23 Mom
🌟
HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT
Chapter 23 Mom
🌟
Begitu lumpuhnya aku hingga mengangkat pelupuk saja kesulitan. Ada desak repetitif di bawah, bukan desak ke luar, melainkan ke dalam. Tubuhku berguncang menerima serangan bertubi-tubi yang sangat masif. Kesadaran jiwa masih milikku, namun fisikku dikuasai sepenuhnya.
Oleh siapa?
Tidak tahu.
Kupusatkan energi ke otot pelupuk mata. Mataku terbuka sekilas kemudian menutup lagi. Hanya terjadi sekali, setelah itu tidak lagi. Hanya sekejap, berselimut kabut, tetapi kudapati siluet yang aneh.
Ada seseorang di atas tubuhku.
Orang itulah yang menggempurku di bawah, memasukiku tanpa permisi. Tanpa belas kasih, semakin ganas, dan puncaknya, dia meledakkan bom di dalamku. Bom berupa injeksi cairan yang hangatnya segera menjari ke sekujur tubuhku. Tulangku hampir remuk direngkuh orang ini. Kulit basahnya beradu licin dengan kulitku, tanpa dibatasi apapun. Napasnya memburu hebat, seolah telah berolahraga berat.
Aku dibombardir tanpa tahu apa, siapa, mengapa, bagaimana, di mana.
Aku menerima semuanya tanpa secuilpun dapat melawan.
Aroma jasmine tubuhku berbaur dengan citrus dan memenuhi rongga dadaku. Telah reda serangan di bawah, telah mengendur peluknya, namun belum berakhir di sini. Aku masih menerima panas dari dadanya.
Daun telingaku mendapat gigit serta bisik lembut.
"You're bleeding. Ini pertama kalimu?"
Pertama kaliku apa?
Sesuatu yang lembut mengunci bibirku rapat. Hembus napas kami saling menggelitik, semakin intens kami beradu, memicu percik listrik di seluruh arteriku. Setelah satu gigitan di bibir bawahku, dia berbisik lagi.
"Lucunya, sehancur dan serusak ini, kamu masih cantik sekali."
Aku hancur dan rusak kenapa?
"Kamu nggak akan hamil. Relax, just enjoy it."
Sakit tapi nikmat, ini memang kontradiksi. Tapi hamil? Apa yang dia perbuat pada tubuhku sehingga dia berpikir aku akan hamil?
***
Ada banyak kejadian yang harus kucerna bersamaan ketika membuka mata. Dadaku yang bergemuruh, naik-turun tidak karuan, mulut terbuka demi sehirup oksigen yang mendadak langka. Kerongkongan yang gersang dan retak. Saraf sepasang tangan dan kakiku mati rasa. Yang lebih buruk, seluruh organ perutku runtuh, meluruh bersih dari rongganya, tersisa hanya tulang-belulang yang telah remuk dipatahkan bersamaan.
Kemudian, bayang samar wajah Elia dan Sandra, mereka mengatakan sesuatu. Pipiku ditepuk berkali-kali, sebelum bayang mereka menjadi visualisasi yang utuh, dan aku sadar bahwa mereka meneriakkan namaku.
"MELATI!"
Aku hanya sanggup mengerjap.
Sesuatu diselipkan Sandra di sela bibirku. Sedotan, yang segera kusesap, air mengisi celah retak kerongkonganku. Setelah sedotan kulepas, suaraku kembali.
"Mana…?"
Sepuluh jemariku masih diremas Elia dan Sandra. Kini jelas kulihat wajah sembab mereka, tersenyum merekah padaku.
"Lagi dibersihin susternya!" Elia menahan diri untuk tidak menjerit. "Selesai, Mel. Kamu gila! Berasa aku yang mau lahiran!"
"Syiiitt!" Sandra mengacak puncak kepalaku. "Kamu yang brojol, kenapa aku sama Eli yang serangan jantung? Nih rasain kulitku berintik-berintik, merinding asli, nggak paham lagi ini kenapa!"
