18 Be Yours?

🌟

HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT

Chapter 18 Be Yours?

🌟

Ezra masih berpakaian di ruang ganti ketika aku menemukan kacamata hitamnya. Aku memerhatikan benda yang t)ampaknya memang cuma kacamata biasa itu. Kupikir ini kacamata istimewa yang dapat melihat tembus pandang, mungkin. Sebab hampir seharian Ezra memakai kacamata ini bahkan di dalam ruangan.

Belakangan, kacamata hitam mengingatkanku pada Incognito. Aku masih terbayang lesung pipinya yang dipaksakan muncul saat bernyanyi dengan geng Sora Aoi di karaoke tempo hari. Tentu saja di depan teman-temanku, Ito memakai kembali eyepatch-nya. Dia berbaur gembira bersama kami, namun aku meraba ada sebongkah beban yang berusaha dia pikul sendiri. Dan kelihatannya dia tidak sanggup.

Ah, kenapa harus Ringgarda yang teringat di saat libur seperti ini?

Tubuhku terentak pelan karena sesuatu yang hangat tersampir menutupi sepasang bahuku.

"Pakai ini. Kalau kamu masuk angin, Luke pasti melelang motorku."

Kurapatkan jaket Ezra yang beraroma woody di tubuhku yang memang kedinginan. Kupikir kalau di dalam hotel saja tidak mungkin dingin, makanya aku keluar hanya dengan piyama tanpa jaket.

Terdengar dering polifonik dari lensa hitam di tanganku, dan buru-buru kuserahkan benda itu pada pemiliknya. Ezra mengenakan kacamatanya dan menjauh beberapa meter dariku. Dia menatap lurus ke kolam, sesekali berbicara dalam bahasa Inggris, dan jemarinya menari di depan hidung. Seolah ada touchscreen tak kasat mata.

Alisku bertaut. Ngapain, Masbro?

Tidak lama, dia mengaitkan kacamata itu di kerah kausnya dan duduk di sampingku.

"Itu apa?" tanyaku segera, sebab kepo.

"Ah." Ezra membuka kacamatanya lagi. "We haven't officially name it yet. Singkatnya, ini smartphone berbentuk kacamata. Yang telepon barusan, professor-ku di Boston, he was testing whether it works overseas or not."

Aku masih menampakkan wajah culun. Ezra menekan tombol mini di gagang kacamata dan mempersilakanku mencoba. Tanpa ragu, kucantolkan gagangnya di daun telingaku.

"Waa—!"

Ada semacam hologram polikrom mengambang satu jengkal di depan hidungku, namun saat lensanya kuturunkan sedikit, hologram itu hilang. Kupasang lagi, hologram 3 dimensi itu muncul lagi. Jadi hanya pengguna kacamata yang bisa melihat hologram ini.

"Cara pakainya mirip smartphone biasa. Bisa dong?"

Aku menjawab Ezra dengan anggukan takjub.

Hologram kubus itu terdiri dari beberapa menu umum smartphone seperti dial, kontak, pengaturan, kamera, dan lainnya. Aku tertarik untuk membuka galeri foto. Saat ku'sentuh' di titik itu, darahku berdesir cepat.

Ada belasan, tidak, sepertinya puluhan. Mungkin seratusan, thumbnail foto Elia dengan sejuta ekspresinya hari ini. Telunjukku bergerak scrolling. Tersenyum, tertawa, memberengut, berpikir, marah, curiga, memelet, mengupil, mengacungkan uleg-uleg, menggigit paha ayam dengan tidak feminin, tidur di bahu Ezra dengan liur menjejak, dan masih banyak lagi.

Apa ini alasannya mengapa seharian Ezra memakai kacamata hitam?

Galeri foto itu dimonopoli potret candid Elia, sedang aku dan dokter McFord tidak sampai sepuluh. Pemilik kacamata malah sama sekali nihil.

"AAAH!"

