14 Nyctophobia
🌟
HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT
Chapter 14 Nyctophobia
🌟
Sesampai di depan haunted house, alias rumah hantu, aku menyesal. Sangat menyesal, mengapa aku begitu bodoh tidak menyuruh Ito saja yang mengambil smartphone-ku? Jadi aku tidak perlu bersemuka dengan seorang bocah laki-laki, dokter Yuan, Evelyn, dan tentu saja dokter mata titisan Poseidon yang kusukai sekaligus kubenci.
Malam ini dia sangat kasual dengan kaus hitam berbalut sweater rajut abu-abu, serta jins cokelat gelap. Yang pertama dilihatnya-atau dipelototi, lebih tepatnya-adalah Ito. Ito yang menyunggingkan seringai ganjil hingga hanya satu dekik yang muncul di pipinya.
Dokter McFord menyipit. "Ri-"
"Ito. Cukup Ito," potong Ito cepat. "Langsung aja. Hapenya."
Tanpa sadar, rasa penasaran telah membuatku berdiri di 60 derajat di antara keduanya. Kutatap mereka bergantian. "Udah saling kenal?"
Ito yang pertama menyahut, telunjuknya menuding dokter McFord. "Kamu kenal dia? Si bubble wrap?" Seperti menyadari kebodohan, Ito meremas rambut kasar. "I see. Dokter, dan mahasiswa kedokteran. Teacher and student."
"Harusnya saya yang surprise kamu kenal anak ini," dokter McFord menunjukku. Aku mendelik.
"Memangnya saya nggak lebih kaget dari Dokter?"
Dia terbelalak padaku. "Ngapain kamu sama dia?"
"Bukan urusan Dokter. Dokter ngapain ke sini?"
"Bukan urusan kamu."
"Stalking dari ig saya, ya?!"
"In your dream. Aku nggak pernah follback kamu."
Alisku bertaut. "Jadi Dokter tahu kalau saya follow dan memang sengaja nggak mau follback?"
Dia diam sesaat, kemudian mengembus kasar. "Fine. Nanti aku follback."
"Nggak perlu repot-repot!" Aku mengibas geram. "Habis ini saya gembok. Saya juga nggak mau dikepoin dosen saya."
Mendadak sebuah lengan melingkar kuat di bahuku. Aku menempel di dekap Ito.
"Reality show Terciduk Basah-nya bisa udahan?" Tangan kanan Ito terulur di depan Dokter. "Hapenya. Buruan. Buat protect ig dari dosen kepo."
Dokter McFord mundur kepada bocah lelaki di antara dokter Yuan dan Evelyn. Aku melihat asap di atas kepala Evelyn, sementara dokter Yuan menatap langit berbintang, antara pura-pura tidak lihat atau memang masa bodo. Aku melepaskan diri dari Ito, untungnya dia cukup kooperatif untuk tidak membuat suasana semakin awkward.
Bocah Tionghoa berusia sekitar 5 tahun itu menghampiriku, membawa gawai putih milikku. Aku membungkuk dan tersenyum, sebab dia melirik takut pada wajah Ito yang sedang angker, disempurnakan eyepatch bajak laut itu.
"Nggak papa, dia nggak gigit, kok." Aku mencoba bersahabat.
Dia mengangguk lugu, menyerahkan smartphone yang langsung kuterima. Aku tidak tahu dia kerabat siapa, tapi aku ingin mengenalnya. Kuulurkan salam.
"Makasih. Kamu namanya siapa?"
Masih sedikit takut, dia menjabat uluranku. "Peter, Kak." Aduh lucunya pipi gembil itu. Semoga anakku kelak semanis ini. "Kakak siapa?"
"Aku Melati." Aku menunjuk pintu masuk haunted house beberapa meter di samping kami. "Tadi udah ke situ belum? Aku mau ke situ."
"Jangan, Kak!" Lenganku dicengkram. "Kata Tante Eve banyak hantu. Aku takut. Nanti ngompol pas tidur."