Saraf di ujung jemariku berfungsi ketika Sandra menggesekkan kulit lengannya. Sangat dingin dan kasar berbintik.
Keduanya masih tergagap di bilik bersalin dengan racauan membuncah tak terkendali, tentang apa yang mereka rasakan selama mendampingi persalinanku. Sejak awal mereka memang diam saja disergap gugup, kini setelah klimaks kulewati, mereka tak menahan diri lagi.
"Bangke, jadi parno mau hamil!"
"Lahirannya yang parno, San. Aku kalo sembelit ngeden sambil nangis, apalagi disuruh ngeden kek Melati tadi hadeh… gonjang-ganjing sekebon."
"Kita langsung sesar aja, Li. Praktis."
"Gak praktis juga lah. Perutku dibeleh, dodol."
"Elah, tinggal tambal sulam. Lagian dibius Li, nggak kerasa apa-apa. Daripada kek Melati barusan??"
Alisku berkerut. Memangnya barusan aku bagaimana?
"Heh bocah, nggak segampang itu," kudengar suara dokter Zesta dari bawah, tapi tidak kulihat sosoknya karena terhalang kain hijau. "Sesar itu enak di awal, sengsara di belakang. Kalau pervaginam seperti Melati barusan, memang mati-matian di awal, tapi enak di belakang."
"Enak di belakang gimana, Dok?"
"Sembuh jahitan episnya cepet. Rata-rata seminggu udah kering. Selama-lamanya palingan sebulan. Kalau jahitan sesar, jangan harap kering dalam sebulan. Berbulan-bulan, belum lagi banyak kasus jahitan yang infeksi. Bayangin aja tiap tarik napas, perut kalian sengkring-sengkring. Dan itu berbulan-bulan, bisa jadi bertahun-tahun malahan."
Bibir kedua temanku mengatup rapat, meneguk ludah, mengelus perut masing-masing. Aku sudah bisa tersenyum.
"Usahakan segala cara untuk pervaginam dulu, kalau sudah mentok karena komplikasi, baru sesar. Sesar itu opsi paling akhir yang harus dihindari."
Sandra mundur ketika seorang perawat datang, mendekap sosok merah berbalut handuk putih yang sempat mengisi rahimku. Dia ditelungkupkan di atas dadaku, dan saat itu juga aku mendapat tenagaku kembali. Aku memeluknya.
Dia anakku.
Dia anakku.
Dia anakku.
"Jumat, 15 Juni, jam 18.30. Laki-laki. Panjang 53, berat 4.5,"
Dia anakku.
Dia kecil. Dia merah. Dia memejam. Dia membuka dan menutup bibir mungilnya. Dia berambut selegam jelaga, selebat hutan hujan. Dia mengerutkan alis tipisnya. Dia berdetak sekencang derap kavaleri perang. Dia menyapu dadaku dengan napas masif.
Dia hidup.
Aku hidup.
Mama, Papa, Fikar…
Dokter...
Kami hidup.
***
Ketentuan ini tercantum di kartu asuransi kesehatan milikku. Sesuai kastaku yang hanya rakyat jelata, seharusnya aku menempati ruang perawatan kelas 1 berisi 2 pasien. Alih-alih ke ruang perawatan kelas 1, suster mendorong kursi rodaku ke ruang VVIP untuk 1 pasien, bahkan disediakan pula ranjang khusus untuk penunggu pasien. Ini bukan karena ruang perawatan kelas 1 sudah penuh.
"Disuruh Vero. Katanya potong dari gaji dia bulan ini."
Aku melengos. Sudah kutebak dokter Zesta akan berkata seperti itu.
