26 Sapi Perah

🌟

HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT

Chapter 24 BOOM

🌟

Rahangku menganga lepas. Kemudian mengatup lagi. Tak bisa mencerna banyak hal bersamaan, kulirik sekilas Garda yang bangkit mengikutiku.

Kukatakan sekali dengan tegas, "Pulang. Sekarang."

Aku berbalik masuk ke rumah. Setelah memastikan tangan menggigilku berhasil mengunci pintu, punggungku menabrak daun pintu. Kakiku lumpuh. Seluruh berat tubuhku berpusat ke bawah, aku memerosot bersimpuh. Jahit episiotomiku yang belum kering membentur lantai. Perih.

Aku memejam keras. Tanganku bergerak sendiri, memukuli dada yang sisa kembang api tahun barunya masih meledak hebat di dalam. Bukan hanya karena peluk Garda, atau cium yang tiba-tiba, lebih-lebih ini karena…

Kujambaki rambut frustasi.

… dia sudah pulang. Sejak kapan dia di situ? Seberapa banyak yang dilihatnya?

"Ada apa Mbak? Kok mukanya serem?"

Kuberi isyarat untuk diam pada Mbak Yana dengan mendekatkan telunjuk pada gigiku yang masih gemeratak. Aku menghimpun kekuatan untuk berdiri, mencium sekilas Bumi yang dipeluknya, kemudian mendekati jendela. Mengintip pemandangan di luar dari balik tirai.

Kelimpungan kubuka pintu, jempalitan keluar sebelum dokter McFord membunuh Garda dengan hantaman berikutnya, atau Surat Izin Praktik-nya terancam dicabut dengan tidak terhormat.

***

"Mas Luuuke aku padamu, Mas!!!" Bulat-bulat cokelat berbentuk unta itu dimasukkan semua ke mulut Elia, baru terkunyah separuh dia menoleh ringan padaku. "Maksudnya makasih Mel. Bukan aku naksir Mas Luke ya. Ogah. Jangan salah tafsir."

Aku mengibas malas. "Nggak ada yang nafsirin apa-apa juga."

Kututup laptop, menyudahi panduan pemilihan pemeriksaan laboratorium. Cokelat unta di kotak karton sudah habis separuhnya oleh Elia sendiri. Padahal tadi ada sekitar 30 unta dari Dubai di kotak itu, oleh-oleh untuk dibagi dua dengan Elia.

"Umpetin cokelatnya, Mel. Aku takut khilaf."

Takut khilaf katanya, tapi dia sekarang membuka kotak karton kedua berisi kurma manisan. Kurma itu diiming-imingi di depan hidung Bumi yang cuek bebek (mungkin dalam batinnya 'Babon betina ini ngapain?') lantas dilahap bulat-bulat buah khas timur tengah itu.

Aku menggeleng takjub. Jam 11 malam, sepasang mata Bumi semakin benderang. Begitu juga Elia, yang tadinya babak-belur dihajar kuliah marathon, sekarang mendadak sehat karena cokelat dan kurma oleh-oleh dokter McFord. Bu Helena sudah tidur kelelahan setelah acara dharmawanita.

Sedangkan aku memang nightcrawler. Tidur larut sudah kebiasaan burukku. Apalagi bayang-bayang wajah bengis dokter McFord, ditambah darah mengalir dari sudut bibir Garda yang robek, membuat mataku semakin enggan memejam.

Mata nyalang itu. Samudera mengilat merah itu. Jelas dia bukan Lucas McFord yang kukenal.

"Li."

"Hmm?"

"Kamu udah kenal lama sama Dokter kan?"

Kali ini Elia melirikku sekilas. Kemudian menjawab sambil merangsang jemari Bumi untuk menggenggam kelingkingnya.

"Barengan aku kenal Ezra," jawabnya lugas. "Tapi Mas Luke langsung kuliah di US, jadi jarang banget ketemu. Baru ketemu 4 tahun belakangan pas Mas ngelanjutin pendidikan spesialisnya di sini, trus jadi spesialis."

"Dokter selama ini orangnya gimana?"

"Kan kamu lebih deket Mel," Dia tertawa tertahan. "Aku kenal sebatas dia abangnya Ezra aja."

"Tapi kamu kenal lebih lama Li."

"Mas Luke yaa…" Dia melahap sebutir kurma lagi. "Menurutku baek-baek aja sih. Nggak neko-neko. Pinter. Kalem. Nurut sama Mom sama Dad. Nggak nakalan kayak Ezra. Itu aku tau bagus-bagusnya aja lho, nggak tau juga kalo dalemnya Mas Luke bandar JAV, demen ikeh ikeh kimochi."

