20 Koruptor Ganteng

🌟

HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT

Chapter 20 Koruptor Ganteng

🌟

Pagi ini aku bersiap lebih cepat dari biasa, sebab ingin mencicip sensasi naik angkutan kota a.k.a angkot. Bukan angkot pertamaku memang, tapi kalau mau survive di perumahan ini, aku harus familiar dengan angkot. Sebab perumahan Piala Jingga ini berjarak sekitar 2 km dari kampus; yang kalau ditempuh dengan jalan kaki, aku bisa varises.

"Bener nggak mau dianter? Ntar kelamaan ngetem lho."

Aku menepuk dada. "Heleh. Tinggal jalan dikit ke depan, nyegat angkot. Yakin deh nggak ngetem dia."

"Ngetemnya emang bukan di depan. Di sono, terminal gede sono." Elia menunjuk entah ke mana. "Dengan kata lain mau nunggu angkot di depan bakal lama."

Kulirik jam putih di pergelangan kiriku. Masih 30 menit sebelum jam 7 pagi. Kalau memang angkotnya tidak datang, aku akan mencicil jarak dengan jalan kaki. Selamat datang varises.

Kututup pintu rumah setelah menolak tawaran Elia untuk terakhir kali. Hari ini Elia kuliah siang; aku tidak mau merepotkan. Seandainya aku punya SIM, akan kuminta Papa membelikan motor. Masalahnya adalah sudah 3 kali aku ujian praktik untuk mendapat SIM, aku belum pernah lulus.

Percayalah, ujian praktik SIM lebih susah daripada OSCE.

Prius hitam tidak nampak di pelataran parkir seberang. Entah ke mana pemiliknya sepagi ini tidak ada di rumah. Seminggu tinggal di sini, aku perhatikan dokter McFord jarang sekali di rumah. Dia selalu berangkat pagi—kalau ke kampus, dia sangat memaksa mengantarku—dan pulang larut malam.

Kesayanganku itu, apa saja kesibukan sehari-harinya?

"Gak! Aku nggak sayang!"

Aku meremas kepala frustasi. Keputusanku menolak dokter McFord sudah tepat. Dia juga bilang akan mengatur perasaannya. Pun aku harus bisa mengendalikan diri.

"Mbak Melati, nggak sama Mas Dokter lagi?"

Yang melambai padaku adalah Pak Setya, salah satu penjaga portal masuk Piala Jingga. Beliau masih berdiri di depan pintu posnya. Aku berhenti sebentar untuk basa-basi.

"Dokternya hilang, Pak."

"Hah? Diculik, Mbak?!" Mas Novanto yang duduk di bangku, sejak tadi menyesap kopi, sontak bangkit siaga satu.

"Nggak Mas." Aku menyelip senyum. "Nggak tau ke mana. Biasa, orangnya kan memang sibuk."

Mulut Mas Novanto membentuk O, kemudian kembali duduk di bangkunya. "Saya pikir tersesat di hatinya sampeyan, Mbak."

Aku batuk tersedak ludah sendiri.

"Angkot ke arah jembatan sudah lewat belum, Mas?" tanyaku selesai batuk.

Pak Setya menampakkan kekecewaan. "Walah, barusan lewat, Mbak. Ditunggu aja, ntar ada yang lain juga."

Hidungku mengerut. Sial, kurang pagi bagaimana aku bangun?

"Iya Mbak, ditunggu aja. Barangkali ntar angkotnya yang Prius, sopirnya bule, jurusan KUA."

Mas Novanto kupret.

Setelah pamit dari Pak Setya dan Mas Novanto, aku menunggu di halte tepat pinggir jalan besar, sekitar 10 meter dari pos sekuriti Piala Jingga. Kuletakkan diri di bangku permanen halte.

Kutolehkan kepala ke kanan, menanti angkutan kotak biru melintas. Tapi sejauh ini yang kulihat hanya kendaraan plat hitam. Jarum panjang jam tanganku bergerak 90° dari sejak di rumah. Tumitku mengetuk-ngetuk kaki bangku dengan tak sabar.

Lagi demo mogok kali ya?

Masih setia berharap, kuamati jalan yang mulai padat volume kendaraan. Salah satu kendaraan roda dua menepi tepat di trotoar depanku. Pria berhelm merah darah di atas Ninja berwarna senada.

Hanya dengan menaikkan kaca helm, aku segera mengenali pemilik mata tunggal itu. Mulutnya tidak terlihat, hanya mata kopi itu menatapku lurus.

"Ngapain? Nggak kuliah?"

