15 Depan, Belakang? Samping

🌟

HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT

Chapter 15 Depan, Belakang? Samping

🌟

Belakangan, aku semakin rajin jalan kaki. Sejak awal kuliah aku memang pedestrian. Walau teman-temanku kebanyakan dibekali transportasi roda dua maupun empat oleh orang tua, aku pikir aku belum butuh kendaraan pribadi. Fakultas Kedokteran hanya 20 menit jalan kaki. Hajat lambung banyak yang menjajakan di dekat kos juga kampus. Akses angkot mudah, meski aku sering salah menghapal trayek. Tapi itu bisa diatasi dengan bertanya.

Salah satu alasan aku rajin jalan kaki demi kelancaran proses persalinan. Menurut pedoman tidak sahihku, berjalan kaki dapat memperkuat otot rahim, yang artinya rahimku akan lebih siap untuk mendorong janin keluar. Aku bersedia melakukan apa saja supaya dia bisa keluar dengan sehat dan utuh, apalagi cuma jalan kaki. Terlalu mudah.

Hmm. Mengapa aku bersemangat begini hanya untuk nyawa yang tidak seharusnya ada di rahimku?

"Mel, sini!"

Aku baru meletakkan ransel di atas meja, ketika Sandra melambai padaku dari tengah kerumunan belasan anak. Tanpa berpikir aku mendekat. Mereka sedang menandatangani gipsum Fathir yang dua hari lagi akan dilepas.

"Kamu harus tanda tangan, Mel." Danny menyerahkan spidol permanen padaku. Mereka menyingkir untuk memberiku akses ke Fathir. "Ini gegara si lutung belagak jadi hanoman nolongin bidadari."

"Nggak lah, Dan." Aku membuka tutup spidol, tak lupa membungkuk dan tersenyum untuk Fathir, kemudian membubuhkan tanda tanganku di dekat milik Sandra. Aku menutup spidol. "Kalau kamu atau Sandra di posisi Fathir, pasti nolongin aku juga. Kalian kan gitu, tampang memble hati menye-menye."

Sebuah toyor datang dari belakang kepalaku.

Joko menyeletuk. "Untung cakep, Mel. Kalo jelek kek Sora Aoi Abang bedil kamu."

"Sing genah Jok, Sora Aoi jelek?" ejek Fathir. "Bedil pake apaan?"

"Pake hati sama quotes Tumblr, Thir, mbok pikir opo? Benda tumpul?" Kecuali Sandra dan aku yang saling pandang tak paham, semua tertawa. Benda tumpul apa, ya? "Kalo mbedil Melati takut kena sentimen dokter bule pas OSCE, jadi aku mbedil Sora Aoi wae."

Aku memelotot. "Aku yo emoh kon bedil, Jok!"

"Maunya dibedil siapa, Mel?" Sandra menyeringai.

"Dokter bule spesialis mata yang irisnya biru."

Asyem.

Mereka berciya-ciye bahagia. Aku menungkupkan wajah yang memanas karena jawaban terang-terangan Roman. Memoriku kembali pada video call malam itu, waktu bibirku kelepasan mengatakan suka matanya.

Untung cuma MATANYA. Bukan orangnya.

"Anak kita lahir kapan, Mel?"

Sandra menjitak Fathir. "Ambigu, goblok."

"Juni akhir perkiraannya," Aku menyelipkan tawa. "Deket UAB, mudah-mudahan setelah itu. Males ikut susulan."

"Iya Eneng, jangan susulan. Ntar Abang contek siapa?"

"Contek Sora Aoi, dong," celetuk Danny. "Kan guru besar?"

"Sora Aoi apanya yang besar?"

Pertanyaan itu bukan berasal dari salah satu dari kami, tapi dari belakang Sandra. Kontan keempat cowok kocar-kacir menyingkir, aku dan Sandra saling cengkram. Kena serangan jantung.

Dokter Yuan dengan polos mengulangi pertanyaannya pada keempat terong. "Apanya yang besar?"

"Nganunya, Dok."

Dokter Yuan menyipitkan sebelah mata. "Nganu?" Yang lain membeku, Sandra meleleh terpapar pesona kembaran Song Joong Ki.