Alisku mengerut. "JAV? Ikeh ikeh kimochi?"

"Japanese Adult Video," desisnya, disertai memelotot gemas. "Kamu bodo ato gimana sih Mel? Punya geng namanya Sora Aoi, mbok pikir Sora Aoi siapa kalo bukan pemain senior JAV? Ikeh ikeh kimochi, yah, isinya JAV itu."

Aku mengulum lidah. Lagi-lagi ketidaktahuanku tentang Sora Aoi dijadikan bahan hinaan. Aku sudah tahu Sora Aoi. Aku hanya tidak pernah nonton filmnya, maaf saja.

Dan tidak mungkin dokter McFord-ku bandar JAV.

"Kalo seandainya," Aku menggigit gigir bawah. "Seandainya Dokter ngehajar orang?"

Elia tercenung sesaat. Kemudian tertawa pada Bumi.

"Dokter apaan tuh, Bum? Bukan nyembuhin malah nyakitin. Maen tarik otot bukan puter otak." Masih bersisa tawa di lidahnya, Elia menatapku lagi. "Yaa mungkin aja sih Mas Luke ngehajar orang. Tapi menurutku dia pasti mikir seribu kali dulu sebelum khilaf. Emang udah siap kalo orangnya nuntut trus SIP-nya Mas Luke dicabut?"

Itu juga yang kukhawatirkan.

"Ringgarda…"

"Garda kenapa, Dok?"

"Ringgarda… aku cemburu. Aku nggak suka. Dadaku sakit. Jangan temui dia lagi."

Percakapan kami tersebut setelah baku hantam berhasil kulerai sungguh janggal. Tidak, bukan baku hantam juga. Dokter ada di posisi algojo, menghujani Garda dengan bogem mentah. Garda, heranku, sama sekali tidak melawan. Tidak lari. Bahkan tidak melindungi wajah tampan kebanggaannya sama sekali. Seolah tubuhnya samsak yang sudah sepantasnya menerima setiap gempuran dokter McFord.

Kalau aku tidak keluar rumah, yang kutakutkan adalah dokter McFord semakin gelap mata. Garda langsung kusuruh pulang, dan aku menghadapi dokter McFord. Dia tidak mungkin memukul perempuan kan? Apalagi yang dicintainya.

Lalu apa katanya? Cemburu? Nggak suka?

Katakanlah memang benar aku cinta pertamanya. Dia pemula. Dia impulsif soal cinta. Tetapi cemburu buta, ingin menghabisi orang yang dicemburui, memangnya siapa dia?

Kaum remaja sumbu pendek?

Kemana hilangnya pria yang kemarin mengatakan bahwa cinta tidak seharusnya membuat seseorang jadi jahat?

Demi Tuhan, dia berusia 26 tahun. Dan di luar fisik matangnya, di dalam dia masih remaja mencari jati diri? Apa kabarku nanti jika menikah dengannya, kemudian dia tidak sreg denganku yang memegang spatula saja tidak becus? Mau menghajarku juga? Mau kubuat viral di hadapan netizen dengan perkara KDRT?

Jangan macam-macam dengan netizen. Maha benar netizen dengan segala komentarnya.

Bagaimana kalau aku hanya menduga?

Seperti Elia, Garda lebih dulu mengenal doktee McFord daripada aku. Bagaimana kalau dokter McFord bukan semata cemburu buta; ada kejadian di antara mereka, yang tidak kutahu, yang membuatnya lupa diri dan kehilangan kontrol emosi. Dan kepal tangan.

Tapi apa?

Maksudku, kalau memang tidak ada benang merahnya denganku, silakan saja andai dokter McFord mau menguburnya dariku. Cukup berkata 'bukan urusanmu' dan aku pasti angkat tangan. Mengapa harus ada 'cemburu' dan 'nggak suka', bahkan bersikap posesif dengan melarangku bertemu Garda?

Seandainya itu bukan cemburu. Seandainya memang ada yang harus disembunyikan dariku. Seandainya aku mengetahuinya, sesuatu yang buruk terjadi.

Seandainya. Apa saja kemungkinan kalimat yang seharusnya dokter McFord katakan tadi?

1. "Ringgarda… bukan manusia,"

Jadi apa? Goblin? Goblinnya baik apa iya harus dijauhi?

2. "Ringgarda… juru kunci gunung Kelud. Itulah kenapa dia bisa sulap. Bumi mau dilempar ke kawah untuk persembahan."

