10 Ibu
🌟
HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT
Chapter 10 Ibu
🌟
"Jancuk!"
"Astagfirullah sista, mulut!"
Aku mendelik. Elia mengumpat karena kuberitahu alasanku menghilang lebih dari 24 jam. Dia meremas keripik singkongnya hingga jadi serpih, tapi tak ayal ditenggak juga remahan malang itu. Aku menggeleng takjub.
"Ya ancen kurang ajar, Mel! Sirik!" Dia masih mengumpat. "Kamu juga udah jelas ini namanya tindakan perundungan, kenapa nggak lapor sama pihak berwenang, sih?"
"Siapa?" Kucomot satu keripik yang masih utuh. "Polisi? Mana mau polisi ngurusin beginian, Li. Udah, kemarin aku memang kalah jumlah dan pasrah aja karena hamil. Besok aku masukin pisau lipat di saku rok."
"Hmm..." Bola matanya melirik kanan-kiri. "Pisau lipat? Nggak takut ketusuk? Semprotan cabe lebih aman. Sekali crot langsung buta." Serius sekali Elia menanggapi, padahal aku hanya bercanda.
Kutatap lekat Elia yang menjejalkan 5 keripik sekaligus.
"Li, aku kepikiran terus."
"Haha hi hohehe?"
"Telen dulu. Anjir muncrat!"
Sementara Elia menuntaskan hajat lambungnya, aku mengutik laptop, memelajari slide untuk persiapan pleno tuberculosis besok. Dari 15 kelompok di angkatanku, tidak semua dipanggil untuk presentasi, hanya beberapa kelompok yang dipilih secara random. Kelompokku adalah kelompok 'beruntung' yang sering dipanggil untuk presentasi pleno.
Dan di kelompokku, aku adalah mahasiswa 'beruntung' yang sering ditunjuk oleh dosen sebagai presenter. Apes tenan.
"Udah, Mel," Elia menutup gelasnya. "Kepikiran semprotan cabe?"
"Bukan!" Refleks kucubit pipi Elia, dia mengaduh tertahan. "Temenku, yang masih di rumah sakit gara-gara aku. Kemarin aku kesana lagi, diusir lagi sama Ibunya. Nggak paham lagi harus gimana, Li. Tapi aku harus ketemu dia."
Elia menyuapiku keripik. "Yaudah temuin," sahutnya enteng. "Tunjukin ke Ibunya kalo kamu sungguh-sungguh nyesel dan ingin ketemu anaknya."
Aku mengerjap, menelan keripik. "Piye? Tantrum guling-guling di lantai?"
"Bawain meat lovers pinggiran cheesy bites ukuran large, sama cola 1.5 liter."
Hish. "Itu maumu!" Kutoyor kepala jamurnya, Elia malah cengengesan. "Curhat sama Elia Wulandari memang kesalahan."
"Ya gimana, Mel. Kan aku nggak tau Ibunya suka mamam apa?" Dia memasang wajah lugu. Memang cuma makanan yang ada di kepalanya. "Intinya, kamu harus bonek (bondo nekat). Harus ngotot, harus ngoyo, whatever it might costs."
Masuk akal. Sebenarnya, bisa saja aku menunggu Fathir keluar dari Rumah Sakit dan bertemu di kampus, tapi itu rasanya setahun. Aku tidak ingin digelayuti beban lebih lama lagi.
Kuraih tas laptopku, mengeluarkan dua lembar tiket festival musik yang kubeli dari Sandra.
"Nonton ini, yuk. Aku beliin tiketnya. Dapet gratis teh botol."
Elia meraih tiketnya, mengamati, lantas berseru cempreng, "Teh botol doang?!"
Ah elah bocah ini. "Arek kemenyek [anak manja], biasa air kobokan juga digelonggong!"
"Sama si dokter yang kamu ceritain aja, Mel." Dia mendengus. "Nanti pas lompat-lompat kamu pingsan, aku geret kakimu, lho. Kalo sama Pak dokter jatuhnya romantis, digendong macam Disney princesses."
Haha, kalau princess-nya pingsan, romantis dari Klaten. Lagipula aku tidak bisa membayangkan dokter McFord melonjak, mengepal tangan di udara, berdesakan sambil berseru, "Lagi! Lagi! LAGI!"
Nggak. Tampang kaukasia seperti dokter McFord pantasnya menikmati opera klasik dari balkon VVIP sambil menyesap seteguk wine.
"Dia nggak cocok ke acara beginian, Li," bibirku mengerucut. "Yawes aku sendiri."
