12 Incognito
🌟
HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT
Chapter 12 Incognito
🌟
Elia adalah sosok pertama yang kulihat, disusul di belakangnya Sandra, Joko, Roman, dan entah siapa lagi mereka. Duniaku berkabut. Elia mengibas tak sabar dan kerumunan itu terurai.
Tampaknya Elia mengatakan sesuatu, tapi entah apa yang salah, pendengaranku mati. Sesuatu diselipkan Elia di antara kedua bibirku. Sedotan. Spontan kuhisap isinya air isotonik. Kutolak pelan lengan Elia setelah satu tegukan membasahi tenggorokan.
Ada barbel imajiner menindih kepalaku. Aku mengerjap tak yakin. Aku menebar pandang, dan kurasa aku sedang terbaring di ruang panitia festival. Kucoba menegak namun gagal, sebab si barbel menahan dahiku.
Tu-tunggu. Lalu bagaimana nasib Incognito-ku?
"Li!" Kucekal lengan Elia. "Ayo, Ito! Ayo nonton!"
"Yaelah, masih ngidam juga?" Alih-alih membantuku bangkit, Elia justru menahan bahuku. "Udah dibilang jangan maju, malah paling depan. Kualat 'kan semaput, gayamu selangit!"
Sebuah tepuk dari Sandra jatuh di pahaku. "Ito udah selesai 15 menit yang lalu, Mel. Maaf banget. Maaf..."
Aku menegak sendiri. Entah kekuatan dari mana, aku beranjak ke arah pintu keluar, melangkah lebar-lebar, dengan setitik harapan untuk setidaknya masih dapat melihat sosok Ito secara langsung, bukan berupa citra digital.
"Mel, mau ke mana?!"
Ke belakang panggung. Aku mencari siapapun yang tampak seperti koordinator acara. Tak kuacuhkan seruan teman-teman jahatku. Ya, mereka tega sekali! Aku dibiarkan pingsan, padahal jelas akulah yang paling ingin Incognito di sini. Kutahan selaput bening di mataku sekerasnya agar tidak meleleh.
Salah seorang staf berkata bahwa Incognito dan kru-nya baru saja keluar gedung menuju parkiran. Hampir aku melangkah ke jalan yang salah kalau Sandra tidak menahan lenganku.
"Parkiran kru beda sama pengunjung, Mel. Ayo ikut."
Kusejajarkan langkah dengan Sandra, selagi mencoba menata perasaan. Emosi meletup-letup sesak di dadaku. Belum pernah aku sekecewa ini karena tidak dapat bertemu orang yang... astaga, Incognito bahkan tidak mengenalku.
Mengapa aku begini kukuh untuk bersua dengannya? Mengapa aku berdebar gila hanya untuk memandangnya? Mengapa air mataku tak bisa dibendung lagi?
Argh, sinting!
Sekarang kupahami, inilah perasaan Sandra saat kemarin dia histeris banjir air mata karena tidak bisa menonton Oh Sehun di Tour EXO Planet. Kemarin aku dan Joko menertawakan Sandra, malam ini aku menjilat ludah sendiri.
Sandra berlari mendahuluiku ketika Alphard hitam beberapa meter di depan kami mulai bergerak perlahan.
"TUNGGU! INCOGNITO!"
Itu mobilnya kru Incognito?
Saat aku tiba, Vellfire itu sudah berhenti. Jendela pengemudi turun, dan pengemudi itu membicarakan sesuatu dengan Sandra. Aku mengekor di belakang Sandra.
"Maaf, Mbak. Kami sudah selesai, kami masih ada jadwal lain."
Pria itu hampir menutup jendela kalau saja Sandra tidak menahan kacanya. "Tolong, Pak, please! Satu aja. Buat temen saya. Dia belum sempat nonton, Incognito kesayangan dia banget. Tolong, Pak."
"Mbak, awas jarinya copot," Dia mencoba menyingkirkan jemari Sandra, lantas melempar percik sinis padaku. "Kan tadi sudah show dan ada sesi foto bersama juga, kemana aja kok nggak nonton?"