Beliau tersenyum melihatku bisa berdiri sendiri dari kursi, dan berbaring di atas ranjang king size. Si mungil yang digendong dokter Zesta disejajarkan denganku di kanan. Aku diminta membuka setengah pakaian oleh suster, untuk diberi postpartum massage yang merupakan salah satu fasilitas ruang VVIP ini. Sekarang aku hanya berselimut jarik lebar nan tipis.
"Buat yang nunggu ada pijet juga nggak, Sus?" celetuk Sandra di sofa. Dasar, maunya.
"Ada, Mbak," jawab suster lugas, mulai mengoles baby oil di lenganku. "Tapi nambah bayar."
"Yaelah, mending nyalon sekalian."
"Udah San antri pijet sana." Elia asyik mengunyah kacang atomnya. "Ntar potong gaji Vero."
Aku mengulum lidah. Dasar mereka TTM, Teman Tukang Morotin. Alih-alih marah, dokter Zesta malah mendukung sepenuhnya saran Elia. Kalian bertiga terkamvret.
Setelah mengabadikan potret anakku, dokter Zesta segera berpamitan untuk menangani persalinan lain. Aku bertubi-tubi mengatakan "terima kasih" atas pertolongan beliau, tapi beliau hanya menggeleng dan tersenyum sebelum pergi.
"Bukan saya. Allah yang nolong, kebetulan aja saya jadi perantaranya."
Cih, apa-apaan itu? Padahal kalau tanpa sang perantara, pertolongan ini tidak akan sampai. Dialah obgyn-ku, seorang ibu yang gaul dan rendah hati. Semoga dia sehat selalu, sehingga kelak aku bisa membalas semua kebaikannya.
Lalu, kupandangi lekat makhluk lemah di sampingku. Adem sekali tidurnya berbalut selimut tebal rumah sakit. Bulu mata panjangnya merewang, bibir mungilnya menguncup.
Dia ingin menggeliat, tetapi lengannya belum cukup kuat untuk menyingkirkan selimut. Jadi alih-alih berusaha, dia pasrah, dan berhenti menggeliat.
"Mel, aku gendong ya."
Elia sudah tersenyum selebar empang di samping anakku. Alisku berkerut tak yakin.
"Bisa nggak? Aku sendiri nggak berani, Li."
Dia mengangguk mantap. "Bisa lah, enak aja. Aku langsung gendong adek aku pas dia baru brojol. Tiap tengah malem aku yang gendong dia kalo Ibu kecapekan."
Tanpa menunggu persetujuanku, Elia menyelipkan lengan kirinya di bawah kepala anakku, dan dengan percaya diri, lengan kanannya menopang tubuh anakku. Antara takjub dan tidak percaya, Elia si bocah slebor benar-benar bisa menggendong bayi. Sebagai ibu (yang baru melahirkan) aku merasa gagal.
"Iiiihhh emesh emesh gendats," desisnya tertahan, menggesekkan hidung dengan anakku. "Buto ijo ya kamu."
"Woy!" Aku mendelik. "Balikin, kingkong!"
"Yee emang faktanya bagong banget anak kamu, Mel. Gila aja empat setengah kilo." Sialan. Elia menuding hidungku, kemudian mencucu dibuat-buat lagi pada anakku. "Tuh liat kan, Mama kamu sendiri manggil kamu kingkong."
Setdah, maksudku situ yang kingkong.
"Kamu itu gede, Mama kamu kuntet, ampun-ampunan tau ngeluarinnya. Mama kamu tadi ngeden sampe uwelek (baca: jelek parah), biasanya dia paling cantik se-FK. Makanya kamu nggak boleh nakal, harus berbakti dan nurut sama Mama, harus bahagiain Mama, harus jadi anak sholeh ya?"
"Aamiin aamiin aamiin," sahut Sandra di ranjangku, sedang berusaha menyuapiku makan malam dari rumah sakit.
