🌟
HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT
Chapter 14 Adiknya Temannya
🌟
"Mel, bagi kacang."
Tanpa pikir panjang kupeluk setoples kacang atomku, menjauhkan dari jangkauan kingkong betina bernama Elia.
"Ih kok pelit, sih!"
Kutudingkan telunjuk ke dahinya. "Salahmu sendiri ngehasut geng Sora Aoi. Dasar provokator."
Bibirnya menekuk tajam. "Kan udah minta maaf."
"Dimaafin, tapi nggak dilupain!"
Bukan Elia kalau tidak gendeng. Bocah itu merangsek di kakiku, dan kontan saja aku berusaha menarik kaki ke atas ranjang. Tapi sepasang lengan Elia lebih gesit menahan telapakku, dan menciumi bagian punggungnya.
"Heh! Ini barusan nginjek telek ayam!"
Tak mengacuhkan makianku, Elia malah semakin sambat, menggerayang dan menciumi kakiku. "Ampuni hamba, Kanjeng Ratu. Hamba bertobat, tobat nasuha dari lubuk hati terdalam. Tolong jangan hukum hamba seperti ini. Hamba masih punya lambung yang harus-"
"Iya. IYA! Mamam noh!"
Elia berdiri lantas menari ubur-ubur, sambil mengangkat tinggi toples kacangku yang-dengan sangat terpaksa-kuserahkan padanya. Daripada kakiku melepuh terkena liurnya.
"Li."
"Hadir, Kanjeng Ratu!" Elia segera duduk di ranjang bersamaku, membuka toples, menyuapkan sebutir kacang ke mulutku, dan lima butir ke mulutnya. "Ada yang bisa hamba bantu?"
Kutelan dulu kacang ini sebelum memulai. "Jadi gini," aku memutar mata, mencari kalimat. "Aku harus pindah akhir bulan ini. Tadi dibilangin sama Bu Karlina. Aku juga tahu kok, nggak mungkin aku tinggal di sini sama bayi."
Kecepatan mengunyah Elia menurun kontras. Mata bulatnya kehilangan sinar.
"Nanti siapa yang ngasih aku kacang?"
Aku tersenyum satir. Walau terdengar seolah pertemanan kami hanya diikat oleh kacang atom, percayalah, raut kecewa Elia tidak bisa disembunyikan.
"Gampang dah, Li. Kalo kamu bisa bantu cariin kontrakan rumah yang murah dan deket sini, aku beliin satu kardus kacang. Aku nggak mungkin ngekos lagi. Harus kontrak rumah, karena si bayi ini."
Sepasang mata bulat itu berair. Alisku bertaut.
"Kurang? Oke dua kardus. Penawaran terakhir ini. Lebih dari ini aku bisa bangkrut," bujukku.
"Bukan itu-"
Dering smartphone Elia di atas meja menginterupsi kalimatnya. Gadis itu menarik ingus, mengusap kasar sudut matanya, lantas beranjak melihat gawainya. Dia berjengit seperti disambar geledek.
"Datang?!"
"Siapa?" Aku melongok di sebelahnya, berusaha kepo, tapi Elia lebih cepat menutupi layar smartphone-nya.
Dia cengengesan culun. "Temen kecil. Hehehe." Dan tanpa menunggu pertanyaanku, dia melesat keluar kamar untuk menerima panggilan itu.
Aku berbaring menyamping, menilik smartphone-ku yang belum tersentuh sejak dari wastafel karaoke. Balasan dari dokter McFord kubaca paling pertama.
dr. McFord
ngapain?
Statusnya sedang online. Aku ketahuan sudah nge-read.
Mel
tidur
dr. McFord is typing...
dr. McFord
hmm tidur di hotel yuk
Ooo wong edan!
dr. McFord
I have 2 room vouchers for a night
<dr. McFord shared a location with you>
dekat aquarium yg baru buka 2 minggu lalu
ada seseorang yg ngajak ke sana
dia bawa teman, aku nggak mau jd obat nyamuk
kamu bisa sekamar sama temannya
temannya perempuan
Oh, kirain bobo bareng.
