13 Milik Bersama
🌟
HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT
Chapter 13 Milik Bersama
🌟
Sepasang mata dokter Zesta menyipit di balik lensa miopi-nya. Di hadapannya ada kalender meja akademik jurusan Pendidikan Dokter, penanya diketukan ke kalender, menghitung hari dalam benak. Usia kandungan sudah di bulan ketujuh, dan kalau semuanya lancar, tidak sampai tiga bulan lagi aku akan menggendong bayi.
Jangan tanya perasaanku bagaimana. Kuremas jemari Elia di sebelahku. Dia membalas genggamku dan memulas senyum. "It's ok, I'm with you," bisiknya. Aku sedikit tenang.
Menurut perkiraan, persalinanku akan jatuh sekitar akhir semester dua ini. Mepet dengan jadwal Ujian Akhir Blok 2.
"Semoga masih nutut untuk ikut ujian ya, Mel," Aku mengamini dalam hati. "Untuk OSCE, jelas kamu nggak bisa ikut sesuai jadwal, tapi bisa susulan bareng yang remedi. Tenang, pasti ada nanti berapa ekor temen kamu yang remedi."
Aku tertawa sumbang. Masa' iya dokter Zesta mendoakan agar teman-temanku remedi OSCE?
"Terus, Dok, seandainya persalinannya maju, saya nggak bisa ikut UAB. Dokter bisa tolong saya untuk surat izinnya?"
"Saya bisa buatkan suratnya," Senyum doktee Zesta melegakan dadaku. Beliau meneruskan selagi mengisi rekam medisku. "Tapi nanti kamu diskusikan juga sama si Vero baiknya gimana. Bisa jadi ujian susulan, atau ujian take home, tergantung sikon. OSCE susulan sudah pasti, jadi sebaiknya kamu urus dari sekarang juga sama Vero, supaya nggak ribet di akhir."
Aku mengedip. "Vero?" Siapa pula itu?
"Oh," dokter Zesta berhenti sejenak, lantas menatapku dengan setengah tertawa. "Dosen PA kamu. Saya lebih suka panggil dia Vero, soalnya dia langsung sambat kalo dipanggil Vero."
Ya Gusti nu agung, titisan Poseidon itu lagi.
"Sambat gimana, Dok?"
"Ngambek, percis koyo arek cilik njaluk numpak odong-odong." Beliau menulis resep untukku berupa kalsium penambah darah. "Jangan dicoba lho, Mel. Dia bilang kamu termasuk mahasiswa dia yang kuat. Kamu pinter bagi waktu, kapan harus belajar kapan harus istirahat. Mental kamu kuat, nggak mudah tertekan karena ujian-ujian akademik. Sayangnya, kata Vero kamu justru mudah tertekan karena lingkungan. Tapi saya paham, semua perempuan kalo di posisi kamu pasti terguncang, Mel. Vero nggak akan ngerti karena dia bukan perempuan."
Aku mengulum lidah. Ya, Vero tidak akan mengerti.
"Ciyee, care banget si Vero itu," Elia menyikutku. "Vero siapa sih namanya? Veronica? Veromon? Verontok bulu kaki?"
Aku memelotot pada si kampret. Untungnya, dokter Zesta malah tergelak dan menutup penanya.
"Hahaha, lain kali mesti saya coba itu Verontok bulu kaki." Beliau menunjuk jahil pada Elia. Tengil juga obgyn satu ini. "Tapi bener, lho, itu bocah care sama Melati. Saya dipesenin untuk nyuruh kamu makan. Kata dia kamu cuma doyan sempol makanya kurus. Kata saya, sih, kamu boleh makan apapun, asal bersih dan bergizi. Kamu calon dokter, kamu bisa memilah sendiri. Buktinya si janin sehat banget. Ibunya kurus, nggak masalah. Banyak yang hamil tapi kurus. Yang penting ibu dan anak dua-duanya sehat."
"Berarti boleh, Dok, makan sempol terus?" Aku berbinar.
"Boleh aja. Memang nggak bosen?"
"Nggak."
Sempol tidak pernah membuatku bosan, seperti dokter McFord. Bedanya, sempol bisa kumiliki, dokter McFord tidak.