Kulirik Evelyn yang tengah bicara dengan dokter McFord. Air mukanya masih memancarkan kesal. Kupandang Peter lagi lebih lekat.
"Kamu salah apa sama hantunya, kok takut?" Aku menggamit jemari Peter. Dia menggeleng lagi. "Kalo kamu nggak salah, kamu nggak perlu takut. Ayo, aku kasih tau gimana caranya."
***
Konsep haunted house ini adalah berburu hantu, jadi kami harus menembak para jejadian di arena untuk mematikan (baca: menghentikan) mereka menakuti kami. Ada dua pilihan, jalan kaki atau naik kereta. Demi kenyamanan Peter, karena ini rumah hantu pertamanya, kupilih yang naik kereta. Keretanya berjalan otomatis, kami cukup duduk manis menembak dedemit dengan senapan imitasi yang disediakan.
Terdapat 5 anak kereta untuk satu putaran, masing-masing anak kereta untuk dua orang. Saat ini kami sedang menunggu keretanya. Rencananya, dokter McFord dan Evelyn di kereta pertama-ya, Evelyn ikut menemani keponakannya walau dengan bersungut-sungut karena dia tidak suka rumah hantu. Aku di belakang mereka dengan Peter, dan dua orang sisanya di belakangku. Ito protes ingin denganku, namun aku bersikeras menemani Peter karena sudah berjanji.
"Serah. Asal kamu jangan nikah sama dia aja. Pedo."
Aku tergelak melihat Ito mencucu, lucu sekali.
Peter menarik blus atasanku. "Pedo itu apa, Kak?"
"Pedo-man hidup." Baru mau kuhardik Ito karena mulutnya, dia sudah menyerobot lagi. "Jadi kalo orang kawin tuh yang laki harus bisa jadi pedoman buat bininya."
"Nikah. Bukan kawin." Aku meralat.
"Nikah sama kawin itu apa lagi, Kak?" Peter sudah tidak takut menatap Ito. Ito menepuk bahuku.
"Nikah itu supaya boleh kawin. Jadi nikah dulu baru kawin, nggak boleh kebalik. Kawin itu gini. Misalnya aku sama Melati. Habis nikah, kita masuk kamar. Kunci pintu, trus kita buka baju. Boleh buka sendiri-sendiri tapi lebih barokah kalo saling buka. Habis itu-"
"Stop racunin ponakan saya." Hardik Evelyn datang bersama toyoran keras datang dari dokter Yuan untuk pelipis Ito. Aku melengos, bisa-bisanya ada spesies seabsurd Ito.
Peter berpaling pada dokter McFord yang merunduk dan tersenyum mengusap puncak kepalanya. "Peter sayang boneka McQueen yang di mobil?" Peter mengangguk. "Kangen kan, kalau nggak ada McQueen? Mau sama-sama terus?" Dia mengangguk lagi. "Sama juga, misalnya. Misalnya doang, lho. Misal Om Lucas sayang banget sama Kak Melati, Kak Melati juga sayang banget sama Om Lucas," ASDFGHJKL, DOK! "Kita pasti maunya sama-sama terus. Supaya bisa sama-sama terus, Om Lucas sama Kak Melati harus nikah. Kalau kita nikah, artinya Kak Melati cuma sayang Om Lucas, Om Lucas juga cuma sayang Kak Melati."
Kontan Ito merangsek maju pada dokter McFord, dan mereka saling sanggah bak sepasang bocah tengil berusaha menentukan apakah Upin ataukah Ipin yang paling comel. Aku menyingkir dengan Peter, menungkup wajah yang panas dengan kedua telapak.
Memang cuma titisan Poseidon yang selalu juara di hatiku.
Kereta datang, kami naik sesuai urutan. Dua anak kereta di belakang terisi oleh pengunjung lain. Ketika kereta mulai bergerak, Peter merapat padaku.
"Pegang ini."
