05 Friendshit
🌟
HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT
Chapter 05 Friendshit
🌟
"Mbak, kamu dicariin Kak Dimas. Katanya, 'Jadi semester ini Mel nggak pulang, Fik? Emang mahasiswa FK segitu sibuknya ya?' Gila, tiga tahun ngejar kamu mulu, Mbak. Kurang psiko gimana?"
Aku sibuk mengepang sedikit rambut depanku ketika sebuah video call dari Fikar masuk. Batinku tersentil karena permintaan Papa dan Mama supaya aku pulang liburan ini. Tak mampu aku menatap sorot kecewa orang tuaku jika mereka tahu aku pulang bersama calon cucu gelap mereka di dalam rahim.
"Waduh, maaf ya, Kak Dimas. Melati belum bisa pulang. Papa-Mama mana? Aku mau main ke Jatim Park 2 sama anak-anak habis ini."
"Lagi ena-ena."
Astagfirullah. "Syafikar Dirgatama!"
"Kerja lah, Mbakku yang cuantik tapi bolot. Yang libur cuma anak sekolah." Aku menepuk pipi dengan spons bedak. Benar juga si Fikar. "Ya sudah melancong sana. Snapgram kalo ada yang bening. Snapgram nenennya juga. Assalamualaikum."
Belum sempat kuomeli, sambungan telah berakhir. Setelah memoles segaris lipbalm di masing-masing bibir, aku turun kamar menunggu jemputan Fathir.
***
"Wih, buaya! Lucu!"
Aku berlari menyerbu patung buaya bersenjata sebesar manusia di depan Museum Jatim Park 2. Di kotaku, tidak ada tempat wisata seluas dan sebesar ini. Paling mentok waterpark seluas rektorat kampusku. Dan Jatim Park 2 ini, mungkin 100 kalinya waterpark di kotaku. Atau lebih. Intinya, aku norak karena belum pernah datang ke park-park semegah ini. Kalau yang ganteng itu Park Jimin.
"Mel, peluk buayanya! Kalo sayang boleh dicium!" seru Fathir dari kejauhan.
Aku berpose seadanya--membentuk V dengan jari telunjuk dan tengah--saat Fathir membidikku dengan DSLR yang dikalungkan di lehernya.
Poseku mengundang protes dari fotografer receh itu. "Alah kaku bener. Ketawa kayak biasanya aja, Mel, anggap nggak ada kamera."
"Bawel! Udah cepet jepret, kering nih gigi."
Selain Fathir, datang Sandra, Danny, dan Roman mengabadikanku dengan kamera masing-masing. Joko juga tak mau kalah, pemuda sipit itu mengambil fotoku dari bawah yang praktis membuatku belingsatan melipir.
"Ki Joko Bodo! Kok dari bawah, sih?" makiku menghampiri Joko, menuding hasil di display kamera. "Nah, kan, lubang hidung aku gede sebelah!"
"Nggak papa lah, Mel. Tetep manis kamu. Anyway ini bulu hidung kamu nggak di smoothing, 'kan?"
Rombongan kami terdiri dari 4 laki-laki dan 6 perempuan termasuk aku. Baru di depan museum saja, belum masuk, kami menghabiskan 15 menit untuk berfoto seperti kebanyakan millenials. Beruntung kami lahir di era digital; tidak perlu membawa ber-roll-roll film, cukup sekeping kartu SD, semua kenangan hari ini bisa disimpan.
"Thir, foto gih sama buayanya. Reinkarnasi kamu itu," titah Saskia sebelum kami memasuki museum.
Fathir memeluk si buaya hijau mesra seperti pacar halal sendiri, Saskia mengambil fotonya dengan ponsel. Aku ikut mengabadikan wajahnya yang lucu itu. Setelahnya, Fathir menghampiri kami.
"Cucok meong, buaya sama buaya."
Gurauan Saskia mengundang manyun dari Fathir. "Nggak, lah, Ki. Jelek-jelek gini seorang Khalifathir Wahyudiharja pantang menyukai lebih dari satu cewek dalam waktu bersamaan."
"Ah, yang bener?" Aku ikut menggoda. Kami bertiga berjalan menyusul yang lain untuk antri masuk ke museum. "Tadi temen kosku ada yang nanya, 'Mel itu yang Arab nyetir Rush putih namanya siapa? Calon dokter, ya? Kenalin, dong.' "
"Anjir," seru Saskia datar. "Trus kamu jawab apa, Mel?"
Obrolan kami terhenti karena petugas pintu masuk hendak melingkarkan tiket di lengan kami. Setelah kami di dalam, aku menjawab Saskia.
"Ya gitu, namanya Fathir, iya calon dokter masih jomblo, ntar aku sampaikan ke anaknya. Nah, Fathir, kamu mau cari cewek nggak?" tawarku iseng. "Temen aku tadi namanya Meutia, anak FE, cantik parah dari Aceh. Ada fotonya kalo mau li--"
"Nggak, Mel," Fathir memotongku cepat, menjatuhkan pandangnya padaku. "Sudah ada orang yang aku suka."