Aku mencengkram lengan Bumi. Lagu Cublak Cublak Suweng Elia berhenti, begitu pula jemarinya yang tadi berjinjit di perut Bumi. Lantas mata bulatnya mendelik padaku. Merasa bodoh, kulepas kikuk lengan anakku.

Dipikir-pikir lagi, bayi untuk persembahan harus bayi suci hasil pernikahan. Sementara Bumi jelas bukan.

3. "Ringgarda… adalah kakak kandungmu."

Seperti sinetron. Tetapi justru alhamdulillah. Itu adalah kabar baik dalam 16 tahun terakhirku sebagai kakak, dari adik cowok terqutuq yang otaknya di bawah udel. Aku bisa merasakan jadi adik perempuan manis yang bermanja-manja pada abang lelakinya.

Fantasiku dibuyarkan oleh rengekan Bumi yang awalnya sedang, tak lama kemudian mengguncang. Kuraih malaikatku dalam peluk untuk menenangkannya. Seperti sudah kebiasaan, aku membuka tiga kancing teratasku. Kepala Bumi berputar gelisah, sebelum akhirnya mulut kuncup itu menemukan sumber energinya di dadaku.

Elia membantuku membenahi posisi duduk. Ya, payahnya aku adalah belum bisa menyusui sambil tidur. Aku harus duduk tegak, dengan tubuh Bumi ditopang bantal di pangkuanku.

Kutatap anakku tak mengedip. Lebih lama. Lebih dalam. Lebih liar. Bagaimana kalau…

4. "Ringgarda... adalah ayahnya—"

Tidak mungkin.

Atau malah…

5. "Ringgarda… tahu bahwa aku adalah ayahnya Bu—"

Tidak.

Tidak.

TIDAK.

12:05 AM, kata angka digital di ponsel. Pantas aku mulai hilang akal. Antara jam 12 malam dan jam 1 pagi adalah transisiku dari jam waras ke jam edan. Harus kupastikan dua pria yang menggerayangi pikiranku ini masih baik-baik saja, semata demi ketenangan batinku sendiri.

Mel
r u alright?

Kukirim kepada mereka berdua. Yang satu segera membalas.

Garda
I am, r u?
fotonya bagus, makasih mpus. Aku sudah cocok jadi papanya Bumi?

Mel
no comment :)
makasih juga untuk semuanya hr ini

Yang satu lagi hanya di read. Belum tidur namun enggan membalas. Dadaku sesak, membendung kecemasan.

***

Pagi ini ada yang tidak biasa. Dunia berotasi lebih kencang dari seharusnya. Aku tidak bisa bangun dari ranjang. Duduk pun tidak.

Sesuatu menghimpit dadaku. Menindas. Menyesakkan. Memberatkan sehingga aku tidak bisa apapun kecuali berbaring. Mataku berkunang. Keringat sebesar biji jagung mengaliri pelipisku, walau aku menggigil di bawah selimut tebal dan gigiku bergemeletuk.

Bumi?

Dia menangis hebat sudah 30 menit dalam peluk Mbak Yana. Seolah lupa ingatan bahwa aku telah menjadi ibunya selama lebih dari 9 bulan, pagi ini dia menolak menyusu.

Segenap tenaga kukerahkan, akhirnya aku duduk bersandar lunglai di kepala ranjang. Kuminta Mbak Yana meletakkan Bumi di pangkuanku, mencoba menyusui lagi. Hasilnya sama. Payudara kanan maupun kiri, keduanya ditolak dengan jerit memekik dan hentak kuat kepalanya.

Pelupukku menutup separuh. Payudaraku mengeras, membatu hingga saraf perasaku mati terjepit sesaknya. Kesadaranku berangsur menurun.

Penyakit apalagi ini?

Mbak Yana berjengit setelah menyentuh permukaan keningku, lantas berlari keluar kamar. Cucur air mataku sudah menyatu dengan simbah peluh. Tenggorokanku gersang retak. Satu-satunya yang mempertahankan kesadaranku adalah Bumi. Tangis menggemanya, geleng kepalanya, dan tendangan kakinya.

Mbak Yana datang lagi dengan seseorang. Seorang dokter dari seberang rumah yang tanpa permisi langsung meraba-raba tubuh atasku. Termasuk area dadaku yang bra-nya sudah tidak sempat, dan tak mampu kututup kembali walau ingin sekali.

Bumi yang berkecamuk pun dirabanya juga.