Kuserahkan senapan pada Peter, lantas merangkulnya, memegangi satu senapan bersama. Gelap pekat menghisap kami. Asap dingin menyergap, membuat Peter membenamkan wajah di dadaku.
Hantu pertama muncul di dinding atas sebelah kanan, bersuara menggelegar.
"Nggak! NGGAK MAU!"
Aku berbisik di rambutnya. "Kamu nggak salah, jangan takut. Nih, aku tembak dia," Kuarahkan senapan ke titik yang menyala merah, menarik pelatuk beberapa kali, lalu hantu itu tertimbun lagi di dinding. "Tuh, nggak papa kan gitu doang?"
Peter mengintip dari balik lenganku. Dia mengangguk lugu, tidak berteriak lagi.
"Itu, Kak!"
Peter mendongak ketika deru kelelawar menusuk gendang telinga. Kutembakkan ke titik merah di atas gua, tempat beberapa kelelawar imitasi bergelayut. Aku mendapat applause dari Peter karena berhasil menaklukan vampir receh itu.
"Setdah si bocah, kecil-kecil pinter modus. Gue belum pernah dipeluk gitu ama Melati!" Ito mendesis di belakang kami. Aku menoleh.
"Bisa berenti ngatain ponakan saya? Bagusan kamu yang saya tembak daripada hantu." Dokter Yuan menempelkan moncong senapan ke pelipis Ito.
Aku mendengus kasar. "Tembak, Dok. Nanti kalo jadian traktir saya."
Peter dan aku menembaki beberapa hantu lagi bersama. Dia bahkan meminta highfive denganku setiap kali berhasil menembak hantu. Saat jenglot muncul dari bawah jalan, Peter mengangkat senapan sendiri, tanpa bantuanku dia bisa merubuhkan jenglot itu.
"Kak, hantunya mati! AKU BISA!"
"Wo u woo u woo uu wooo~"
Aku berseru ala kepala suku Indian dengan menepuk-nepuk mulut, kemudian ber-high-ten dengan Peter. Kami heboh meninju udara bersama dan berteriak tak kalah lantang dari para hantu. Mengabaikan dokter Yuan yang mengumpat karena aku merombak keponakan lugunya menjadi Tarzan dalam beberapa menit.
Peter tidak lagi mau kubantu membawa senapan, jadi kubiarkan dia menikmati petualangannya. Pandangku jatuh pada anak kereta di depanku. Pria kaukasia itu, alih-alih menembaki hantu, dia justru meringkuk, membenamkan dahi di besi pengaman kereta. Punggung bidangnya gemetar tak wajar. Dia meracaukan sesuatu, suaranya sangat rapuh, tapi tak bisa kudengar.
Evelyn merangkul dokter McFord, berusaha menenangkan.
***
Aku keluar dengan dua perasaan kontradiksi bergumul di dada. Aku puas dengan Peter yang berhasil membunuh ketakutannya akan rumah hantu, di sisi lain, aku tertegun karena dokter McFord menangis.
Dia menangis. Dia meringkuk di bangku panjang depan haunted house, bertopang dahi. Dia meracau, "I'm a good kid," dan "I'm sorry," ratusan kali hingga paraunya mengiris rasaku.
"It's okay, Luke." Aku membeku sepanjang Evelyn merangkul dokter McFord di sebelahnya. "You're okay. You're a good kid"
Dokterku, apa yang terjadi padanya?
"Udah tau takut hantu, nekat juga masuk haunted house. Bunuh diri lo, bubble wrap."
"Dia nggak takut hantu," sanggahku pada Ito. Kami bersipandang lekat.
Ito menyeringai miring. "Tau darimana? Ngapain tuh mewek kalo bukan dia takut?"
"Aku nonton horror dua kali sama Dokter. Dia baik-baik aja."
Sepasang alis Ito terangkat. "Dosen dan mahasiswa dua kali nonton bersama? Nice scandal. Horror apa? Twilight series yang isinya ah-uh-ah-uh itu?"
Aku memutar bola mata. Harusnya aku tidak cerita pada Ito, tentu saja dia akan mengejek kami.
