25 Papa Rumah Tangga

🌟

HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT

Chapter 25 Papa Rumah Tangga

🌟

Secara tertulis, surat izin yang dibuatkan dokter Zesta memberiku 5 hari untuk bed rest di rumah, terhitung mulai hari Senin kemarin. Kenyataan di lapangan—di rumah, tepatnya—tidak mungkin aku benar-benar bed rest, seharian menggelepar dengan Bumi di atas ranjang.

Tidak, aku tidak seperti itu.

Urat maluku sangat tebal apalagi ada Bu Helena di rumah ini. Ya, beliau merawatku seperti anak sendiri, astaga. Aku sampai dipijati sebelum tidur, katanya supaya untuk relaksasi dan memperlancar ASI. Beliau membantuku memandikan Bumi pagi-sore, pun beliaulah yang mengganti kasa tali pusat Bumi.

Aku hanya bisa berdecak kagum. Sebenarnya aku cukup bisa memandikan Bumi sendiri, yang sedikit menyita waktu adalah persiapannya. Mengisi air hangat di ember bayi, menata perlak untuk menyabuni Bumi di atas kasur karena yah, Bumi belum bisa duduk. Di atas kasur pula, handuk plus pakaian bayi dibeberkan. Otomatis kasurku penuh alat tempur mandi bayi, dan itu hanya untuk sekali mandi.

Fyuh. Sungguh lelah. Tapi menyerah bukan jalanku.

Dan kelihatannya, hari ini aku harus memandikan Bumi sendiri. Elia kuliah jam 7, dan kemungkinan sampai malam karena padatnya jadwal kuliah pengganti di penghujung semester. Bu Helena ada acara dharmawanita yang benar-benar tidak bisa ditinggal. Beliau berjanji untuk kembali paling lambat tengah hari, tidak mengikuti acara tersebut sampai selesai. Kemudian, semakin sungkan aku pada ibu satu ini.

Selesai menyusui Bumi, dia kuletakkan di bouncer hadiah Bu Helena. Berdua di rumah, semangatku membara untuk mengurus anak sendiri. Baru saja aku akan menyusun handuk dan pakaian di atas kasur, bel pagar rumah berbunyi.

Bu Helena atau Elia tidak mungkin membunyikan bel rumah sendiri.

Kupakai cardigan rajut menutupi piyama babydoll-ku demi kesopanan, lantas meraih Bumi. Setengah buru-buru, kubuka pintu rumah. Mulutku menganga karena pintu pagar sudah terbuka tanpa permisi, dan sebuah Audi merah darah berdiri kukuh di pelataran parkir.

Beberapa saat setelah mesin mobil dimatikan, Garda menyembul dari pintu pengemudi, dengan kacamata hitamnya. Tersenyum padaku, sambil membawa sebuah kotak karton pipih lebar yang diikat dengan tali rafia.

Aku mengatup mulut sebelum kemasukan lalat.

"Bumi udah bisa makan pizza belum?"

"Hish!" Aku mendelik lebar. Retoris sekali pertanyaan itu. "Darimana kamu tau rumah ini?!"

"Dari satpam depan lah. Tinggal tanya aja 'Dokter mata bule rumahnya blok mana ya, Mas? Saya mau main ke rumah temen, katanya rumahnya di seberang dokter mata bule' dan gue langsung diarahin ke blok 3A."

Sial. Pak Setya dan Mas Novanto.

"Lo baru bangun?"

"Belum tidur." Aku tertawa hambar.

"Lah ada ilernya gitu?"

Weleh. Kelabakan kuusap brutal sudut-sudut bibir dengan pundak cardigan, sebelum akhirnya Garda tertawa di balik kacamata hitamnya. Hidungku dicubit ringan.

"Becanda, bego."

"Ringgardaaaaa…"

"Berarti Bumi belum mandi?"

Aku menepuk dahi. Astagfirullah!