"Ini juga mau kuliah," jawabku setengah berseru, sambil beranjak mendekati Garda. "Nunggu angkot. Kamu ngapain? Kapan pulang dari Jepang?"

"Kemarin lusa. Barusan dari acara temen semalem." Alisnya berkerut dibalik rambut. "Bukannya kosan lo ke arah sana ya?" Garda menunjuk arah yang berlawanan dengan jalan ini.

"Pindah. Sekarang nyewa berdua sama Elia." Nyewa tapi gratis. Aku tersenyum, membelai perut. "Udah mau lahiran, nggak bisa ngekos lagi."

"Berapa pertahun di sini?"

"Gratis."

Ah, sial. Aku mengentak kepala.

"Bayar kok, perbulan tiga ratusan kayaknya. Kaliin aja dua belas," ralatku cepat. Begitulah kurang lebihnya biaya listrik, air, dan sekuriti kalau dibagi dua dengan Elia.

"Tiga ratusan? Kayaknya? Perum eksklusif ini?"

"Iya." Aku mengangguk mantap. Garda bisa membaca gestur; aku tidak boleh lengah. "Tiga ratus. Kan bagi dua sama Elia."

Matanya cuma satu, namun berhasil menelanjangi nyaliku hingga terpaksa kulempar pandang ke jalan. Berpura-pura mencari angkot—beneran deng. Kalau matanya sepasang, besar kemungkinan aku berserah diri.

Dengan gerak cepat, Garda melepas pengait helmnya, mengangkat benda merah itu dengan kedua tangan. Satu tangannya mengangsurkan helm untukku, sedang satunya lagi mengacak kasar rambut tebal keunguan. Saat dia tersenyum, sepasang dekik terbit, hatiku menjerit.

Benar kata Elia: Ito gantengnya kurang ajar.

"Buruan. Ntar telat?"

Belum hilang keterpanaanku, aku memelotot, mendorong si helm. Kupasang wajah meyakinkan.

"Nggak. Mau ngangkot. Makasih."

"Ck." Garda berdecih memiringkan kepala. "Makanya jangan baca buku anatomi mulu. Sekali-kali nonton berita. Sopir angkot demo hari ini aja nggak tau."

Mataku membulat. "Tapi tadi kata satpam ada angkot lewat—"

"Lewat mau ke TKP demonya tuh." Kali ini Garda tidak hanya menyurungkan, dia membalut kepalaku dengan helmnya, lantas mengancing pengait hingga terdengar klik.

Jaket kulit hitam yang melapisi tubuh Garda dilepaskannya, menampakkan dada bidang yang dibungkus kaus biru gelap lengan pendek. Jaket itu disurungkan padaku.

"Jaketnya mau dipakein juga? Biar rasa drakor?"

Belingsatan kulepas ransel, lalu kupakai sendiri jaket aroma citrus itu. Kukira biasanya Garda beraroma musk. Mengapa hari ini citrus? Aroma yang mirip dokter McFord, bercampur woody—asu, kenapa kuingat dia lagi?

Garda memiringkan kepala, menepuk jok belakangnya. Baguslah kalau mau mengantarku. Aku suka gratisan. Setelah aku duduk menyamping, Garda mengenakan kacamata hitam yang menggantung di kerah kausnya.

Tapi, ada yang janggal.

"Kamu nggak pake helm?"

Kulihat Garda nyengir kuda di kaca spion. "Nggak. Polisinya temen gue."

Hish. Garda adalah bocah yang terperangkap di tubuh pria dewasa. Tanpa segan kujambak sebagian rambut belakangnya. "Bukan polisinya, Garda pinter. Kepalamu!"

***

Kuliah Bahasa Indonesia adalah sajian penutup hari ini. Bahasa Ibu termasuk kompetensi Mata Kuliah Umum yang wajib ditempuh setiap mahasiswa, apapun fakultas dan jurusannya. Bicara soal MKU, artinya ada UAS sendiri. UAS dilaksanakan setelah UAB, artinya lagi, aku positif ikut UAS susulan.

Aku menaruh dagu di meja. Kapanlah selesainya Bu Iriana menjelaskan tentang efektivitas kalimat ini? Aku harus segera mengurus izin untuk susulan asesmen.

Sial, mengurus izinnya ke dia juga. Sekerasnya aku berjuang menghindari dokter McFord, pada akhirnya, semesta menyorongku berurusan dengannya lagi. Berhadapan dengan pria itu tidak semudah menghadapi OSCE. Dan mengurus izin, sebaiknya kutuntaskan di kampus agar tidak mencampuraduk statusku sebagai mahasiswa sekaligus tetangganya.