"Anu, Dok." Joko menjawab tenang walau wajahnya sudah pasi. "Sebuah kelenjar sebasea yang termodifikasi di jaringan superfisialis dinding dada anterior, yang terdiri dari campuran variabel jaringan kelenjar penghasil susu, lemak, dan jaringan ikat pendukung, yang juga dianggap organ seks karena secara seksual sensitif dan menginspirasi hasrat seksual."

Aku memberengut. Sebesar itu pengaruh Sora Aoi untuk seorang Jonathan Kho.

***

Hanya sedikit yang menyadari perubahan tubuhku yang memang tidak begitu kentara. Yang paling bisa menilai tentu saja geng Sora Aoi dan ular-ular berbisa macam Disya-Saskia. Aku masih sering dicibir tidak hanya di belakang, namun juga di depan mataku. Entah bagaimana nada sumbang mereka terpental, sama sekali tidak masuk ke hatiku.

Mungkin inilah yang dimaksud bahwa bukan teori maupun kalimat motivasi yang mendewasakan kita. Luka-lah yang mampu menguatkan.

Bodo amat dengan mereka. Aku harus fokus pada hati yang masih peduli padaku, dan tentu saja, si kecil yang akan segera lahir ini.

Walau, yah, geng Sora Aoi tanpa Sandra, di jam istirahat, benar-benar absurd. Terjebak di antara empat cowok bertampang di atas rata-rata tapi kelakuannya ajaib.

"Heh, Fathir miskin. Aku cuma ngambil es batu, kamu ngambil nanas." Roman menuding Fathir dengan sendok karena Fathir menukar es batu di mangkuk es campurnya dengan nanas di mangkuk Roman.

"Lah trus ambil apanya?" Fathir mengunyah nanas tak acuh.

"Kuahnya! Es batu dari aer, tuker ma aer juga!"

Fathir mencebik. "Udah terlanjur ketelen nanasnya. Perlu dikeluarin lewat atas ato bawah?"

Alih-alih menjawab, Roman menyendok sekaligus 2 kolang-kaling dari mangkuk Fathir dan melahapnya dalam sekali hap. Fathir mendelik lebar.

"Kancut, ngambil dua!"

"Heh Mail, Ehsan, udah sih kolang-kaling direbutin." Joko menengahi dengan memberi nanas dari mangkuknya untuk Roman dan kolang-kaling untuk Fathir.

Aksi dermawan Joko memancing tangan Danny untuk menyendok kacang merah dari mangkuk Joko, lantas mengunyah dengan tampang tanpa dosa.

Joko menyingsing lengan kemeja birunya. "Gelud, yuk?"

Aku bertopang dagu, puas dengan segelas es dawetku yang aman. Menyaksikan ketoprak mereka akhir-akhir ini jadi hiburan tersendiri. Aku baru sadar memang beginilah dunia mereka: penuh pertikaian nirfaedah, namun anehnya tidak meretakkan mereka. Justru mengeratkan mereka satu sama lain.

Ganjil sekali kalau kubandingkan dengan (yang katanya) persahabatan perempuan yang sering tampak mulus di luar, namun remuk di dalam. Seperti yah, Disya, Saskia, dan aku. Kalau dipikir-pikir, Sandra dan Elia tidak bermulut semanis Disya dan Saskia. Aku lebih sering mereka hinakan ketimbang diperlakukan selayaknya manusia. Anehnya aku juga lebih nyaman bersama mereka.

Mungkin aku terinfeksi kuman geng Sora Aoi.

Notifikasi pesan smartphone-ku bergetar di atas meja. Aku tersedak saat melihat pengirimnya, terlebih isi pesannya.

Ito
jgn minum manis2
lo udah lebih manis dr dawet
kalo baby-nya kegedean ntar susah lo

Joko menepuk punggungku prihatin. "Pelan-pelan Neng minumnya. Nervous ya jejeran sama Abang ganteng?"

Aku menggeleng dan menyeringai. "Ogah!" Datang lagi pesan di laman percakapan yang belum kututup.

Ito
suruh si sipit itu singkirin tanganny dari kamu

Joko melongo dan segera menarik tangannya. "Webuset. Dia di sini? Otoriter banget."

" 'Dia'? "

Joko menjawab pertanyaan Fathir, sementara aku mengedarkan mata ke sekeliling cafetaria. Aku sudah bangkit dari kursi tapi tidak menemukan sosok yang kira-kira seperti Ito. Pesan datang lagi.