Rabu, ya? Kamis memang libur karena pemilihan umum. Tapi bukan berarti aku menerima ajakan all-day-long-date ini. Maaf, Dok, Melati nggak seogeb itu.
Mel
NGGAK
dr. McFord
fine, sekamar dengan aku
Preketek.
Mel
JANGAN MIMPI
dr. McFord
i wont
because im going 2 make it happen
Kuaktifkan mode penerbangan, lantas kukubur smartphone di bawah bantal. Aku mengetuki kepala. Aku benci jantungku yang rawan gempa setiap berurusan dengan dokter songong itu.
***
"Mel, dia nggak mau terima. Piye?"
"Hah? Kok gitu?!"
Aku berdecih tanpa berhenti menjejalkan modul Farmakologi ke dalam ransel. Setelah meletakkan hasil analisis dosisku yang ditolak dokter McFord, Sandra turut merapikan modulnya di sebelahku.
"Katanya harus tanda tangan presensi dulu baru diterima. Kalo nggak tanda tangan dianggap nggak ikut praktikum. Udah sih maju aja. Noh udah sepi, udah pada pulang. Sensi amat sama gebetan sendiri." Sandra terkikik dengan nada yang sungguh amoral.
Kulirik dokter McFord di depan yang sedang mengumpulkan hasil analisis kami ke dalam stopmap biru, sesekali menilik buku di mejanya. Sial, kenapa bisa dia menggantikan dokter Riskita yang seharusnya mengisi praktikum Farmakologi, yang merupakan kuliah sesi terakhir hari Rabu ini? Kebetulan, atau bagian dari konspirasi liciknya?
Ah, jangan geer, Melati. Cukup tanda tangan, serahkan analisis, lalu pulang.
Aku menepuk blus, menyandang ransel, meraih analisisku. Sebelum pergi, aku mengacungkan kepal di depan Sandra.
"Wish me luck."
Sandra meringis, "Heleh, si Meler. Kek mau perang Diponegoro ae," namun tak pelak menyambut kepalku dengan kepalnya.
Di lab hanya tersisa tujuh kepala, termasuk aku, Sandra, dokter McFord, dan dua asistennya yang sedang merapikan kelengkapan praktikum. Dua mahasiswa lain sedang mengumpulkan di meja dokter McFord, dan ketika aku sampai, mereka sudah selesai tanda tangan. Sial, aku paling terakhir.
Setelah kedua teman seangkatanku itu berlalu, aku mendekati map presensi. Dokter McFord menerima analisisku. Tanpa melirik padanya, kuperhatikan presensi. Semua sudah terisi kecuali satu: kolom namaku. Segera saja kububuhkan paraf di kotak kecil itu.
"Save the best for last."
Dia telah selesai berbenah dan tersenyum memandangku. Tidak baik untuk jantung.
Aku membungkuk formal. "Permisi, Dok."
"Mau ke mana? Kita kan bareng. Let's kuy."
Orang ini... argh!
Dia tahu aku tidak mungkin berteriak padanya di lingkungan kampus. Jadi kuikuti saja ketika dokter McFord melangkah keluar lab. Rupanya Sandra masih menungguku di luar lab. Tanpa pikir panjang kulingkarkan lengan kanan dengan Sandra yang nampak bloon.
"Let's kuy, San!"
"Wait," dokter McFord menarik lengan kiriku. Anjir! Di depan banyak pasang mata. "Kita harus bicara. Soal OSCE susulan, remember?"
Aku memelotot. Tapi nggak sekarang juga, kan?
Sandra melepaskan lengannya dariku, memberi senyum penuh kode untuk dokter McFord. "Dok, jagain temen saya ya. Bye, Mel."