***
Dream comes true itu salah satunya adalah ketika biasmu mengajak jalan. Katanya, kami akan ke taman bermain malam, namanya BNS (Batu Night Spectacular). Ito diminta show pukul 8 malam. Aku diajak karena dia ingin aku menonton show-nya secara live, bukan dari konten Instagram. Dia berjanji untuk mengantarku pulang sebelum jam 10 malam, waktunya kosku tutup. Oh, karena ini malam Minggu, bonus satu jam jadi pukul 11 malam.
Ito bilang ini jalan bareng, aku bilang ini kencan. Bagiku malam ini dunia cuma ada Ito dan aku. Kru-nya... anggap saja ngontrak. Ini kesempatanku untuk tampil cantik semaksimal mungkin lalu diam-diam menjawil janggutnya, seperti saran Mbak Utami.
Anakku pasti terlahir gorjes. Segorjes Ito.
Sore ini, aku sudah bertandang ayu di HocusPocus Foods, tempat nongkrong millenial kekinian di pusat kota yang ternyata milik Ito. Konsep cafetaria ini Incognito banget: hitam-ungu-putih. Hitam untuk menyamar (baca: incognito), ungu untuk magis, dan putih untuk salju. Grafiti dinding dan pernak-pernik sulap tersebar random, dengan komposisi yang pas. Walau catnya bernuansa gelap, namun kilau glitter dan pencahayaan yang memadai membuat cafetaria ini jauh dari kesan suram.
Jus mangga baru saja kusedot habis, ketika mendadak pandanganku tertutup dua telapak tangan.
"Supaya baper macam drakor, coba tebak, ini siapa?"
Aku meniup poni. "Ito. Lawas banget."
Suaranya mendadak tinggi dan falset. "Salah," Mataku dibuka, kudapati sosok Valak. "Aku Valak. Aku mau Valak hati kamu, Melati, hohohoho," atau sebenarnya, itu Ito yang memakai topeng dan tudung biarawati ala Valak.
Haish, ora medeni blas.
Kusibak topeng dan tudungnya, menemukan si pemuda berambut ikal belah samping, yang satu mata pekat kopinya membulat sempurna saat menatapku.
"Nggak takut?"
Kuamati lekat tiruan Valak ini, menyusuri setiap lekuk topeng, tak percaya dengan penglihatanku. "Real banget ini Valak-nya. Mantul!" Aku menengadah. "Beli di mana?"
Sepasang alisnya bertaut. Valak direbut dari tanganku. "Anjir. Baru ini si Valak gagal. Seriusan lo nggak takut?"
Aku menggeleng, kutarik lagi si Valak. "Apanya yang harus ditakutin? Estetik gini topengnya, asli sumpah. Beli di mana, sih? Berapaan? Aku mau juga."
Alih-alih menjawab, Ito malah melongo, tapi akhirnya menyahut juga. "Di toko sulap di London. Lupa, 40 apa 50an euro. Ngeborong macem-macem trus maen gesek, nggak detail merhatiin harga."
Bibirku mengerucut ke samping. Aku mana paham soal euro. Mata uangku adalah rupiah atau sempol.
"Kapan-kapan kita ke sana, mau?" Dia tersenyum, aku terperangah.
"Mau! Beneran??"
"Sure. Tapi bayar dewe-dewe."
"Bangke."
Dia tergelak renyah, menampakkan sepasang lesung pipi yang kayaknya enak buat ditunyul.
"Hari ini kita lihat rumah hantu ke BNS dulu, ini aku yang bayarin." Tangannya terulur mengacak poniku. "Yang ke London, aku bayarin asalkan itu honeymoon kita."
***
Tadinya kukira akan ada yang ngontrak. Maksudku, akan ada kru. Ternyata tidak. Hanya Ito, aku, dan janin yang pastinya belum diketahui Ito sebab aku tidak terlihat hamil dengan pakaian longgar. Dunia milik kami bertiga. Akan kuhabiskan malam ini untuk berbahagia, sebelum nanti kuberitahu Ito kalau aku berbadan dua dan dia menyingkir dariku.
Si Audi merah berhenti di parkiran BNS tepat pukul 5 sore karena macetnya perjalanan malam Minggu. Aku hanya bisa harap-harap cemas semoga Ito mengembalikanku ke kos sebelum pukul 11 malam.
"Nggak mau foto?"