Tergesa-gesa aku masuk lagi ke kamar, meletakkan Bumi di bouncer, dan terperangah di depan pintu kamar mandi. Segera kumatikan air hangat dari keran yang sudah meluber dari ember.

Duh, Gusti. Maaf Bu Helena, dokter McFord, Ezra. Aku penyewa yang tidak tahu diri.

Dengan sangat terpaksa isi ember kukosongkan lebih dari separuhnya, sebab pusar Bumi tidak boleh terendam air. Aku keluar kamar mandi untuk mengambil Bumi, tetapi berjengit takjub karena Garda sudah di kamarku, berlutut di depan bouncer, menggerakkan sepasang lengan Bumi sambil menyanyi lagu senam lawas ibu-ibu PKK.

"Balenggang pata-pata, ngana pe goyang pica-pica, ngana pe booody poco-poco…"

Segera saja kuhampiri dia, berkacak pinggang, memelotot lebar. "Keluar. Jangan sembarangan masuk kamar cewek!" Lagipula memangnya aku sudah mempersilakan dia masuk rumah ini?!

Bukan menjawab, dia malah menggenapkan lagunya.

"Cuma ngana yang kita sayang, cuma ngana yang kita cinta, cuma nganaaa suka bikin—"

"GARDA!" Astaga, pelipisku mulai berkedut! "Punya kuping kan?! Punya sopan santun kan?! Aku belum ngijinin kamu masuk rumah—"

Krucuk.

Garda menghentikan dendangnya. Begitu pun teriakanku. Karena perutku menyela dengan erangan tak tahu malu. Aku memejam kuat. Sialaaan.

"Garda, please keluar. Aku capek. Aku laper. Aku mau mandiin—"

"Nggak, kamu yang keluar." Kebiasaan menyelanya memang sudah kronis. Dia merampas Bumi lantas berdiri, menyabung mata tunggalnya denganku. "Aku mandiin Bumi. Kamu sarapan."

Aku menganga. Melototku makin sadis. Tahu apa dia soal merawat bayi?

"Gak! Mana bisa kamu mandiin bayi?"

Aku bermaksud merebut Bumi, tapi Garda menjauhkan anakku. Tak diacuhkannya aku yang sudah menggeram saking emosi.

"Aku yang mandiin. Kamu makan, sekaligus awasi aku mandiin Bumi. Kalau menurut kamu aku salah sedikiiit aja, usir aku selamanya dari rumah ini."

***

Tentang memandikan bayi, sejujurnya aku abu-abu mana yang benar mana yang salah. Mana yang boleh mana yang tidak. Mana yang wajib, mana yang haram. Namun melihat anakku dimandikan Garda, menciptakan kotak baru di ruang hatiku untuk pria ini, berisi kepercayaan.

Mulutku tidak berhenti memamah American Favourite yang dibawa Garda. Pun mataku tidak berkedip. Garda berjongkok di sebelah ember, menopang si kecilku dengan satu lengan kekarnya, tangan yang lain bermain santai dengan air suam-suam kuku. Disiram ringan ke ubun-ubun Bumi, menyeka lipatan leher, ketiak, dan selangkang tanpa mengenai tali pusat yang belum kering itu.

"Cicak-cicak di dinding, diam-diam merayap. Datang seekor kucing… hap! Lalu di tangkap~"

Melakukan semuanya sambil tertawa renyah, disambut cipakan ringan kaki Bumi, Garda terlihat lebih professional daripada Suster Merita. Eyepatch bajak lautnya yang terkadang menimbulkan aura seram, tidak lagi seram setelah binar hangat berpendar dari mata tunggalnya.

"Eh salah deng lagunya, nyamuk, bukan kucing. Cicak nggak maem kucing," ralatnya pada Bumi, dengan logat unyu, selagi menggelitik telapak kaki mungil. "Tapi Bum, kamu ngerasa lagunya ambigu nggak sih? Tiba-tiba hap, lalu ditangkap? Emang yang ditangkap siapa, cicaknya atau yang datang-nya?"