"Bye apa-"
Kepergian Sandra begitu cepat, tak bisa kucegah. Aku mengentakkan tangan yang langsung terlepas dari genggam dokter McFord. Kutunjukkan wajah memberengut yang nyata untuk dosenku.
Dosen dan mahasiswa bergandengan tangan di kampus, apa kata rektor nanti?!
"Baik. Dokter duluan. Saya di belakang."
Alisnya terangkat sebelah. Entah dia benar-benar polos atau ingin mengerjaiku. "Bukannya di Bab 15 kamu bilang aku harus di sampingmu, supaya kita bisa saling menjaga?"
***
Sudah kubilang, kalau bertemu langsung, imanku auto-kendor. Buktinya aku menurut saja saat dipulangkan ke kos untuk mengepak barang, kemudian pergi lagi untuk menginap semalam di sebuah hotel di Kota Batu. Kami akan ke rumahnya dulu untuk menjemput si teman yang katanya ingin ke aquarium.
Aku merogoh smartphone, meninggalkan pesan untuk Elia. Kulihat dia sedang online.
Mel
aku nginep di batu sm temen
besok pulang
Elia
temen siapa?
Mel
temen kuliah
Elia
okie. Have fun shayankque :*
Mel
najez
Aku mengembus panjang. Yah, aku tidak bohong. Dokter McFord memang satu fakultas denganku. Hampir setiap hari kami bertemu di kampus. Dia bisa dianggap teman kuliah.
Sejak dari kosku, tidak ada yang bersuara di dalam Prius kecuali radio yang saat ini mengalunkan Havana milik Camila Cabello, yang belakangan sering terngiang di bawah sadarku. Bagaimana tidak, nadanya sangat ear-catching.
Salah satu lagu yang sering kuputar bersama Elia di kamar, dan kami meliuk berdua seperti cacing kepanasan mengikuti iramanya. Sayang sekali, kebersamaan kami tidak lama lagi.
"Kenapa berhenti?"
Aku menoleh pada si supir yang bertanya tanpa menatapku.
"Apanya berhenti?"
"Jogetnya."
"HAH? Saya nggak joget!"
Manik biru itu melirikku sekilas. "Joget kok. Kamu memang sering nggak sadar. Nggak sadar joget. Nggak sadar cantik. Nggak sadar jatuh cinta sama dosen sendiri."
Sialan.
Aku menempel di pintu Prius sampai kendaraan ini memasuki lahan parkir rumah tingkat dua bergaya kontemporer minimalis itu. Seorang pemuda jangkung berkaca mata hitam, dengan kaus lengan pendek berwarna senada membukakan pintu untukku. Kulitnya adalah yang terpucat yang pernah kulihat sepanjang usiaku. Seputih kapas.
Dia menyalami aku yang canggung ini dengan bahasa Indonesia yang sedikit kaku, lantas melepas kacamata dengan tangan yang satunya.
"Halo, Kakak Ipar. I heard that you're a fan of me."
Aku belingsatan menarik tangan. Kuputar badan berbalik membelakanginya.
DEMI APA ITU EZRA ADRIAN MCFORD? Asdfghjkl.
Tak bisa kutahan, tungkaiku melompat lincah. Kutampar pipi tiga kali. Aduh sakit, Bung. Ini bukan mimpi. Kurapikan sedikit poniku yang berantakan karena menempel di pintu Prius. Semoga sudah cantik. Kuusap sedikit batang hidung untuk menghapus minyak.
Tanpa kusadari, doktee McFord telah berdiri di hadapanku. Ibu jarinya terulur menyeka sepasang sudut dalam mataku. "Hai paling cantik se-FK, jangan lupa rheum-nya."
"EZRA! SINI CICIPIN TERASINYA UDAH PAS BELOM?"
Suara teriakan cempreng perempuan yang tidak asing itu terdengar dari dalam rumah dokter McFord. Aku menoleh sementara sekujur tubuhku merinding.
