08 Sora Aoi
🌟
HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT
Chapter 08 Sora Aoi
🌟
"Alhamdulillah, lakik!"
Elia mengusap wajahnya setelah dokter Zesta menunjukkan siluet genital janinku melalui monitor USG. Mata bulatnya berkilat saat menyimak penjelasan dokter Zesta, bahkan lebih antusias daripada aku. Yang hamil siapa, yang semangat siapa?
Di bulan kelima, perutku mulai menunjukkan perubahan: sedikit melembung. Dokter Zesta tidak meresepkan antiemetik lagi karena masa mualku sudah berlalu, hanya asam folat dan kalsium. Aku dimarahi karena tetap susah makan; pada dasarnya enggan makan.
Setelah dari dokter Zesta, Beat merah Elia melanglang kami ke Matos untuk makan siang dan menyicil perlengkapan bayi. Aku tidak kepikiran untuk menyicil kalau bukan Elia yang menggebu menyeretku. Pikiranku hanya bunuh diri, aborsi, dan mati.
Keperluan bayi yang kucari adalah YANG DISKON. Please, anak kos mana yang tidak suka diskon? Sayangnya tidak banyak keperluan bayi diskonan di supermarket, terutama baju. Kami hanya menemukan minyak telon dan top-to-toe wash, lalu berpindah ke rak makanan ringan kegemaran Elia.
Kami check out dengan hajat lambung Elia memonopoli isi kereta daripada keperluan bayi.
***
Foodcourt Matos belum ramai ketika kami memutuskan untuk makan siang. Tepatnya, Elia yang memaksa untuk mempercepat jam makan siang. Aku memesan cwi mie, begitu juga Elia. Hanya saja dia juga memesan crepes, sushi, martabak, dan segelas jus alpukat. Aku cukup minum air mineral dari kos.
"Yang kurang bak mandi, handuk, baju, bedong, jaket..."
Aku bertopang dagu. Daftar panjang printilan bayi yang Elia sebutkan hanya masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Sebenarnya aku belum memikirkan tentang perlangkapan bayi. Aku lebih penasaran dengan gadis di hadapanku.
Setelah meneguk air mineral, aku menyelidik, "Li, kamu nggak gimana gitu sama aku, setelah tahu aku begini?"
Mata bulatnya mengerjap, melambaikan daftar printilan. "Gimana gitu begini apanya?"
Heish, bocah ini.
"Aku hamil, tanpa suami. Kamu nggak... jijik? Risi, minimal. Nggak berniat pindah kamar atau pindah kos?"
Alih-alih serius, dia malah tergelak. "Emoh. Kamu pikir gampang cari kos di Malang yang murah, nyaman, deket kampus kayak tempat kita? Apalagi yang sebelahan sama minimarket, dan jual nasi goreng sama lalapan di depannya." Jadi semua ini demi kesemakmuran perut. "Dan aku pernah di posisimu, Mel, aku tau rasanya,"
Nafasku terhambat. Intonasi Elia jatuh di kalimat terakhir. Kebisuan kami disela dengan datangnya pramusaji mengantar jus alpukat Elia, yang langsung disesap oleh si pemesan.
Bukan ini ekspektasiku dari seorang Elia Wulandari yang ceplas-ceplos. Aku menilik hati-hati. "Kamu pernah hamil, Li?"
Dia menyimpul senyum, mengajukan jusnya padaku. "I was lucky enough, nggak sampai hamil, Mel. Aku nggak kebayang gimana hancurnya Ibu kalau waktu itu aku sampai hamil. Ibu juga nggak aku beritahu aku pernah..." Bibir Elia mengatup keras, menelan jusnya yang seolah mengeras. "Dipaksa melayani laki-laki."
"Maaf, Li--"
"Dia mabuk, tapi aku nggak. Aku sadar... dan... melawan... tapi dia terlalu kuat."
Jelas sekali Elia mengekang emosinya. Gadis itu tertunduk dalam hening sendiri, berhias keramaian foodcourt. Elia meraih jusnya kembali untuk mengendalikan diri. Aku tersenyum lirih, tidak memintanya bercerita lagi sebab tak ingin mengorek luka.
Satu demi satu pesanan kami--pesanan Elia, tepatnya--datang, mengubur percakapan kelam kami. Kepulan asap wangi daun bawang menari di atas martabak, menggoda saraf penciumanku. Elia lebih tertarik dengan gulungan nasi dari negeri Sakura.