"Dia tadi pingsan, lagi nggak enak badan. Tolong lah, Pak, ini dibela-belain dateng padahal sakit, cuma demi Incognito."
Aku mendelik lebar. Benar sih, aku pingsan. Tapi itu kan salahku yang ngotot ingin nonton dari paling depan, bukan karena aku sakit.
"Ya sudah, lain kali jangan pingsan. Nonton di igtv kami saja. Jaga kesehatan ya, Mbak, kami pami—"
"Pak, Pak! JANGAN!" Sandra merangsek maju mempererat cengkramnya, demi aku. Aku tak tahan lagi.
"Tolong, Pak, sekali aja. Saya cuma mau foto satu jepret aja, Pak," Kutungkupkan tangan dan kutampakkan air mataku. Masa bodo dengan maskara luntur. "Habis ini saya nggak ganggu lagi."
"Ayo, Pak. Kasian temen saya, aslinya dia nggak tertarik sama fest musiknya. Dia berani beli 50 ribu cuma mau lihat Incognito aja, Pak. Kalo nggak sampai ketemu, percuma dia rugi keluar tenaga, waktu, dan uang."
Aku mendelik lagi. "Tapi kalo beli di kamu diskon 50 persen kan, San?"
"Melati!" Sontak Sandra menjitak kepalaku, padahal aku masih pening.
Tiba-tiba saja semua memutih. Tungkaiku terserang lumpuh, dan tubuhku terhuyung. Hampir aku terjatuh kalau Sandra tidak menahanku yang sudah bersimpuh di aspal. Kudengar dia menyerukan sesuatu, tapi tidak jelas apa.
Rahimku mengeras, napasku memberat. Jemariku hampir mati beku, namun segera disambut oleh genggam kehangatan. Entah sejak kapan wangi Sandra menjadi aroma musk yang tajam. Dan lengannya jadi lebih besar, lebih hangat, lebih nyaman. Saat kesadaranku berangsur terkumpul, kusadari itu bukan Sandra yang merengkuhku.
Dia adalah pemuda ber-eyepatch hitam. Rona keunguan berpendar di puncak rambut hitam-tebalnya yang tersentuh sinar rembulan. Mata tunggal sepekat kopi itu menampakkan kecemasan. Bibirnya bergerak-gerak memanggil namaku. Janggut tipis yang menghiasi pucuk dagunya nampak begitu manis.
Tungkai kecil di perutku menari kegirangan.
***
Elia sedang mengutik smartphone-ku saat aku kembali dari mencuci jas lab. Setelah semua yang terjadi dengan Incognaito, tidak mungkin aku bisa tidur nyenyak malam ini. Saat ini saja semuanya masih terasa bagai mimpi yang terlalu nyata. Kalau semua itu cuma mimpi, aku tidak ingin terbangun.
"Naudzubillahi min dzalik."
Setelah menuang segelas air, aku duduk di samping Elia. Dia sedang menggeser layar, mengamati foto-fotoku dan Incognito.
"Kenapa?" tanyaku.
Elia mendecih tanpa beralih dari foto. "Ini orang gantengnya kurang ajar. Nggak tau diri. Kebablasan. Di sini kamu lebih kayak kacung daripada fans-nya."
"Anjir."
Kusesap air mineralku, lalu setelah menaruh gelas kosong di atas meja, kurampas smartphone-ku. Memang benar, penampilanku sudah sangat kacau. Rambut mencuat dari Sabang sampai Merauke. Lipstick yang sejak awal memang tipis, sudah pudar total. Mata merah bekas menangis. Bahkan setelah Incognito turun dari mobilnya untukku, aku masih menangis.
Menangis haru, baper, menye-menye.
Anehnya, dia bersedia menenangkanku, mengusap puncak kepalaku dengan tangan besarnya, menghapus air mataku dengan sapu tangan. Aku seperti balita yang terisak di peluk ayahnya. Beberapa jam yang lalu aku cuek, tapi kalau sekarang diingat lagi...
itu aib. Ingusku menempel di jas hitam Incognito.
