11 Luk(e)a

🌟

HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT

Chapter 11 Luk(e)a

🌟


Seperti dihantam gada, kewarasanku utuh kembali. Menjadi bahan bakar untuk menyentak dada dokter McFord menjauh.

"Kamu sinting!" erangku frustrasi. Bagaimana kalau jantungku meledak, hah?! "Aku mahasiswa, kamu dosen. Kita nggak lebih dari itu!"

"Oh, ya?" Senyum miring terbit di wajahnya. "Caramu menggunakan 'aku-kamu' dan 'kita' itu asyik. Di luar kampus, let's kill those formalities."

Sial, Luke. Gigiku menggertak menahan panas-dalam. "Di dalam maupun luar kampus, saya tetap mahasiswa dan Dokter tetap dosen. Titik!"

Dia mengembus kesal. "Mel, admit it. Di matamu ada ukiran 'Aku kesengsem karo Luke McFord' [Aku jatuh cinta sama Luke McFord] yang sangat jelas. Terlalu jelas sehingga kamu nggak perlu repot-repot menutupinya karena aku langsung tahu."

Ap-apa aku semudah itu dibaca?! Apa mukaku sudah semerah itu?!

Cepat-cepat kutandaskan spaghetti dan supku. Sepanjang perjalanan, aku berpura-pura tidur melekat di pintu Prius. Tidak berani melirik kursi pengemudi sesentipun.

***

Setelah absen seminggu aku bertemu lagi dengan Fathir di area perkuliahan. Aku tidak berani lagi menampakkan hidung di depan Bu Syahnaz setelah malam itu. Aku praktis teringat Mama, dan tidak mau Fathir durhaka karena (merasa) cintanya padaku. Dokter McFord benar, kalau perasaan Fathir tulus, mustahil dia melawan ibunya hanya demi membelaku.

Uh, kenapa dokter itu lagi? Mataku memanas otomatis setiap mengingat bibir dinginnya bersinggungan dengan pelupukku, malam itu. Lain kali aku harus mengatakan TIDAK lebih tegas, bukan meleleh duluan karena pesonanya.

Sepanjang skills lab, skleraku teriritasi oleh pemandangan Saskia yang terus mendempet Fathir dengan dalih ingin membantu. Fathir berkali-kali menolak dan berkata bahwa dia mampu menekan luka lecet hanya dengan satu tangan, apalagi cuma pada manekin, bukan pasien sungguhan.

"Kalau kamu mau coba praktik juga, tunggu giliran, nanti saya panggil," titah dokter McFord, memberi gestur pada Saskia untuk mundur ke barisan. Gadis itu tak bisa membantah, membiarkan Fathir melakukan penekanan luka dengan satu tangan kiri.

Sebenarnya tidak semua dari kami akan dipanggil, hanya beberapa, suka-suka dosennya. Namun karena Saskia 'meminta' jadilah dia benar-benar dipanggil untuk menangani luka bakar. Saskia mulai dengan (berpura-pura) mengucuri area luka dengan air dingin.

"Kalau ada serpihan kayu nempel di lukanya?" tanya dokter McFord.

Saskia melirik sekilas. "Tidak boleh diambil paksa, Dok, kecuali lepas sendiri."

"Kalau mungkin untuk diambil langsung tanpa paksaan, boleh diambil. Tetap perhatikan kondisi korban," jelasnya. Sebagian besar mengangguk, termasuk aku. "Disiram air, untuk apa? Sampai kapan disiram?"

"Untuk mendinginkan dan sterilisasi lukanya, Dok," jawab Saskia, berhenti mengucuri lengan manekin. "Kurang lebih 5-20 menit, sampai korban tenang."

"Kalau luka manifestasi dari terbakar cemburu, disiram juga?"