Kalimat terakhir Elia bergaung di kepalaku, memercikkan efek nyess di hati. Elia memang tidak bisa bermanis-manis di mulut, tetapi perhatiannya selalu tulus. Diam-diam, sambil tersenyum melumat rawon yang disuapi Sandra, aku mengamini kalimat itu.
Kita harus bahagia, Nak.
"Gimana rasanya melahirkan, Mel?" Sandra bertanya dengan raut tegang. "Sakit banget pasti ya? Sekarang masih sakit?"
"Retoris, San." Aku tertawa sejenak. "Kalo nggak dikeluarin malah lebih sakit, San. Sekarang sih udah nggak sesakit tadi, tapi…"
"Tapi kenapa?"
"Tapi rasanya tulang protol semua, San. Organ-organ perut rasanya melorot semua. Kalo kita mens hari pertama atau kedua, sering kerasa ada gumpalan darah keluar dari bawah kan?" Sandra mengangguk kaku. "Nah ini mirip, tapi bukan gumpalan. Ini galonan darah, ambrol semua."
Temanku itu bergidik, lantas menyeringai. "Lebay kamu."
"Yee dikandani ngeyel." Aku mencebik. "Ngapain aku bohong. Sakit udah nggak, tapi seriusan ini protol dan ambyar banget."
"Itu namanya nifas, Mbak," celetuk si Suster yang sedang memijat pelipisku. "Rasanya memang gitu. Saya 2x lahiran, 2x juga rasanya begitu. Protol dan ambyar. Mau gerak tapi sulit tenan, iyo tho, Mbak?"
Aku dan Sandra memelotot barengan. "Suster anaknya dua??"
"Iya, Mbak. Udah sepasang lho, 8 bulan lalu. Lega saya PR-nya udah selesai," jawabnya semringah.
"Walah Sus, saya kirain tadi mahasiswa kebidanan magang."
"Sama, San. Hahaha," Aku tertawa getir. "Suster berarti imut nih, baby face." Demi sempol, si Suster masih terlihat seperti teman seangkatanku.
"Eh Mbak, ayo saya bantu ng-ASI lagi. Tadi IMD-nya belum maksimal."
Menyusui? Aku meneguk ludah susah-payah.
Elia mengembalikan si ganteng di sisiku. Tidurnya benar-benar pulas, sampai akhirnya Suster mengurai selimut tebalnya. Putraku menggeliat lincah seperti kucing kepanasan di aspal, kemudian alih-alih membuka mata, dia malah tertidur lagi.
"Ck, kebo buntet." Siapa lagi yang menyolot kalau bukan Elia.
Suster menjelaskan bahwa bayi baru lahir memang akan menghabiskan 16 jam setiap harinya untuk tidur. Dia belum memiliki kesadaran atas rasa lapar sendiri. Dengan kata lain, akulah yang harus aktif membangunkannya setiap 3 jam untuk menyusui, atau anakku akan terus tidur dalam keadaan perut kosong.
Tanpa bermaksud menakutiku, kata Suster, aku akan bergadang selama 2-3 bulan ke depan. Jujur saja aku malah takut.
"Nanti aku bantu bergadang. Aku terlatih marathon drakor," Elia menepuk dada jemawa. Empret. Dia hanya kuat menonton satu episode, kemudian tertidur bertopang dagu di depan laptop yang memutar sisa episode di playlist sampai pagi.
Suster mengajariku cara menyusui sambil duduk dan tidur. Menyusui sambil duduk, ajaibnya, tidak begitu sulit bagiku. Hanya perlu memeluk anakku satu tangan (tergantung akan menyusui dengan payudara mana), beralaskan bantal untuk menopangnya. Tangan satunya yang bebas bisa kugunakan untuk membolak-balik lembar modul perkuliahan, atau menulis laporan praktikum.
Menyusui sambil tidur butuh keterampilan khusus, sebab aku harus tidur menyamping, sedangkan anakku belum bisa tidur menyamping. Untuk menahan tubuhnya, punggungnya harus disangga bantal, tanganku menahan bantalnya. Sementara tanganku yang satu lagi harus menopang kepala sendiri. Aku tak bisa berkutik.
