07 Tidak Sendirian


🌟

HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT

Chapter 07 Tidak Sendirian

🌟

"Yours are... yummiest lips I've ever kissed."

Bibir kami telah terpisah, namun panas tubuhku semakin membuncah. Hampir aku terjatuh kalau lengannya tidak meraihku kembali ke dekapnya.

Aku tak bisa merasakan tungkaiku. Atau lenganku. Atau telingaku. Atau mataku. Terlalu mudah baginya membopong tubuhku. Dia berjalan, sedang aku merangsek di dadanya serupa anak ayam mencari kehangatan sang induk.

Dia terkekeh di telingaku, "Cantik." Sekali lagi, bibir dingin itu mengecupku. "You're--no, we're both--totally drunk. Aku ingin kamu. Siapa namamu?"

Alih-alih menjawab, aku kehilangan kendali tubuhku. Menginginkan bibirnya lagi. Aku belum pernah berciuman, dan ciuman pertamaku malam ini rasanya sangat… candu.

Aku ketagihan.

Aku masih merekat padanya di lift saat kami memasuki satu unit kamar. Dia membaringkanku di atas ranjang, lantas duduk di sebelahku. Jejak panas tertinggal dari jemarinya yang menelusuri wajahku.

"Have some rest, Angel. Aku harus kembali ke bawah."

"Jangan..." Entah kekuatan dari mana yang menggerakkan tanganku untuk menahan lengannya. "Jangan pergi. Aku juga ingin kamu."

Tunggu, apa yang kukatakan?

Jemariku bergerak menyusuri dada bidang berbalut kemeja putih, meremas kain itu. Memohon dengan satu tarikan lemah agar mata di balik topeng itu mendekat. Ingin mengenalnya. Alih-alih mempertemukan mata, dia mencarukkan wajah di leherku. Mengendus dan mengisap sisa-sisa kesadaranku yang terus turun.

Lagi, aku dicumbu bibir ekstasinya. Kali ini semalaman.

***

"Pergi! PERGI!"

Tubuhku meronta ke segala arah. Tangan memukul, kaki menendang, kepala mengentak. Segala amukan untuk lepas dari pria bertopeng yang menelanjangiku ini.

"Melati, wake up!"

Aku terbelalak ketat setelah sebuah hantaman keras di kepala. Dadaku memburu naik turun. Napas tersangkut di tenggorok. Dapat kudengar gemeletuk gigiku secepat derap kuda.

"Mel, ini saya."

Pandangku yang temaram, perlahan fokus pada sosok yang menghantam... tidak, tidak ada yang menghantam kepalaku. Dia hanya menepuk pipiku. Tempo nafasku masih amburadul.

"Dokter...?"

"Yes, it's me." Dia menyeka air dari mata dan pelipisku dengan ibu jari.

"Tolong saya!" Mata dibalik topeng bedebah itu terlintas lagi, hingga kucengkram kasar kemeja dokter itu. "Dia ingin menyentuh saya! Dia akan... dia... memperkosa saya! Dia mau! Dia akan! Dia sudah! Dia jahat! Dia minum! Saya minum! Saya dijebak! Saya hamil! Saya--"

"Melati."

Muntah racauku berhenti, setelah dokter McFord meraih wajahku, meletakkan dahinya di dahiku. Yang tersisa hanya bibirku, masih mengeja tanpa suara. Iris samuderanya mengisap kata-kataku.

"It is me. Lucas. Saya datang bukan untuk menyakiti kamu."

Tidak membantu. Tremor tubuhku semakin kacau. Air mataku deras terperas. Dokter McFord menarikku dalam dadanya. Bibirnya berbisik di keningku.

"It's alright. Nobody's gonna hurt you because I'll keep you safe."

***

Di Malang, masa pancaroba ditandai dengan hujan yang mengguyur deras tengah hari. Itulah mengapa terkadang aku berteduh di kampus, tidak bisa pulang, karena aku pejalan kaki. Siang ini aku bukan pejalan kaki. Aku penumpang kumal yang duduk di sebelah dokter McFord, menempel di pintu mobil seperti tokek.