Ezra berteriak, "UDAH PASNYA AJA BERAPA, MBOK. KULA MBOTEN NAWAR."
... wait what?
Aku shock berat. Ajaib banget nih Ezra. Luarnya bolehlah Zayn Malik. Dalamnya macam preman terminal yang hidungnya bertindik. Runtuh sudah bayanganku akan Ezra yang jenius, gagah, dan cool-kas seperti tokoh utama di drama Koreyah. Mungkin dia masih jenius dan gagah, tapi percayalah, sama sekali tidak keren ketika wajah seantik Ezra bengak-bengok dalam bahasa Jawa.
Kamu Ezra atau Joko?
Belum selesai keterkejutanku, dokter McFord merangkulku dan Ezra masuk ke rumah. "Well, Ezra, this is Melati. Melati, this is Ezra. And-"
Seorang gadis mungil berambut setengkuk muncul dari arah dapur, mengacungkan uleg-uleg batu ke hidung Ezra. "Cicipin dulu cepetan! Aku nggak mau kamu maki-maki gegara nggak sama kayak buatan Ibu-"
Rahangku menganga lumpuh. Nggak. Ora mungkin.
"Eh, Mel udah dateng? Bentar ya. Iron Man KW minta dipenyetin terong sambel. Kangen dia, katanya di Boston nggak ada."
"... and this is Elia," sambung dokter McFord.
***
Malam turun, bulan merangkak naik. Kami baru saja menyelesaikan makan malam, dan sedang menuju danau buatan di area hotel karena Elia ingin mengayuh sepeda bebek. Geosmin dari tanah pegunungan yang lembab mengeluarkan aroma petrikor yang kuat.
Aku menarik napas dalam, mengembangkan senyum. Bagus sekali udara di sini untuk paru-paru. Udara yang berbeda dari Malang, ataupun kampung halamanku yang didominasi udara industri. Sedikit banyak aku bersyukur menerima tawaran dokter McFord untuk berlibur sehari. Jauh dari hiruk-pikuk kota, mencicipi ketenangan sebelum datang kerusuhan di hari H, hari persalinan.
Di pegunungan, langitnya berbeda dengan di Malang. Langit di sini lebih... entahlah. Lebih bersih? Lebih berkilau? Lebih memukau? Lebih cantik?
Atau ini efek samping karena jemariku dikunci oleh dokter McFord?
Di sini suhunya cenderung rendah, namun di dalam sini, aku merasa hangat. Aku dan dokter McFord sepakat untuk tidak ikut mengayuh sepeda bebek. Kami memilih untuk menyusuri taman bermain di dekat danau. Energi Elia dan Ezra seolah tidak ada habisnya: setelah bumper car, mini tornado, makan malam, sekarang sepeda bebek. Mereka sudah bersahabat sejak usia 9 tahun dan tetap kompak sampai sekarang, 10 tahun kemudian.
Entah memang selalu begini, atau karena besok libur, malam ini banyak keluarga membawa putra-putri mereka menginap dan bermain di taman hotel. Riuh rendah para bocah itu terdengar renyah. Bianglala warna lampu taman menghidupkan atmosfer cerianya.
"Mikir apa?" Aku disikut pelan dokter McFord. "Serius amat ngeliatin jungkat-jungkit. Mau naik?"
Iris samuderanya berpendar disentuh sinar rembulan.
Mau bahagia sama Dokter. "Nggak lah. Itu buat anak kecil keleus."
Dia tertawa renyah. "Kamu kan cebol. Coba ke sana, pasti ditawarin balon juga ama badutnya."
Aku mengembus poni. Di dekat jungkat-jungkit, ada badut yang sibuk membagikan balon pada balita. Reaksi mereka beragam: ada yang dapat satu saja sudah senang, ada yang tidak puas hanya satu balon, ada yang lebih suka sang badut daripada balon, ada pula yang terbirit histeris karena badutnya. Manis sekali.