Dia beranjak dan keluar kamar diikuti Mbak Yana. Selang beberapa saat, Mbak Yana sudah bersamaku lagi. Bumi yang masih mengamuk dipindahkan ke ranjang bersisian denganku. Dengan handuk kecil hangat yang sudah diperas dari baskom, Mbak Yana menyapu keringat dan air mataku.

"Sebentar ya Mbak, lagi dicariin obat sama Mas Luke."

Aku hanya tertunduk kemudian mengangguk.

Mbak Yana mengompres handuk hangat itu di dadaku yang tadi dijelajahi jemari dokter McFord. Tentu saja hal itu dilakukan untuk pemeriksaan. Tetapi serasa keperawananku dilucuti untuk kedua kalinya, dan lagi-lagi aku pasrah tanpa daya untuk melawan. Déjà vu.

***

Pertolongan pertama kompres handuk hangat mulai menunjukkan hasil. Bongkah batu di dadaku mulai melunak. Batu itu, sepertinya adalah gumpalan ASI. Cairan putih pekat itu keluar lagi, awalnya setetes, kemudian merembes. Tak perlu lama sebelum akhirnya ASI memancar. Mengucur deras, jatuh bebas seperti air dari keran.

Belingsatan kujejalkan handuk kompres ke tanggul bendungan dada yang nyaris jebol. Aroma manis susu menyeruak. Aku hilang kendali atas ASIku. Demi Tuhan, inilah hal paling menjijikkan nomor 2 yang pernah terjadi padaku.

Mbak Yana tersenyum lega bercampur lelah.

"Gapapa Mbak, jangan malu. Sama-sama cewek ini." Dia mengangsurkan handuk bersih lain untuk membekap dadaku. "Tadi dokter Luke udah nanya sama temennya, spesialis menyusui… aduh saya lupa istilahnya apa tadi. Katanya disuruh kompres air hangat dulu, sambil nunggu dicariin obat. Kalo dadanya udah enakan, ASInya sudah bisa keluar lagi, pelan-pelan diminumin ke Bumi."

Aku mengangguk paham, dan sekali lagi Bumi yang tertidur diletakkan di pangkuanku. Keningnya berkerut tidak senang karena lebih dari 3 jam belum mendapat ASI. Setelah pipi lumernya menyentuh dadaku, hidungnya mengendus, tanpa mau repot membuka mata secara otomatis mulutnya menyesap sumber ASI.

Aku dan Mbak Yana menghela panjang. Desir darahku berangsur kembali normal.

Alhamdulillah… akhirnya.

***

"Mbak, maaf ya saya bangunin,"

Aku mengerjap tiga kali. Celingukan setelahnya. Aku tertidur dalam posisi duduk bersandar. Bumi sudah tidak menyusu, sebagai gantinya dia menjejak gesit di perutku tanpa alasan. Kutoleh lagi Mbak Yana yang membangunkanku, sambil merapatkan handuk.

Percaya tidak percaya, ASIku masih mengucur seperti keran. Handuk sudah becek. Menjalar ke selimut dan seprai.

Sebenarnya apa aku ini? Sapi perah???

"Iya Mbak, nggak papa. Ada apa?"

"Ini Mbak." Perempuan 24 tahun itu duduk di sisiku, dengan kotak plastik besar, transparan, kedap udara. "Disuruh minum ini dulu sama Mas Dokter." Aku menerima satu kaplet paracetamol 500mg. "Habis itu Mbak disuruh nyoba alat ini. Barusan udah disterilkan sama Masnya. Katanya petunjuk pemakaian ada di dalam."

Mbak Yana mengambil Bumi, yang ditukar dengan kotak itu. Aku membuka tutupnya, dan napasku langsung tersekat. Aku tahu alat ini, hanya selama ini belum pernah menggunakannya karena buat apa juga?

Breast pump, alias pompa ASI.

Rahangku jatuh ternganga. Darimana Dokter aneh itu memperoleh alat aneh ini?!

"Yaudah Mbak, saya bawa Bumi dulu ya. Mbak Mel cobain alatnya. Ntar hasilnya dimasukin kantong-kantong klip itu. Kata Masnya disuruh belajar nyetok ASI mulai sekarang, biar pas kuliah nanti nggak kelimpungan."

Stok ASI. Kapan aku pernah memikirkan itu?

"Dia mana? Udah pulang lagi?"

Mbak Yana meringis miring. "Lagi ngedapur Mbak. Nggak berani masuk sini lagi katanya, trauma saya suruh meriksa Mbak. Tadi aja saya seret paksa Mbak, habis Mbak udah sakaratul maut gitu saya kan nderedeg."