Nyaliku mengerucut. Tak mampu memandang dosenku, setelah kuraungkan di hidungnya bahwa aku diperkosa, dan dia memelukku di himpunan. Dengan puluhan pasang mata sebagai saksi. Dia juga bersikeras mengantarku pulang, meski Fathir menawarkan diri untuk itu. Fathir tak mampu melawan kuasa dosen Penasihat Akademiknya.

Aku tak berniat mengatakan apapun sepanjang jalan, namun ada yang salah dengan tujuan Prius hitam ini. Secara impulsif aku menoleh.

"Gang kos saya kelewatan, Dok."

"I know." Aku memelotot. Kalau tahu kenapa nggak belok? "I'm not taking you home till I'm sure that your mental state is completely stable."

Aku mendesah panjang. "Saya ingin sendiri, Dok..."

Dia menepikan mobil ini di alun-alun jalan protokol. Seandainya bukan karena badai, aku akan turun dan berputar ke kos dengan angkutan umum. Dia meraih kepalaku, sekali lagi membius dengan biru samudera irisnya.

"No, you are not," putusnya seenak dengkul. Aku baru akan menimpali namun dokter McFord lebih cepat. "I’m a fvcking doctor and examine someone through their eyes is what I do everyday. Eyes never betray me. These eyes of yours are telling me that you are not okay. As a doctor and your teacher, I can't let you stay alone."

Kutepis sopan tangan dokter McFord dari wajahku. "Mana mungkin mata saya baik, Dok? Saya baru mimpi buruk dan histeris."

"You got my point," Dia tersenyum ringan, dan kusadari kalimatku barusan malah menguatkan argumennya. Sial. "Untuk makan siang, kamu mau apa?"

"Saya mau pulang." Titik. Pulangkan aku.

Alih-alih menjawab, apalagi memulangkanku, dia bersandar dan menurunkan sandaran jok hingga posisi tidur. Sepasang lengannya diletakkan sebagai bantal di belakang kepala. Dia masih tersenyum, aku berdecak mengulum lidah.

"Kalau kamu mau, kita bisa di sini sampai besok, saya nggak ada praktik malam ini."

Aku mengerjap tak percaya. Dia benar-benar...

"No. Hujan ini berhenti, saya keluar dari sini." Kuusap frustasi wajahku. "Boleh saya tanya sesuatu?"

"Go on."

"Apa Dokter benar-benar harus memeluk saya di himpunan? Di depan teman-teman saya?"

Senyumnya memudar setelah nadaku naik setengah oktaf. Sungguh, aku tidak dapat berhenti memikirkan kejadian itu, di samping rentetan mimpi buruk yang kualami. Dia benar, aku tidak baik-baik saja. Kepalaku berdenyut hebat karena banyak tekanan harus kutanggung bersamaan.

"Is that the problem? Our hug?" Tawa meremehkannya ingin kusambit atlas anatomi. "Saya cuma ingin menenangkan kamu. Melati... dengar. Being a doctor is not just about curing, but also caring. Sakit fisik bisa disembuhkan dengan curing, tapi psikis—" Dia menggeleng pelan, "—hanya caring yang tepat. Yes, of course it also needs some medications, but medicine is just temporary. Karena itulah ada yang namanya psikiater."

Wajahku mengeras. "Saya tidak butuh psikiater," dan tidak butuh dikuliahi semacam ini.

"You don't." Sial, aku benci senyumnya yang menghipnosis itu. "Kamu hanya butuh seseorang untuk menangkanmu. Atau pelukan. It was just a hug, what's the big deal? Kamu pernah dipeluk dengan--what's his name again?--waktu kamu pingsan di apotek, dan kamu nggak marah. Maaf hari ini kamu harus dipeluk saya, karena nggak ada waktu untuk mencari pacarmu itu."

Orang ini... "Dia bukan pacar saya. Dan masalahnya Dokter juga mencium saya!" Aku tidak bisa mengendalikan lidahku. "Dokter mencium saya di depan teman-teman! Apa perlunya ciuman itu?!"