Kelakar dokter McFord disambut tawa tiga kelompok yang berkumpul di station ini, termasuk dokter Nania yang memberi penilaian. Dokter McFord memang dosen yang kadang melontarkan jokes receh untuk mengurai suasana tegang, namun kali ini yang paling receh di antara semua receh. Pandang kami bertemu sekilas, menatapku cukup lama sebagai satu-satunya yang tetap bergeming terhadap joke itu.

Sesi skills lab hampir berakhir, kupikir aku beruntung karena tidak ditunjuk untuk praktik, tapi aku salah.

"Terakhir, Melati Pusparana."

Aku menggeram tertahan. Sial! Orang ini pasti sengaja. Aku maju mendekati manekin, sementara dia menyebut soalnya.

"Luka garis asimetris sepanjang 3 senti di meta carpus. Kondisi korban sadar, darah memancar."

Aku menahan nafas karena dokter McFord sudah di sampingku, menunggu tatalaksana untuk manekin. Kuambil satu kasa steril, memastikan ukurannya sudah lebih dari 3 cm, dan dengan dua ibu jari menekan lima kasa sekaligus di telapak tangan manekin yang telah digores dokter McFord.

"Luka robek atau vulnus laceratum," kutolehkan kepala. Astaga, mengapa dia harus semenarik ini? "Pendarahan di arteri. Karena lukanya cukup parah, perlu tekanan kasa lebih banyak, atau dibalut."

"Kalau begitu, balut," perintahnya. Senyum itu mengacaukan fokusku. "Jangan teledor, tekan yang kuat. Fokus ke pasien, bukan dosennya. Pasienmu bisa mati kehabisan darah."

Sialan!

Segera kubalut luka manekin dengan perban elastis, sambil menahan malu akibat tawa teman-teman. Karena tidak disebutkan adanya fraktur dan koagulasi darah, aku berimprovisasi dengan melakukan elevasi pada manekin itu. Entah bisa menambah, atau justru memangkas nilaiku.

***

"Romi, pinjem pink."

Roman mendengkus kasar, mengangsurkan pensil warna merah muda dari kotaknya pada Joko.

"Aish, bukan yang ini," Joko menampik. "Yang lagi kamu pake, yang norak itu."

Roman mendelik gemas. "Matamu picek? Jelas lagi dipake kok mbok minta! Modal dikit dong, mahasiswa FK, beli pensil warna sendiri nggak bisa. Jangan investasi Monyet Legend doang, nggak ada harganya itu skin lutung di bursa saham."

"Mbok pikir kelir ada harganya?" celetuk Danny, mengundang cekikikanku dan Sandra.

Tak tega melihat puppy eyes Joko, kusodorkan kotak pensil warnaku. Lagipula bagian warna di laporanku sudah selesai, tinggal menulis paragraf penjelasan, yang sepanjang jalan kenangan.

"Memang cuma Eneng Melati yang paling ngerti gundah gulana Abang," serunya girang, menciumi kotak pensil warnaku.

"Awas kontaminasi jigong," Fathir di seberangku meledek tanpa beralih dari laptopnya.

"Congormu. Jigongku aromaterasi."

Fathir melengos tak peduli, sibuk mengetik laporannya dengan satu tangan. Karena kesulitan menulis dengan tangan kiri, Fathir mendapat keringanan berupa laporan praktikum boleh diketik (seharusnya tulis tangan). Dia menepi untuk mencari stop kontak karena laptopnya kehabisan daya. Karena laporanku hanya kurang tulis tangan, aku ikut menepi dari ketiga temanku yang masih mewarnai jaringan sel epitel.

Sebenarnya, yang harus kutulis sebagian besarnya adalah salinan isi teks modul. Belum ada dua semester kuliah, tulisanku sudah seperti dokter sungguhan: hanya Tuhan dan aku yang tahu maksudnya. Pantas Fathir tidak mau kubantu menulis laporan.

"Ckck, Mel. Gambar sama tulisanmu ibarat malaikat sama demit."

Aku meringis tanpa berhenti menulis. "Mana yang malaikat, mana yang demit?"