Buru-buru kuaduk isi ransel kecilku, mencari smartphone. Aku bukan tipikal anak yang rajin cekrek-upload, tapi bolehlah cekrek dikit kalau sama si bias tercinta. Ito meminta tolong pada seorang juru parkir-yang nampaknya sudah saling kenal-untuk mengabadikan kami di bawah tulisan besar Batu Night Spectacular.
"Satu... dua... tiga."
Setelah kami tiga kali ganti pose, Ito baru puas. Aku tidak yakin sebenarnya dia atau aku yang lebih senang difoto. Hasilnya jauh lebih lumayan daripada foto kami malam itu, karena aku tampak bersih di foto ini.
Sebelum merangkulku pergi, Ito mengangsurkan sekotak gulungan tembakau, yang langsung disambut jemawa oleh Mas Jukir. Kami berjalan menuju loket, aku harus menoleh dan menengadah untuk menemukan wajah Ito.
"Kenapa ngasih rokok, sih?" Kusuarakan protes kekecewaan.
Tanpa dosa, Ito mengerjap polos. "Lah Mas Jaka emang suka. Kalo sempol dia gak doyan."
"Bukan doyan nggaknya. Rokok gak baik, Ito. Kurang capslock gimana itu peringatan di kotaknya: MEROKOK MEMBUNUHMU. Kamu nggak ngerokok kan?"
"Iya, iya, Bu Dokter bawel amet." Ito melongok di depan loket, lantas merogoh dompet dari saku jins, menarik selembar merah Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta. "Dua orang, yang reguler."
Sampai kami masuk di BNS, aku masih kepikiran apakah Ito merokok atau tidak. Bibirnya segar dan ranum, deretan giginya putih bersih, tidak tampak seperti seorang perokok. Namun kalau melihat dari gaya hidupnya yang agak bebas, bukan tidak mungkin Ito merokok. Bukan wilayahku sebagai fans untuk menasihatinya, tapi, aku tidak suka membayangkan paru-paru biasku dipenuhi kabut nikotin.
"Biasa aja ngeliatnya, Cebol." Dahiku disentil pelan. "Belum pernah lihat orang ganteng, ya? Bukannya Fakultas Kedokteran sarang orang ganteng menengah ke atas?"
Aku menggeleng, melepas sopan lingkar lengannya yang sedari tadi bertengger di bahuku. Kami baru saling mengenal, ada risi terbesit karena aku tidak pernah dirangkul lelaki asing. Ya, dia idolaku, tapi tidak berarti dia bisa menyentuhku semaunya.
"Sori." Aku mengembus panjang. "Bisa kita jalan biasa aja?"
Telunjuknya memainkan janggut itu. "Emang kita daritadi jalannya ngangkang?" Itu receh sekali, tapi tak pelak aku tertawa juga. Dia mengangkat tangan. "Oke, maaf. Maaf. Bukan muhrim. Biasa juga gue begini ke anak-anak, sori kebawa-bawa. Maen piting aja ini tangan." Dia berakting memukuli tangannya. "Asu. Baru ini tangan gue ditolak cewek."
Ampun, itu lidah lemes amat, ngomong nggak pake filter.
Kami berjalan menuju rodeo yang menarik perhatian Ito. Aku tidak akan menaiki banteng kesetanan itu, bahkan walau aku tidak hamil. Cukup Ito yang kurekam kegagahannya mengendalikan banteng itu dari luar pagar arena.
"Eh itu Incognito bukan, sih?"
"Daritadi dibilangin, itu Incognito! Pada gak percaya."
"Astaga dragon keringetnya, roti sobeknya ngecap di kaos. Jadi pengen mandiin."
Aku menoleh. Satu meter di belakangku berdiri lima orang gadis, menatap tak percaya pada sosok aktraktif di atas rodeo. Kelimanya melonjak lantas meraup seluruh ruang sempit di sampingku, aku otomatis tersingkir kasar karena kalah bodi. Nggak sopan blas.
Kujejalkan smartphone di saku jaket lalu menyemprot, "Eh Mbak, fangirling boleh. Tapi nggak perlu main buldozer segala."
Aku hanya menuding, tapi dua dari mereka memelotot, dan salah satunya mendorong bahuku.
"Sewot aja, Mbak. Emang di sini lahan situ?"
"Nah kan, main buldozer," decakku kesal. "Iya lahan aku. Aku duluan yang di sini, buldozer!"