***

Pompa ASI yang dibawakan dokter McFord benar-benar berfaedah. Pasalnya pompa tersebut bisa diatur dalam mode manual atau elektrik. Mode manual, artinya tanganku aktif memompa tuas. Mode elektrik, artinya serahkan semua pekerjaan perah-memerah pada mesin.

Perah-memerah. Astaga. Kamu memang sapi perah, Mel.

Aku tak percaya baru saja mengeluarkan ASI dengan pompa ini, dengan mode manual, menghasilkan empat kantung penuh ASI. Satu kantung ASI berisi 200mL. Empat kantung ASI artinya 800mL.

Hampir satu liter. Diproduksi dari kedua dadaku. Pabrik susu ciptaan Tuhan sungguh tiada banding.

Sekarang lambungku menjerit minta diisi. Tapi sebelum itu kubersihkan sedikit diri, menyikat gigi, membasuh wajah, dan berganti pakaian dengan yang lebih kering.

Mandi? Hanya untuk orang jelek.

Nggak ding. Mandi itu menjaga kebersihan. Kebersihan sebagian dari iman. Nanti aku mandi juga, tapi sekarang asam lambungku meningkat drastis. Harus dinetralkan segera.

Bersama keempat kantung ASI aku keluar kamar, hidungku segera disergap aroma umami bercampur keju. Setelah menyimpan kantung ASI di freezer kulkas, aku mengintip tudung saji di meja makan yang jadi sumber godaan hidungku.

Seloyang besar lasagna panggang.

Aku mengatup mulut yang entah sejak kapan menganga, sebelum liurku menodai pasta kuning keemasan itu. Aku celingukan di dapur yang sepi. Ini boleh dimakan kan? Kokinya kemana?

Sepuluh menit berselang, aku sudah melahap seperempat dari isi loyang. Ditambah segelas besar (ukuran beer) susu cokelat UHT dingin dari kulkas. Belum pernah aku selapar dan sekenyang ini dalam satu hari, kecuali saat puasa di bulan Ramadhan.

"Enak Mbak?" Mbak Yana menyembul dari ambang pintu dapur kemudian mendekatiku. "Weleh habis seperapat. Enak banget kayaknya."

"Hehehe, khilaf Mbak." Aku mengangguk mantap dan mengacungkan jempol. "Khan maen sedapnya, Mbak. Ayo dimakan juga Mbak, biar nggak dikira saya yang rakus ngabisin seloyang."

"Yee Mbak Melati gimana? Memang Mas Dokter bikinin buat Mbak itu." Mbak Yana segera menempatkan diri di sampingku, mengambil piring dan sendok. "Tapi kalo Mbak butuh bantuan makan, saya maju paling depan. Kuy takis!"

Aku tergelak sesaat. Mbak Yana sama sekali tidak ingat dengan dietnya.

Setelah mencuci piring dan gelasku, aku mengambil Bumi di bouncer depan tv. Inginku memandikan si endut sebelum mentari semakin tinggi, tapi apa boleh buat dia tertidur. Kubawa Bumi ke kamar tamu, di mana kata Mbak Yana dokter McFord sedang tidur di situ.

Benar saja, dia begitu pulas di ranjang kingsize, tidak terbangun walau aku sudah duduk di sisinya bersama Bumi. Berbeda denganku yang lebih nyaman tidur dalam temaram, pria ini justru menyalakan lampu utama kamar yang disetel ke intensitas paling tinggi. Kalau kami menikah, aku tidak yakin kami bisa tidur di kamar yang sama.

Aku menapuki wajah dengan satu tangan. Menikah gundulmu, Mel!

Mataku yang nakal, tak putusnya menelusuri wajah lelah di sebelahku. Minyak wajah mengilat di batang hidung tegasnya. Ada sabit gelap tercetak di bawah matanya. Apa dia masih jetlag juga? Memangnya semalam tidak tidur?

Semalam, bukannya menyambut, aku malah memakinya. Bagaimana tidak, dia nyaris menghabisi Garda di depan mataku. Sekangen apapun, mana bisa aku memeluknya bahagia di tengah chaos seperti itu.

Jadi sekarang saja gantinya. Aku tersenyum, merunduk sedikit, mendekati paras letihnya di jarak intim. Kubisiki kalimat yang mestinya kusampaikan tadi malam.

"Welcome home, Luke."

Kemudian, impulsif mencicip satu ciuman dari bibirnya.

-BERSAMBUNG-


Malang, 25 Maret 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top