Sayang sekali, kamera bawaan ponselku kualitasnya pas-pasan. Entah kameranya yang kurang bagus atau kemampuan videografiku saja yang parah. Beberapa kali fokusnya goyah saat Bumi melonjak atau Garda tertawa.

Yang direkam tiba-tiba menengadah, sadar kamera.

"Elah apaan sih, Mpus? Direkam segala."

Aku terkekeh pelan di depan display. "Ih ini precious tau. Besok kalo Bumi gede aku tunjukin, 'Nak, kamu dulu pernah dimandiin sama pesulap idola Mama lho'."

Wajahnya merona, bibirnya mencebik lucu, seraya lengannya mengangkat Bumi keluar kamar mandi. Kameraku masih mengekor pada Garda. "Terserah. Yang penting jangan diviralkan."

"Siap, Jendralku! Rahasia negara kita aman."

Senyum Garda semakin cerah ketika mengeringkan Bumi dengan handuk di atas ranjangku. Mengangaku semakin lebar karena sekarang dia mengutik kasa tali pusat Bumi.

"Jangan! Ntar siang aja tunggu—"

"Sssh." Ibu jari dan telunjuknya mencepit bibirku rapat. Begitu pula mata tunggalnya menusukku tajam. "Kalo lo masih berisik juga, gue cium."

Setengah hati, kutelan lagi omelanku. Mataku memipih, terasa ngilu ketika Garda mulai membuka balutan kasa yang menempel kering di kecambah itu. Namun dia mengelupas kasa itu dengan sangat hati-hati, dan meski sepasang tungkai Bumi menjejak gesit, anakku tidak terlihat kesakitan.

Selesai membungkus longgar tali pusat setengah kering itu, Garda cekatan mengoles minyak telon, Bumi bergoyang kegelian. Saat dipakaikan popok, baju dan celana, Bumi mengoceh bahasa bayi. Dan ketika Garda memakaikannya sarung tangan dan kaki, untuk pertama kalinya kusaksikan…

Anakku tertawa. Sekejap saja, untuk Garda.

Dia belum pernah tertawa untukku.

Garda membalas berupa gesekan ringan, kening dan kening dengan Bumi. Rekaman videoku berakhir di frame ini.

"Bum, Mama kamu ngowoh. Daritadi lupa mingkem."

Sontak aku mengatup rapat bibir. Sialan.

"Mama kamu itu lucu. Ajaib. Magical. Baru bangun tidur, ngiler, ngowoh, sehancur dan serusak apapun, dia masih cantik sekali."

Kalimat itu tidak asing. Tentu saja. Beberapa kali pujian semacam itu kudengar dari mulut lelaki. Tetapi ketika Garda yang mengucapkan, pelipisku berdenyut kencang. Sakit. Seperti aku tidak ingin mendengarnya lagi.

"Mpus?"

"Hah?" Aku mengerjap tak sadar. Garda sedang merapikan handuk, perlak, dan perintilan mandi bayi lainnya.

"Kamu masih pucet. Udah makan berapa slice? Makan lagi sana, sambil main sama Bumi."

"Oh. Satu," Aku menjawab kaku. Sekaku lenganku yang menahan lengannya. "Biarin, Gar. Aku yang beresin sisanya. Kamu aja main sama Bumi."

Alisnya melengkung sebelah. "Kamu ngeyel bener. Beneran minta dicium?"

"Gardaaa…" desahku lelah. "Gak gitu. Tapi kan ini—"

Sesaat. Hanya sesaat.

Garda menyapukan ibu jarinya di bibir bawahku, kemudian menjilat ringan jari hangat itu.

"Ada saus."

Hanya sesaat, tetapi listrik tegangan tinggi menyengatku dari ujung kaki ke ujung kepala. Ujung-ujung sarafku mati rasa. Apalagi, setelah kalimat selanjutnya.