"Yawes aku melu. Sakno wong ayu dewean. [Oke aku ikut. Kasihan orang cantik sendirian.]"
Kuraih kepala jamurnya tanpa berpikir. Bias tersayang, Eneng datang!
***
Aku adalah orang yang jarang ditolak kaum Adam. Maksudnya kalau aku meminta bantuan baik-baik, mereka bersedia menolong. Lain halnya dengan kaum Hawa, mereka sering memandangku sebelah mata. Karenanya, ditolak (lagi) oleh Bu Syahnaz, Ibunya Fathir, adalah hal yang biasa.
"Harus berapa kali saya bilang, Fathir nggak mau bertemu kamu. Kamu mau saya panggilkan sekuriti?!"
Tetap saja aku menunduk karena gentar menghadapi wanita jangkung itu.
"Nggak apa-apa, Bu. Kalau Fathir nggak mau ketemu saya, paling nggak saya mau lihat Fathir waktu tidur."
Penjelasanku berbuah degar pintu yang dihempas di depan hidungku, untuk kesejuta kalinya. Kuseret tubuhku kembali duduk di kursi panjang dekat nurse station.
"Sing sabar, Mbak. Si Ibu memang keras," kata seorang perawat laki-laki di pos itu, setelah melihatku mendesah.
Aku menggeleng disertai senyum masam. "Nggak papa, Mas, udah biasa."
Perawat lelaki lain yang berkacamata menyeletuk pada rekannya. "Ojo modus, eling bojomu wis pitu (jangan modus, inget istrimu tujuh)."
"Pitu belang telon kabeh [tujuh belang telon semua]. Lihat Mbak iki ngenteni dari jam tiga, udah kumus-kumus mukanya," bantahnya.
"Lha iya ta, Mbak?" Si kacamata terbelalak padaku, aku mengangguk kecil. "Mesakno, sudah empat jam. Belum maem, Mbak? Ini dimaem dulu. Kasihan nanti tambah imut, dikira anak TK kesasar."
Si kacamata mengulurkan sebungkus roti kasur padaku, dan langsung hilang keseimbangan karena punggungnya digebuk keras oleh temannya.
"Kowe sing modus, bajul! (Kamu yang modus, buaya!)"
***
Pukul 8 malam, sudah kuminta Elia meminjam kunci duplikat gerbang kos dari Bu Karlina, sebab aku tidak bisa memastikan akan pulang jam berapa. Bisa sebelum atau setelah jam 10, atau besok, atau lusa. Aku berniat menunggu selamanya. Paling tidak, besok Sabtu dan lusa Minggu, aku libur. Tidak ada tuntutan kuliah.
Sosok pria tegap berkemeja putih dan dasi merah muncul di ambang lift. Pria itu nampak terperangah melihatku terdampar di nurse station seorang diri, memangku modul Genetika. Beliau adalah Pak Wisnudihardja, Ayahnya Fathir, menghampiriku dengan tas jinjing dan sebuah bingkisan.
Kututup modul dan berdiri demi kesopanan.
"Kenapa kamu di sini? Sudah malam, Nak."
Beliau pasti menangkap wajahku yang sudah kumuh. Aku mengusap tengkuk. "Nggak apa-apa, Pak. Nanti kalau jam besuk habis saya pulang."
Pak Wisnu mengangkat kepala dan mengembus gemas. "Masih diusir sama mak lampir?"
"Eh..." Kugigit bibir bawah supaya tidak tertawa, walau sudut bibirku sudah naik. "Saya diusir Bu Syahnaz, Pak, bukan mak lampir."
"Itu kata Fathir kalau perang mulut sama istri saya," beliau terkekeh mengenang, lantas memberi gestur padaku untuk mengikutinya. "Ayo, sama saya."
Kupatuhi Pak Wisnu menuju ruang perawatan Fathir, yang tentu saja disambut dengan wajah masam sang istri. Duh, belum tidur, Bu? Ingin kusarankan Pak Wisnu untuk mengeloni istrinya dulu supaya jinak.
Alih-alih memberi kesempatan Pak Wisnu untuk membuka mulut, Bu Syahnaz menarik suaminya masuk ruangan dan lagi-lagi terdengar degar pintu dihempas. Kucuri pandang dari jendela pintu, di dalam sedang ramai pembesuk dan Pak Wisnu tak berkesempatan membujuk istrinya.
Sabar, Melati, sabar. Kata Elia, kudu bonek.
Aku meremas wajah frustrasi, kembali ke nurse station.