"Gambarnya malaikat, sisanya demit."

Ini bukan pertama kalinya Fathir mengomentari tulisanku yang katanya nggak cewek banget. Fathir juga orang keseribu yang bilang tulisanku sangat jomplang dengan wajahku yang--ehem, mereka yang bilang--manis dan polos.

Aku bodo amat. Nyatanya para dosen dan asisten masih bisa membaca tulisanku, buktinya aku bisa lulus ujian.

"Mama kamu masih belum tau, Mel?"

"Belum," aku menggeleng. Kujeda sebentar sebelum menuntaskan satu paragraf laporanku. "Kemarin waktu opname, aku bilang cuma negatif tifus."

"Dosen PA kita nggak nelpon ke rumah kamu?"

"Nggak. Aku minta dokter McFord nggak ikut campur urusanku sama keluarga."

Aku menegak, mengibas tangan yang kebas karena sudah menulis 30 menit tanpa jeda. Sudah 5 halaman kudapat, kurang separuh lagi. Kuganti pulpen di tangan dengan sebotol air mineral, sambil melirik Fathir yang masih konsentrasi.

"Mama kamu sendiri gimana?"

Dia balas mengerjap padaku. "Nggak gimana-gimana. Masih mak lampir."

"Heh bocah!" Mulut botol sudah menempel di bibirku, namun air tidak jadi kutenggak. "Aku nggak suka kamu membandingkan aku dan Mama kamu, Fathir. Aku nggak sebagus yang kamu pikirkan. Kalau anak aku lahir, belum tentu aku bisa jadi ibu sebaik Mama kamu."

"Ya, Mel. Kamu nggak sebaik Mama." Fathir menjawab cepat. Aku tersenyum simpul. "You're more than her."

Senyumku sontak luntur. Sepertinya aku harus sedikit keras. Kututup laporan beserta modulku, nanti kulanjutkan menulis di kos. Fathir kembali menekuri layar laptop, sementara kutatap dalam wajahnya.

"Dosen PA kita bilang, perasaan kamu ke aku itu bukan cinta. Mama kamu kecewa karena kamu lebih milih aku yang bukan siapa-siapa." Sekarang, aku membenarkan nasihat dokter McFord yang malam itu kuanggap angin lalu. "Cinta nggak seharusnya membuat kamu jadi orang jahat. Cinta bukan cuma tentang bagaimana kamu nyaman sama aku."

"Mel, aku nggak mau tahu pendapat orang lain soal cinta." Fathir lantas menutup laptop setengah membanting, hingga permukaannya berdebam dan aku berjengit. "Yang aku tahu ini perasaanku. Kamu nggak bisa mengatur ini, apalagi dokter McFord. Kalau dia mencintai kamu dengan cara yang beda dari aku, terserah. Tapi jangan bandingkan kami. Aku nggak mau dibandingkan, begitu juga dokter McFord."

Akhirnya aku bisa menenggak air mineralku dan mengembus panjang. Kukatakan pada sahabatku untuk terakhir kali sebelum beranjak dan bergabung dengan yang lain

"Itulah yang dirasain Mama kamu, ketika kamu membandingkan beliau dengan aku yang sebenarnya bukan siapa-siapa."

***

Malam yang paling kutunggu akhirnya tiba. Malam di mana aku akan bertemu biasku, Incognito. Sedikit perkenalan tentang Incognito, atau Ito, menurut akun Instagram-nya dia adalah laki-laki berusia 25 tahun, kewarganegaraan Indonesia.

Sudah itu saja. Tidak ada nama asli, kerabat, keluarga, apalagi status pernikahan. Oh, ada contact person, tapi itu manajernya. Dan kudengar dari Sandra, Incognito berdomisili Malang. Tidak heran dia bersedia mengisi festival musik indie yang honornya tidak seberapa dibandingkan ketika mengisi show di layar kaca.