Aku menjambaki rambut. "Bego! BEGOOO!!!"
Di hadapan banyak lelaki aku bisa tampak indah, mengapa Incognito harus melihatku dalam kondisi tergembel?! Kuharap dunia memberiku satu kesempatan lagi untuk bertemu Incognito dalam keadaan secantik-cantiknya.
"Jangan gila, woy. Mentang-mentang habis dipeluk bias."
Kusambit Elia dengan squishy berbentuk bagel yang telak mengenai hidungnya. Kami berbaring di ranjang masing-masing.
"Manusia sirik. Bilang aja situ pingin dipeluk juga," ketusku, masih mengagumi segaris janggut tipis Incognito.
"Nggak, ya. Dasar orang ngidam," Dia tertawa renyah. "Aku nggak sirik, cuma dengki."
Oh, benar juga.
Kuelus rahimku yang sedang damai. "Semoga kamu seganteng, sekeren, dan seramah Incognito ya, Nak. Semoga rambutmu ikal-tebal belah samping, hidung mancung, kalo senyum ada lesung pipinya, punya janggut tipis yang ucul, trus pinter bikin kesengsem dengan trik-trik sulap ajaib…"
"Mel, dia brojolnya sebagai orok dulu. Gak mungkin langsung bisa sulap apalagi brewokan," Aku mendesis. Enak saja Incognito-ku yang ucul dibilang brewokan! "Mending kamu sama yang lebih nyata aja, misalnya si dokter. Noh tadi dia nge-WA pas kamu nyuci, trus aku read soalnya kepo. Sepurane, lho."
Mataku membulat. Dokter McFord kirim WA? Jam 11 malam begini? Saat kubuka histori percakapan, aku ternganga lebar. Ada pesan terkirim, bahkan sudah di read oleh penerima, tapi bukan jemariku yang mengetik.
dr. McFord
r u sleeping?
aku lagi jaga
so lucky kebagian saturday nite shift
sleepy af :(
Mel
sayang opo kowe krungu
jerite atiku mengharap engkau kembali
sayang nganti memutih rambutku
ra bakal luntur trisnaku
Sontak aku menegak lantas menyerbu si kampret dengan hujan cubit. Tanpa amnesti.
"Itu dosenku, guobloook! Aku mau jauhin dia ngapa kamu bajak chatnya, sih?! Sini kita amputasi dulu jempolmu. Berhubung jarimu semuanya jempol, kita eksekusi semua!"
Elia bocah laknat meringkuk dan mengaduh tanpa perlawanan. Bodo amat! Sumpah ya, jaman now bukan cuma lidah yang tidak bertulang. Jempol juga gampang banget striptis di layar smartphone.
Puas menyalurkan emosi, aku kembali ke ranjang, berbaring miring menghadap dinding, memunggungi Elia. Baru saja akan mengklarifikasi, dokter McFord mengirimi balasan.
dr. McFord
<dr. McFord sent a picture>
i used 2 b a coffee addict
then u come
now im addicted to 2 things
i wont tell but u know already WHO the 2nd thing is
Mau muntah dosa tidak?
Aku menepuk dahi. Ge er kelas kakap si dokter, pakai nge-pap foto kopi di atas mejanya segala. Macam quote gegayaan di Instagram. Dia benar-benar percaya Melati yang mengetik lirik menye-menye itu, dan mengira Melati rindu setengah mati padanya? Hah!
Iya sih, memang aku kangen.
Tapi selamanya mustahil kuakui.
Mel
maaf Dok
pesan tadi bukan sy yg kirim
temen sekamar sy usil
jangan kepedean
dr. McFord
kamu marah? Maaf
maafin ya, beli sempol mau?
ciye, pasti senyum senyum
Senyumku drastis berubah masam.
dr. McFord
pasti skrg cemberut
Njir, tau darimana sih?!
dr. McFord
pasti shock
'ih dokter genit tau drmana sih'
i know u because u know me :)
anw lagu apa itu yg ada u know me so well?