"Sempol," dokter Yuan menggendong Peter, berbisik di sebelahku. "Dia punya nyctophobia. Phobia kegelapan, specifically, di ruang tertutup. Aku sudah ingatkan dia supaya jangan masuk haunted house, but you see, he insisted to follow you."
Hah? Phobia... gelap?
Aku bersimpuh di hadap dokter McFord, berusaha menemukan wajahnya yang pias bersimbah peluh. Sepasang matanya memejam keras. "I'm... I'm a good kid..."
Dia ketakutan akan sesuatu. Kengerian yang tidak dapat dideskripsikan, kecuali berupa sedu sedan yang menggetarkan sekujur tubuh. Kusentuh sepasang punggung tangannya yang sedingin es.
Aku menggigit bibir bawah, mendesah pelan. "Dok, ini saya Melati."
Tangannya tidak juga terlepas dari dahi. "I'm a good kid! I won't do that again, I promise! I'M SORRY!"
Luapan takut di dada mendesak tanganku untuk lebih erat menggenggam telapak bidang dokter McFord, hingga tangannya terlepas dari dahi. Aku merapatkan dahi kami sebelum tangannya berhasil menungkup lagi. Iris birunya mengilat karena selaput air. Hembus nafasnya acak menyapu wajahku.
"I should be the one who said sorry." Sepasang ibu jariku bergerak menyeka sudut matanya. Manik matanya merewang. "It's not your fault, Luke. I'm sorry, for putting you in misery."
Dia masih bergeming. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak meraihnya dalam dekapku. Tubuhnya begitu besar, sekaligus lemah. Seolah memahami ketakutan pria dalam peluk ibunya, kaki kecil di rahimku menari memberi semangat.
Kubenamkan wajah pada rambut emasnya, dan berbisik di keningnya.
"I'll keep you safe, Luke."
Tubuhku ditarik merapat oleh sepasang lengan. Kutahan diri untuk tak melirik reaksi Ito, Evelyn, dokter Yuan, dan Peter atas aksi naluriahku dan dokter McFord.
***
Ketika dokter McFord telah kembali-kembali dari dunia lain, maksudku-kami melanjutkan perjalanan. Aku diseret Peter untuk mencoba sinema 4D. Menurut promosinya, sejenis bioskop, hanya saja lebih nyata karena bangku penonton dapat bergerak sesuai dengan alur filmnya. Sounds interesting.
Aku kewalahan menyejajarkan langkah dengan bocah lima tahun yang melompat lincah ini. Sesekali kulirik dokter McFord yang tertinggal di belakang, bersama dokter Yuan dan Evelyn. Aku lega dia tidak apa-apa, dan lega juga sebab dia tidak memarahiku lantaran memeluk dan mencium keningnya di depan banyak mata.
Rasanya déjà vu.
"Tipe kamu yang macam dokter kompulsif itu?" Rupanya mata tunggal Ito ikut melirik doktee McFord, dan dia menangkap aku tersenyum spontan.
"Kompulsif kenapa?" Aku menyesap cokelat hangatku yang dibelikan Ito.
"Dia punya kebiasaan popping bubble wraps. Nyetek-nyetekin bubble wrap udah kek mencetin jerawat aja."
Aku terbelalak dan berbinar. "Masa'? Ih, ucul dong."
"Emang di kampus dia nggak gitu?" Aku menggeleng. "Ck, selangit banget gayanya jaga wibawa. Dia itu dulu sering kena semprot dokter-dokter senior. Kemana-mana ngantongin potongan bubble wrap di jas." Bibir Ito mengerucut lucu. "Lagian kalo ucul-uculan, kemana-mana janggut aku jauh lebih ucul kali."
Aku tertawa tanpa bersuara. Kenyataannya, janggut tipis Ito memang feromon banyak perempuan, termasuk aku. Yang lucu adalah wajahnya yang mencucu tidak terima jika aku menganggap kebiasaan dokter McFord lebih menarik daripada janggutnya.