Oh ya, salah satu kebiasaan Incognito yang jadi candu bagiku (dan jutaan followers-nya) adalah saat dia sedang (pura-pura) berpikir, dia mengetuk janggut tipisnya dengan jari telunjuk dan tengah bergantian. Aku sering memfantasikan diriku sebagai janggut yang sering dijamah itu.

Salah satu ciri sulapnya adalah salju. Selalu ada kejutan salju di setiap video show-nya yang kukepo. Dengan datang ke festival musik ini, akan kubuktikan apakah itu salju asli, atau cuma butiran styrofoam.

"Itu mau nonton konser apa kencan ke pasar malem?"

Sekali lagi, aku mematut diri di cermin karena komentar aneh Elia. Rasanya penampilanku biasa saja, hanya blus sepaha, celana tujuh perdelapan, dan jaket tebal biru pastel. Blusnya memang yang paling cantik di lemariku: berwarna dasar cream dengan bordir bunga di dada, berbahan sifon 3 lapis. Rambut yang biasa kukuncir ponytail, malam ini kugerai, dengan bagian depan kanan-kiri dikepang dan disatukan di belakang.

"Apanya yang salah?" Kumiringkan kepala.

"Terlalu cantik, bego." Elia mengunyah kacang dan melempar kulitnya padaku seolah aku ini monyet. "Pake kaus belel aja, trus ngapain makeup-an? Itu rambut ngapain dibuka? Ntar di dalem gedung gerah makeup-nya luntur, ujung-ujungnya rambut dikuncir juga."

Aku memberengut. "Kata Sandra ada AC-nya, kok." Kulempar balik kulit kacangnya ke rambut jamur Elia.

"Rame nggak? Tiketnya ludes nggak? Kalo iya, AC nggak ngaruh banyak. Biar ada angin doang." Kali ini aku dilempar langsung empat kulit kacang. "Kalo cuma angin, kentut juga angin."

"Heh, denger ya jamur kaki!" Belingsatan kusingkirkan kulit kacang laknat itu dari blusku. "Harus cantik, Li. Supaya nanti dipilih sama Incognito buat naik panggung bantuin sulapnya dia. Nanti dia terpesona sama aku. Nanti dia minta nomer hape-ku. Nanti dia--"

"Kamu polos apa bego, sih? Yang dipilih itu bukan orang sembarang keleus." Kali ini aku dilempar isi kacang, jadi kumakan. "Udah di set dari awal, penonton bayaran, asisten sulap. Lagian kalo mau dinotis, bukan gitu caranya!"

Alisku berkerut sebelah. "Terus piye?"

"Bugil. Pasti dinotis."

Elia memang sekampret itu, tapi percayalah, dia sahabat yang baik. Kuseret dia dari toples kacangnya dan kos sebelum rembulan terlalu tinggi.

***

Hipotesis Elia terbukti benar, di sini tumpah sekali. Kami masih di luar, belum di dalam gedung, baru saja turun dari si Beat merah. Animo masyarakat di bidang musik indie ternyata sebesar ini; aku tidak sadar karena musik memang bukan minatku. Yang kumau 15 menit bersama magician rupawan itu.

Acara sudah hampir dimulai, terdengar seruan pembuka dari host di dalam gedung. Kami menuju pos ticketing di depan pintu, yang ternyata dijaga oleh Sandra.

"Kirain sama dokter McFord, Mel," Sandra tersenyum pada Elia. "Nonton fest doang, bening amat dandannya."

Baru akan kuprotes, Elia menyerobot, "Katanya harus cantik biar dinotis sama Incognito."

"Elah, bugil aja pasti langsung dinotis."

Hmm, tabok jangan?

"Roman sama Joko udah di dalem?" tanyaku, sebelum masuk gedung.

Sandra mengangguk, menggunting tiketku dan Elia. "Udah. Tadi aku pesenin sih cari tempat duduk untuk kamu, Mel. Nggak tau dapet atau nggak tuh homo bedua. Coba cari di dalem."