Lima belas menit berlalu, mataku hampir tertutup sempurna kalau saja Fathir tidak menarik kuncir kudaku dari samping.

"Bangun, Neng. Wisudanya mau mulai."

Ngantuk, Bung.

Aku menegak perlahan, mengucek sepasang mata. Fathir memandangku dengan ekspresi datar. Kami dilanda kebosanan yang sama.

"Bagus ya, ulang tahun diem-diem. Takut dijadiin persembahan kolam lumut ya?

Kupaksakan otot mata membelalak. "Woah, ngerti darimana?"

"Dari Elia. Kemarin ketemu di MarinaQuarium." Oh, aquarium. Wait, what? "Aku lihat kamu juga, sama dosen PA kita. Pelukan. Trus jalan gandengan kemana-mana."

Bibirku mengatup rapat. Mau menjelaskan apa? Bahwa dosen PA kami melakukan itu semata karena dia fobia gelap? Fathir sepertinya melihatku dari jauh, karena kalau dia mendekat, dia pasti tahu cara dokter McFord menggenggamku sama sekali tidak mesra; dia menunduk, gemetar, dan genggamnya bagai es.

Aku ora baper blas.

Jempolku hampir potek dia remas, tau.

"Trus?" Hanya itu yang keluar dari bibirku.

"Nggak ada terusnya sih," Fathir menggaruk pelipis. "Cuma happy birthday aja, Mel. Dan selamat juga udah jadian." Manik matanya berputar ke Bu Iriana. "Dan soal ucapanku, kamu benar. Aku bersalah sama Mama. Perasaanku ke kamu memang perlu dikoreksi ulang."

Terus terang aku sangat senang Fathir mengakui kesalahannya. Aku tidak mengenal Bu Syahnaz dengan baik, tapi sebagai yang sebentar lagi menjadi ibu, aku bisa merasakan nyerinya jika buah hati sendiri berbalik melawanku. Aku tidak mau kualat karena membuat anak perjaka orang jadi durhaka dibutakan cinta.

***

Di depan ruang Koordinator Riset tidak ada Mbak Jihan yang biasa berjaga. Aku menggigit bibir bawah, tumitku mengentak berulang. Sudah pukul 3 sore, dan di luar mendung meradang. Kalau tidak segera bertemu dosen PA-ku, hujan akan menyergap dan aku terjebak di kampus. Tidak bisa jalan ke gerbang depan jalan protokol dan mencari angkot.

Maaf Mbak, aku nyelonong dikit boleh ya?

Kulewati meja kosong Mbak Jihan sambil membungkuk, lantas mengetuk tiga kali di pintu belakang meja itu. Harap-harap cemas semoga dokter McFord ada di baliknya.

"Masuk Mbak."

Walau aku bukan Mbak Jihan, nekat kubuka pintu itu. Kutemukan dokter McFord membelakangiku, merapat di rak buku besar, dengan sepasang lengan di depan sepertinya membolak-balik halaman buku.

"Gimana Mbak? Yang tiga juta untuk honor bisa diakalin di nota belanja ECG?"

Mulutku terbuka tak percaya dengan apa yang barusan kudengar. Masa' sih?

"Dokter mau korupsi?!"

Seruanku menyentaknya hingga buku yang dipegangnya meluncur bebas ke lantai. Punggungnya berbalik padaku, dan kudapati wajah kaukasianya mengeras seperti menahan sembelit... atau terciduk korupsi.

"It's not like what you think," dia membela diri.

"Then like what, hah?" tantangku dengan intonasi menukik.

Enak saja, dipikir karena aku masih semester 2, aku tidak mengerti soal penggelapan uang? Mau memanipulasi angka di nota belanja yang akan dimasukkan laporan pertanggungjawaban anggaran demi honor, kan?! Jangan-jangan 50 juta perbulan itu hasil kecurangan seperti ini?

Dan aku jatuh cinta pada seorang koruptor?!

Dengan gayanya yang masih setenang air gelas, si koruptor ganteng mengembalikan buku yang terjatuh ke rak. Dia memberi gestur padaku dengan dagu untuk duduk di kursi meja kerjanya. Sedang dia sendiri, duduk di kursinya putarnya di hadapanku.

"Bukan korupsi, Melati. Honor yang aku maksud itu honor untuk peneliti. Setiap riset pasti ada porsi untuk penelitinya juga. Ini bukan korupsi, penghargaan berupa nominal itu mutlak hak mereka sebagai peneliti."

Otot wajahku melunak, walau masih ada ragu. Bibirku mengerucut. "Kalo gitu kenapa harus ngakalin nota belanja segala? Tulis aja sih di laporannya 'honorarium peneliti' gitu ribet amat."