Kutatap dokter McFord lagi dengan senyum. "Anak saya kalo dikasih balon gimana, ya?"
Dokter McFord mengerutkan hidung. "Hah, balon? Balon kateter?"
Senyumku meluntur. Pelupuk mataku jatuh separo. Gusti nu agung, kenapa dia nggak peka sih?!
"Salah ya?" Dokter McFord meringis kaku, mengusap tengkuknya. "Maaf maaf, kurang Aqua. Balon badut itu maksudnya?"
"Au ah. Kan awalnya Dokter yang bahas balon. Kenapa malah Dokter ilang sinyal?"
"Yah, maaf." Dia menghindari mataku. "Aku baru sadar, aku susah fokus kalau bederbar."
"Berdebar kenapa?"
Dia tersenyum dan tersipu. "You know why."
Tanpa melepas genggam, aku digiring duduk di salah satu bangku panjang di bawah pohon yang menghadap ke arah danau. Dingin semakin menggigit, maka dokter McFord menyusupkan genggam kami di saku jaket tebalnya. Segera saja langit kembali hangat karena panas tubuh kami.
Kalau menghentikan laju waktu semudah menghentikan bus, aku ingin berhenti di sini dan menarik Lucas McFord turun bersamaku.
***
Salah satu penyakit kampunganku adalah tidak bisa segera tidur di tempat baru. Dalam hal ini, Elia terbalik 180 derajat denganku. Kelelahan setelah mengayuh perahu bebek selama satu jam, dia langsung terbang ke dunia mimpi saat bertemu kasur dan bantal empuk, serta selimut hangat di kamar kami. Dasar manusia setengah kebo.
Kalau Elia setengah kebo, maka aku adalah setengah kampret. Pukul setengah 11 malam dan mataku masih seringan kapas. Aku memutuskan untuk keluar kamar, mengunci Elia di dalam, dan berkeliling di dalam hotel. Langkah membawaku ke dalam lift. Panel di kotak baja menjelaskan pembagian tingkat, aku memilih untuk ke rooftop di mana kolam renang berada.
Sampai di lokasi, lagi-lagi aku terkesima dengan langit pekat berbintang. Rooftop semi-outdoor ini dinaungi kubah dari kaca yang menghindarkan kolam renang dari hujan, dan tetap menerima panas mentari untuk yang ingin berjemur. Ada celah antara dinding pembatas yang tinggi dan atap kaca tersebut, sehingga udara dapat mengalir dari selanya. Kursi lipat untuk berjemur (sun lounger) terjejer rapi di tepian kolam, berseling dengan umbrella set yang menjadi aksesori wajib setiap kolam renang.
Mataku menyipit pada satu titik jauh di kolam, yang airnya nampak beriak. Aku menaruh diri di salah satu sun lounger. Di sebelahku, tersampir jaket baseball hijau army, kaus hitam, celana jins cokelat terang, kacamata hitam, serta handuk putih. Sandal gunung pria tersimpan rapi di bawah sun lounger.
Riak di kejauhan itu bergerak perlahan mendekatiku, sesekali menampakkan rambut brunette pemiliknya yang meraup oksigen di permukaan. Setelah tangannya menggapai tepian di hadapanku, pemuda itu keluar lincah dari kolam.
Bertelanjang dada, hanya memakai celana renang hitam di atas lutut, Ezra melepas kacamata renangnya. Tanpa duduk, dia menyambar handuk, lantas mengusap kasar rambutnya dengan kain terry itu.
Sisa air masih menetes dari dada bata-nya. Napasnya pun masih naik-turun, namun Ezra menyapaku semringah. "Belum tidur, Kakak Ipar?" Iris hijau lemonnya mengilat sekilas.
Aku tak bisa berkedip.
Nggak kakaknya, nggak adiknya. Both of them are hot as hell.
-BERSAMBUNG-
Malang, Maret 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top