"Ntar kalo adeknya udah gedean dikit, bisa miring-miring, nggak perlu dipegangin dia udah bisa sendiri. Tenang aja Mbak."
Aku tetap tidak tenang. Si kecilku hanya menyusu lima detik, lantas dilepas lagi. Aku mengerti sebabnya.
"Sus, ASI saya nggak keluar… dia nggak mau minum."
"Bukan nggak mau minum Mbak, adeknya belum ngerti minum ASI. Disusuin terus aja Mbak, insyaAllah besok udah mulai mau nyusu." Suster tersenyum, memperbaiki posisi tanganku yang sekaku pentungan hansip. "ASInya bakal keluar kok, maksimal 2x24 jam pasti keluar. Menyusui itu kunci utamanya satu Mbak: ibunya bahagia. Mbak Mel harus bisa jaga mood, jangan kecapekan, jangan mudah stress dan down, saya jamin ASInya sampai 2 tahun."
Bahagia.
Bahkan aku tidak berani bermimpi untuk bisa bahagia. Aku akan menanggung bayi ini sendirian, tanpa ayah, tanpa keluarga. Aku tidak punya penghasilan sendiri. Aku masih kuliah. Aku masih anak-anak—dokter McFord benar tentang ini.
Bocah kemarin sore harus mengurus bayi. Cih, mengurus diri sendiri saja tidak becus.
Namun bagaimana pun, dia milikku. Aku miliknya. Dia akan kuprioritaskan di atas segalanya, melebihi prioritasku sendiri.
Suster baru saja meletakkan anakku di box, ketika seorang wanita kaukasia berambut brunette datang membuka pintu. Beliau masuk terburu-buru, meletakkan banyak tas kertas di sofa, lantas menghambur padaku dengan wajah semringah seperti habis dapat cucu (?)
"You did it. You did it. You did it. Hore!"
Sekilas terdengar seperti jargon andalan Dora the Explorer yang penuh semangat. Aku balas memeluknya, aroma lavender tubuhnya meletupkan bahagia di dada.
"I did it, Mom. I did it!"
Hah apah?
Kelabakan kupisahkan diri dari Bu Helena. Astaga mulut rombeng, dia bukan Mamaku!
"Ma-maafin saya, Bu. Maaf. I'm so sor—"
"Ah, gapapa." Beliau mendekapku lagi, belum puas mengacak rambut dan menciumi puncak kepalaku. "Mulai sekarang panggil saya Mom. One day you'll be my daughter anyway."
Maksudnya?
***
Jarum pendek jam dinding semakin tegak. Aku tahu seharusnya aku beristirahat, memejamkan mata, dan tidur cepat seperti Elia di bed khusus penunggu. Ah, Elia jangan ditanya, dia ratu segala kebo. Aku masih tidak percaya bahwa 6 jam yang lalu, tubuhku mengeluarkan tubuh mungil lain. Tubuh mungil yang sedang kudekap, masih enggan menyusu, namun Bu Helena setia mendampingiku. Alih-alih mengantuk, beliau tampak segar bugar, mencoleki pipi anakku supaya dia bangun dan mau menyusu.
"Aah, Mel, he's terribly cute." Berkali-kali beliau mengatakan itu dengan ekspresi dan suara yang meleleh. "Ayo dong bangun anak ganteng, mik cucu dulu biar lebih ganteng dari Pakde Luke dan Paklik Ezra."
Bibirku mengeriting geli. Ajaibnya, anakku segera membuka bibir mungilnya dan mulai menyusu, dia menghisap walau ASIku masih belum keluar.
"Duh, emeshnya si ganteng rambut sarang," gumam Bu Helena lagi. Sejurus kemudian, beliau bertepuk pelan di depanku. Iris birunya mengilat. "Mel, saya mau main salon-salonan sama rambut kamu. Boleh ya?"