"Kalian gimana bisa saling kenal?" selidikku, penasaran.
"Dua tahun lalu, dia salah satu dokter residen di team yang nanganin pengangkatan mata kiri aku."
"Kak, ayo beli tiketnya. Aku nggak punya uang."
Cerita Ito terputus karena jemariku keburu diseret Peter menuju loket penjualan tiket sinema 4D. Ito menunduk di depan jendela loket.
"Sinema 4D, enam orang."
Petugas perempuan itu masih menghitung tiket yang akan disobeknya ketika dokter McFord muncul di antara Ito dan aku.
"Maaf. Empat orang, Mbak. Bukan enam." Sepasang alisku terangkat, dokter McFord berpaling padaku. "Kamu nggak boleh masuk sinema."
Sebelum aku sempat bertanya, lenganku ditarik pelan untuk membaca papan peringatan di depan pintu masuk sinema. Aku segera mengerti yang dimaksud dosenku adalah peringatan bahwa ibu hamil dilarang masuk sinema.
"Ini bahaya?" Aku mengerjap tak yakin. "Tapi Peter-"
"Peter boleh," potong dr. McFord. "But not you. Me neither. Aku nggak pernah bisa nonton di bioskop. Kamu tau alasannya."
Aku mengangguk, dokter McFord tidak bisa menerima kegelapan di ruang tertutup. "Bahaya banget, Dok? Haunted house tadi ada peringatan begini juga. So far, saya baik-baik aja."
"You're fine with ghosts, but not shakes. Sinema ini guncangannya nggak baik untuk kamu. Sama dengan bumper cars, tornado, dan rodeo."
Tubuhku tertarik lengan Ito.
"Lo pernah masuk sini?"
"Nope," dokter McFord mengerjap, dia menarikku lagi. "But this one is not good for her."
"Gue ratusan kali masuk sini dan keluar dengan utuh. Telling her which one is good or bad, who the hell you think you are? Her guardian angel?" Aku ditarik lagi.
Dokter McFord mengembus. Aku ditarik lagi. "Saya dosennya."
"Dan gue pacarnya."
Apa, njir?
Ingin tahu rasanya tangan kanan-kiri ditarik dua cowok ganteng-setengah-mampus seperti dalam drama Korea? SAKIT, BEGO. Buang ke empang bayangan bahwa aku sedang baper parah. Ini memalukan level akut. Seperti Justin Bieber ketika retsleting celananya menganga di atas panggung, disaksikan jutaan Beliebers.
Aku menarik diri sebelum audiens di sekitar berubah menjadi wartawan dadakan, meliput ketoprak kami, upload di jejaring sosial, kemudian aku dihujat netizen. Pura-pura tidak menyadari penonton, aku berlari kembali pada Peter yang berdiri di sisi pamannya dengan mimik kecewa.
"Jadi nggak, Kak?"
Aku bertopang lutut. "Maaf. Aku lagi sakit, nggak boleh ikut di bioskop. Dok-ah-Om Luke juga nggak boleh. Kamu berempat aja, ya?"
"Kalo gitu kita naik yang Kak Mel dan Om Luke boleh naik."
Kutatap dokter Yuan dan Evelyn, meminta saran. Sebab bertanya pada dua terong yang masih bersitegang di sana akan memicu episode drama baru.
"Itu, Mpol," dokter Yuan menunjuk sepasang anak kereta yang bergerak di rel ketinggian sekitar 10 meter di atas kami. "Sepeda udara. Itu melihat kota Malang dari ketinggian. Nggak ada guncangan. It must be safe for you. Luke juga nggak ada acrophobia."
Karena Peter melompat gesit, kuputuskan untuk membeli enam tiket sepeda udara. Kebetulan loketnya jadi satu dengan loket sinema 4D. Biarlah tidak perlu ditraktir Ito; aku malas bicara dengannya, walau dia masih biasku. Juga dengan dokter McFord, walau dia masih cintaku.