Ezra menjerit tepat di telingaku dan belingsatan menarik kacamatanya dari hidungku. Gawai itu dinonaktifkan dan digantung kembali ke kerah kausnya. Aku menepuk saluran telinga yang hampir ambruk ditendang suara Ezra.

"Jangan buka sembarangan!"

"Maaf," sahutku tanpa rasa bersalah. Kenapa panik begitu, sih? Aku meringis lebar. "Segitu sukanya sama Elia?"

Ezra mengerudungi kepala dengan handuk, menutupi wajah. "Jangan bilang El, oke? Aku bisa dicap psiko."

"Why? Dia berhak tahu." Aku menatapnya lurus.

Dia tersenyum redup. "I wish our relationship could be much simpler."

Kualihkan mata ke hamparan air hitam yang kemilaunya semakin mendinginkan malam. Aku lemah kalau harus melihat luka di sorot Ezra; luka yang entah apa tetapi tercetak sangat jelas. Dan kurasa bukan waktu yang tepat membahas luka di saat seharusnya kami bergembira.

"Oh yes."

Ezra bergumam. Aku menoleh, dia mengatup tangan. Ekspresinya mendadak cerah.

"Kata El kamu lagi cari kontrakan? Di rumahku, mau? Lokasinya persis di depan rumah Luke. Sudah dua bulan rumah itu kosong. Belum ada yang ngontrak lagi. If you please, you may stay with El for free. For El, and my future sister in-law."

Ezra mengedip sebelah mata di bagian 'future sister in-law'. Cih, bisa saja dia membuatku berfantasi tentang masa depan bersama abangnya.

Tapi ada yang membuatku tertarik. "For free? Serius?"

"Serius, Kakak." Dia mengangguk mantap. "Everything for El and my sister in-law is free. Sebenernya ada biaya listrik, air, dan sekuriti kompleks tiap bulan. Tapi suruh si Luke bayarin, sayang gaji kepala lima tiap bulan dari kampus, rumah sakit, dan GOAT dipendem di rekening doang."

Aku memelotot. "Lima juta?" Sepertinya terlalu kecil untuk seorang dokter rangkap dosen yang punya usaha sampingan sebuah lembaga bimbingan belajar.

"Lima puluh. Well, termasuk kecil untuk seorang konsulen. Honorarium dokter di Indonesia kurang dapat perhatian pemerintah."

Aku ngowoh. Kecil matamu ijo! Itu lima kali gaji Papa ditambah Mama!

"Luke nggak cerita tentang gajinya? Hubungan kalian sudah sampai mana, sih?" selidik Ezra lagi.

"Nggak sampai mana-mana!" Aku mengembus keras. "Kita cuma dosen dan mahasiswa. Memangnya dia cerita apa?"

Ezra bertopang dagu. "Dia cerita dilempar kondom dan dimuntahin."

Innalillahi.

"Iya. Sebatas itu hubungan kami," tandasku cepat. Aku tidak boleh berharap lebih.

"Ck." Ezra berdecih. "Padahal tadi gandengan tangannya mantep. Truk gandeng juga iri nggak bisa seerat kalian."

HAHAHA sial. Urusan membuli, Ezra sebelas dua belas dengan Elia.

"Kalau tentang fobia gelap, udah tahu?"

Aku mengangguk. "Baru tahu kemarin."

"Berarti tahu kalau kami beda ayah?"

Aku mengerjap lambat.

Baru kuketahui, mereka dari ibu yang sama namun beda ayah. Ayah yang sekarang, berdarah asli Indonesia, adalah ayah kandung Ezra. Sedangkan ayah kandung dokter McFord sudah lama tidak terdengar kabarnya. Pria itu terakhir diketahui mendekam di balik jeruji besi San Fransisco atas dakwaan kekerasan terhadap istri dan anak.