"Kalo kamu masih ngeyel, selanjutnya bukan cuma jariku yang nyentuh bibir kamu."

***

Hangat percik air masih bersisa di kulitku. Hal yang pertama kulakukan tentu saja mengenakan pembalut khusus nifas. Hari keempat setelah persalinan, isi perutku masih melorot ambyar, bebas hambatan. Nyaris 24 jam amis darah tercium dariku, yang syukurlah tidak membuat Elia dan Bu Helena ilfeel. Garda pun tidak megap-megap di kamarku yang campuran minyak telon, manis ASI, dan anyir darah.

Semoga dokter McFord juga tidak terganggu dengan perubahanku. Pasalnya, ini perubahan yang condong lebih jelek kan? Harus kupersiapkan mental kalau tiba-tiba dia menjauh karena aku tidak lagi secantik yang dilihatnya selama ini.

Dih, Melati, ya amplang.

Gini banget ya kalau jatuh cinta? Ketar-ketir, khawatir, resah karena selalu ingin menampilkan yang terbaik di depan dia. Kalau kuingat lagi, aku memang selalu menampilkan yang terbaik untuk dokter McFord.

Aku meneguk ludah kasar.

Oh, tidak juga. Dia pernah semalaman menungguiku tidur, dan tidurku semrawut pula di rumah sakit. Dia pernah memelukku karena histeris di markas himpunan mahasiswa. Dan dia pernah kumuntahi. Demi Sempol, kumuntahi. Dada kukuh batanya kumuntahi campuran roti tawar dan susu yang membubur, belum sepenuhnya dicerna lambung. Aku ada fotonya, dikirimi Mbak Anggun.

Setelah berpakaian lengkap, aku senyum-senyum sendiri di depan layar jutaan pixel, memandang foto itu. Foto aib dunia-akhirat, yang kini meyakinkanku akan satu hal: dokter McFord benar menyayangiku.

Atau setidaknya, perkiraanku begitu. Kita lihat setelah dia kembali dari Dubai malam ini, apakah aku yang seperti ini masih tetap spesial di hatinya.

Ada pesan masuk dari Bu Helena, tertulis 15 menit yang lalu. Beliau mengirim salah satu pegawai salonnya untuk membantuku karena beliau sendiri belum bisa pulang.

Aku memijit pelipis. Sampai mengutus pegawai salonnya segala, Bu Helena benar-benar memikirkanku. Tapi ada Garda di sini, apa yang harus kukatakan pada beliau? Aku memasukkan lelaki selain putranya di rumah beliau?

Mel
Maaf merepotkan, Mom..

Pada akhirnya, itu saja jawabanku.

Keluar dari kamar, aku tersenyum takjub tidak percaya. Bumi tidur begitu nyaman, diapit sandaran sofa dan tubuh Garda. Saking nyamannya, yang mengapit pun ketiduran. Entah bagaimana, Garda disaat tidur benar-benar sepolos bayi. Dia sebelas dua belas dengan Bumi

Aku tidak tahan untuk mengabadikan momen ini dan segera mengirim hasilnya untuk Garda. Bisa kubayangkan wajah terkejutnya saat nanti melihat foto ini.

Garda masih bergeming saat kuangkat perlahan tubuh Bumi. Kubawa anakku masuk ke kamar, tanpa membangunkan Garda. Aku ingin tidur dengan Bumi.

***

"Mpus."

Pelupukku hanya bisa terbuka separuh. Kutemukan Garda di sebelahku, mencolek pipiku. Kontan aku beringsut menegak, dia menyingkir dari ranjangku.

"Ngapain kamu di sini?!"

"Itu rame ada yang ngetok-ngetok di luar, kayaknya temen-temen kamu. Bukan Joko dkk. Ntar kalo Incognito yang bukain pintu mereka serangan jantung."