"Lo kalem dikit bisa?" Yang berblus merah muda maju menegurku dengan logat ibukota. "Nggak malu teriak-teriak di tempat umum?"
"Siapa yang teriak, sih?" Aku tertawa sumbang. "Kamu yang kalem dikit. Iya tau yang di sana itu ganteng kelas Dewa, tapi tolong jangan barbar."
"Elah, fangirl Ito juga rupanya. Anak kemaren sore kayaknya. Lo denger, Incognito husbando milik bersama. Kita nggak boleh fanwar. Yuk, nonton bareng."
Sepasang lenganku ditarik kasar, dan aku langsung berontak. Detik berikutnya, aku dihempas keras, menubruk seseorang yang segera meraihku agar tidak terhuyung.
"Pergi jauh-jauh kalo nggak mau nonton bareng!"
Si gadis ibukota menarik temannya, berbisik tapi masih kudengar, "Omo, Rin, liat tu cowoknya rasa Joong Ki."
"Kagak ada apa-apanya sama Ito!"
Aku menegak dan berdehem keras, hingga kedua ganjen itu kembali pada gengnya dengan wajah merah menahan malu. Sesekali geng itu melirik padaku dan dokter Yuan. Kubenahi jaket yang hampir lepas sambil berbisik tertahan. "Makasih, Dok."
Dia mengedarkan pandang, lantas bertanya, "Kamu ngapain sendirian di sini kaya sempol ilang?"
"Saya nggak sendirian," dengusku. Ngenes amat dikira sendirian. "Saya sama yang di atas banteng kesurupan itu. Trus saya diusir fangirl jaran itu!" Kulayangkan bogem di udara ke arah mereka.
Dokter Yuan melongo area rodeo. "Mana? Bapak-bapak plontos itu?"
What? Aku ikut melongok. Gusti nu agung, sejak kapan Ito jadi bapak-bapak bongsor berkacamata hitam nangkring di plontosnya? Geng fangirl brutal tadi juga hilang.
"Oh, itu ya? Gebetan kamu? Leh ugha si Sempol."
Dokter Yuan menunjuk satu titik di mana banyak kaum hawa berkerumun, termasuk geng brutal tadi. Pemuda ber-eyepatch hitam sedang memberi fan service berupa foto bersama, jabat tangan, dan tanda tangan. Ito melayani semuanya dengan tawa lepas yang bukannya membuat mereka puas, malah semakin bernafsu menjamah Ito.
Tuh, kan?! Pada maen peluk aja! Ito juga pasrah amat rambut sarangnya diobrak-abrik tangan-tangan barbar. Janggutnya, astaga, itu berapa milyar kuman yang menempel dari jari fangirl sinting itu? Aku belum menjawil itu tau!
"Oi Sempol, nggak papa, tuh? Dia kewalahan, tolongin sana."
"Dok, saya nggak--"
Otomatis aku maju beberapa langkah karena didorong dokter Yuan. Pandang Ito jatuh padaku yang hanya bisa mengepal, meredam panas dalam. Tak perlu waktu lama baginya untuk menyadari maksudku, dan memisahkan diri dari kerubung lalat-lalat itu.
Binar senja dari barat menyorot wajahnya yang berkilau semarak karena pantulan simbah peluh. Tekuk bibirku melemah, berganti senyum ketika dia mengacak rambutku. Mata tunggalnya membentuk sabit.
Sumpah aku lebay.
"Gak mau nampung keringetnya bias?" Ito menunjuk wajahnya semringah. "Holy water, loh. Kamu endorse di ig, 'jual ekstrak Incognito 100% murni tanpa campuran', pasti bisa buat biaya umroh ortu."
Kutepuk pelan pipinya dengan tisu dari saku jaketku. Senyum ini memang kelemahanku. Kami tertawa bersama. Kemudian aku berbalik untuk memperkenalkan dokter Yuan, namun pria itu sudah tak ada di situ.
***
"Melati kenanga, sini gue bantu."
Maksudnya, Ito mau membantu menguncir rambutku yang berantakan. Kami baru selesai Maghrib-an di mushola belakang panggung yang nantinya akan jadi tempat Ito show. Panggung indoor ini jadi satu dengan foodcourt megah, sayangnya sudah kuperhatikan tidak ada lapak yang menjual sempol.