"It was just a forehead kiss!"

Aku terkesiap karena dokter McFord ikut menaikkan nada setengah oktaf. Dia menegak dan mengacak rambut emasnya frustasi.

"I kissed you to calm you down, okay? And miraculously those hug and kiss calmed you down in seconds. No thanks for me?"

"Baik, terima kasih, Dok. Saya harap lain kali Dokter mencium saya di Rapat Senat Terbuka." Dia tidak tampak senang dengan sindiranku. Aku mengejar iris samuderanya, dokter McFord membuang pandang pada jalan basah di depan. "Dokter melakukan ini ke semua pasien? Peluk dan cium di dahi?"

Dia mengerjap dua kali, dan mendesah. "Never."

Mataku membulat. Lalu mengapa melakukan itu padaku?

Dengan sepasang lengan terlipat, dia bertopang kepala di roda kemudi, menoleh padaku. "Until you. Kamu benar, nggak seharusnya saya melakukan itu... ke kamu," kali ini desahnya memberat.

Dia melempar pandang keluar lagi dengan bertopang dagu. "It was impulsive, absolutely my fault. I'm sorry. Perhaps I... I mixed up, between seeing you as a patient, or as a woman I consider... uh, how should I say this... ucul? Nah, the hell did I've just said? Is it still the jetlag?"

Bibirku mengeriting. Semburat merah menjalar di wajah pucatnya. Di luar masih badai, AC mobil masih menyala, aku kedinginan, dan dokter ini berasap setelah mengatakan bahwa aku ucul.

Bukan, dialah yang ucul. Dan, aku suka. Genderang yang bertalu kencang di dadaku tak bisa dibohongi.

Dia menegak, dan entak pelan pada roda kemudi memecah keheningan. "This conversation is over. Kita makan siang."

***

Sebuah pujasera megah bergaya Indo-klasik, berlokasi di jalan protokol daerah perkantoran besar, adalah tujuan Prius hitam ini. Aku senang karena nuansa homey-nya yang terang, nyaman, dan bersih. Apalagi saat mencari meja, kulihat ada stand yang menjual sempol.

Yes, yes, yes!

YES untuk sempol, dan BIG NO ketika dr. McFord menggiringku ke meja yang telah ditempati dua perempuan yang sangat... cantik. Yang seorang, wanita kaukasia, bermata sebiru dokter McFord, dengan rambut brunette bergaya bob. Yang seorang lagi mengingatkanku pada noona-noona di drama negeri ginseng: muda, putih, berambut legam sepinggang dengan poni penuh, bibir ombre kemerahan, dan senyum aegyo.

Aku menelan batu. Jemariku belingsatan menyisir rambut yang ke utara-selatan seperti tersengat listrik statis saat percobaan fisika di sekolah. Mereka, ular-ular sirik di FK yang berkata bahwa aku cantik, mereka jelas belum bertemu kedua wanita ini.

Dokter McFord memberi gestur agar aku duduk di sebelah noona Korea, sementara dia duduk di seberangku, dengan yang bermata sama.

"I thought you were coming alone." Wanita kaukasia itu berkata pada dokter McFord, melirikku, dan tersenyum sopan.

Dokter McFord melirik si noona. "So did I, Mom."

Demi apa... Mom?

Sumpah demi sempol, beliau mirip Anne Hathaway di serial Princess Diaries!

"Pantesan anaknya ganteng badai."

Sontak ketiganya menoleh ke asal suara. Mulut emberku.

Bibir Ibu dan anak di depanku mengeriting, sementara si noona memicing seruncing elang hendak mencabik anak ayam. Mampus.

"Mom, ini Melati, she's one of my student. Melati, ini Ibu saya."

Kami bersalaman. Beliau tenang, aku sedikit meriang.

"Saya Melati, Bu."

"Helena McFord. Luke belum pernah mengenalkan mahasiswanya pada saya, so you must be special."

Salam berakhir dengan dokter McFord memisahkan lengan kami dan menegaskan, "Indeed, Mom. Dia lempar aku dengan kondom, muntah di badan, snelli, laptop dan proposal risetku, menyebutku sempol bule... Yes, she is undoubtly special."