***
Kesadaranku sudah turun 50 persen. Genetika Mikrobiologi tak bisa terserap lagi oleh sel otak tumpulku, jadi kujejalkan modul setebal kamus itu ke ransel. Aku bangkit untuk meminta ponsel yang kutitipkan charge di nurse station.
"Mas," aku bertumpu lengan di pos. "Bisa minta tolong hape saya?"
Mas Damar, perawat berkacamata yang tengah bermain Monyet Legend itu, menengadah.
"Oh iya, Mbak," sahutnya segera, tapi juga segera memelototi ponselnya lagi. "Bentar, Mbak, saya lagi mabar. Kalo ndadak afk, besok saya disunat habis."
Ooo wong gendeng!
Aku melengos. Kelakuan ini mengingatkanku pada Joko yang kalau sedang khusyuk ber-Monyet Legend, Sora Aoi lewat pun tak diliriknya.
"Mas Damar yang jaga malam ini?"
Mas Damar menengadah lagi, aku menoleh, menemukan dokter McFord berdiri tepat di sampingku. Baru kusadari tinggiku tidak sampai sebahunya, bikin minder saja. Anehnya orang ini ada di mana-mana. Namun di mana kami berada bersama, di situ jantungku bekerja 3 kali lebih cepat.
"Iya, Dok," Mas Damar belingsatan menjejalkan ponsel di saku seragamnya. "Saya jaga. Gimana, Dok?"
Dasar, giliran dokter McFord yang mengajak bicara, dia afk tanpa permisi. Aku mendelik murka. "Rasakno besok sampeyan disunat habis, Mas!"
Kuputar badan kembali menghempas diri di kursi pengunjung. Bibirku tidak bisa mundur lagi, hidungku semakin berkerut menekan geram. Mungkin juga karena aku terlalu penat menunggu hingga setengah 11 malam. Dokter McFord hanya berpesan pada Mas Damar mengenai pemberian obat untuk pasiennya yang baru masuk ruang perawatan malam ini, setelah menjalani bedah ablasio retina senja tadi.
Dia berlalu lagi tanpa memedulikan eksistensiku, dan jujur saja membuat kesalku makin menggila.
"Mbak, ini hape-nya."
Tahu-tahu Mas Damar sudah duduk di samping ranselku, menyerahkan ponsel dan charger-ku. Kurampas tanpa berterima kasih, lantas menenggak sebotol air mineral untuk meredam bara amarah.
"Mbak Mel," Aku melirik dari sudut, binar terpancar dari matanya seolah tidak peduli semrawut jiwaku. "Sudah berapa lama jadian sama dokter Luke?"
Aku tersedak, menyembur air kembali ke botol.
"Astagfirullah, Mbak, pelan-pelan minumnya. Eman air bersih dibuang-buang." Makhluk kepo ini menepuk punggungku. Memangnya gara-gara siapa?!
Segera kututup botol, menyeka mulut dengan pergelangan blus, lantas mendelik ketat. "Saya bukan pacarnya!"
"O," dia mengangguk. "Kirain ada something, Mbak. Karena waktu Mbak ngamar di sini, dokternya nelpon nurse station bisa 5 kali sehari buat nanyain Mbak. Udah kayak sholat fardu. Noh, Mbak, dinyinyirin di nurse station, banyak perawat cewek lemes denger dokter Luke punya pacar. Yang cowok juga ada sih sebenernya."
Seketika sensasi aneh menggelitik perut. Entah si kecil ini atau aku yang bersorak kesenangan karena benar kata dokter Yuan, dokter McFord memerhatikan aku. Aku belum tahu dia memedulikanku sebagai mahasiswa, pasien, adik kecil, atau wanita, tapi kuimajinasikan dia bergagang telepon dengan wajah cemas,
"Melati, is she okay? Sudah makan? Kalau dia nggak mau, nanti saya suapi. Sudah minum obat? Kalau dia nggak mau, nanti saya minumi mouth-to-mouth. Sudah mandi? Kalau dia nggak mau, nanti biar mandi dengan saya."
Baru kemarin disuapi saja hatiku sudah ugal-ugalan macam dikejar satpol pp, apalagi dicium dan mandi bersama.
"Mbak? Lah bengong, awas kesurupan."
Aku mengerjap. Mas Damar menjentik di depan hidungku. Sakit jiwa kamu, Mel. Membayangkan apa jam 11 malam begini?
"A-apa, Mas?"
"Itu, Mbak, dipanggil dokter Luke disuruh ke sana." Mas Damar menunjuk arah di mana dokter McFord, Pak Wisnu, dan Bu Syahnaz berdiri bersama. Aku meneguk saliva. "Tasnya biar di sini aja, saya jagain sambil mabar."