Berdasarkan pengetahuan dangkal Ezra dari cerita ibunya, dokter McFord menjadi objek pelampiasan angkara ayahnya sejak masih berusia enam bulan. Belum genap satu tahun. Dan ketika bayi itu baru bisa melangkah dengan dua tungkainya, dia mulai diseret kasar ke kamar mandi tertutup dengan pencahayaan sangat minim. Sang ayah kesetanan melecutkan sabuk ke punggung si bocah yang meringkuk dan meraung. Sang ibu tak bisa berbuat banyak karena turut mendapat perlakuan yang sama.

Dia mengalaminya selama hampir lima tahun, sebelum akhirnya seseorang melaporkan ayahnya dan dia terbebas dari neraka lecut.

Aku tak mampu mengatakan apapun kecuali menangis.

***

Selesai sholat Subuh, aku merapikan mukena sambil menggelitiki telapak kaki Elia dengan jempol kakiku. Pulas sekali tidurnya si kungkang betina.

Sesaat kemudian dia menggeliat, meregangkan badan, sebelum akhirnya sepasang matanya terbuka separuh. Dia bertopang dua lengan, menegak perlahan, tersadar ada sesuatu yang menyelimutinya. Sesuatu yang seharusnya tidak ada.

Elia memberengut dan meraih jaket baseball Ezra yang tadi malam lupa kukembalikan, jadi kugunakan untuk menyelimuti Elia.

"Kenapa ada rombengan di sini?"

Ah elah si Ratu Kebo. Aku duduk di sisi ranjang bagianku.

"Tadi malem dia ke sini, ngasih ini buat selimutin kamu. Katanya biar berasa dipeluk." Tapi aku bohong dong.

"Hish. Telek pithik."

Aku tertawa tanpa suara. Elia sungguh tidak ada manis-manisnya. Bagiku lebih baik daripada manis yang dibuat-buat.

Elia segera bangkit ke kamar mandi. Aku mengutik smartphone.

Garda
i cannot sleep

Tertulis jam dua malam. Aku sudah tidur saat itu. Di-WA bias saat dia insomnia itu... sesuatu. Aku senyum-senyum sendiri.

Mel
sudah bangun?

Garda
belum tidur

Dia masih online. Benar-benar insomnia sepertinya.

Mel
is something bothering u?

Garda
jetlag

Mel
memangnya lg dimana?

Garda
harajuku
<Garda sent you a picture>
sakura untuk melati

Itu adalah foto kelopak-kelopak sakura yang disusun membentuk tulisan MEL di atas jalan paving. Ito... emm, Garda, di sebelahnya membungkuk bertopang lutut. Tawanya sangat lepas, matanya menyabit, menampakkan sepasang dekik di pipinya.

Di belakang nampak blurry, sepertinya memang pengaturan kamera. Tapi kulihat beberapa wanita berkerumun untuk menyaksikan Garda. Mungkin dia habis melakukan sulap jalanan. Kalau pesulapnya se-aesthetic itu perempuan mana yang nggak kepingin jadi asistennya?

"Mel, cobain. Kemarin aku ngukur pake badan sendiri sih. Kita kan kurang lebih."

Mukaku ditimpuk Elia dengan sebuah kain hijau pastel. Eh, bukan. Ini sudah baju, bukan kain. Blus sepaha berbahan katun semi sifon yang jatuh, dengan ornamen rajutan bunga putih di dada.

Elia memeluk dan mengecup kilat puncak dahiku.

"Selamat ulang tahun, Mel. Semoga sehat, ibu dan baby-nya lahir selamat. Semoga yang lain kamu tambahin sendiri, aku ikut amin aja."

Aku membalas pelukannya. "Makasih, Li. Ngerti darimana aku ulang tahun?" Rasanya aku tidak cerita bahkan ke geng Sora Aoi.

Elia melepasku dengan wajah berbinar. "Dari Mas Luke. Oh yap, semoga cepet jadian trus traktir aku all you can eat di Hanamasa."

Kan. Ada udang dibalik kulit siomay. Pasti dokter McFord kepo dari sistem akademik mahasiswa. Kalau di situ ada ukuran behaku, mungkin pria itu akan memberiku hadiah Victoria Secret.