Alisku mengerut sebelah. Tapi tentu saja mustahil aku menolak permintaan beliau yang begitu perhatian padaku yang bukan siapa-siapa ini. Lagipula ini tidak ada bedanya dengan Mama yang sering mengepang rambutku.
Bu Helena di belakangku, mulai menyisir rambutku dengan sisir bergigi rapat. Tidak kusangka beliau membawa banyak aksesori rambut di salah satu tas kertas yang dibawanya. Mungkin beliau sudah mempersiapkan diri untuk bermain dengan rambutku?
"Saya pingin banget punya anak cewek, Mel," buka beliau. "Bisa dimainin rambutnya. Bisa didandanin. Bisa dipakein baju-baju unyu. Anak saya cowok, dua-duanya cuek sama penampilan. Kemana-mana cuma asal rapi dan enak dilihat doang. Nggak punya fashion sense sama sekali."
Aku tertawa sumbang. "Saya juga sama aja, Bu."
"Kok 'Bu' lagi? 'Mom' dong,"
"Eh?" Aduh. Seriusan harus 'Mom'? Lidahku mendadak kelu. "Iya Mom, maaf."
"Nah gitu. Mel, kamu lebih bagus begini. Malah nggak boleh banyak dandan. Because you're naturally beautiful, so don't ruin it."
Aku tersipu mendengarnya. Bisa saja Bu Helena, padahal beliau juga naturally beautiful: malam ini makeupnya sudah dihapus, dan di mataku beliau masih segorjes Anne Hathaway.
Bu Helena mengambil sebagian rambut depan kananku, untuk dikepang loose ke belakang.
"Mom," Sial. Aku grogi. "May I ask you something?"
"Sure."
"Kenapa…" Aku mengeratkan peluk anakku. Dan untuk pertama kalinya, kulihat dia membuka mata sayu. Mata yang segelap malam. Kemudian menutup kembali, masih menyusu. "Mom, kenapa baik sekali sama saya?" Aku menggigit bibir bawah, menimbang untuk melanjutkan atau tidak. "Saya bukan siapa-siapa. Apa karena Dokter yang minta? Karena Dokter—emm, I mean, because he loves me, so… so you want to treat me nicely…"
"Well," beliau menyelaku lembut, selagi menjepit kepang di sela rambut belakangku. "It is true that I know you from Luke. Tapi saya nggak melakukan ini untuk Luke. Luke juga nggak pernah minta saya. Anggap aja, saya sedang balas Budi."
Alisku bertaut. "Siapa Budi, Mom?" Ayah kandung dokter McFord?
Bu Helena tertawa kecil. "Budi's not a name."
Yang dimaksud Bu Helena adalah beliau ingin membalas budi baik seseorang. Ah, bukan, dua orang mantan tetangga beliau di San Francisco. Sepasang suami-istri yang banyak membantu beliau menghadapi masa-masa sulit di bawah siksaan ayah kandung dokter McFord. Persis seperti cerita Ezra, mantan suami Bu Helena adalah pria berengsek yang menghabiskan uangnya untuk sakaw dan judi. Melampiaskan kesetanannya pada istri dan anak, tak peduli meski putranya masih hitungan bulan.
Disaat Bu Helena harus melahirkan, alih-alih suaminya, justru sepasang suami-istri itulah yang menemani beliau. Ayah dokter McFord benar-benar lepas tangan. Pasca persalinan pun, suami-istri itu pula yang kerap mengulurkan bantuan untuk Bu Helena.
Meskipun, hal itu hanya sampai dokter McFord berusia 6 bulan karena mereka tewas dalam kecelakaan lalu lintas.
"I want to do the same thing for you, so please... just let me, Mel. Saya belum sempat membalas kebaikan mereka. Karena itu, mungkin saya bisa lega dengan melakukan hal yang sama."