Cahaya berintensitas tinggi menyorotku dan Elia memasuki gedung berbentuk dome ini. Kami sampai menghalau dengan punggung tangan masing-masing agar mata tidak tertusuk. Berbagai lampu sorot sewarna pelangi menari berirama ke segala penjuru. Gegap gempita terdengar dari arah panggung yang jauh di depan karena band pembuka sedang unjuk gigi.

Kulirik jam putih yang melingkar di pergelangan kiriku. Benar-benar dimulai pukul tujuh. Kalau Sandra benar, selingan Incognito masih satu jam lagi. Kutarik Elia menuju kerumunan, tak berminat untuk duduk-duduk di pinggir.

Namun Elia bersikeras. "Ke stand aja yuk, cari makanan."

Demi Dewa. Aku memelotot, lantas berteriak karena volume normal tidak terdengar di sini, "Ini festival musik, dodol. Bukan festival kuliner!"

"Terus kenapa?! Cacing perutku udah mutasi jadi naga!" Dia memekik, menarik lenganku.

Aku menolak diseret. Enak saja! "Kan tadi sudah makan kacang! Itu kacangku! Setengah toples!"

"Kacang cuma geli-geli nikmat di perut, nggak bikin kenyang. Kalau aku semaput, piye? Aku nggak mau digeret ya. Kacangnya nanti kukembalikan, aku keluarin lagi bulet-bulet dari bokong!"

Aargh!

Sumpah si Eli mulutnya!

Susah payah kutahan jemari yang sudah terangkat, hendak mengacak rambut frustrasi. Sayang kalau rambut cantikku rusak hanya karena hajat lambung Elia. Elia menang. Kami menepi sejenak di stand kebab.

Kulirik bocah di sebelahku yang makan dengan sangat tidak manusiawi. Ya, bukan hanya tidak feminin, dia tidak manusiawi. Aku baru menggigit sekali, dia juga. Namun sekali gigit Elia memangkas setengah dari kebab nahas itu. Siapapun yang ingin menjadi pacar Elia dompetnya harus tebal. Pacaran dengan Elia artinya harus siap sesajen yang tidak murah.

Seketika ada beban di punggungku, sepasang lengan besar meraihku, dan dagu bertandang di atas kepalaku.

"Dek Melati, Abang cariin di kantong nggak nemu. Ternyata di sini… ADUDUH!"

Joko menarik lengannya dariku setelah cubit keras dari Elia menghujaninya. Entah bagaimana keduanya kini bersitegang tatap, Joko berkacak panggul, Elia menengadah dan menjulurkan lidah.

"Siapa nih, Mel? Pinset bulu ketek?!"

Yang Joko tidak tahu, mencoba berdebat dengan Elia adalah kesalahan fatal.

"Jaman sekarang cabut bulu ketek masih pake pinset? Ih, ketek situ pasti baper dicabutin pake pinset. Pasti iritasi merah-merah gatel! Makanya itu ketek ringan banget bisa sembarangan miting-miting cewek!"

"Mel, ini temen kamu?" Joko mengerjap padaku. "Tampangnya Nabillah Ayu, tapi ngegonggong kayak asu."

Bola mata Elia nyaris mencelat. "Heh, oppa korengan dan kudisan! Aku mau ngegonggong kayak asu pun masih ayu. Apalagi aku sekalem Melati. Awas kamu, besok makan karma tergila-gila sama Elia Wulandari!"

"O, namanya Elia Wulandari? Wulan-dari mana, Neng? Dari kayangan mrosot ke aspal?"