"Cepetan mandi. Pake bajunya. Ntar aku dandanin yang cakep." Elia bergerak lincah mengeluarkan alat make-up dari tasnya.

"Ngapain dandan?" Udah cakep Melati mah. Hohoho.

Dia mengibas cepat. "Gapapa. Biar Mas Luke makin gakuku ganana."

***

Kamarku dan Elia beda lantai dengan doktee McFord - Ezra. Jadi kami memutuskan bertemu di restoran hotel untuk sarapan. Ketika aku dan Elia sampai, kakak beradik itu sudah duduk di meja bundar untuk empat orang. Dua pramusaji cowok mengapit Ezra untuk swafoto bersama. Mungkin fans-nya.

Tanpa mau menyapa, Elia menarikku untuk mengambil sarapan prasmanan dulu. Hajat lambung selalu nomor wahid bagi Elia, cowok nomor sekian. Sayang tidak ada sempol di restoran ini, jadi aku mengambil semangkuk bakso. Mataku tidak bisa lepas dari meja dokter McFord yang sedang mengiris steak-nya.

Walau biru memang warna paling dokter McFord-banget, namun kemeja flanel hijau gelap itu juga tidak kalah menarik. Kemeja longgarnya tidak dikancing sama sekali, menampakkan dada bidang yang dibalut kaus putih polos. Lengannya digulung seperempat. Berbeda jauh dari dosen yang biasa kulihat berkemeja formal di kampus.

Gils. Melihat dari jauh saja dadaku ketar-ketir.

Kedua pramusaji undur diri dari meja ketika aku dan Elia datang hendak duduk.

"Godness!" Ezra memekik tertahan. "Iparku pake ijo juga. Janjian ya?"

Dokter McFord memelototi adiknya. Elia menepuk meja pelan.

"Ini namanya jodoh wasiat Tuhan, bukan jodoh wasiat bapak." Lenganku disikut Elia. "Iya kan, Mel?"

Aku mendelik. Jodoh gundulmu?! Pasti dokter McFord pakai hijau juga atas bisikan setan Ezra.

Pembahasan di meja didominasi dengan Ezra menceritakan riset-risetnya di MIT. Yang paling bersemangat menyimak dan berkomentar tentu saja Elia. Aku tidak tahu kalau Elia sangat cerdas sampai detik ini, ketika dia dengan antusias mengimbangi percakapan dengan Ezra. Kalau Elia begini suka dengan sains, mengapa dia kuliah di Ilmu Komunikasi yang jelas-jelas ranah IPS?

Dokter McFord juga nampak tertarik dengan Ezra yang membahas tentang mesin waktu. Yang kutahu soal mesin waktu sebatas laci meja belajar Nobita. Teori relativitas Einstein, lengkung ruang dan waktu, orbit planet dan bintang. Apa hubungannya ruang dan waktu, serta planet dan bintang?

Kenapa aku merasa sebagai yang paling tidak maksimal mengembangkan kapasitas otak di sini?

"Theoretically said," dr. McFord merapat padaku dan berbisik. "Kita bisa maju mundur melawan waktu kalau bergerak minimal mendekati kecepatan cahaya. Bayangkan dalam 1 detik, mengelilingi bumi lebih dari 7 kali."

Aku manggut-manggut, penjelasan dokter McFord sedikit bisa kuterima. Mungkin dia iba melihatku yang hanya bisa mangap di meja ini. Yang ada di pikiranku, kalau ada mesin waktu, aku ingin kembali ke malam itu dan mencegah diriku sendiri tidur dengan pria asing.

"Mau steak?"

Dokter McFord menawariku sambil menjilat saus blackpapper di pisaunya. Hidungku berkedut karena laju tekanan darah. Please, jangan mimisan.

