14.5 Luke's Hangover

🌟

HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT

Chapter 14 Nyctophobia

🌟


"Luke, pinjem boxer. Salah masukin tas. Malah sempaknya dobel,"

Aku mengibas malas. "Ambil sendiri," dan kembali merenungi daftar hasil olahan nilai UTS lembaga bimbingan belajar asuhanku, GOAT. Hasilnya lumayan namun sedikit ganjil karena beberapa murid yang seingatku pintar mengalami penurunan nilai.

"Lemari kaca ini, kan? Mana? Nggak ada, picek. Kamu tega aku tidur sempakan doang, Lu?"

Waktu aku menoleh, Yuan benar-benar hanya memakai kain segitiga bermuda hitam itu sebagai penutup alat vitalnya. Aku beranjak malas, membuka lemari, menarik celana training hijau dan menyurungkan benda itu ke dadanya.

Hidungnya berkerut. "Kan aku minta boxer. Parah kon ora peka. Pantes si Sempol lebih milih dukun viral itu."

Aku menyipit. "Pilih sempakan atau trainingan?"

Tanpa menunggu reaksi Yuan, aku kembali pada laptop di atas meja. Bukan untuk merenungi nilai lagi, namun justru mematikan benda perak itu. Setelah dari BNS, bukannya tidur, aku malah mengolah nilai. Karena aku masih insomnia setelah semua yang terjadi, terutama di haunted house.

Yuan tidak lagi protes mengenai boxer dan keluar kamar. Aku mengikutinya, mengambil selembar potongan bubble wrap dari buffet, lantas menghempas diri di sebelah Yuan. Dia memenceti tombol remote tv, aku memitas bulir bubble wrap. Sensasi letupnya melegakan rongga dadaku seperti inhaler.

"Lah, masih Moto3? Kapan Rossi-nya?"

"Jam dua."

Yuan mengembus kesal karena Valentino Rossi pujaannya belum nampak di Circuit of the Americas. Setelah menemukan Harry Potter and the Philosopher's Stone di saluran Fox, Yuan berhenti memenceti remote. Namun alih-alih menonton Emma Watson, dia malah meraih ponsel berlogo apel cuilnya.

Aku melirik untuk mencari tahu perempuan mana lagi yang akan dia bangunkan malam ini. Playboy kelas pindang ini cukup rapi menutup belangnya. Di luar akademik, Yuan menebar bibit tak berkesudahan. Di lingkungan universitas, dia sengaja menempel padaku SUPAYA digelari Dokter Homo—yang mana aku sangat keberatan—demi menjaga wibawa di depan mahasiswa.

Wibawa ndasmu, Yu?

Rupanya Yuan bukan membuka chat history, namun pemutar video. Aku memelotot karena di cuplikan itu, Melati memeluk dan mengecup keningku.

"Fuck!"

Tanpa permisi kurampas benda pipih itu dan menghapus permanen si rekaman laknat. Disaat fobiaky kambuh dan Melati mencoba menenangkanku, dia merekam kami?!

Ya, Yuan is definitely worst of the worst.

"Lu? Lah? Jangan dimusnahin dulu mau upload ke igstory!"

Shit. "Go to hell."

"Sebagai penonton aku kecewa, Lu. Ekspektasiku minimal ada cipokan."

Kukembalikan ponsel pada pemiliknya yang melengos. Aku memilih memerhatikan Dumbledore, sambil memitas biji bubble dan menggumam, "So she's close to Ringgarda."

"I sense jealousy. Bener, Mas Bro?" Punggungku digepuk kuat hingga aku nyaris terjungkal. "Eh, maap sengaja." Dia menggenapkan dan aku benar-benar terjungkal.

Sialan pangkat dua.

Aku baru akan menghardik Yuan saat dia merusutkan tubuh di sofa, dengan sepasang lengan terlipat ke belakang kepalanya. Dia melirikku, "Telepon aja. Tanya," intonasinya turun satu oktaf.