"Hmm... sushi!" Wajahnya konyol sekali saat mengendus nori yang membalut sushi tunanya. Lebih kocak lagi ketika melahapnya, dia membuka-tutup mata dan menggelinjang seperti ular keket. "Ya Allah... panganan opo iki kok rasane kurang ajar... kurang ajar penake. [Ya Allah... makanan apa ini kok rasanya kurang ajar... kurang ajar enaknya.]"
Kutarik cwi mie-ku dan mulai menyantap. Dasar Elia bocah edan. Yang kurang ajar adalah laki-laki yang berani menyentuh gadis sepolos ini, walau dia mabuk dan tidak sadar.
"Li," kataku tersendat. Mulut penuh dengan mie. Elia berhenti mengunyah sushi di pipinya. "Makasih. Makasih karena sudah percaya dan nggak menuduh aku yang--"
Refleks aku menjauh dari sumpit Elia yang terangkat, memaksa untuk memasukkan sushi ke mulutku.
"Aaak... pesawat mau--"
"Nggak!" Kutepis lengannya, yang menghindar dengan gerakan cepat.
"Ayo, dong, aaak..."
"Emoh!"
"Ayo!"
"Nggak, Elia! Makan sama seperti cinta: nggak enak kalau dipaksa."
Sushi itu akhirnya dikunyah rahang Elia. Aku selamat, tapi gadis itu menatapku tak berkedip seperti burung hantu.
"Idih, quote siapa itu? Gemay deh."
"Salah satu dokter--ah, dosenku." Aku meringis geli. "Gemay? Absurd, iya."
Hanya mengingat sosoknya, debit darah yang terpompa jantungku meningkat drastis. Baru kemarin kami bersama seharian. Sayang sekali hari ini tak ada alasan untuk bersama lagi, meski sebenarnya aku sangat menanti.
Tunggu, aku menanti apa? Siapa?
"Jadi itu dokter yang kemarin kamu ngigauin waktu diopname, ya?" Senyum jahilnya mengembang lebar. Sialan. "Orangnya gimana? Ganteng? Masih muda? Single nggak? Jangan-jangan istrinya setia: setiap tikungan ada."
"Nggak," sangkalku cepat. "Dia belum mau nikah, belum jatuh cinta, katanya."
"Alah, buaya." Elia memutar bola mata, lalu mulai melahap mie-nya. "Jangan gampang percaya sama lelaki, Mel. Memangnya kamu tahu selama ini si dokter itu pake sempak apa nggak? Nggak, 'kan? Makanya lucuti celananya. Gitu juga dengan statusnya."
Aku tersedak mie. Dasar bocah sableng.
Denyut halus terasa menggelitik perutku. Ada tangan dan kaki mungil berenang di dalam sini. Kurasa dia senang karena sejak datangnya Elia, kamar tak lagi sepi, mengenyahkan bisik setan yang senang merayuku untuk menjemput ajal.
***
Semester dua-ku diawali dengan... perkenalan dosen? Tidak, memangnya ini SMU? Kami langsung kuliah efektif tanpa ada basa-basi perkenalan. Kalaupun ada, hanya perkenalan materi yang harus kami jejalkan di otak semester ini.
Dalam dua jam, kami mabuk pengenalan mikrobiologi kedokteran, sel eukariotik dan prokariotik, dilanjut dengan soal assesment. Konsentrasiku pecah karena sudah dua kali aku izin ke toilet untuk buang air kecil. Entah mengapa tenggorokanku selalu kering, jadi aku minum lebih banyak, yang berakibat ingin buang air lebih sering.
Dua dosen pengawas mengizinkanku ke toilet dengan mata tegas mengintimidasi, seolah berkali-kali izin ke toilet adalah aib. Aku bertebal muka saja, daripada bocor di kelas akan lebih repot.
"Ke toilet lagi? Udah paling cantik seantero FK, Mel, nggak ada saingan kok. Nggak perlu ngaca lagi."
Desis setan dari Disya saat aku melewati mejanya disambut dengus menahan tawa Saskia, Jean, dan ular-ular di sekelilingnya.
"Harus make sure cantik, Dis, supaya dipeluk dan dicium lagi sama dokter McFord."
"Alhamdulillah kalo dapet dokter Yuan juga."
"Orang cantik menang banyak."
Jalan, Melati. Abaikan gerombolan kobra itu.
"Girls, lebih baik cantik tapi kalem, daripada udah jelek mulutnya sobek."
Aku menoleh, menemukan Roman menjulurkan lidah dari belakang Saskia. Pemuda separuh Rusia itu berlalu santai, meninggalkan wajah pias gerombolan kobra yang tak bisa mendesis lagi. Dia memberi gestur padaku untuk ikut izin keluar bersama.