***

MarinaQuarium namanya. Di pintu masuk, kami disambut sebuah kapal besar, sangat besar, sebab itulah pintu masuknya. Sebenarnya kapal ini adalah ruangan tertutup sangat luas, berisi penjelasan tentang laut Indonesia dan biotanya.

Elia berlari lincah menyerbu bagian bajak laut, minta diabadikan bersama seorang pegawai berkostum Jack Sparrow. Pegawai itu ternyata mengenal Ezra, dan dia semringah ketika dokter McFord memasukkan selembar biru I Gusti Ngurah Rai ke kotak di depannya. Sebenarnya bayar seikhlasnya, tapi begitulah kalau pemasukan perbulan lima puluh. Juta, bukan ribu.

Elzira—kata Ezra, itu julukan untuknya dan Elia sejak SD—sudah hilang duluan, berlari entah ke mana. Energi mereka luar biasa. Aku tidak sanggup mengikuti dengan perut sebesar ini. Kuraba perut yang akhir-akhir ini tenang karena janin semakin besar; ruang gerak berkurang.

Setelah sesi maritim nusantara, aku baru memasuki ruang aquarium yang sesungguhnya. Sejauh aku memandang hanya ada air. Biru di mana-mana, kami terpisah oleh dinding kaca.

"Ubur-ubur!"

Aku merapat di kaca. Walau tempat tinggal asalku dekat laut, aku belum pernah melihat makhluk tidak bertulang itu secara langsung. Secara live. Dia hidup, dia transparan, dia terbang. Oh, kalau di air bukan terbang ya?

"Dok, ada—"

Lucas McFord tidak ada ketika aku menoleh. Aku yakin sekali tadi dia mengekor di belakangku. Aku celingukan, kesulitan mencari seseorang di tempat remang-remang begini.

Remang-remang?

Sial. Dia fobia gelap!

Segera kuputar kaki ke bagian sebelum kami masuk aquarium. Aku sudah mengitari kembali bagian kapal bajak laut di depan, namun tidak kutemukan dosenku. Segera kutanyai pegawai berkostum Jack Sparrow yang tadi berfoto dengan kami.

"Mas bule yang rambutnya kuning? Tadi kan masuk aquarium sama njenengan, Mbak."

"Aduuhh..." Aku menggigit bibir bawah. Bagaimana ini? "Dia takut ruang gelap, Mas. Mas yakin dia nggak keluar lagi lewat sini?"

"Nggak, Mbak. Saya daritadi di sini, kalo Masnya keluar pasti saya lihat. Kan ngasih 50 ribu. Lagian udah ngerti Masnya takut gelap, kenapa nggak digandeng, Mbak?"

Aku mendelik. Kenapa jadi aku yang salah?!

Gusar, aku berjalan lagi tak tentu arah ke dalam aquarium. Rasa bersalah memang menggerogoti hatiku. Cukup sekali, aku tidak mau melihat air matanya lagi.

"DOKTER!"

Tidak peduli tatapan mereka, aku terus berseru. Menyeruak, menoleh, mencari. Aku tak mau kehilangan.

"LUKE!"

Lenganku ditarik dari belakang. Sepasang lengan berkemeja hijau merengkuhku erat. Getar tubuhnya begitu nyata hingga nyaris remuk aku dipeluknya. Dadanya bertalu hebat mendesak punggungku.

Untuk beberapa waktu, kubiarkan dokter McFord dalam posisi seperti ini selama yang dia butuhkan. Kugenggam jemarinya untuk mengalirkan keberanian. Ada selembar plastik bertekstur aneh yang dicengkramnya kuat.

Detik ini juga, hatiku menangis.

Dia, menggantungkan harapan pada bubble wrap.

Saat lengannya mengendur, aku berbalik untuk memastikan keadaan dosenku. Bibirnya lebih pucat dari biasa. Iris samuderanya redup tanpa gelombang, tapi syukurlah, aku tidak menemukan air mata. Masih ada sisa histeria di getar manik matanya.