Aku tersentak. Apa dia tahu aku berusaha menyingkir darinya? Sepertinya dia juga sudah menebak perasaanku. Bahkan andaikata memang dokter ini juga memiliki perasaan untukku, aku tetap tidak melihat adanya jalan terang yang memungkinkan kami bisa bersama.
Tidak ada konstitusi yang melarang seorang dosen menjalin hubungan dengan mahasiswanya, namun di belahan kampus manapun jelas hal itu tabu. Tidak ada yang mengharamkan seorang pria lajang menjalin hubungan dengan perempuan yang hamil ilegal, namun jelas hal itu juga tabu. Tak dapat kubayangkan bagaimana reaksi keluarga besar McFord seandainya aku dibawa ke tengah mereka. Tidak, bukan tak dapat kubayangkan. Aku tak mungkin kuat menahan tekanan yang akan datang dari keluarga besarnya.
Kuaktifkan mode penerbangan saat air mataku menitik ke samping. Selamat tinggal, Dokter.
Jalan cinta happy ending bukan milikku. Aku harus puas dengan fangirling pada Incognito saja. Kupejamkan mata, mengingat keramahan Incognito untuk meredam bayang iris biru samudera dokter McFord.
***
"Sudah? Cuma satu foto cukup?" tanyanya. Suara aslinya lebih berat daripada yang biasa kudengar di video.
Aku mengangguk. "Tadi sudah janji, cukup satu foto bareng,"
"Lagi," Dia merebut smartphone-ku yang masih di mode kamera depan. Tidak seperti tadi, kali ini Incognito membungkuk. Aku diraih mendekat hingga wajah kami sejajar, rambut kami bergesekan. "Seratus, sembilan puluh sembilan, sembilan puluh delapan… satu!"
Hasil fotonya adalah aku melirik Incognito yang menghitung terlalu cepat, sementara dia tersenyum sejuk mengerling padaku. Andai aku juga tersenyum—bukan malah ketar-ketir tersihir pesonanya, dasar payah!—foto itu nampak seperti candid sepasang kekasih yang saling mengait pandang mesra. Every couple photo goal.
"You're photogenic, while other girls are photoshop-genic," Aku dibuat melambung oleh pujian itu. "Ayo lagi. Sam, tolong fotoin," Smartphone-ku diserahkan pada Joko yang menerima sambil melongo.
"Lho, lho," Alisku melengkung. Incognito merangkulku dari belakang, dan dengan mudah menaruh dagunya di atas kepalaku. Entah dia yang terlalu jangkung atau aku yang terlalu kuntet. "Bukannya tadi buru-buru mau pergi?"
"No problem, cuma nongkrong sama anak-anak. Udah biasa telat. Lebih krusial foto sama Melati yang baper stadium akhir karena gagal nonton show-ku, padahal udah bayar 50 ribu diskon 50 persen."
Hasil jepretan Joko adalah Incognito mengaduh kesakitan, serta aku yang panik lantaran menyundul dagu biasku dengan kepala sendiri.
***
Kunonaktifkan mode penerbangan untuk stalking Instagram Incognito, barangkali video show di fest tadi sudah ada di igtv atau igstory. Syukurlah tidak ada notifikasi pesan lagi dari dokter McFord. Mungkin dia sedang menangani pasien darurat, atau malah ketiduran seperti biasa.
Namun ada popup pesan lain dari nomor tidak dikenal.
+628xxx
ini aku
Kubalas pesan itu dengan harapan itu bukan dokter McFord.
Mel
aku siapa?
+628xxx
kamu Melati
arent u sleeping yet?
Ya Tuhan, Luke McFord beneran nih. Nggak kapok juga.
+628xxx is typing...
Mel
maksudku kamu
+628xxx
yg nyundul dagu biasnya
main sundul di pertemuan pertama itu nggak sopan, Melati
untung cakep, kalo ga gw sleding juga
Aku menegak. "ALLAAHU AKBAR!" Squishy bagel mendarat tepat di dahiku, dari arah ranjang Elia.