Wajah dosenku nampak lelah, rambut emasnya mencuat ke utara-selatan, tiga kancing teratas kemejanya tidak terpasang, namun dia memaksakan senyum.

"Do you know the reason why Ezra in MIT could develop faster than us here?"

Aku menggeleng. "Kenapa?"

"Karena di sana, peneliti 100% fokus ke penelitian dan hasil penelitiannya. Di sini, peneliti fokusnya bercabang antara penelitian dan laporan pertanggungjawaban anggaran. Terlalu banyak administrasi berbelit, dan salah satunya adalah," dahiku disentil tajam. Sontak aku mengaduh. "Nggak boleh ada honor peneliti di laporan anggaran. Padahal alokasi dana untuk honorarium hukumnya wajib. I hate contradiction but fuck, this is my job."

Deru hujan meruntuhi genting datang, bersamaan dengan dokter McFord yang menjambaki rambutnya frustasi. Detik lalu aku memakinya, detik ini aku iba melihatnya. Kutahan lengannya untuk tidak mengacak rambut lagi, dan dia tersentak.

"Maaf, malah jadi khilaf ke kamu." Dia tampak menyesal, lantas menegak dan melipat tangan. Tetiba senyumnya mengembang sempurna. "Ada apa ke sini? Kangen?"

"Nggak usah berharap."

Senyumnya luntur seketika. Dadaku juga sesak melihat dokter McFord kecewa, tapi aku harus tegas. Aku tidak boleh menolaknya selemah kemarin.

"Saya mau ngurus UAB dan OSCE susulan, Dok. Atau, kalo Dokter ada saran sebaiknya saya gimana? HPL saya akhir bulan ini, tiga minggu lagi."

Kali ini air mukanya serius. "Wait. Let me check your system." Dia menggeser diri dengan kursi ke layar PC di meja lain yang berada di siku meja ini. Dari tempatku, terlihat dokter McFord sedang login ke sistem akademik khusus dosen dan karena dia PA-ku, dia bisa melihat sistem akademikku.

Untuk beberapa saat, hening menguasai kami. Dia bertumpu dagu, memutar otak di depan layar jutaan pixel. Minyak di wajahnya yang kumuh karena waktu, tidak mengurangi pesonanya. Aku meneguk ludah.

Kelelahan bekerja, kadar tampannya malah melonjak drastis.

Detik berikutnya, kursi itu bergerak kembali ke hadapku. Dahi dokter McFord mengerut. "Kamu demam?" Punggung tangannya terulur meraba dahiku. "Mukamu merah."

Kutepis cepat tangannya. Aku nafsu bukan demam, tau.

"Saya nggak papa. Tolong bantu administrasi asesmen saya saja, Dok."

Seperti biasa, walau aku bersikap ketus dia tetap bergeming. Ekspresi yang sama dengan yang ditampilkan ketika aku menolaknya di aquarium. Baguslah kalau dia tidak sesedih itu; aku tidak perlu merasa jahat.

Ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, persalinanku jatuh tepat atau setelah HPL. Menurut dokter McFord ini mudah, karena aku bisa ikut UAB dan OSCE susulan. Untuk berkas administrasi, dia bilang aku cukup terima beres, langsung ikut asesmen susulan setelah jadwalnya keluar.

Yang jadi masalah adalah kemungkinan kedua, persalinanku jatuh sebelum HPL.

"Salah satu syarat ikut UAB dan OSCE, presensi di atas 80%. Aku lihat presensi kamu sekarang masih 75%, kurang 1 pertemuan lagi untuk 80%. Kalau partusnya sekarang atau dalam seminggu ke depan, untuk ikut asesmen susulan pun nggak bisa, Mel. Perkuliahan semester genap udah habis."

Sekarang aku benar-benar kedinginan karena penjelasannya. Kugesekkan telapak untuk menciptakan hangat semu.

"Jadi..." Aku memiringkan kepala. "Partus saya nggak boleh sampai maju, Dok?" Skleraku memanas, juga rahimku membatu. Kapan persalinanku, itu jadwal dari Tuhan, tidak bisa ditawar seperti jadwal asesmen. "Kalau maju, saya nggak bisa ikut ujian? Dan nggak lulus semester 2 ini?"

Dari sorotnya, dokter McFord sangat menahan diri untuk tidak berkata 'ya'. Namun sepertinya dia memilih jalur lain untuk menenangkanku.