Aku mengerutkan wajah, menepuk-nepuk pipi untuk memperoleh kesadaran seutuhnya. Teman? Ramai? Bukan geng Sora Aoi? Aku sudah memberitahu Circa dan Mbak Anggun tentang kelahiran anakku, tapi belum memberi alamat rumah ini.

Daripada bertanya sendiri, aku beranjak dari ranjang. Belum keluar kamar, pergelanganku ditahan kuat oleh Garda.

"Ganti baju dulu."

Hish, apasihmaunya. "Ini baru ganti tadi abis mandi."

"Kulit lo mati rasa ato ketebelan daki sih? ASI sendiri ngerembes gak sadar!"

Tanpa babibu lagi, kuseret rambut rimbun keunguannya ke kamar tamu, dan mengunci pintunya dari luar.

***

"Maaf Mbak, Mas, seadanya aja."

Satu-persatu kubuka kaleng biskuit yang dibawa Bu Helena di meja tamu. Aku kebingungan harus menyuguhkan apa untuk Circa, Mbak Anggun, Mbak Dona, dan Mas Diandra yang siang ini bertandang ke rumah. Tidak kusangka akan ada yang datang untuk membesukku, mengingat—yah—Bumi bukan hasil pernikahan.

"Ngerti rumah sini darimana, Mbak?" tanyaku.

"Dari Elia." Circa yang menjawab. "Lagi ada tamu ya? Itu Audi keluaran terbaru di depan punya siapa?"

Matek.

"Oh." Aku menyelip rambut yang acakadut di belakang telinga, tersenyum rikuh. "Tetangga sebelah titip mobil. Tadi parkirannya penuh, sekarang belum diambil lagi."

Udah jago ya kamu Mel. Ngibul aja terus.

Circa hanya ber-ooh. "Eh mana dedeknya, keluarin dong. Kata Eli kayak kudanil?"

Aku bersumpah akan melempar jumroh pada Elia sepulang dia kuliah nanti.

Supaya tidak membangunkan Bumi, keempatnya kuajak ke kamarku untuk melihat sendiri malaikat gembilku. Hanya Mas Diandra yang menolak demi sopan santun; bagaimana pun, kamarku adalah kamar perempuan. Sesekali kulirik kamar tamu yang tertutup tenang, sepertinya tidak ada masalah dengan Garda di dalamnya.

"Ya Allah guempal tenan." Mbak Dona berdecak tertahan, duduk di samping Bumi. "Pantes jare kudanil. Berapa kilo, Mel?"

Semua menganga waktu kubilang berat lahir Bumi 4.5 kilo. Dan tentu saja aku kebanjiran pertanyaan tentang proses partus yang luar biasa itu. Persis seperti Elia dan Sandra, Circa dan dua seniorku juga meringis ngeri. Aku hanya bisa tertawa mengingat masa-masa susah itu. Oh, bukan, perjuanganku baru dimulai sekarang.

Titik awal perjuanganku sebagai ibu seutuhnya.

Pembicaraan terinterupsi dengan munculnya Mas Diandra di ambang pintu kamarku, menunjuk muka rumah dengan ibu jarinya.

"Eh sori, Mel. Ada yang nyariin. Mbak-mbak, katanya pegawainya… Bu Helena?"

***

Sudah hampir satu jam Bumi menempel di dadaku, bergantian menyesap dada kanan dan kiri. Sedikit terbesit pikiran bahwa mungkin Bumi tidak puas dengan ASIku, entah terlalu sedikit atau rasanya tidak enak, namun segera kutepis jauh-jauh. Bu Helena bilang, menyusui harus percaya diri. Percaya bahwa Bumi hanya ingin ASI dariku, dan percaya bahwa hanya akulah yang paling mampu memenuhi kebutuhan Bumi.

Tidak ada jalan memutar untukku. Aku wajib bermental baja setelah memutuskan untuk mengasuh anak ini. Bumi membutuhkan ibu yang kuat menopangnya. Bukan ibu yang lembek, bukan ibu cengeng, bukan ibu yang manja.

