.

"Mel, kalo OSCE dan UAB nggak susulan, gimana? Ikut sesuai jadwal." Kali ini dokter McFord memandangku dalam mode dosen, maka aku menyimak dengan mode mahasiswa. "Kamu pulih lebih cepat dari perkiraan. Kamu bisa UAS bahasa hari ini. Kalo kamu bisa UAB minggu depan, dan OSCE minggu depannya lagi, kamu nggak perlu susulan. Which means…"

"Which means… saya bisa liburan lebih panjang." Aku memutar bola mata, disertai senyum merekah. "Tanpa terpotong UAB dan OSCE susulan. Gitu kan?"

Dokter McFord menyesap kopinya lagi. "Ya. Asal kamu sudah benar sehat dan bisa ikut ujiannya."

Aku mengangguk mantap. Ini artinya aku harus menyelesaikan esai untuk syarat ujian, secepatnya. Aku harus bergadang extra. Semangat belajar mendidih meletup dari arteriku. Demi liburan yang lebih panjang.

"Siap!" Kuangkat tangan hormat di dahi. "Dokter liburan ini ke mana? Nggak pulang kayak Elia?"

Dia menggeleng, diiringi tawa sumbang. "Dosen, apalagi dokter, nggak kenal liburan. Tapi sesekali aku pulang ke rumah Mom. Have you decided, liburan sama Elia ke rumahnya, atau ikut aku ke rumah sama Mom?"

Duh. Aku mengusap tengkuk dan meringis. Harus banget nih memilih?

"Enaknya kemana, Dok?"

"Ke rumah Elia," dia menjawab langsung. "Lebih aman."

Aku mengerjap. "Kok gitu? Emang di rumah Dokter bahaya?"

Selanjutnya, jemarinya menyisir anak rambutku di balik telinga. Dia mendekat, terdengar suara saliva diteguk. Dia berbisik hingga lirihnya menggelitik sekujur saraf perabaku.

"Serumah sama kamu, aku takut khilaf. I might unleash the hidden beast inside of me, and it's too dangerous."

Okeee... sebaiknya rumah Elia.



-BERSAMBUNG-


Malang, 28 Maret 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top