"Sepeda udara enam, Mbak."
Aku masih mencari dompet di ransel, namun dokter Yuan mengulurkan seratus lima puluh ribu ke loket. Ito muncul di sebelahku bagai jin ifrit.
"Lima, Mbak," ralatnya cepat, kemudian menggiringku menjauh sedikit dari muka loket. "Aku barusan ditelpon anak-anak. Mereka udah di backstage, lagi persiapan. Aku harus kesana. Kamu di sini aja, tapi habis sepeda ini kamu ke stage, tempat kita duduk tadi."
Kulirik jam tangan putih yang melingkar di pergelangan kiriku. "Belum jam 8 ini. Masih setengah jam lagi."
Sepuluh jemariku digamit Ito cepat. "Kan perlu preparation. Setelah naik yang ini, kamu ke tempat kita duduk tadi." Tanpa sempat kutolak, Ito menjatuhkan kecup ringan di buku jariku. "Jangan selingkuh ya, Kesayangan."
***
Incognito di atas panggung tidak terlalu berbeda dengan Incognito yang kutemui hari ini. Ramah, aktraktif, dan sedikit tengil. Ya, walau tengilnya naik drastis kalau sudah berurusan dengan dokter McFord. Aku masih tidak tahu ada hubungan apa mereka di masa lalu, selain dokter-pasien. Bukan urusanku, memang, tapi aku penasaran.
Kembali ke Incognito, penonton tak dibayar mengerubungi panggung yang dibatasi kolam mini, merekam setiap aksi sang magician. Termasuk aku dan Peter, yang maju karena tersihir salju yang memancar dari telapak tangannya, kemudian secara magis berubah menjadi belasan merpati yang membumbung tinggi keluar dome.
"OM ITO KEREENNN!!!"
Peter melonjak kesurupan, aku harus memeganginya agar tidak tercebur kolam. Ini baru pembukaan, tapi sihir Incognito telah menyedot euforia seluruh nyawa di dome. Gemuruh di muka panggung membuat kami mau tidak mau harus berteriak.
"Kak! Kakak nikahnya harus sama Om Ito!"
Aku tergelak mencubit pipi gembil Peter dengan tangan yang tidak merekam.
"Tapi maunya sama Peter!"
"Tunggu aku seganteng Om Ito, ya!"
"Peter sudah lebih ganteng kok!"
Peter memelukku kesenangan. Tungkai kecil di perutku menjejak bahagia karena dapat teman.
Kami kembali memerhatikan performer bersetelan jas hitam di panggung. Ito memulai dengan sedikit kuliah tentang filosofi warna.
"Anda punya warna favorit?" Ito bertanya seraya mengangkat lengan jemawa. "Oke, ada yang bilang punya, ada yang nggak. Setiap orang pasti-saya ulang lagi, pasti-punya satu warna yang berpengaruh di alam bawah sadar. Coba cek di lemari Anda, pasti ada satu warna yang jumlahnya paling banyak."
Aku mengangguk. Isi lemariku memang dominan warna putih. Pakaian dalam juga putih.
"Jadi kalau Anda bilang nggak punya warna favorit, itu salah. Anda punya, tapi Anda nggak sadar. Anda nggak peka. Anda boleh nggak peka sama warna, tapi Anda harus peka sama kode cewek. Karena cewek itu kalau ngomong suka kebalik. Misalnya dia ngambek, 'Turunin aku di sini!' itu berarti kode si dia minta naik. Naik pelaminan sama Anda."
Anjir, receh amat Mas Tokek.
Receh-receh gitu, rupanya audiens ngakak juga. Aku mengulum lidah menahan geli. Tawa renyah Ito, serta sepasang dekiknya, selalu bisa menyihir pemirsa, termasuk aku.
"Sebagai bukti kalau setiap orang punya warna bawah sadar, saya butuh bantuan 5 orang. Dari 5 kategori umur." Ito berlari kecil menuruni anak tangga di kiri panggung. Sebuah drone menyorotnya dari ketinggian, siarannya langsung terjabar pada layar besar di sayap kanan-kiri panggung.