Pintu kamarku diketuk bersamaan dengan terdengarnya suara, "Mbak Mel, saya masuk ya."

"Iya Mbak, masuk aja," sahutku segera. Aku membenahi posisi duduk, memantapkan kembali dekapan Bumi.

Perempuan berambut shaggy sepundak itu menyembul dari balik pintu seraya tersenyum, lantas menutup kembali pintu perlahan. Dia menghampiriku di ranjang, dengan geleng takjub.

"Lah, lama bener mimiknya si Bumi daritadi nggak selesai-selesai. Ini ada sempol, tadi Ibu minta saya belikan untuk Mbak Melati."

Mataku membulat begitu dengar sempol.

Berhubung sempolnya banyaaak banget, aku memutuskan untuk bagi-bagi dengan Mbak Yana. Tapi Mbak Yana menolak halus dan justru memberiku pijatan untuk memperlancar ASI. Seketika dadaku dipenuhi rasa hangat yang kian merambat.

Tuhan, aku memang rusak.

Tetapi terima kasih atas orang-orang ini: mereka yang tetap tinggal meski serusak apapun Melati. Mereka yang nggak memandangku sebelah mata dan masih memanusiakanku. Mereka yang membuatku percaya bahwa aku masih pantas berharap.

Dan sekarang, aku paham benar apa tujuan utama hidupku: Bumi.

Kemudian Bumi melepas bibir kuncupnya dari dadaku. Sepasang matanya membulat sempurna, aku tahu pandangan bayi berusia 4 hari adalah kabut pekat, tetapi aku yakin. Dia tahu aku ibunya.

Kucium dalam, lama, kening malaikat kecilku. Satu-satunya hal yang secara sah dapat kuakui sebagai "kepunyaan"ku.

Sempol masih tersisa sepuluh tusuk dan Bumi kutitipkan pada Mbak Yana, sedangkan aku mengambil gunting, lantas keluar kamar. Ada bongkah besar menyumbat dadaku setelah kedatangan Circa tadi siang. Selain membawa kado yang belum kubuka isinya, dia membawa sebuah tas kertas lain. Tas itu berisi panciku yang dulu dipinjam Circa, dan kain itu.

Kemeja si bangsat itu.

Circa, si bodoh itu, mengira itu milik dokter McFord yang dia pikir adalah kekasihku. Hah, kekasih. Siapa butuh kekasih kalau sekarang aku punya Bumi.

Kusambar kain terkutuk itu, keluar rumah bersama gunting yang kugenggam hingga tulangku bergemeratak. Benda ini harus musnah demi kesehatan mentalku, demi masa depanku, demi Bumi-ku. Di teras rumah, asap tembakau menyergapku tanpa ampun.

"Kamu belum pulang?!" makiku setengah menggeram, gemas dan takjub bercampur aduk.

Jam 8 malam. Dengan ini, genap dua belas jam Garda berada di rumah ini. Aku sudah menyuruhnya pergi setelah Circa dkk pulang dan Mbak Yana datang. Tak mengacuhkanku, dia malah mencuci habis semua pakaianku dan Bumi yang menumpuk tinggi. Sekarang dia lenggang kangkung di depan rumahku…

"Belum. Portal depan tutup jam 1o—"

… sambil menyesap merokok.

Kusambar batang tembakau yang masih membara separuhnya itu. Gunting kusingkirkan di meja. Kuulurkan tangan pada Garda.

"Pinjam korek."

"Mau ngapain?"

Kugunakan intonasi menuntut. "Pinjam. Sekarang." Kemudian pemantik gas hitam bercorak kobra telah berada di genggamku.

Di jalan setapak dari paving, kubentangkan kemeja itu. Asap masih menari gemulai dari pucuk rokok Garda. Asap itu menyebar ke berbagai arah setelah kugasakkan ujung rokok tersebut ke bagian dada kemeja.