Jujur saja, aku tidak bernyali menelepon Melati, apalagi setelah dia tidak membalas pesan terakhirku, waktu aku sedang shift malam dan butuh teman. Dia benar-benar dingin. Dia tidak secuilpun melirikku di kampus.

"Males. Positif di reject."

"Nggak mungkin. Si Sempol ada rasa buat kamu." Yuan meringis. "Kalo nggak, mana mau dia ngelakuin seperti di rekaman yang kamu hapus barusan itu."

"Is it?" Aku tercenung. "Tapi dia excited sekali waktu nonton si tukang sulap. Maju paling depan segala. Skleraku inflamasi."

"Yaiyalah dia fansnya!" Yuan gemas menungkupkan bubble wrap ke wajahku. "Tuh sama kek si Pete ngefans McQueen, atau aku ngefans Riley Reid."

Kugulung bubble wrap dan memelintirnya, meletupkan bunyi petasan mini. "Kalau yang kamu bilang itu benar... why the hell does she try to push me away?"

"Karena yang aku bilang tadi: kamu kurang peka." Alisku bertaut. Kurang peka bagaimana? Aku sudah melakukan apapun untuk mempertahankan senyumnya. "She pushes you away because she thinks she's not good enough for you. Menurut dia kamu seharusnya sama orang lain yang lebih pantas."

"Orang lain siapa?"

"Siapapun. Perempuan yang masih suci, bukan yang hamil di luar nikah kayak dia. Dia bukan nggak mau sama kamu; dia nggak percaya diri."

"Kenapa? Dia cantik. Katanya dia paling cantik se-FK."

Dahiku didorong Yuan.

"Itulah. Kamu kurang peka. Dia pikir dia 'barang rusak' because she's not a virgin anymore, and she's fucking pregnant."

Aku memitas sisa bubble. "Screw that virginity thingy. She gives me tachycardia."

Yuan menyembur udara dengan wajah menjijikkan. "Takikardia gundulmu. But yeah, me too. Sayang aja dia lebih milih kamu."

"Iya kan?" Wait. "YOU TOO?!"

Berengsek! Seharusnya aku sadar lebih awal. Dia buaya ekor sembilan. He's an asshole!

"No! I'm not!" bantahnya. Aku menggeram, hangus sudah kepercayaanku. Dia memutar bola mata. "Okay, fine. Tadinya." Nyaris kucengkram kerah kausnya kalau si berengsek ini tidak lebih dulu menahan tanganku. "Then I saw you and her pulling the same red string, so I keep my ass off of her. Selow, Luke. Aku nggak akan embat punya temen sendiri. Masih banyak ikan di laut. Mamam tuh anakan pindang, kalo aku mau aku bisa ngejaring mermaid."

Kutepis kasar lengan Yuan. Bukan masalah kalau Melati lebih memilih Yuan daripada aku—baiklah, aku sedikit kecewa. Yang tidak bisa kuterima adalah Yuan hanya ingin bersenang dengan hati perempuan demi produksi endorfin pribadi. Bukan baru sehari dua hari aku mengenal tabiat seorang Li Yuanju yang seperti itu.

Kerut di dahiku tidak juga lurus. "Katamu pantang ngincer mahasiswa sendiri."

"Ya gimana, that Sempol is so adorable, kalem-kalem jual mahal. Jadi gemes pengen ngekhilafin." Aku mendelik. "Bercanda ding. Astagfirullah, Luke! Fine, aku tobat! Melati Pusparana paling jelek se-FK. Puas,!"

Kali ini benar-benar kurenggut kasar kerah kaus Yuan hingga kain abu-abu itu meregang. Aku baru akan menghadiahkan sebuah bogem untuk rahangnya, namun ponselku menjerit. Tanganku terlepas untuk meraih ponsel di meja sebelah sofa. Pukul satu pagi, dia belum tidur.

Incoming call . . .
Melati Pusparana

***

"Dokter belum tidur?"

Aku mengunci pintu kamar, kemudian keluar ke balkon, dan mengunci pintu balkon juga. Double protection untuk manusia kepo selevel Yuan.