"Kalau majunya setelah minggu depan, kamu sudah aman untuk ikut susulan. Blok terakhir Farma, kan? Aku bantu nego dokter Riskita supaya kalau partusnya minggu depan, kurangnya 1 pertemuan itu bisa diganti tugas take home whatsoever."

Aku hanya mampu menganggukkan kepala. Hanya kurang 1 minggu pertemuan kuliah, semester ini aku selamat. Kalau sampai hanya karena kurang 1 pertemuan aku dinyatakan tidak lulus semester ini... entahlah. Selamanya aku tidak akan pulang ke rumah.

Satu tanya gelap menyergapku. "Kalau dokter Riskita nggak mau, gimana?"

"Mau. Harus mau." Dokter McFord menepuk meja perlahan. "Aku nego sampai jadi."

"Yee, dikata bukalapak?" Aku memberengut. Dia tertawa bisu. "Saya serius, Dok."

"Memangnya daritadi aku main-main?" Dahiku disentil lagi. "You know, I love that you're always fully confident facing those tests. Your grades are outstanding and as your PA, I'm proud of that. Setiap semester genap aku buka oprec riset, aku harap kamu mau daftar."

Aku tersenyum kecil mengusap dahi. Sedikit pujian darinya, aku terbang ke luar bumi. Langit ke tujuh.

"Tapi." Dia meneruskan lagi. Ternyata ada 'tapi'nya. "I'm not saying this as your PA, more like a friend. Cobalah untuk percaya bahwa Riskita itu baik. Dia dan aku, kami nggak akan mengabaikan kelulusan mahasiswa apalagi dengan kualifikasi sebaik kamu, dan cuma kurang 1 pertemuan. And last," dia tersenyum, menggigit bibir bawah. "Percaya bahwa masih banyak orang baik yang peduli sama kamu, and even Melati Pusparana does deserve lots of happiness."

Aku menghela panjang.

Secara sporadis aku berangan untuk kuliah dengan normal, bermain dengan normal, atau pacaran dengan normal. Betapa inginnya aku percaya kata-kata dokter McFord barusan, tapi setelah malam berdarah itu, satu-persatu hal normal di hidupku menjadi abnormal. Setelah anak ini terlahir, aku tidak yakin masih mengenal apa itu normal.

Yang aku inginkan hanyalah menyelesaikan kuliah sekaligus mengasuh anak ini. Aku sudah berhenti muluk meminta teman ataupun kekasih yang normal.

Dan, air mataku selalu turun setiap teringat dunia abnormal ini. Aku menunduk, menyeka sudut mata. Saat kusadari dokter McFord berlutut di dekatku dengan stetoskop yang terpasang di telinga, tangannya mengangkat diafragma.

"Aku mau coba dengar detaknya dia. May I?"

Aku bergeming. Tidak menunggu persetujuanku, diafragma stetoskop telah menyentuh perut bundarku. Dokter McFord menutup, selagi jemarinya memindah diafragma beberapa kali. Hingga gerakannya berhenti di satu titik di bawah pusar, sedikit ke kanan. Matanya terbuka lagi.

Aku menahan napas.

Bibirnya tersenyum, tangannya yang tidak menahan diaframa melepas earpieces dari telinga. Earpieces itu diangsurkan padaku, yang spontan segera kupasang di telinga sendiri.

Langsung kujauhkan earpieces itu karena tidak kuat mendengarnya.

"Takikardia!?"

"Bukan, bego." Hidungku dicubit. "Ini normal untuk janin." Kata normal di kalimat itu menyejukkan hatiku. "Aku yang takikardia."

Jadi selain nyctophobia, dia juga punya riwayat takikardia?

Kupasang kembali earpieces. Benar juga, kata dokter Zesta denyut normal jantung janin memang jauh di atas denyut normal orang dewasa. Denyut janinku terdengar seperti derap ribuan kuda perang. Satu kata untuk anakku: dia sangat... boom!

Ada yang normal di hidupku. Anak ini.

"Luke, menurutku notanya bisa dipecah—"

Aku berpaling ke ambang pintu yang tadi lupa kututup. Dokter Yuan menenteng berkas, melirikku dan dokter McFord bergantian dengan seringai tengil.

"Aku ganggu ya?"

"No," cegah dokter McFord segera bangkit menghampiri temannya. "Gimana takikar—notanya?"

Belingsatan kurapikan stetoskop Littmann itu dan meletakkannya di meja kerja dokter McFord. Tanpa berlama-lama, meraih ransel lantas pamit sopan, keluar dari ruang Koordinator Riset.

Kelamaan di sana, aku bisa tertular takikardia.

-BERSAMBUNG-

Malang, Maret 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top