"Takbiran jam 12 malem! Fangirling boleh, goblok jangan!"
"Sleding Adek, Bang! Sleding hati Adek!"
***
Hari ini, sekali saja, aku ingin jadi anak nakal. Aku bersantai di ruang kuliah bersama, menunggu apakah kelompokku akan dipanggil untuk pleno atau tidak. Semoga tidak, karena aku dan Sandra sedang sibuk membahas yang lebih penting dari pleno: Incognito.
"Ya ampun... tengil juga si dukun santet."
Bibirku maju satu centi mendengar bisik Sandra, setelah membaca percakapanku dengan Incognito. Enak saja Incognito-ku dibilang dukun santet. "Magician, San. Enak aja dukun santet. Tengil kenapa?"
"Lah ini, godain kamu," Jemari Sandra mengulir layar smartphone-ku lagi. "Nih, mana ada orang normal chat sampe ratusan tengah malem kalo bukan modus."
Kutopang daguku. "Mungkin dia biasa gitu ke fansnya?" terkaku, Sandra tampak ragu. "Kata dia, dia memang sering minta nomer fans, soalnya buat promosi show."
"Promosi apaan, nanya kamu jomblo atau taken?"
Alisku bertaut. Rasanya tidak ada percakapan seperti itu. "Mana sih?" Sandra menunjuk histori yang dimaksud.
Ito
enak ya jadi kamu
Mel
kenapa?
Ito
J O M B L O
kemana mana bebas
Mel
ehe, jomblo mah bebas
Ito nggak jomblo ya? Baru tau
Ito
nggak lah
aku suami milik bersama
"Mananya dia tanya statusku? Malah aku yang nanya," Aku tetap tidak mengerti walau sudah kubaca lima kali.
"Ini pertanyaan terselubung, Mel," Sandra menatapku lekat. "Dia sengaja bikin kamu ngasih tau status kamu, tanpa perlu dia tanya. Seandainya kamu protes 'enak aja, aku nggak jomblo' artinya kamu taken. Sebaliknya, jawaban kamu 'iya lah' artinya kamu single. Mind tricks, Mel. Ah apalah itu namanya."
"Gitu, ya?"
Aku termangu. Sandra mengangguk yakin.
Detik berikutnya, Sandra terperanjat karena kelompoknya ditunjuk sebagai presentator untuk menjelaskan patologi Ascaris lumbricoides (cacing gelang). Tumben sekali bukan kelompokku dan Joko, yang biasa terkena kutukan ratu pantai selatan. Ajaibnya, kelompok kami selamat sampai sesi pleno berakhir.
***
Sepertinya kabar bahwa aku mendapat sesi foto esklusif dari Incognito telah tersebar luas. Buktinya, beberapa senior seperti Mbak Anggun, Mbak Dona, Mbak Utami, dan mbak-mbak lain yang aku lupa namanya, menghambur ke mejaku dan geng Sora Aoi di lobby Jurusan Pendidikan Dokter.
"Mel, lihat foto-fotonya, dong!"
Kuangsurkan smartphone pada ciwi-ciwi yang langsung mengerubut itu. Sebagai gantinya, kuraih Gray's Anatomy milik Mbak Anggun yang dimensinya tidak sebanding dengan massanya. Buku dambaanku yang tidak mungkin terbeli karena keterbatasan biaya, tapi kabarnya buku ini ada di perpustakaan pusat. Besok-besok harus kusempatkan main ke sana.
Bahasa Inggrisnya tidak terlalu kumengerti, namun ilustrasi di dalamnya begitu membantu. Ini hampir mirip dengan laporan praktikum yang kutulis: sulit dibaca, tapi gambarnya mudah dipahami. Mungkin aku punya bakat untuk suatu hari menulis buku anatomi sendiri. Aamiin.
"Astagfirullah... itu janggutnya towel dikit boleh kali, ya? Kemarin colek janggutnya nggak, Mel?"