Itu tidak terdengar seperti pujian ketika dokter McFord menjelaskan dengan mata terbelalak padaku. Aku mengerucut di tempat karena Bu Helena terang-terangan menertawakanku. Kuremas jemari untuk meredam emosi, sementara dengkulku bersumpah akan menendang selangkangan pria ini saat dia mengantarku pulang.

"Ok, this is Evelyn, my friend. Eve, ini Melati, she's also Yuan's student."

Aku menyambut salam si noona, dia tersenyum seraya menyisir rambut ke belakang dengan tangan yang lain. Begitu anggunnya sampai aku lupa mengerjap. Hingga akhirnya dia bersuara, "Evelyn Wright. Saya kerja di Bank International, di cabang seberang. Manajer utama," dan aku menganga.

Harus kubalas apa? "Melati Pusparana. Mahasiswi Fakultas Kedokteran yang paling cantik dan nggak takut sama OSCE."

Sudah telanjur kukatakan. Goblok pangkat dua. Segera kutarik tanganku sebelum akhirnya dokter McFord--

"Oh, 'yang paling cantik'? Kamu?" tertawa mengejekku.

Aku mendesis tertahan. "Dok, you said that I'm ucul."

Tawanya memudar, dan kami bersitatap dengan kilat di antaranya. "I was. But sorry, Melati, that was an insult. I wasn't trying to praise you whatsoever. [Ya. Tapi maaf, Melati, itu ejekan. Aku tidak sedang memuji kamu atau apalah.]"

"Ya. Sayangnya 30 menit yang lalu, Dokter menghindari mata saya dan berkata, 'I mixed up, between seeing you as a patient, or as a woman I consider ucul.' dengan muka merah..." Aku menyipitkan mata, bersama senyum penuh kemenangan kulanjutkan, "seperti sekarang ini."

"Saya nggak merah."

Aku tertawa sumbang menanggapi kengototannya.

"Mana mungkin Dokter melihat wajah sendiri? Oh, dan kalau Dokter belum lupa, 2 jam yang lalu Dokter memeluk saya dan berkata, 'Nobody's gonna hurt you because I'll keep you safe.' "

"Jadi kamu suka saya peluk?"

"Nggak!"

"Your reaction is the exact opposite. [Reaksimu sebaliknya.]"

Sialan! "Jangan mimp--"

"Luke... memeluk kamu?"

Evelyn memotong. Mata bulatnya mengerjap lambat seolah tidak mungkin pria sekelas dokter McFord akan memeluk gadis ingusan. Kusadari pertikaian bodoh kami mengundang canggung ke meja ini, walau Bu Helena hanya tertawa renyah, mengacak rambut putranya yang kehilangan kata dan menyembunyikan kepala di lipatan lengan.

Aku mundur, mengembus lelah, "Tidak. Maaf, saya cuma bercanda." Senyumku tidak meluruskan kerut di dahi Evelyn. "Saya kelewatan, mohon maaf."

"Hey, it's okay, Mel," masih tersisa tawa, Ibu dokter McFord menggamit jemariku. "Menurut saya kamu ucul kok. Good job, because I love his speechless face so much!"

***

Kupandang lekat sebuah foto keluarga berukuran besar, kira-kira 2 kali atlas anatomi, yang menggantung di dinding. Di foto itu ada dokter McFord, Ibunya, kemudian pria dewasa di sebelah Ibunya yang kuyakin Ayahnya, dan pemuda kaukasia lain yang berkulit paling pucat (kukira albino) serta rambut ikal brunette kemerahan.

"Dok," Mataku tidak bisa beralih dari si tampan bermata hijau terang itu. "Ezra McFord… keluarga Dokter?"

"My biological brother."

"Ezra yang... masih seumuran saya, menciptakan Wi-fi over World, Wi-Fi kelas dunia, dengan 6 satelit yang bisa diakses sampai pedalaman? Yang saya pakai sehari-hari? Yang harganya malah lebih murah daripada ISP lain karena dia mau akses internet merata untuk semua? Yang masih kuliah di MIT?" Aku latah tersihir pesona Ezra McFord.