Ini, untuk membuatku menenggak alkohol haram itu.

Bersamaan dengan kuangkat puntung itu, napas yang sejak tadi terjerat akhirnya kelepaskan. Pun, air mataku yang merembes di sela bulu mata. Masih banyak ruang di kemeja ini yang harus kulubangi. Tidak cukup sakit dibandingkan lubang hatiku yang bahkan nanahnya telah mengering.

Kusumat lagi ujung rokok dengan pemantik Garda. Kujejalkan baranya di bagian dada lain. Dan bagian lain. Dan lain. Dan lain.

Ini, untuk menggodaku dengan berdansa.

Ini, untuk mencuri ciuman pertamaku.

Ini, untuk membawaku ke kamar hotel.

Ini, untuk melucuti pakaianku.

Ini, untuk setiap cumbu cabulnya di tubuhku.

Ini, untuk menerobos selaput berhargaku demi hasrat satu malam.

Ini, untuk menginjeksi rahimku dengan milyaran sperma aktif.

"Melati!"

Guncang tubuhku tak membuatku lemah untuk menepis lengan Garda. Aku memantik api untuk terakhir kalinya. Tidak untuk menyulut rokok, tetapi pakaian lelaki yang telah berlubang di beberapa titik.

Pelan, lambat, tetapi akhirnya sang bara merah mengambil kuasa atas kain itu. Garda meraih pematiknya, kemudian kupasrahkan tubuhku limbung direngkuh sepasang lengan eratnya. Aroma tembakau keras dari kausnya merajam hidungku.

Dan itu, untuk mencampakkanku dan Bumi.

***

Tidak pasti berapa lama Garda memelukku terduduk di paving ini. Yang jelas air mataku telah mengering terserap kausnya, walau masih tersisa getar isak dari bibirku. Garda mengendurkan peluknya, iris pekat kopinya berkilat memunggungi sinar bulan.

Dia menunjukkan sepasang telapaknya yang mengungkung, lalu dibuka perlahan. Seekor serangga mungil membentangkan sayapnya, dan sebelum makhluk itu terbang, cahaya hijau kekuningan berpendar dari tubuhnya.

Aku menengadah, mengikuti perginya kerlip hijau yang membumbung tinggi, berbaur dengan trilyunan bintang di angkasa vakum.

"Di Malang sekarang, kunang-kunang udah nyaris punah. Dulu waktu aku kecil, sawah di mana-mana, hampir setiap malam ada kunang-kunang masuk rumah."

Mataku kembali pada Garda, dan pandang kami terkunci.

"Aku baru ini lihat kunang-kunang."

Dia setengah membelalak. "Serius? Di tempatmu nggak ada kunang-kunang?"

Aku menggeleng pelan. "Nggak ada. Kampung aku dominasi industri tambang. Papa aku salah satu karyawannya."

"Kalo gitu," Kelingking kanannya terulur di depan hidungku. "Suatu hari kita ke tempat yang banyak kunang-kunangnya. Berdua. Ah, bertiga sama Bumi."

Aku menyimpul senyum. Secara refleks mengaitkan kelingkingku. Kemudian sebuah kecup dingin mendarat di pipi tanpa seizinku.

"Kamu nggak akan menghadapi semuanya sendiri. Aku ada bersama kamu."

Alarm bawah sadarku menjerit. Aku terhenyak.

Kakiku sontak menegak dan belingsatan bangkit dari tempat. Tanganku meremas dada. Ada debar yang tidak biasa, gelisah, ketika Garda menciumku. Tanganku meremas wajah. Angin malam dingin menggigit tulang, tetapi pipiku menghangat. Serangan panas meletupi telingaku yang tadi dibisikinya.

Dari sela jemari, terlihat siluet beberapa meter di depan. Seseorang selain Garda. Tanganku melorot dari wajah yang mendadak mati rasa.

Dia sudah pulang.

-BERSAMBUNG-

Malang, Maret 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top