Ito memainkan janggut kebanggaannya, mengedarkan pandang pada puluhan tangan di foodcourt yang terangkat minta di-notice. Detik berikutnya, ia menunjuk seorang pria yang tampaknya seusia Papa. Pria itu awalnya sama sekali tidak tertarik dengan show Ito, namun bukan Incognito namanya kalau tidak berhasil meyakinkan pria itu untuk naik ke panggung.
Sang magician berkeliling lagi berburu 'mangsa'. Tidak sampai satu menit, telah berdiri seorang ibu muda berhijab, anak perempuan sekitar SMA, serta mas-mas sebaya Ito menemani pria pertama di atas panggung.
Jantungku dan orang-orang sekitar mencelat ketika Ito bergerak mendekati kerumunan depan panggung. Senyum miring nakal tersungging di bibirnya. Manik pekat kopinya tidak lepas menatapku lekat.
"Yang terakhir, yang paling manis,"
Aku menahan napas, membekap mulut hiperbolis. Ito mendekat perlahan, tangannya terulur.
Aku siap. Aku siap!
Lantas Ito membungkuk pada bocah di sebelahku. Peter menyambut jemari Ito dengan berjingkrak heboh. Tanganku terlepas dari mulut. Mata tunggal Ito mengedip tengil padaku.
Magician kampret.
Dibantu seorang asisten perempuan, Ito membagikan 7 kartu bergambar untuk masing-masing partisipan. Pada 7 kartu tersebut, ada 7 benda dengan 7 warna berbeda. Tetapi tidak ada kartu yang memiliki benda dan warna sama persis. Misalnya, salah satu kartu Peter adalah bunga kuning. Artinya hanya Peter yang memiliki kartu bunga kuning, partisipan lain mungkin memiliki kartu bunga dengan warna berbeda.
"Sekarang, pilih satu kartu yang paling Anda sukai. Tapi jangan beritahu saya, jangan beritahu siapapun." Ito bergerak dari si pria pertama, memastikan setiap partisipan memilih satu kartu.
"Mas, harus pilih warna favorit?" Si gadis SMA mengangkat tangan.
Ito menggeleng. "Nggak. Sesuka kamu aja. Sesuai selera sendiri-sendiri. Boleh warnanya, bentuknya, matanya, lesung pipinya, janggutnya..." Gadis SMA itu tersipu. Anjir, sadar pesona sekali dukun satu ini.
Terakhir, Ito menghampiri Peter, memastikan bocah itu sudah menyembunyikan satu kartu dibalik jaketnya. Sisa kartunya dikembalikan pada Ito.
Semua partisipan telah memilih satu kartu. Ito mengembalikan pandang pada audiens.
"Saya nggak tau warna favorit Anda. Ada yang tau warna favorit saya?"
Spontan aku berseru dengan sebagian penonton. "MERAH!"
"Terima kasih, saya terharu banyak yang sayang." Ito menyeka sudut matanya yang tidak berair. "Lima orang di belakang saya, sepertinya juga sayang sama saya," Dia mendekati pria pertama. "Pak Rahman, bisa tunjukkan kartunya ke teman-teman di sini?"
Pria itu terlebih dulu meringis, sebelum mengangkat tinggi kartunya yang bergambar segelas minuman merah.
"Bapak sayang sama saya kan?" Ito bertanya genit.
Pak Rahman tertawa satire. "Sayang banget."
Aku menganga. Penonton terperangah, tepuk tangan mulai mengalir. Ito kembali menanyai si ibu muda, yang akhirnya mengangkat kartu pilihannya: blus merah.
"Ibu nggak boleh sayang sama saya. Sayang suami sama anaknya aja ya."
Tepuk tangan berbaur tawa semakin riuh. Aku berpikir keras karena kartu selanjutnya yang dibuka oleh si mas-mas adalah sepatu kets merah, kemudian si gadis SMU kartunya bergambar bunga merah. Terakhir, kartu pilihan Peter adalah mobil merah.