"Siapa?" Saskia menarik lengan kemeja Fathir, hingga Fathir beralih dariku.
"Mau tahu banget?" Pemuda jangkung itu tertawa sumbang. "Dia incaran semua cowok, tapi nggak seperti cewek cantik lain, dia nggak peduli dengan semua itu, Ki. Mungkin termasuk aku."
***
"Mel, fotoin aku sama ini."
Pemuda Tionghoa itu memindah DSLR-nya padaku. 'Ini' yang dimaksud Joko adalah dua tong sampah berbentuk Minions. Unyu sih, tapi ya amplang, Jonathan Kho…
"Jok, ora mbois blas! [Jok, nggak keren banget!] Mana ada anak kedokteran foto sama tong sampah?!"
"Wes talah, Mel, jepret aja, [Udahlah, Mel, jepret aja,]" ujar Sandra menyikutku. "Kasian kemaren dia mau foto sama cadaver malah disemprot dokter Wahyu."
Aku bersungut, tapi kuturuti juga permintaan Joko. "Lagian selfie kok sama cadaver."
Lucunya, Sandra yang memang tomboy ikut berpose di sebelah Joko. Bibirku mengeriting karena menahan tawa. Tak lama, satu batalyon ikut memenuhi ruang kamera hingga aku harus mundur agar mereka semua masuk jangkauan.
Astaga, sekalian saja bedah anatomi fisiologi tong sampahnya.
Belum puas dengan tong sampah, Joko memanjat--menggandol, lebih tepatnya--di sebatang pohon palem imitasi. Baru dua jepret dari Fathir, seorang petugas menghampiri Joko.
"Mohon maaf, Mas, tolong turun. Dilarang memanjat."
Joko turun disertai protes karena tidak adanya larangan memanjat. Roman angkat tangan memiting leher Joko dan menarik si sipit itu menjauh. Si petugas hanya menggeleng dan tersenyum maklum dengan kelakuan kami. Entah berapa lama lagi kami harus menunggu Saskia dan Disya yang masih di toilet. Aku masih sabar menunggu, tapi teman-teman hiperaktifku tidak bisa dikontrol lagi.
Tepuk Fathir di bahuku memecah lamunan. "Jemput mereka, Mel. Bilangin nggak usah tebel-tebel dempulnya, menor."
Kuturuti perintah Fathir, sebelum Joko memanjat pagar, berusaha menerobos kandang lemur Madagascar.
***
"... tapi perutnya belum gede gitu, Dis?"
"Ya iya, Ki, baru juga 4 bulan. Kalau menurut rekam medis Tante dia baru kelar hyperemesis-nya, makanya sehat sekarang. Lihat aja semester depan, maju tuh perut."
Aku membeku di depan pintu toilet. Tanganku masih menempel di pintu, tak berdaya untuk mendorong. Alih-alih masuk, punggungku merapat di dinding luar
Percakapan yang tidak seharusnya kudengar.
"Dokter Zesta ngasih tahu rekam medis Melati ke kamu?"
"Nggak sih, Tante nggak tahu aku intip diam-diam," derai tawa Disya dan Saskia menyeruak gendang telingaku. "Lagian sok kecakepan, makan tuh anak haram."
"Emang udah pasti anak haram, Dis? Mungkin dia udah nikah tapi memang nggak cerita sama kita--"
"Ki, candu drakor boleh, tapi jangan sambil ngemil micin. Kalau dia memang hamil dari pernikahan, ngapain ditutup-tutupin? Pake bilang maag akut lah, salah makan lah, padahal morning sickness!"
"Jadi siapa bapaknya?"
"Ya mana aku tahu. Nggak mau tahu juga, udah pasti anak haram. Kamu kayak nggak tahu Melati aja, Ki. Tinggal tunjuk terong manapun pasti mau tidur sama dia. Paling cantik se-FK. Duta kampus sekelas Mas Diandra aja kesedot, kok."
Dadaku mengerut. Beban air di pelupukku semakin berat. Otot rahimku seakan mengetat.
"Helah, kamu memang panas aja Mas Diandra sukanya sama Melati dan bukan kamu, Dis."
"Memang kamu nggak panas pas tadi Fathir bilang cewek yang dia suka adalah incaran semua cowok, tapi cewek itu nggak peduli? Aku denger, Ki. Siapa lagi kalau bukan bunga FK yang nggak sesuci namanya, yang sebentar lagi mampus itu?"
Kuseka kasar air yang mulai menitik karena panasnya mata. Benar, aku tidak sesuci itu.
"Yah, gimana lagi Dis, kalau Fathir sukanya sama Melati. Orang cantik mah bebas."