Kali ini, aku yang lebih dulu mengikat jemariku dengan miliknya. Kutatap lekat sepasang matanya, dan kupastikan pemiliknya mengerti apa yang kukatakan.

"Dokter jangan ke mana-mana. Selalu di samping saya, karena kita harus saling menjaga."

***

Rangkaian terakhir dari aquarium adalah pertunjukan atraksi lumba-lumba. Atraksinya outdoor, syukurlah. Aku sangat lega ketika dada dokter McFord mengembang, paru-parunya dipenuhi udara segar di luar. Iris samuderanya mendapat asupan dari sinar mentari. Dia sudah bisa tersenyum, namun masih enggan melepas genggamku. Pun aku tidak rela melepasnya.

Pertunjukan dimulai 10 menit lagi. Kami beruntung dapat mengambil tempat kosong di deret paling depan. Saat aku menebar pandang, mataku menemukan Elzira di seberang kolam lumba-lumba. Elia tampak mendekati Ezra dan mengelus wajah cowok itu hati-hati.

"He forgot to use his sunscreen. Again." Dokter McFord berbisik. "Ada kelainan pada pigmen Ezra yang membuat dia nggak kuat kena UV langsung. Sebentar saja bisa merah kebakar."

Mulutku membentuk O dan kuanggukkan kepala. Lucu rasanya, sementara Ezra tidak kuat di luar ruangan, dokter McFord justru begitu hidup di bawah mentari.

Aku tak sempat mengelak ketika sepasang lengan dokter McFord mengelilingi pundakku. Jemarinya bermain di antara tengkuk dan rambutku yang hari ini digerai. Lagi, sensasi geli-tapi-nikmat menggelitik lambungku. Apa aku semabuk ini?

Petasan di dadaku tidak juga hilang walau dokter McFord telah menarik tangannya kembali. "Happy birthday, Melati."

Aku menunduk, meraba liontin serupa coin perak bertuliskan 'mel' yang digantung oleh rantai kecil. Mau mati jantungan rasanya. Kalung ini untukku?

"Thanks, Dok." Kuberanikan diri menatap senyum permanen dokter McFord. "Bikin sendiri?"

"Beli," jawabnya singkat. Ya iya beli, pe'ak. Dia dokter bukan tukang las. "Pesen lebih tepatnya. Suka?"

"Be aja." S U K A B A N G E T.

"Really?" selidiknya, lantas mengulurkan tangan. "Kembalikan. Besok kita beli yang lain."

Kupukul pelan tangannya. "Barang yang udah dikasih pamali diminta lagi. Tambahin aja hadiahnya." Pepet Mel, 50 juta per bulan.

"Oke." Dokter McFord bertumpu siku di paha. "Kasih tahu dong, kamu mau apa?"

Mau Lucas McFord. Hehe.

Aku memutar bola mata. "Apa ya..." Tidak tahu juga, sebab yang paling kubutuhkan bukan barang. Tapi keberanian untuk menjemput persalinan.

"Aku gimana?"

Bibirku merapat. Aku terkesiap. Cakram biru di matanya menghisap seluruh fokusku.

"Maksudnya?"

"Hadiahnya aku," suaranya merendah, "untuk kamu. Mau?"

Hah? Ini mimpi?

Lagi, untuk kesekian kalinya, dokter McFord mengisi sela jemariku dengan miliknya. Kali ini berbeda, genggamnya gemetar dan dingin di bawah mentari. Namun manik matanya menancap tak gentar padaku yang sudah tak bisa merasakan oksigen.

Dia menggingit bibir bawah, sebelum berkata, "Seriously, I'm not good at this. I cannot guarantee that everything will be heaven if you're with me. But I know, and I promise, that I'm completely ready to go through everything with you. Together. The two of us."

Ada jeda lima detik. Aku masih bergeming dengan genderang perang bertalu di dada. Setelah satu tarikan napas, dia meneruskan.

"Be mine, Melati Pusparana."

-BERSAMBUNG-





Malang, Maret 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top