"Sabar ya, Mel." Roman mengacak poniku ketika kami di luar kelas besar. "Kamu salah satu cewek paling tabah yang pernah aku kenal."
"Makasih, Rom," Aku memulas senyum. Kami melangkah ke arah toilet. "Aku punya kamu sama murid-muridnya Sora Aoi itu, sudah cukup."
"Sora Aoi?" Dahi Roman berkerut. "Kamu denger Sora Aoi dari mana, Mel?"
"Fathir sama Joko kemarin?"
"Jiambut."
Sekarang dahiku yang berkerut. "Kamu kok ngomong gitu? Dia 'kan guru besar?"
Roman memelotot. "Mereka bilang gitu? Sora Aoi guru besar?!" Aku mengangguk. "Jangan dengerin mereka, setan semua."
Dahiku mengeriting.
"Sumpah, ya." Aku mendelik gemas. "Memang siapa Sora Aoi? Kenapa bisa kalian kenal, aku nggak?"
"Melatiii, Sayangku..." Aduh! Kuusap kasar dahiku yang disentil Roman. "Kamu mainnya kurang jauh. Habis kuliah, oke? Kita kenalan sama Sora Aoi, dan kawan-kawannya. Supaya kamu nggak tersesat ke--"
Roman menelan kalimatnya ketika kami sampai di depan toilet, dan seseorang keluar dari toilet dosen pria. Pria kaukasia yang belakangan sosoknya berotasi di alam bawah sadarku.
"Pagi, Dok."
Roman menyapa canggung. Dokter McFord hanya tersenyum simpul pada kami dan berlalu menuju ruang administrasi. Roman menepuk dahi.
"Mampus gue ditandai."
Seusai menunaikan hajat, kubilas tangan di wastafel. Kuamati proyeksi diriku di cermin datar. Benarkah aku ini cantik? Memang benar bahwa rambut panjangku hitam, lebat, dan jatuh lurus. Wajahku kecil, kulitku cerah dan terbilang bersih. Tapi bukankah perempuan seperti aku ini melimpah di mana-mana?
Apalah artinya terlahir cantik. Pun pada akhirnya, sensasi dan diskriminasi menjadi teman untuk Melati. Dicap sebagai pesolek ketika yang kububuhkan hanya pelembab wajah, bedak tabur, dan lipbalm. Dituduh sebagai penggoda ketika tertarik pada laki-laki pun aku tidak.
Hanya sedikit lebih menarik secara fisik, apakah ini dosa?
Aku mengembus getir. Mereka yang menuduhku cantik jelas belum bertemu dengan Evelyn dan Bu Helena.
Notifikasi pesan berupa getar datang ke ponsel di saku rokku. Aku membacanya setelah mengeringkan tangan dengan tisu.
dr. McFord
<dr. McFord sent a picture>
do not talk about Sora Aoi with boys
EVER.
termasuk saya
is the baby sleeping?
Gambar digital yang dikirim dokter McFord adalah screenshot hasil pencarian search engine terhadap 'Sora Aoi', yang menjelaskan bahwa Sora Aoi adalah seorang...
Astagfirullah... ANJIR.
Kuremas ponsel untuk menahan tangan yang mendadak gatal, ingin menyunat Fathir dan Joko. Awas saja! Kuliah ini berakhir, begitu juga masa depan kehidupan seksual mereka.
Aku bermaksud membalas pesan dokter McFord, namun satu titik di gambar itu menghentikanku. Di bagian atas, tertangkap pula notifikasi pesan masuk di ponsel dokter McFord. Pesan yang praktis mengingatkanku akan nasihat Elia, bahwa aku buta soal pria ini.
Evelyn Wright
luv u too ♡
***
"Assuuu, 'Selangkangan ditendang dekan'."
"Pasti nikmat, Rom."
"Congormu nikmat, benihku kiamat."
"Ya Allah 'Dapet IPK 4', aamiin!"
"Kok enak, Thir? Babi, 'Kecirit pas terima ijazah'."
"Obras tuh lubang anus, Dan, hahaha. 'Pacar ketahuan selingkuh', alhamdulillah berarti sempet punya pacar."
"Lha Natasha kemaren kemana, Jok?"
"Tak putusin, ogah rebutan sama Verrell. Sekarang Melody anak FIA."
"Ganti pacar rasa ganti sempak. Kapan tobatmu?"
"Nggak lah. Ganti pacar seminggu dua kali. Ganti sempak seminggu sekali. Side A side B."
"Pantesan sempakmu tambal sulam, Jok."
"Nah lo kok ngerti, Rom, sempaknya Joko tambal sulam?"