Ito
aku di luar cafe
sini dong, aku bling2 kalo kelamaan dijemur

Lima hari berlalu setelah malam 'kencan' kami, ini kali pertama Ito mengirimiku pesan. Kukira kami akan kembali menjadi asing setelah aku menamparnya. Mau apalagi dia?

***

Tidak begitu sulit menemukan Incognito di luar cafetaria karena dia memang attention magnet: seputih poselen, berbalut kontras jaket kulit hitam, lengkap dengan kacamata dan topi yang juga hitam. Duduk berselonjor kaki, bertopang lengan ke belakang, kepala terangkat pada langit memamerkan janggut tipis itu, di bawah pembatas teduhnya palem parkiran. Tak mengacuhkan belasan pasang mata yang melintas dan terhipnosis auranya.

Sialan, dia womanizer.

Posenya tidak berubah walau aku sudah duduk di sebelahnya, berjarak sekitar setengah meter.

"Iya, perut kamu udah kelihatan gede. Kenapa aku nggak sadar kemaren?" Dia tertawa seolah kemarin bukan apa-apa. Lantas dia berpaling padaku, tersenyum, tanpa melepas kacamatanya. "Perkiraannya kapan? Aku perlu waktu buat kosongin schedule sekitar itu."

Kosongin schedule? "Buat apa?"

"Buat nungguin kamu dan anak kita."

"Kita?!" Yang benar saja!

"Iya, Mpus. Nanti kalo kita nikah dia anak aku juga."

Aku melongo dengan kepercayaan dirinya yang tidak biasa. Aku tertawa hambar. "Kirain udah najis sama aku."

Segera dia merapat padaku. Aku tidak melihat matanya, tapi kurasakan dia menatapku tulus dari nadanya berbicara. "Maaf. Maaf kemarin aku meragukan kamu." Dia mengulum lidah sesaat sebelum menambahkan, "Semua yang terjadi bukan salahmu. Salah si biadab itu. Aku tahu."

Aku menggeleng pelan. "Salah aku juga. Aku mau aja dibegoin. Kalaupun aku lapor dan ketahuan siapa orangnya, dia bisa pakai alasan kami ngelakuin itu suka sama suka. Biarpun, aku nggak inget apa-apa, cuma sedikit."

"Hmm." Telunjuknya bermain di janggut. "Apa yang kamu inget tentang orang itu? Selain dia bejat."

"Not much. Dia tinggi dan kuat, dia bisa gendong aku segampang gendong bayi." Aku memaksakan tawa. "Matanya ketutup topeng, mirip Tuksedo Bertopeng. Tapi Tuksedo Bertopeng nggak kurang ajar ngemabukin dan nidurin Sailormoon." Ito menyeringai miring. "Mukanya aku nggak ingat, mataku kabur karena mabuk."

Puncak kepalaku dibelai lembut. "Maaf," Suara Ito parau tercekat. "Maaf. Maaf. Maaf. Maaf sejuta kali juga nggak cukup,"

"Apa, sih?" Kali ini aku tertawa geli, meninju pelan bahunya. "Nggak papa, aku biasa diragukan. Bukan cuma kamu yang awalnya nggak percaya. Temen-temen aku juga."

Apanya.

Waktu itu aku menangis semalam karena Ito meragukanku, lalu impulsif menelepon dokter McFord untuk curcol.

"Sebagai permohonan maaf." Lengan kiri Ito terulur ke belakang punggungku, kemudian entah bagaimana mengeluarkan sebungkus makanan tercandu untukku. Tak berpikir, kuterima bungkusan itu. "Sajen dari hamba sahaya untuk Nyi Blorong."

Aku celingukan di sekitar palem. Rasanya saat aku datang tadi tidak ada apa-apa, mengapa tiba-tiba ada sempol?

Bodo lah, yang penting sempolnya. Trik magisnya urusan Ito. Tanpa menawari Ito, kulahap sendiri setusuk sempol. Dia tertawa tanpa suara, menampilkan sepasang lesung pipi mungil.

Agar-agar banget imanku ya Gusti. Disogok sempol dan senyum doang langsung memaafkan.

"Thanks ya." Aku menyikutnya. "Sering-sering aja bikin aku marah trus minta maaf begini, Ringgarda."

Senyum Ito meluntur. Rahangnya mengeras. "Tau darimana?"

Apa dia marah? "Dokter." Aku berusaha terdengar tenang, tetap memamah sempol.