Mobil merah. McQueen.
Ya, berkat dokter McFord, Ito tahu bahwa Peter menyukai karakter Lightning McQueen, si mobil balap merah bernomor 95. Ito tahu Peter akan memilih kartu mobil merah.
Tapi bagaimana dengan 4 partisipan lain?
Kebolehan seorang Incognito berunjuk gigi mendapat sambutan antusias dari ratusan kepala. Yang lain boleh bertepuk tangan, tapi tidak dengan aku. Hembus angin dari ventilasi AC, serta satu pertanyaan besar membuat bulu romaku berdiri.
Siapa Incognito ini?
***
Audi merah telah mengantarku utuh ke pekarangan depan kos, namun aku tidak segera turun. Ito mematikan mesin lantas bertumpu badan pada roda kemudi, menunjukkan deretan gigi putihnya.
"Kenapa belum turun? Mpus mau digendong ke kamar?"
Aku mendelik. Who the hell is Mpus?!
"Gue punya banyak kucing di cafe. Belum ada yang namanya Mpus. Melati Pus. Mpus. Mpus."
Aku mencebik. "Mampus sekalian."
Tawa Ito berderai lagi. "Jangan dong. Nanti aku rindu. Rindu itu berat, aku nggak sanggup. Biar si Dilan aja."
"Receh."
"Receh demi receh lama-lama menjadi sugih."
Bibirku mengeriting, berusaha tidak tertawa tapi gagal. Bisa aja si dukun kekinian. Kumanfaatkan suasana ini untuk menjawil cepat janggut kebanggaannya. Seketika dia hening.
"Apaan, sih!" Ito membenamkan wajahnya di roda kemudi. Ada semburat merah di pipi porselennya. "Bismillah dulu bisa kali, Mpus!"
Alisku bertaut. Bukankah tadi fangirl-nya mencolek janggut itu seenak sabun Bukrim? Mengapa cuma kutowel sedikit dia langsung merah?
He's too cute to be true.
"Aku lagi hamil, dua bulan lagi persalinan. Menurut hasil USG, dia cowok. I wish he could be as gorgeous as you, Ito."
Reaksi Ito sesuai dugaanku. Dia menegak dengan wajah mengeras. Manik tunggalnya merewang, mencari fakta dibalik senyumku. Detik berikutnya, dia tertawa satir.
"Nggak mungkin," Dia menggeleng pelan. "Kamu nggak kelihatan hamil. Sama sekali."
"Soalnya aku kurus." Kuraih jemari Ito yang dingin dan sekaku es untuk meraba perutku. Aku memaksakan senyum. "Dia nendang kamu kan?"
Ito menarik tangannya. Mungkin dia jijik.
"Lo bersuami dan mau jalan ama gue? Lo sinting?"
Aku menggeleng tenang. "Sekitar 7 bulan lalu, aku minum di acara temen. Aku mabuk sama seseorang." Aku menelan batu. "Laki-laki. Aku nggak tau dia siapa. Yang aku tau, aku bangun sendirian di kamar hotel. Badanku sakit semua, dan aku bukan perawan la-"
"Bohong!"
Aku dibentak tepat di depan hidungku. Aku tidak apa-apa, toh aku tidak berbohong.
"To, aku nggak bohong." Kudekatkan wajah, namun dia mundur. "Kamu bisa hipnosis kan? Kamu tau cara ngebaca wajah orang? Nilai aku. Kamu tau aku jujur."
"Nggak." Rona merah di pipinya telah menjadi pasi. "Lo pasti tidur sama banyak orang."
Tanpa kusadari, tanganku impulsif menepuk wajahnya. Dia tersentak. Pandangku telah berkabut oleh selaput kaca.
Demi Tuhan dan semesta-Nya, aku berani bersumpah, tidak ada yang meniduriku selain pangeran biadab itu.
-BERSAMBUNG-
Malang, Maret 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top