"Belum." Lengan kiriku bertumpu di birai balkon, dengan ponsel di genggam kanan menempel di telinga. "Kenapa?"

"Lagi apa?" Dia malah bertanya.

"Lagi mau baku hantam."

"Hah? Sama siapa? Kenapa?"

"Sama kamu," hardikku. "Ngapain telepon jam satu pagi? Perlu dibogem dulu baru tidur?"

Terdengar suara melengos kasar di seberang. "Rugi besar saya khawatir sama Dokter sampai nggak bisa tidur. Bagus deh, Dokter sehat dan udah bisa ngajak saya baku hantam. Assalamua—"

"Tunggu!"

Terlambat. Sambungan sudah diputus dari seberang. Tanpa berpikir aku melakukan panggilan balik. Tidak perlu jeda lama sebelum Melati menerima.

"Thank you. I'm fine, really," bukaku cepat. "Maaf, bukan itu maksudku."

Ada jeda dua detik sebelum dia menghela. "Saya yang maaf, Dok. Maaf mengganggu malam-malam. Saya lega Dokter sudah baikan. Kalau gitu saya permisi—"

"Jangan!" Aku mencari alasan dari kelip bintang. "Aku nggak jadi baikan. Aku sakit lagi. Aku serangan asma. Ini thorax-nya kembang kempis kepikiran Ringgarda mencium tangan kamu di depan loket sepeda udara. Kamu harus khawatir lagi."

Holy shit. Aku merinding karena kalimatku sendiri.

"Ringgarda?" Sial, keceplosan.

"Ringgarda. Nama laki-laki itu. Sorry, I'm not used to Incognito." Bodo amat, Ringgarda tidak bisa menghajarku sekarang. "Aku nggak punya hak untuk ini, tapi tolong, stay away from Ringgarda."

Sekarang aku berlagak seperti ayah overprotektif. Baik.

"Kenapa?" Ada getar aneh di suaranya. "Kenapa Dokter peduli sama saya? Saya juga nggak punya hak untuk ini, tapi tolong, Dokter hargai Evelyn. Dia calon tunangan Dokter. Jangan main-main sama perasaan kami. Kalau Dokter peduli sama saya, Dokter jauhi saya."

Lol. Demi Neptunus.

Aku tidak tahan untuk tidak tertawa. "Kamu denger itu dari mana?"

"Dari Evelyn langsung!" Okay, dia mulai terdengar emosi. Aku bisa membayangkan bibir mengerucut, dan itu pasti manis sekali. "Saya dimarahi habis-habisan di sepeda udara karena seenaknya meluk dan cium Dokter. Katanya saya pelakor. Dokter jangan khawatir, saya sudah minta maaf baik-baik. Biarpun keliatannya saya belum dimaafkan. Saya minta tolong Dokter juga jelaskan ke Evelyn kalau saya—"

"Oke. Aku jelaskan ke dia besok," potongku. Pantas tadi Evelyn memaksa untuk satu sepeda udara dengan Melati, ternyata untuk ini. Melati sudah meracau—aku yakin menangis. "Kalau aku nggak mau tunangan sama dia. Ya, my bad, aku belum tegas nolak dia. Besok aku tegaskan ke dia, yang lebih penting lagi ke Mom. Mom yang seenak udel merencanakan pertunangan itu."

Terdengar suara ingus ditarik. God, dia nangis? Apa semua perempuan setempramental ini, atau hanya karena Melati di bawah pengaruh hormon kehamilan?

"Terserah. Bukan urusan saya." Bukannya kecewa, entah mengapa aku malah tersenyum geli. "Saya cuma mau tahu tentang Incognito."

Senyumku menguap. Ringgarda lagi.

Aku mendengus. "Dia kenapa?"

"Dokter kenal dia? Maksud saya, kenal Ito secara pribadi."

"Not really. He was just happened to be one of my patient." Aku menarik napas dalam. "Tapi sebaiknya kamu jangan terlalu dekat."