"Nggak ah," Kulepas sendiri kuncirku perlahan. "Kayak anak kecil aja."
"Justru itu," dan karetku dirampas. Lancang sekali. Ito berputar dari seberangku menjadi di sebelahku. "Aku pengin banget punya anak cewek yang rambutnya panjang. Pasti lebih cantik dari kamu. Cowok juga boleh dah, biar saingan ganteng ama bapaknya."
Ito mengatakannya dengan wajah bersungguh-sungguh, yang mana itu lucu sekali. Tungkai kecil di rahimku menjejak. Aku memunggungi Ito, menyerahkan rambutku.
"Makanya, nikah dulu," Dia mulai menyisiri rambutku dengan jemari. "Trus kawin. Trus punya anak. Tapi anak aku pasti lebih ganteng dari kamu, maafin dia ya."
Kepalaku ditoyor dari belakang. "Nggak segampang itu, Melati Pusparana. It's complicated."
"Kenapa?" Aku menegak, dia memainkan rambutku lagi. "Kan fans Incognito banyak. Tunjuk aja. Pasti langsung diseret ke KUA."
Aku mendengar tawanya. "Kalo aku tunjuk kamu?"
"Aku nggak mau."
"Tuh kan, nggak gampang. Fans kurang ajar. Diajak kawin bias langsung nolak nggak pake mikir." Aku bukan menolak karena Ito, namun karena kondisiku yang rusak. Entah mengapa Ito menyisirnya semakin kasar. "Udah, ayo ke rumah hantu."
Heh?
Aku menoleh kesal. Rambutku masih tergerai, belum dikuncir. Ito nyengir kuda, menunjukkan karet kuncirku yang... putus.
Aku memelotot. "Kamu apain?!" Kusambar kasar benda ungu kesayanganku yang naas.
"Aku putus. Biar kamu nggak bisa kunciran. Aku suka rambut kamu digerai, seperti pertemuan pertama kita."
Bibirku mengerucut maju. Kujejalkan kasar karetku ke saku jaket. "Kemarin itu rambutku dikepang sebagian, tau."
Imanku gonjang-ganjing saat telunjuk Ito bermain di janggut. "Nggak ah. Kita pertama ketemu, rambut lo diurai semua. Asli, gue be like 'wow, is she even human? Or angel?'"
Aku membalas dengan senyum kikuk, sambil mencoba mengingat, apakah malam itu kepang rambutku terlepas karena pingsan? Atau Ito tidak melihat kepangnya, karena hanya sebagian dan minimnya cahaya di parkiran itu?
Tanganku masih di saku jaket, tapi tidak meraba sesuatu yang seharusnya ada di sana: smartphone-ku. Kuraba saku sebelahnya, nihil. Gawai putih pipih itu juga tidak ada di ranselku yang sudah kuserakkan isinya di atas meja.
"Nyari apaan?"
Aku mencebik malas. Pasti dia. "Hape aku." Kuulurkan tangan. "Kembalikan. Kamu ambil dari jaketku, kan?"
Seringai miringnya terbit. "Nggak ada. Aku magician, bukan maling."
"Hish!" Nggak ngaku juga dia, walau aku sudah memelotot. "Siapa lagi kalo bukan kamu, To? Tokek?"
Ito merentangkan tangan dan membusung. "Nih, geledah. Lucutin. Telanjangin. Biar bidadari turun dari kayangan rebutan roti sobek dan sosis."
Kutoyor dahi Ito karena kalimatnya memancing banyak kepala menoleh pada kami. Sumpah, demi apa aku nge-bias tokek epilepsi begini?
"Makanya naruh hape jangan di jaket," Ito membalas dengan cubitan di pipiku. "Gue telpon."
Ito segera merogoh smartphone di saku jinsnya. Alih-alih menghubungi nomorku, dia malah mendapat panggilan masuk dari nomorku. Ibu jarinya segera mengusap layar dan menempelkan gawai merah darah itu di telinga. Terjadi percakapan dengan suara di seberang.
Begitu kusadari, Ito telah menyisipkan kembali smartphone itu ke saku. Aku segera merapikan isi ranselku yang masih terserak. Sepasang dekik terbit ketika Ito tersenyum.
"Kita ditunggu di depan haunted house. Rumah hantu."
-BERSAMBUNG-
Malang, Maret 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top