"Dokter kompulsif itu maksudmu?"

Seketika rahangku berhenti.

Aku menoleh ke arah jam 10 yang ditunjuk Ito. Belasan meter di parkiran sana, dokter McFord baru saja keluar dari Prius-nya. Mobil hybrid itu berbunyi menandakan seluruh pintu telah terkunci. Astaga, hanya menatapnya dari jauh saja sarafku tersetrum listrik statis. Senyum Ito boleh saja menyenangkanku, namun hanya sang titisan Poseidon yang dengan mendengar namanya saja aku diterjang tsunami.

Dokter McFord menatap ke arahku. Alarm di otak menjerit supaya aku bergegas dari sini. Masih memegangi bungkus sempol, kurapikan ransel dan segera bangkit.

"Aku masuk lagi, ya. Masih ada prak—"

Keseimbanganku guncang karena lenganku ditarik Ito, dan tanpa permisi, dia membubuhkan kecup ringan di pipiku. Sedikit condong ke telinga.

"See you later, Mpus."

***

Sesampainya aku di depan lift berkapasitas 7 orang itu, langkahku melambat. Di dalam kotak baja itu sudah ada 2 senior laki-laki, dokter Saswita (dekanku) beserta istrinya, dokter Yuan, dan tentu saja dokter McFord. Dokter Yuan menekan tombol, menahan pintu lift untukku. Dokter Saswita memberi gestur ramah, mengajakku naik bersama.

Sialnya, ketika aku masuk lift, alarm overloaded berbunyi. Mungkin liftnya tahu aku sedang hamil, jadi dihitung dua orang.

Tidak mungkin meminta dosen-dosenku turun, aku mengalah keluar. Alis dokter Saswita terangkat karena yang mengalah bukan cuma aku, namun juga dokter Yuan dan dokter McFord. Kelebihan bebannya cuma satu, yang turun tiga. Apa-apaan mereka?

Dokter Yuan mengembalikan dirinya ke dalam lift. Tanpa menawariku atau dokter McFord, dia tersenyum lebar, menutup pintu lift.

"Ayo."

Dokter McFord menunjuk tangga dengan dagu. Aku sih, ayo aja...

Tapi harus banget nih kita gandengan tangan, Dok? DI KAMPUS?!

Aku diseret setengah memaksa. Kusejajarkan langkah, berusaha melepas genggamnya. Alih-alih dilepas, jemari panjang dokter McFord malah mengunci erat sela jemariku.

"Dok!" pekikku tertahan.

"Nggak ada orang, nikmati saja."

Nikmati gundulmu?

Aku celingukan sambil jalan seperti orang bodoh. Memang, sedang tidak ada siapa-siapa kecuali kami. Tapi keseringan senam jantung seperti ini tidak baik untukku. Mana lagi, hari ini dia memakai dasi sewarna matanya, dengan sedikit garis merah. Di lengan kirinya yang tidak menggandengku, tersampir jas biru navy. Sepertinya baru kembali dari acara formal. Kenapa makhluk ini semakin hari semakin ganteng sih?

Dia yang makin ganteng, atau kamu yang makin kasmaran, Mel?

"Dok, tolong jangan sembarangan!" Aku mencari iris birunya.

Bukannya menjawab, dia mengangkat lenganku, mengamati jemari kiriku. Senyum manisnya tersungging.

"These fingers are so small, but magicaly neat."

Kami berpandangan sesaat. Kalau saja bisa, ingin kusampaikan bahwa genggam dokter McFord bukan hanya menghangatkan tangan, lebih jauh, membuat tubuhku mengalami pemanasan global. Tapi aku tidak mau keceplosan lagi.

Genggamnya mengendur di depan tangga; jemari kami berpisah.

"Kamu di depan, aku di belakangmu."

Aku mengerjap. "Kenapa gitu?"

"Menjaga supaya ada yang menangkap kalau kamu jatuh."

Napasku tertahan.

"Ck, gombalnya. Sekalian bilang aja nangkap bidadari jatuh, Dok." Aku menyeringai kaku. "Saya nggak se-clumsy itu. Justru kalau Dokter yang jatuh, siapa yang nangkap?"

Dia terkesiap, mau mengatakan sesuatu tapi tidak jadi. Aku mengulum senyum, perlahan menarik dasi birunya mendekat.