Di usia yang sama, selagi aku belajar mati-matian untuk masuk Fakultas Kedokteran, Ezra McFord belajar mati-matian untuk kemaslahatan umat. Aku merasa sangat primitif.

"Kamu salah satu fangirl Ezra?"

Pertanyaan itu malas kujawab. Aku meninggalkan foto, meletakkan diri di ruang kosong sebelah dokter McFord yang masih bingung memilih film. Ada banyak pilihan di smart TV-nya, mengapa sulit?

"Ezra punya pacar, Dok? Di artikel nggak ada yang menyebutkan." Aku bertopang dagu, beralaskan bantal sofa.

Dokter McFord menoleh. "Nggak." Iris birunya berkilat cerah. "Aku beritahu satu hal, but keep it as secret. Ezra tergila-gila dengan seseorang hampir 9 tahun, walaupun orang itu malah suka yang lain. Trust me, he'll never moving on from her."

Hormon penasaran mengendalikan lidahku. "Siapa orangnya? Cantik ya?" Secantik-cantiknya, perempuan yang menolak paket komplet seperti Ezra McFord jelas tolol bukan main.

"Menurut Ezra, ya. Menurut saya, kamu yang cantik."

Bukan sekali dua kali aku mendengar pujian cantik. Namun dari bibir pria ini, pujian pasaran itu membangkitkan sensasi aneh di perut. Sensasi yang praktis memacu jantungku bekerja dua kali lebih cepat dari biasa sehingga tubuhku menghangat.

Kurebut sopan remote di genggam dokter McFord, sambil menatap layar untuk menghindari sorot birunya. Konsentrasiku pecah antara memilih film dan lidah gatal untuk berkomentar, "Dokter nggak bilang begitu pas makan tadi."

Dia ikut menatap layar. "Well, sorry about that. Kalau saya bilang kamu cantik di depan Mom, trust me, dia akan memaksa saya menikahi kamu. Kemarin Mom menunjukkan foto Eve, sepupu Yuan, dia tanya komentar saya, dan saya cuma bilang 'cantik'. Lalu, bim salabim abracadabra, saya diminta untuk kencan dengan Eve."

Tawaku mengalir begitu saja.

Jadi begitu. Memang benar, Bu Helena tampak bersemangat dan terus berusaha mengorek kedalaman hubunganku dengan dokter McFord. Hubungan yang bahkan tidak pernah terjalin.

"Dokter nggak mau menikah?" selidikku.

"Belum," sahutnya ringan. "Nanti kalau sudah jatuh cinta, mungkin."

Jangan-jangan benar kata Mbak Anggun, dokter McFord homo dengan dokter Yuan. "Sekarang nggak jatuh cinta?"

"Belum, Melati. Dan jangan termakan gosip yang bilang kalau saya homo dengan Yuan." Aku menenggak ludah keras. "Cinta sama seperti makan: nggak enak kalau dipaksa. Harus natural. Rupanya saya nggak punya film romance untuk kamu, maaf."

Aku mendengus kasar. Pantasan sejak tadi mencari film nggak ketemu, dia pikir aku ingin menonton romance. Sayangnya, romansa bukan genre-ku. Genre-ku adalah… kuhentikan kursor remote di sebuah folder.

"Hei," dokter McFord melirikku ketika timing bar film baru berjalan. "Seriously, this? Saya nggak mau kamu kontraksi hebat di rumah saya karena ketakutan."

Aku memutar bola mata malas, sambil mencomot sempol yang dibungkuskan Bu Helena untukku. "Saya belum pernah, dan memang mau nonton Valak. Ini genre saya, Dok."

"You really are something," gumamnya, entah itu pujian atau satir, selagi bantal di pangkuanku dia singkirkan, diganti dengan kepalanya.

"DOKTER!"

"Sssh." Telunjuknya di bibirku, membungkamku seketika. Matanya terpejam. "I'm sleepy. You watch, I sleep. Fair enough and we're still together, right? [Aku mengantuk. Kamu nonton, aku tidur. Cukup adil dan kita masih bersama, 'kan?]"