***
Ruang tempat Fathir di rawat lebih besar dari ruangku kemarin, tidak heran, sebab disediakan pula ranjang khusus untuk penunggu pasien. Ketika aku masuk, Fathir masih terjaga, mengutik ponsel dengan tangan kiri, dan matanya setengah terpejam. Mata itu membulat sempurna saat mendapatiku dalam jangkauan pandangnya. Tubuhnya kontan menegak.
"Mel, ini jam--"
Aku tahu dia akan memarahiku, jadi kupeluk dia lebih dahulu, meski tak penuh karena Fathir berpostur besar. Hangat. Dia hangat. Dia sehat, dia hidup, dan aku bersyukur untuk itu. Bola mataku memanas, tetapi air mata harus kutahan agar Fathir tidak cemas.
Setelah hampir 9 jam, dan kupikir aku harus menggelar tenda di nurse station, akhirnya Bu Syahnaz mengizinkanku masuk. Entah apa yang dikatakan dokter McFord pada beliau. Kami sama-sama menahan nafas.
"Kamu bego. Jangan begitu lagi," bisikku untuk pertama kali, setelah sekian menit meresapi kehadiran nyata temanku ini.
Dia balas berbisik, "Kamu yang jangan begitu lagi."
Memeluk Fathir seperti ini menganulir semua beban di hati. Apalagi dia mengusap kepalaku, berhati-hati, seolah aku barang ringkih yang mudah pecah.
"Perutmu kerucukan. Dari jam berapa kamu di sini?"
Sontak kupisahkan tubuh kami. Dia mengerutkan dahi. Perutku berbunyi? Benarkah?!
"Baru datang," kuberikan senyum terbaik di antara lelah.
Dia tertawa sumbang. "Kamu nggak berbakat bohong. Ini jam 11, Mel. Jam besuk tutup sejam yang lalu."
"Kalau menurut perawat di depan, sudah hampir 9 jam." Pak Wisnu menyela kami, duduk di sisi lain ranjang Fathir.
Fathir bergantian menatap Ayahnya dan aku, lalu sejurus kemudian memelotot pada Ibunya yang duduk di sofa berpangku tangan.
"MAMA!"
Aku berjengit, begitu juga dokter McFord yang sudah di sebelahku. Tak kusangka Fathir yang kukenal kalem bisa membentak Ibunya.
"Tadi banyak tamu. Mama sendirian!" kilah beliau.
"Nggak tujuh kali dua puluh empat jam juga!"
"Kamu juga perlu istirahat dari tamu!"
"Alah, klasik!" Intonasi Fathir naik 2 oktaf, aku tidak suka. "Dari dulu Mama memang nggak suka aku berteman dengan orang yang menurut Mama nggak selevel keluarga kita."
"Khalif," Pak Wisnu menegur cepat.
"Ma, aku nggak peduli Melati siapa atau asal usulnya dari mana. Yang aku tahu, bersama Melati ada perasaan nyaman yang seumur hidup belum pernah aku dapat dari Mama! Mama nggak perlu khawatir. Melati nggak menyukai aku lebih dari teman. Mama puas, 'kan? Ada bagusnya juga. Kenapa? Kasihan Melati kalau punya ibu mertua sejahat Mama!"
"Fathir. Stop."
Kuremas lengan Fathir yang tidak terbungkus gipsum. Dia menatapku tajam, setajam makiannya barusan yang menghentikan laju darahku. Ya Allah, bicara apa dia?!
Bisu seketika menaklukan kamar. Fathir menghempas punggung kembali di sandaran ranjang, lantas menusuk Bu Syahnaz yang membeku dengan tatapannya. Suasana panas seperti ini hanya memperlambat recovery Fathir. Ada baiknya aku segera undur diri.
"Fathir, aku pulang, ya? Aku lega sudah diizinkan melihat kamu. Have some rest," pamitku.
Fathir membalas senyumku masam. Masih banyak yang ingin kusampaikan untuknya, tetapi untuk saat ini biarlah. Kami punya banyak waktu bertemu di kampus nanti.
Aku berpamitan menyalami Pak Wisnu, kemudian Bu Syahnaz menyambut uluranku dengan wajah pias. Aku mengerti kalau beliau tidak menyukaiku, tapi...
"Bu," ujarku pelan. "Saya setuju, ada benarnya bahwa Fathir harus selektif dalam memilih teman. Tetapi Fathir adalah calon dokter, saya bersyukur karena Fathir tidak pilih-pilih untuk menyelamatkan nyawa saya dan anak saya. Assalamu'alaikum, Bu."