"Dokter harusnya di samping saya, supaya kita bisa saling menjaga."

***

Kalau ada yang paling kurindukan, itu adalah keluargaku. Papaku yang absurd, Mamaku yang khawatir 7x24 jam, dan Fikar yang otaknya di selangkangan.

Laporan praktikum telah kutuntaskan dalam 1 jam demi memenuhi janji pada Fikar untuk video call. Aku tidak langsung pulang ke kos, namun memanfaatkan wifi gazebo perpustakaan kampus untuk menguapkan rindu. Jujur saja, wifi kosku tidak begitu bagus untuk video call. Video call dengan dokter McFord kemarin adalah buktinya.

Gendeng, 'kan? Sudah berapa kali aku menyebut titisan Poseidon itu hari ini?

Aku sudah bersiap di depan laptop, menunggu Fikar menerima panggilanku. Joko dan Danny sudah selesai dengan laporan mereka dan sekarang khusyuk mabar. Yang lain masih bergelut dengan pensil warna. Syukurlah, aku bisa terbebas sedikit dari kegeblekan mereka.

Panggilan telah tersambung. Aku menjauhkan wajah karena yang nampak bukan Fikar. Anak laki-laki lain.

"Eh, Kak Melati. Gimana kabar?"

Aku membalas senyum dan lambaiannya. "Alhamdulillah baik, Mil. Kamu gimana?"

"Hampa tanpa adanya kamu, Kak. Fikar nggak ada manis-manisnya sama sek—ADUH!"

"Aku bukan Le Minerale, bangke."

Kemunculan Fikar di layar sangat brutal; dia menoyor Emil dari belakang hingga dahi Emil menubruk kamera laptop seberang. Aku menggeleng lelah. Kasarnya tidak berubah sama sekali.

"Hush, hush. Yang boleh ganggu dia cuma aku." Fikar mengibas malas dan Emil hilang dari jangkauan kamera. Dasar durhaka, beraninya menyebutku dengan 'dia'.

"Emil masih sering ke rumah ya?"

"Masih lah." Fikar meringis. "Masih berusaha maling behamu, Mbak."

"HAH?"

"Becanda."

Andai jarak tidak memisahkan kami, sudah kusepak bokongnya seperti biasa.

"Kamu gendutan ya, Mbak?"

"Iya??" Senyumku mengembang lebar. "Cantik dong. Kamu tetep elek tapi."

"Yang barusan cacian sih, bukan pujian. Roaming kamu, Mbak."

"Mel, itu Dilan-nya udah bluray belum? Kopi dong."

Aku menoleh karena pertanyaan Sandra dari meja di belakangku. "Dilan mana?"

Sandra menunjuk laptopku dengan pensil merah muda. "Itu bukannya nonton Dilan?"

"Halo, Kak Isyana. Mbak Mel kenapa nggak cerita temenan sama Isyana. Raisa ada?" Fikar melambai tengil.

Aku mendengus keras. "San, ini bukan Dilan. Sama sekali. Yang itu Dilan yang ini Dilan-da musibah."

"Tai."

"Dilan yang asli mulutnya gak limbah!" Aku mendelik dan mengacungkan jari tengah untuk Fikar.

Sandra beranjak mendekatiku, sepasang matanya terkesima menatap layar. "Sumpah ini Iqbaal banget. Kirain Dilan. Siapa ini, Mel?"

Belum sempat kujawab, Fikar menyerobot. "Syafikar Dirgatama, adeknya Melati yang paling tampan, Kak."

"Yang paling elek juga, karena adekku cuma seekor ini," tambahku cepat.

"Haloo Syafikar, aku Cassandra." Sandra melambai semringah. "Bukan Isyana. Emang sering dikira Isyana. Kamu nggak mirip Melati."

"Memang, dulu Fikar dateng ke keluarga kami digondol kucing."

Fikar mencebik. "Adek ganteng gini disamain ama pindang?"

"Tapi kalian lucu," Sandra mengurai tawa. Hidih lucu dari Papua. "Udah deh, aku ngewarna lagi. Masih dua jaringan belum." Setelah melambai pada Fikar lagi, Sandra kembali ke samping Fathir.

"PAPA! Ini Mbak Meler!"

Sekonyong-konyong pria putih berkacamata muncul di sebelah Fikar, dengan sebuah trofi besar dalam bingkai kaca yang masih mengilat baru. Aku bertepuk tangan bahagia. Papa menguasai seluruh layar setelah Fikar menghilang dipanggil Emil.