Dia benar, semua ini salahku.

Aku memang bilang tidak ingin pulang ke kos. Kuakui aku kesepian, tidak ada orang karena semua temanku pulang kampung. Bahkan Elia pulang ke rumahnya yang berjarak 2 jam dari Malang. Aku yang bilang ingin bersama dokter McFord seharian di manapun dia berada.

Tidak kukira dia akan membawaku ke rumahnya, di mana dia tinggal sendiri, tidak dengan orang tuanya. Tidak kukira dia akan secepat ini tidur dipangkuanku, dan membias fokusku antara Valak yang lucu atau dokter yang tampan. Wajah lelah dan bulu mata panjangnya menghipnosisku.

Dengkur halus terdengar setelah lima menit. Tanganku bergerak pelan. Suatu kenikmatan tersendiri dapat menyisir rambut ikal dokter McFord dengan jemariku.

***

"Si kecil menendang dari dalam," bisik dokter McFord, saat scene Lorraine mencari nama Valak di tengah histeria. Dia sudah bangun, masih memejam, tapi tidak mau bangkit. "Is he trying to say hello?"

"Tolong bangun, Dok. Saya nggak nyaman." Entah mengapa aku juga berbisik. "I'm your student, not lover."

Kuperingatkan dosenku sebelum kami terlalu jauh. Atau, hatiku yang melambung terlalu tinggi sendirian. Aku tidak tahu apakah dia sedang memanfaatkanku sebagai salah satu mahasiswa yang menurutnya cantik, atau… entahlah.

Ini sangat tidak nyaman.

Mengerti ucapanku, dokter McFord mengubah posisi jadi duduk bersandar bersamaku. Kakinya berlunjur ke lantai lantas memejam lagi. "Indeed. Ain't lover, but your presence makes me feel better."

Kupaksa otak untuk fokus pada pengusiran Valak, namun rasaku lebih fokus ke pria ini. Ya Tuhan, sekarang wajah Valak terlihat seperti dokter McFord.

"Kenapa kamu nggak beritahu orang tuamu, about your pregnancy? You can tell me and your friends, but not your parents?"

Ibu jariku menekan pause pada remote. Kupandang dosenku yang masih malas membuka mata.

"Karena baik Dokter ataupun teman-teman nggak mencintai saya sebagaimana orang tua saya. Dokter dan teman-teman hanya prihatin, tapi nggak nangis waktu tahu saya hamil. Orang tua saya pasti menangis dan saya nggak mau."

Kutekan play. Dokter McFord tidak membalas, mungkin tidur lagi. Efek jetlag memang luar biasa.

***

Meski tidak ada larangan perempuan menginap di rumah laki-laki yang sendirian, aku cukup tahu diri untuk pulang ke kos. Kosku yang senyap, hanya terdengar suara derit gerbang terbuka olehku. Aku benar-benar sendiri di rumah sebesar ini. Elia sempat bertanya apakah aku takut di kos sendirian?

Jawabnya iya. Tapi bukan takut makhluk astral dan sebangsanya. Aku takut fantasi gilaku untuk menyayat nadi kambuh disaat tidak ada satupun yang bisa menolongku. Betapa lucu dan pilu, aku ingin menyakiti diri, sekaligus ingin ditolong.

Anehnya, pintu kamarku tidak terkunci.

Saat aku masuk, Elia belingsatan menyembunyikan sesuatu di belakangnya, menyapaku kaku.

"Dari mana, Mel?"

Tanpa menjawab pertanyaannya, aku menyingkap balik lengan Elia yang tidak bisa melawan. Tidak bisa melawan, sebab benda di tangannya memang milikku.

Buku catatan kehamilan dan foto 2D USG janinku.

○ BERSAMBUNG ○


Plot twist

Mel: "Apa Dokter benar-benar harus memeluk saya di himpunan? Di depan teman-teman saya?!"

Luke: "Why not? Kita, 'kan, memang MeLuk."

Malang, Februari 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top