***
Seperti biasa, dokter McFord tidak melepasku pulang ke kos dalam keadaan lambung kosong. Dengan Priusnya, aku digiring ke KFC, karena hanya itu satu-satunya tempat makan terdekat rumah sakit yang buka pukul 12 malam.
Aku hanya memesan spaghetti dan sup-iya, memang nggak nyambung. Hasrat makanku sudah terkikis kata-kata Fathir yang terus bergaung di telinga.
"Aku suka caramu memberi pengertian ke Bu Syahnaz," suara dokter McFord mengakhiri keheningan kami. "But Fathir doesn't genuinely into you, kalau kamu mau tahu pendapat saya."
Kuamati lekat dosenku yang sedang menggigit twister-nya. Dahiku mengernyit.
"Kenapa?"
Dia menyeka sudut bibir dengan tisu. "Because he chose you over his biological mother. Cinta nggak seharusnya membuat dia melawan ibunya. Cinta bukan cuma tentang rasa nyaman yang dia dapat saat bersama kamu."
"Hmph," kutelan supku, sebelum tertawa. "Nggak usah kebanyakan teori. Dokter juga belum pernah jatuh cinta."
Ups.
Dokter McFord menghisapku ke pusaran iris samuderanya, lantas tersenyum miring. "Tahu dari mana saya belum pernah jatuh cinta?"
Aku menjentik di depan hidungnya. "Rahasia." Tidak mungkin aku bilang dokter Yuan yang cerita.
"Oh, saya kira Yuan."
Kuurut pelipis yang berdenyut sambil mengulum lidah. Aku tidak yakin sebenarnya dia tahu atau tidak tentang hal ini, sebab wajahnya sepolos bayi.
"Dok," kukumpulkan keberanian yang terserak. Langsung saja. Toh dengan keadaan rusakku, kami tidak mungkin bersama. Aku menarik nafas. "You're not into me, are you?"
"No." jawabnya, lugas, tanpa ragu. Aku mengembus lega. Tetapi itu sebelum dia menambahkan, "Not yet."
"Apa maksudnya??" Dasar tengil! Dia justru tersenyum penuh kemenangan atas reaksi bingungku. "Ya atau nggak? Suka atau nggak?!"
"Bisa iya bisa nggak, karena saya nggak tahu rencana Tuhan untuk kita."
Aku mendengkus, dia mengangkat bahu. Aku benci senyum yang membolak-balik kewarasan itu.
"Kalau begitu," kutepuk pelan meja kami. "Dokter jangan perhatian sama saya. Jangan suapi saya waktu saya sakit. Jangan belikan saya sempol. Jangan traktir saya makan. Jangan telepon nurse station 5 kali sehari. Jangan tidur di pangkuan saya waktu nonton film horror. Jangan bilang saya cantik. Jangan peluk saya. Jangan perhatian sama saya. Dan," nafasku terhenti. "Don't fall for me."
Sial.
Selamat, Melati. Kamu baru saja mengancam dosenmu. Walau sebenarnya, ancaman itu lebih pantas ditamparkan ke wajahmu. Don't fall for him. Ever.
"Kalau saya perhatian sama kamu untuk anak itu, juga jangan?" Dia bertanya santai seolah penolakan panjangku tadi hanya angin lewat.
"Jangan. Jangan pakai anak saya untuk modus. Anak ini punya saya, hak saya, bukan Dokter. Memang Dokter bapaknya?!"
Mampus, besok aku DO. Selamat tinggal masa remaja.
Pria itu bergerak mendekat, begitu dekat hingga wajah kami berada di jarak intim. Dahinya bergesek dengan poniku. Di KFC tengah malam ini, hanya ada samudera biru, aroma citrus bercampur antiseptik, serta ledakan bom di dadaku.
"Itu prerogatifku. Aku belum jatuh cinta," bisik itu terdengar janggal karena dia tidak lagi menggunakan 'saya'. "Tapi kalau suatu hari aku memilih untuk mencintai kamu, aku pastikan kamu yang lebih dulu mencintai aku. When I fall for you, you will definitely fall for me too."
Tungkai kecil menari gesit di rahimku, ketika aku mengerut di tempat, dan sebuah kecup mendarat di pelupuk mataku yang terpejam rapat.
"We must fall together."
- BERSAMBUNG -
Glossarium
▪ Ablasio retina: lepasnya retina dari jaringan penopangnya. Merupakan kasus emergency yang membutuhkan operasi segera
Malang, Februari 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top