"Papa juara 1 Gubernur Cup tahun ini kategori Catur Cepat!" Ah, Papaku memang selalu juara. Aku bangga, sekaligus khawatir, karena Papa... "Libur semester besok pulang nggak? Beli tiket yang paling mahal, yang seat-nya lapang cuma untuk berdua, yang dapet makan di pesawatnya."

Senyumku mengendur sedikit.

"Nggak bisa, Pa." Karena aku sudah menggendong bayi libur semester ini. "Soalnya ada Pengabdian Masyarakat, wajib ikut. Salah satu syarat untuk ambil skripsi, Pa."

Papa masih tersenyum, walau aku membaca kekecewaan yang nyata. Papa meletakkan trofinya di ranjang Fikar. "Ya sudah. Semester depan, ya? Papa jadwal liburnya bentrok terus sama Mama, jadi belum bisa ke Malang nengok kamu."

Aku menggeleng cepat. "Nggak papa, Pa. Nah ini udah termasuk nengok juga. Pokoknya Papa tenang aja, aku nggak hedon kok."

Tapi aku hamil, Pa. Maaf.

"Iya, Om. Melati nggak hedon, cuma jajan sempol tiap hari," celetuk Joko, muncul bersama Roman di belakangku, dan dengan polosnya, Roman bertopang dagu di atas kepalaku.

"HEH KAMU!"

Tuh kan, Papa. Hadeh.

Roman dan Joko tersentak lantas berjengit mundur. Kengerian membekap mereka setelah Papa berkacak pinggang memelototi mereka. Aku melengos. Harap maklum teman-teman. Salah satu alasanku ogah punya pacar adalah karena Papa tipikal yang seperti ini. Overprotektif banget. Udah over, dan pakai banget.

Roman tertunduk lemas. "Ma-maaf, Om."

"Jangan sembarangan pegang anak saya. Kalo kamu mau sama Melati, ngomong sama saya. Kuliah dulu yang bener. Kerja. Saya nggak akan ngasih Melati untuk anak kuliah yang masih minta duit sama—"

"Sama orang tuanya. Iya. Sudah Pa," potongku sebelum Papa membuat heboh satu gazebo. "Mereka bercanda, Pa. Udah pada punya pacar tuh berdua."

Kedua cowok di belakangku menungkupkan tangan. "Maafin, ya, Om," Roman menambahkan. "Saya nggak gitu lagi ke Melati. Maaf, Om."

Papa tidak berteriak lagi, walau masih mendelik ke belakangku. "Kalian bisa main catur nggak?"

Aku menepuk dahi. "Papaaa..."

Inilah mengapa aku khawatir. Papa selalu—sekali lagi, selalu—menginterogasi semua cowok yang dekat denganku tentang kepiawaian mereka dalam bermain bidak catur.

Joko dan Roman bersipandang, lantas menggeleng bersama. Papa melengos, sebelum Joko mengangkat telunjuk dengan wajah berbinar, "Dokter McFord kayaknya bisa, Om"

Spontan kuinjak keras ujung sepatu kets Joko hingga dia mengerang seperti anak perawan ditolak cintanya. Joko laknat!

"Dokter siapa?" Papa menyipit dengan dahi berkerut. Mampuslah.

"Bukan siapa-siapa!" serobotku.

"Dosen kita, Om. Dokter spesialis mata. Spesialis memperhatikan Melati juga. Orangnya sopan dan sudah mapan lho, Om, tapi masih bujang. Dari tampangnya pasti jago main catur. Iya nggak, Mel?"

Pertanyaan Roman sungguh tidak senonoh. "Bodo amat, Romi!"

Harus bisa. Dokter McFord harus bisa catur. Nanti aku training dia.

"Jadi kalo Papa ke Malang ada temen caturan, ya. Kalo dokter atau siapalah itu yang mau sama kamu, jangan langsung terima. Wajib checkmate Papa dulu. Hukumnya fardu 'ain—"

Sebuah peringatan lost connection mencuat menutupi wajah Papa. Indikator charger laptopku tidak menyala. Aku meletakkan kepala di keyboard. Sial pemadaman listrik, padahal aku belum bertemu Mama.

-BERSAMBUNG-

Malang, Maret 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top