"I wish someday I could repay you, Mom."
Beliau terkekeh pelan. "I don't need you to repay me. I need you to stay strong. Jangan sungkan minta bantuan saya. Dan jangan sungkan juga sama both of my boys, especially Luke. Dia sangat peduli sama kamu Mel, karena yah—he has that sweet feeling towards you. Whether you like it or not, Luke nggak akan memaksa kamu. Tapi dia juga nggak bisa menahan diri untuk nggak memberi perhatian ke kamu, orang yang dia sayangi."
"Mom, I cannot—"
"Saya nggak memaksa kamu untuk punya perasaan sama dengan Luke, tapi," Beliau menggelung sedikit sisa rambut bawahku. "Saya harap kamu nggak menolak kalau Luke berniat membantu kamu, Mel. He simply wants to give all his best for you."
"Apa bagusnya saya sampai Dokter suka sama saya?"
"Saya sendiri kaget." Pipiku dicubit dari belakang hingga aku meringis. "Setelah puluhan anak perempuan teman saya kenalin sama dia, dan dia nggak tertarik sama sekali. Lima bulan yang lalu di pujasera, for the first time in forever, dia sendiri yang ngenalin saya sama anak perempuan. Bukan teman sesama dokter. Bukan juga anak koass. Tapi mahasiswi preklinik-nya, yang baru semester 2, yang paling cantik, dan selalu pede menghadapi all those creepy medical exams."
Sial. Wajahku panas terbakar. Kenapa pula Bu Helena masih ingat waktu aku mengaku-ngaku sebagai yang paling cantik se-FK dan tidak takut pada OSCE?
"Mom, sorry to disappoint you but, Melati bukan yang paling cantik se-FK." Aku menyelip rambut ke telinga. "Dan nggak selalu pede juga. Sering down. Kata Dokter, saya kurang bisa percaya dengan orang. Saya curigaan, and I can't help but always see the negative before the positive ones."
"Memangnya kamu nggak percaya sama Luke?"
Aku terdiam sesaat. Kemudian, menggeleng pelan. Aku mencintainya bukan berarti aku mempercayainya.
"Kalo saya gimana? Have I earn you trust?"
Sedikit takut, aku menggeleng. Maaf Bu, aku memang tidak mudah percaya. Tapi aku juga tidak mau berbohong.
"So, that's it." Beliau menyahut ringan. "It's ok, memangnya curigaan itu jelek? Curiga, waspada, apalagi terhadap hal baru, menurut saya sah-sah aja. Artinya kamu punya sistem proteksi dan seleksi yang ketat, nggak sembarang orang bisa lulus screening kepercayaan kamu.
"Tentang saya dan Luke, whether you should trust us or not, let the time speak for you. Go with the flow, don't rush it. Tapi khusus malam ini," sebuah cermin bulat disodorkan di hadapanku. "Percaya sama cermin ini, kamu cantik."
Aku tidak percaya.
Aku tidak percaya, perempuan di cermin ini adalah refleksiku. Rambutnya digelung bun longgar, menyisakan sedikit helai serupa tirai di kanan-kiri, dengan kepang membando antara kedua telinga. Ornamen bunga putih, berbagai ukuran, disematkan acak di sela anyaman.
Supaya aku dapat melihat bun-nya, Bu Helena memasang cermin lain di belakangku. Bukan hanya cepol biasa, rambutku ditata entah bagaimana sehingga bun-nya nampak bergelombang dan berisi. Darahku berdesir hebat. Aku lupa caranya berkedip. Bu Helena yang melakukan ini?
"Ini salah satu konsep bridal hairdo yang paling laris di salon saya. It suits you lovely."
Yang berdesir tidak hanya darahku. Tapi juga dadaku, sesuatu mendesak dan meledak. Ada yang dikuras keluar ketika bibir anakku menyesap.