Pertanyaan Mbak Utami membuatku melengos. "Dikira sabun cuci piring, Mbak?"
"Rugiii, Mel! Harusnya kamu grepe-grepe itu janggut biar anak kamu besok gede semahadaya ini gantengnya."
"Situ tau darimana, Tam, anak Melati cowok?" celetuk Mbak Dona.
"Memang cowok, Mbak," jawabku, entah mengapa aku lebih percaya diri. "Aamiin, doain ya Mbak supaya kecipratan gantengnya Ito."
"Aamiin ya rabbal aalamiin," Tetiba semua mengamini, termasuk geng Sora Aoi yang sedang mabar.
"Baik juga ya, mau foto sama Sandra Joko Roman pula."
"Ekspresif banget dia. Emesh sumpah emeessh."
"Bisaaa aja melet-melet, monyong-monyong, mangap-mangap, idung dimegar-megarin, tapi tetep ganteng."
"Iya tuh, kaya dokter Yuyu-ku, konten ig-nya asik. Nggak kaya si itu tuh, yang habis kongress di Barca trus ke Valencia nonton MotoGP, yang dimasukin igstory-nya malah foto videotron nampilin Valentino Rossi. Nggak ada tampang si pemilik akun sama sekali."
"Pesona dokter Luke McFord memang nggak dilapak gratisan macam si Yuyu Kangkang tepi empang!"
"Idih Luke! Luke luke luke yang kurasakaan, bertubi tubi tubi yang—"
"Heh kaum bumi datar. Pasangan dokter homo disembah. Perempuan cerdas pilih Incognito, husbando milik bersama."
"MEREKA GAK HOMO, ANGGUN!" Mbak Utami dan Donna kompak menjerit.
"Jangan disangkal, Rek. Itu sudah jadi rahasia umum FK."
Aku menungkupkan telapak ke wajah. Tidak habis pikir, bisa-bisanya seniorku fanwar di lobby jurusan. Padahal awalnya hanya fangirling Incognito, tapi ujung-ujungnya fanwar Luke vs Yuyu juga. Bahkan Sandra yang tadi diam kini turut berdiri di garis depan pejuang Yuyu Kangkang. Geng Sora Aoi sungguh khusyuk dengan mabar sampai tidak sadar di depan mereka terjadi perang cabe membela terong sesembahan.
Mendadak saja debat panas terinterupsi karena dokter McFord yang jadi topik memasuki gedung ini. Ketujuh orang seniorku serempak berdiri dan menyapa kikuk saat dokter McFord menghampiri kami. Mbak Utami kelabakan melempar smartphone padaku, untungnya reflek tanganku cukup bagus.
Jangan sampai jatuh, ada dopping-ku (baca: foto Ito) di sini.
"Gedung C1 dipakai yudisium S3. Saya belum dapat kabar ruang pengganti kuliah siang ini di mana."
"Di A2, Dok," sahut Mbak Dona dan dua orang lagi bersaman. Mbak yang berhijab biru menambahkan, "Tadi sudah kami cross check ke Mbak Emma di akademik,"
"Thanks," dokter McFord menebar senyum. "See you."
Dan dia berlalu, meninggalkan Mbak Dona dan Lucasionship lain terombang-ambing bahagia, efek dari samudera see-you.
"Maaakkk, anakmu disiyu sama putra mahkota!"
"Mimpi sana! Tadi biru-birunya natap ke aku, Don."
"Homo, Cuy. Doi homo."
"GAK HOMO, ANGGUN!"
Apalah aku yang jangankan dinutis, dilirik saja tidak. Dasar tukang tebar feromon! Dia pasti sengaja datang karena tahu sedang jadi bahan pembicaraan.
Tunggu. Buat apa juga aku masih memikirkan dokter itu?
Terserah dia kalau mau menggaet seratus perempuan sekaligus. Mengapa aku harus kecewa? Tidak, aku tidak kecewa. Dokter McFord menjauh, itu yang kuinginkan.
-BERSAMBUNG-
Malang, Februari 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top