"Ye. Pada baru tau kalo Roman yang nyulam sempaknya Joko?"
"Cuk."
"Lambemu cak cuk cak cuk. Ada Melati ini lho."
"Dek Melati, ayo ikut cobain ramalan sesat ini."
Aku mengibas tak acuh pada geng Sora Aoi. Sejak tadi aku memang tidak sudi menatap mereka sama sekali. Kenapa pula dunia begitu kejam, menarikku di pusat teman lelaki dengan kharisma calon dokter namun bermulut ajaib. Hanya karena mencoba sebuah GIF ramalan kampus, semua kata mutiara keluar dari rahang mereka. Hampir seluruh kepala di cafetaria berpaling ke meja kami karenanya.
"Mel, coba, Mel. Bengong bae ntar kemasukan, lho."
Fathir menyodorkan ponselnya yang digunakan untuk ramalan itu. Kutekan display sembarangan tanpa melirik hasilnya.
"Cuk, 'sidang skripsi malem Jumat kliwon di kuburan'. Melati banget ini."
"Hah?!"
Seperti monyet tergoda pisang, aku langsung melongo ke gawai itu, dan tak bisa menahan tawa. Pasti seru, bukan cuma mental mahasiswa yang dijajal, mental dosennya pun ikut diombang-ambing.
"Aku cosplay Valak nanti," cetusku. Lho, kenapa aku jadi nimbrung mereka?
"Jangan, Mel, kasian dosen pengujinya," Roman menimpali. "Cosplay cadaver aja, kasih label anatominya biar auto lulus."
"Itu guru besar, jangan dinistakan."
"Guru besarmu kan Sora Aoi, Jok."
"Stop, Rek, ojo Sora Aoi-an depan Melati."
"Kalo dari samping boleh?"
"Melati juga cupu nggak tau Sora Aoi, haha--"
"Siapa bilang nggak tau?" potongku cepat, menggebrak meja. Mangkuk es campurku berderit. Semua mematung. "Aku tau kalo cuma Sora Aoi."
"Siapa?" tanya keempatnya bersamaan.
Aku mengelus dinding rahim yang mengeras. Empat pasang mata menelanjangi nyaliku, meminta penjabaran. Haruskah menjelaskan siapa Sora Aoi di cafetaria yang riuh ini?
***
Seandainya Sandra ada di sini, aku tidak harus bergabung dengan geng Sora Aoi. Atau paling tidak, aku bukan satu-satunya perempuan. Sandra selalu sibuk di jam makan siang karena urusan band indie-nya. Apalagi band yang diberi nama Cong itu sering mendapat panggilan manggung. Band Cong. Nama yang nggak lazim.
Dahi dan pelipisku basah oleh keringat, padahal langit di luar sedang berkabung. Semakin besar kandungan, semakin gerah pula tubuhku. Blusku sudah longgar, tetap saja rasanya sesak. Kudengar sesaknya akan berlanjut sampai saatnya partus, alias persalinan. Masih sekitar 4 bulan lagi.
Inikah yang dulu dirasakan Mama?
Aku baru saja melepas kuncir saat kudengar suara pintu toilet tertutup. Pantulan sosok Disya, Jean, dan Mona muncul di cermin. Disya dan Mona mengapit di kanan-kiriku, aku memilih mundur dari wastafel. Kuabaikan peluh di dahi dan rambut yang masih tergerai.
Daripada mati kena racun ular di sini.
Sialnya, aku tidak bisa mundur karena sontak Jean di belakang meraih pundakku.
"Memang cuma Melati, yang bunting tapi tetep langsing, dan masih jadi cabe idaman para terong."
Disya yang pertama menebar bisa, disambut tawa dua ular lain. Aku mengentak bahu dan terlepas dari Jean. Namun tanpa kusadari Mona memiting lengan kananku, dan Jean melakukannya di kiriku. Rahimku mengeras.
Ada yang salah.
Aku meronta, mengentak, dan perlawanan itu berakibat tubuhku ditubrukkan ke dinding. Punggungku melengkung meregang sakit. Rahangku diremas Disya dengan satu tangan.
"Mel, kenapa kamu nggak pernah makeup, sih? Sayang banget."
Membuang wajahku, lalu Disya membuka pouch-nya di wastafel, mengeluarkan sebuah botol kecil sewarna kulit. Seringai mengilat ketika wajahnya mendekat padaku.
"Sekali-kali makeup, yuk, supaya paling cantik sejagad raya. Sini kita ajarin. Gratis."
- BERSAMBUNG -
Malang, Februari 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top