"Mom?"
"Yes? How? Cantik kan?" Iris biru laut beliau berkilau.
Aku mengerjap takjub. "ASInya keluar."
Bu Helena ingin memelukku tapi terhalang si kecil. Anakku terlalu enggan membuka mata, semua tenaganya terpusat di pipi untuk mengisap. Bulu mata panjangnya menyapu kulitku, sekaligus menyapu kekhawatiranku. Aku bisa menyusui, dan dia pintar menyusu. Dia telah memilihku.
Satu langkah lebih dekat untuk menjadi ibu yang baik.
Smartphone Bu Helena berdering. Sebuah panggilan video dari putra sulungnya membulatkan mataku. Video call macam apa jam satu malam?
Bu Helena membelakangiku, segera menerima panggilan tersebut. Aku tak mungkin menoleh karena—yah, pastinya—sedang menyusui, dengan piyama terbuka di bagian dada.
"Where are you, Mom?"
"You think? Di rumah sakit dong. Heh, anak gak tau diri."
"What?"
"Just because you're my son, doesn't mean you can make a shirtless video call with me."
Oh, dia telanjang dada.
"Can't you see? Aku masih handukan ngeringin rambut, Mom. I've just finished taking a shower."
"How about ngeringin rambut dulu, pakai baju, baru kita lanjut video call-nya?"
"Roger that!"
Dokter McFord telanjang dada, dengan handuk mengeringkan rambut emasnya yang basah setelah mandi? Aku mau lihat boleh?
"Where's Mel? And the baby?"
"Ini di belakang," Aku belum bisa menoleh. "Lihat rambutnya. Cantik kan? Cantik dong. Helen gitu lo."
"What did you do to her?"
"Not much. Just the hair. Do you like it?"
"I want to see her face."
Aku juga ingin melihat Dokterku.
"Nanti. She's breastfeeding."
"Oh," suara di seberang terdengar ceria. "Dia sudah bisa? Is she good at that?"
"Iyalah dia bisa. Kamu mikir apa, lelaki omes?"
"What is omes?"
"Otak mesum," Bu Helena menggeram. "Astaga putra mahkotaku, gaul dikit kenapa kayak si Yuan?"
Bibirku mengeriting. Mesum atau tidak mesum, gaul atau tidak gaul, aku suka yang manapun asalkan dia Luke McFord.
Aku membuka mulut. "Dokter," Dapat kurasakan Bu Helena bergerak dan menyorotku dari belakang. Mataku tak berhenti menyusuri wajah damai si kecil. "Maaf saya nggak bisa noleh. Dokter sudah di Dubai? Jam berapa sampainya?"
Jeda sesaat, sebelum suara baritonnya terdengar. "Aku sudah di hotel satu jam yang lalu. Di sini masih jam 10, di sana sudah jam 1 ya? Kamu belum tidur, apa Mom ganggu minta aneh-aneh?"
Aku menggeleng cepat. "No. Sama sekali nggak," Anakku melirik sekilas. "Saya seneng dipermak rambut gratis. Oh ya, Dok, saya bisa. Saya bisa melahirkan dia. Saya bisa menyusui, dia juga pinter nyusu. So… I wanna say thank you."
"For what?"
Aku tersenyum. "Everything."
Kali ini jedanya sedikit lebih lama. Bisa kubayangkan mulutnya terbuka sedikit, atau mungkin tersenyum. Iris samuderanya mengilat, wajah pucatnya bersemu kemerahan. Sepolos itulah Luke McFord.
"Mmh, anyway." Benar kan, dia terdengar malu-malu. "Dia siapa?"
Alisku bertaut. "Dia? Anak saya?"
"Ya. Dia. Siapa namanya?"
Pertanyaan polos dokter McFord menyambarku bagai geledek. Alamak, aku lupa menamai anakku.
-BERSAMBUNG-
Malang, Maret 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top