"Kenapa?"

"Karena kalo terlalu dekat nanti jadi sayang." Karena Ringgarda sudah punya kekasih, goblok. Kamu cuma dipermainkan; and I hate to see you crying. "Aku cemburu."

"Bukan urusan saya."

"Bukan, sih." Aku menyelip tawa. "Tapi kamu senyum."

"Nggak!" Dia membantah segera.

"Ubah ke video call ya?"

"Nggak! JANGAN!"

Tanpa menunggu persetujuan, aku telah mengubah ke mode video call. Aku tidak tahan hanya membayangkan; mataku perlu melihatnya. Kugunakan kamera belakang sehingga yang nampak dariku bukan sosokku, namun langit pekat berbintang. Ada jeda lima detik sebelum video tersambung karena dia ragu untuk menampakkan diri.

Dan yang kulihat darinya adalah langit pekat berbintang. Langit yang sama, dari angle berbeda. Bibirku tidak bisa menahan senyum.

Sial, kami memang persis.

"Dokter curang!" Terdengar makian bercampur tawanya.

"Kamera depan. Ayo, sama-sama. Satu, dua—"

"Nggak mau!"

"Kalau nggak mau, kamu pacarku. Kamera depan atau belakang?"

"Pilihan macem apa itu? Nggak!"

"Oke, kita official. Ganti relationship status di Facebook. Saling pasang akun satu sama lain di bio Instagram. Bikin sensasi biar gempar: mahasiswi paling cantik se-FK pacaran sama dosennya."

Mendadak sosok perempuan berambut singa berpiyama merah muda polkadot putih muncul di layarku. Dia memberengut, lucu sekali. Aku turut mengubah ke kamera depan, memamerkan deretan gigi.

Ada yang kurang dari iris caramelnya. Kelipnya hilang, bukan karena kurangnya pencahayaan.

"Mata kamu ada rheumnya. Sini aku lihat. Lagi infeksi?"

Wajahnya mendekat. "Rheum?"

"People used to say belek."

Kamera di seberang berpindah cepat menampakkan langit-langit di bangunan itu. Bisa kudengar Melati mengumpat panik di sisi lain. Perutku geli sendiri. Detik berikutnya, dia muncul lagi di layarku. Rambut jet black-nya sudah sedikit lebih rapi, walau paras dan matanya masih lembap.

"Dokter nggak jijik sama saya?" Suaranya merendah.

"Aku spesialis mata, rheum udah mainan sehari-hari."

Dia menggeleng diiringi tawa sumbang. "Bukan. Ito langsung jijik setelah tahu saya lagi hamil." Dia menarik ingus, "tanpa suami. Dokter nggak jijik?"

"Kaget. Tapi nggak jijik."

"Bohong."

Aku mendengus, lantas menghempas diri di kursi rotan. "Aku pikir kamu yang jijik karena menghindari aku terus,"

"Sebaliknya," bantahnya cepat. Bukan Melati Pusparana kalau tidak membantahku. "Saya suka sekali mata Dokter."

Aku mengerjap dua kali.

Shit.

Baru begini, skleraku langsung panas. Lambungku geli. Melati bukan orang pertama yang tertarik dengan iris biru lautku. Namun baru kali ini aku seperti tersengat listrik statis saat dipuji perkara mataku.

"Dari matamu, matamu, ku mulai… kesurupan!"

Kamera bergerak random setelah kedatangan seseorang. Aku bisa menerka Melati sedang panik menjauhkan ponselnya dari orang itu. Mereka memperebutkan gawai putih miliknya.

"Melati puelit. Dokter gantengnya dikekep sendiri!"

Entah mengapa suara cempreng itu tidak asing. Tapi tidak mungkin. Masa' anak itu? Kebetulan apa ini?

Lantas seseorang muncul di layar ponselku. Gadis berambut setengkuk menatapku semringah, melambai, lantas berseru norak.