Abaikan dua tokecang yang tarik otot itu. Fokusku tertuju ke arah jam 2, di stand penukaran kupon dengan teh botol. Sosok gadis berambut cokelat ikal yang kukenali sebagai Disya, sedang bersama pemuda berhoodie marun yang kukenali sebagai Mas Diandra. Mereka berinteraksi intens, saling melempar tawa, dan saat mata Disya bertumbuk padaku, lengannya segera melingkari lengan Mas Diandra. Pemuda itu tidak menyadariku, lantas keduanya berlalu setelah menukar teh botol.

Sudut bibir kananku menarik senyum. Setidaknya, aku tidak perlu lagi merasa sungkan pada Mas Diandra. Fathir juga pasti sudah benci karena kumarahi. PR-ku tinggal 'menyingkirkan' dokter McFord.

Tapi, dari semua perempuan yang pantas untuk Mas Diandra, kenapa harus Disya? Andai seniorku itu tahu, yang melingkar di lengannya bukan wanita biasa, tapi siluman ular. Siluman ular yang bersedia meracuni siapapun yang menghalangi keinginannya.

Roman baru saja duduk di sebelahku, sepertinya tidak berminat dengan debat Joko-Elia yang semakin panas.

"Rom, ke situ, yuk." Aku menunjuk kerumunan di sisi depan panggung. "Setengah jam lagi Ito keluar, aku harus nonton dari dekat."

Pemuda kaukasia itu menatapku tak yakin. "Itu sesek banget, lho. Kamu kecil, kalau keinjek trus penyet gimana?"

Kuberikan senyum termanisku pada Roman. "Makanya aku ngajak kamu, Rom. Ya? Ya? Mau, 'kan?"

Senyumku jarang sekali gagal. The perks of being a beauty, haha.

Segera kutuntaskan kebabku, lantas menarik Roman dalam lautan keramaian. Elia malas berdesakan, begitu juga Joko, jadi kutinggalkan mereka, masih saling sanggah perihal apakah bumbu gado-gado sebaiknya diuleg atau diblender.

Tidak semua lagu yang dinyanyikan band-band itu adalah lagu ciptaan sendiri, ada juga yang menyanyikan lagu-lagu dapur rekaman. Tentunya, dengan gubahan yang disesuaikan genre band tersebut. Misalnya--entah grup apa ini--membawakan tembang milik Raisa yang berjudul Serba Salah dengan warna jazz.

"Mel, udah di sini aja."

Roman masih ragu karena aku menariknya semakin dalam. Benar, sih, di sini padat. Tapi tidak sesesak bayanganku, di mana penonton akan berjingkrak kesetanan seperti jaran kepang. Mereka cenderung menikmati santai, bergerak seperlunya sesuai alunan irama. Bahkan tanpa sadar, aku ikut menggumamkan lirik sembari mengangkat tangan.


Sudah lupakan segala cerita antara kita
Ku tak ingin, ku tak ingin
Ku tak ingin kau terluka
Karena cinta

Bukan karena rasa itu t'lah sirna, maafkanlah
Ku hanya tak ingin, ku tak ingin
Ku tak ingin ku terluka
Karena cinta


Belum puas, kuseret Roman yang pasrah, menerabas massa agar sampai tepat di depan panggung. Aku harus mendapat foto Ito dari jarak dekat agar hasilnya bagus, atau setidaknya lumayan untuk dijadikan avatar WA dan Line.

Sampai di tujuanku, di bawah lampu, transisi atmosfer membekap tanpa ampun. Rahimku mengejang. Jemariku sedingin es, mencengkram erat lengan kaus Roman.

Aku kalah dalam lomba berebut oksigen.


- BERSAMBUNG -

Glossarium (versi pemalas)

(Clinical) Skills lab Bagian dari perkuliahan FK untuk menerapkan keterampilan klinis. (Gampangnya aja ya hahaha) Semacam praktik dokter-dokteran tapi praktiknya ke manekin, nggak pasien beneran. Ujiannya di OSCE (baca bab 04)

Meta carpus (ini juga gampangnya aja hahaha) telapak tangan

Koagulasi darah penggumpalan darah

Malang, Februari 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top