"Halo, Mas Dokter ganteng! Wih iya anjir ganteng gilak, terong Belanda rambut pirang mata biru. Pinter ya Melati, memperbaiki keturunan. Eh Mas Dokter, aku cariin juga dong yang sebelas dua belas ama situ. Oiya kenalin namaku El—"

Refleks kuputuskan sambungan. Jadi dia berteman dengan Elia? Sialan!

***


"Eh, dokter McFord." Yuan segera bersimpuh, matanya berbinar. Aku melongo. "Gimana, udah jadian? Kapan kawin?"

Aku menghempas diri di sampingnya, tersenyum pada Marc Marquez di layar plasma yang sedang wawancara sebelum balapan. Kalimat Melati bergaung di kepala dan aku kesetrum lagi.

Aku menoleh pada Yuan. Sudah lupa kalau 20 menit lalu aku ingin memutilasinya.

"Yu, kamu suka mataku nggak?" Aku mengedip tiga kali.

Yuan tersedak cola kalengan yang sedang ditenggaknya.

"Fak!" Dia menyeka sudut bibir dengan pergelangan tangan. "Bodo amat! Najis, Lu! Jangan nanya gitu lagi. Jangan ngedip kelilipan bumbu indomi lagi. Si Sempol bilang apa kamu sampe kasmaran gini?"

Cih. Aku melengos dan kembali pada Marc Marquez. Selamanya tidak akan kuberitahu soal Melati pada Yuan. Dia sebelas dua belas dengan Ezra dalam hal membuli aku.

Ohsyit. Ezra. Elia.

Aku merogoh ponsel lagi, mengetik pesan untuk Elia. Dari statusnya, dia sedang online.

Lucas McFord
jgn cerita aneh2 tentang aku ke Melati
atau aku pecat kamu dari

Elia W
km kok mesti jahad kalo sm aku mas?
sm Melati kayak pangeran kelantan
ku lapor Ezra sama Mom lho

God, minta dilulurin formalin ini anak.

Lucas McFord
JANGAN 😭😭😭
fine L
please jangan cerita aneh2, itu aja

Elia W
oyi bosque, serahkan pada L
dari matamu matamu ku mulai kesurupan~

Dahiku mengernyit. Serahkan pada Elia justru membuatku ketar-ketir. Awas saja kalau dia berani macam-macam, kutendang dari GOAT.

Elia W
are u really into her, mas?
jawab dlm hati aja soalny aku ember
just don't hurt her, atau aku viralkan di ig lambe2an trus ketawan Mom dan Ezra

Aku tertawa tanpa suara.

Elia selalu begitu sejak dulu. Dia akan maju di garis depan untuk orang-orang sekitar yang membutuhkannya, seperti waktu itu. Tidak heran Ezra tergila-gila padanya hampir sepuluh tahun. Tapi bertepuk sebelah tangan sampai sekarang. Poor him.

"AAAHHH! MBAH ROSSI WHYYY!"

Yuan menjambaki rambut frustasi. Aku memelotot ke layar plasma. Valentino Rossi terpeleset di tikungan pada putaran ke lima. Kontan saja kepal tanganku meninju udara.

"Mampus Rossi! Yaasss, Marquez lagi malam ini. Jadi Rabu minggu depan gantikan shift-ku. Okay deal, dokter Yuyu Kangkang?"

"Taik!"

Kehabisan umpatan, Yuan hanya mampu melempariku dengan kulit kacang. Senyumku mengembang lebar. Kamis minggu depan akan jadi salah satu hari bersejarah untuk Melati. Aku tidak sabar untuk melihatnya menggigit bibir bawah dengan wajah merona.

Aku menoleh pada Yuan setelah menangkap sebuah kulit kacang. "Oh yes, beritahu si Eve."

"Apaan!" Dia masih melempariku dengan galak.

"Aku nggak mau tunangan sama dia. Mulai malam ini, aku punya pilihan sendiri."

-BERSAMBUNG-

Glossarium
. Takikardia: kondisi jantung berdetak di atas denyut normal dalam keadaan istirahat


Malang, Maret 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top