"Ya terus kamu diem aja? Sumpah ya, Ki, gerah banget aku lihat muka dia. Lihat kemunafikan dia. Bawaannya pengin nampar! Aku kira Mas Diandra nge-LINE aku, tanya-tanya aku ada UAS apa nggak, trus aku jawab nggak ada, lah dia ngajak Melati nonton. Di situ aku ngerasa goblok banget, Ki, aku kira mau ngajak aku. Hah, taunya Melati lagi?"
"Udah tau Mas Diandra dari awal ospek ngincernya Melati, masih juga kamu ngarep."
"Setelah ini nggak. Lihat aja, setelah perutnya bengkak, Mas Diandra, Fathir, atau bahkan dokter McFord masih mau ngelirik dia nggak?"
"Hahaha, dokter McFord, ya?" Aku tidak tahu Saskia dapat tertawa setinggi ini. "Kemarin bangga banget dia OSCE-nya nggak kena bentak sama sekali. Sebenernya aku juga mikir, palingan dokter McFord dan dokter Yuan memang ada rasa sama Melati, makanya dimulusin tuh OSCE. Atau sudah dibayar dengan badan di ranjang semalaman?"
Aku membekap mulut. Rapat. Membendung agar isak kesakitan tak beraturan dari bibirku tak sampai lolos. Cukup kekang segala sesaknya dalam tangis sendiri.
"Eh, bisa juga, tuh? Udah dibayar dengan malam panjang penuh desahan. Sayang banget husband material macam mereka milih ceweknya cuma berdasarkan tampang, padahal otaknya standar. Nggak jauh beda sama si Fathir sama Joko, kepincut sama tampang polos dan lagak sok jual mahal. Padahal cheap banget, selaput dara udah jebol, udah dung juga."
"Biar Melati macam itu, tapi Fathir nggak gitu, Dis."
"Terus apa? Mau muntah lihatnya gegayaan pose sama buaya, cari muka minta difotoin sama terong-terong. Patung buaya doang diganjenin. Norak senorak-noraknya! Cabe dusun! Memang di kampungnya sana nggak ada patung yang lebih bagus lagi dari patung buaya?"
"Memang pantesnya perempuan ora nggenah [nggak bener] sama buaya, Dis, hahaha."
Tungkaiku melumpuh, tubuhku jatuh terduduk. Kutelan batu yang mengganjal di tenggorokan, kemudian batu lain yang lebih tajam muncul menusuk lagi, harus kutelan lagi. Aku menggigit tangan yang membekap mulut sedalam-dalamnya.
Sekerasnya mentalku saat OSCE di depan dokter McFord dan dokter Yuan, aku justru remuk di tangan dua orang--yang selama ini kupikir--temanku. Berpikir bahwa setiap orang di kota besar ini akan menyambut pendatang baru sepertiku dengan tangan terbuka. Naif sekali, Melati.
Dipandang menarik secara fisik, dibuat mabuk, disetubuhi, ditusuk dari belakang. Tusuk yang melubangi dadaku dengan kehampaan. Tuhan bilang tidak menguji seorang hamba melebihi kemampuannya, tetapi bagaimana dengan deras air mata yang tertumpah setiap malam? Apakah sejauh ini, di mataMu, deritaku belum cukup merajam, Tuhan?
Aku tidak seperkasa itu.
"Mel, pantesan lama, ngapain duduk di sini? Sakit lagi?"
Tanpa kusadari, Ayudia datang meraih bahuku, membantu berdiri. Kuusap kasar jejak air di wajah marutku. Senyum getir harus kutampilkan dengan paksa.
"Makasih, Yu, cuma capek daritadi kepanasan."
Dua orang keluar dari dalam toilet dengan wajah pias. Aku menyeret lengan Ayudia menjauh dan segera bergabung dengan yang lain.
Selamat tinggal, teman.
***
"Buat apa kesini kalo nggak naik wahana apa-apa, Mel? Sayang tiketnya."
Sandra mengomeliku di depan wahana Tsunami yang akan dinaikinya. Sebelumnya, aku juga tidak naik di wahana Octopus dan Superman Coaster. Aku tidak bisa menaikinya, sebab papan bertuliskan larangan bagi ibu hamil untuk naik tertancap di depan pintu masuk.
"Aku naik yang aman-aman aja, San," tolakku dengan senyum terpaksa.
"Aman ini, Mel," Danny menepuk bahuku. "Paling bautnya protol trus kita semua kelempar kek di Final Destination."
Kalimat Danny berbuah jitak dan toyor dari Sandra, Joko, dan Roman. Aku dan Ayudia hanya meringis.
"Oke, habis ini kita naik wahana yang menurut Melati aman," putus Joko. "Kalo tetep nggak mau naik apa-apa, naikin Babang Joko aja, Dek. Lillahi ta’ala Abang ikhlas dinaikin Adek."
Ujungnya, lagi-lagi semua naik wahana tanpa aku. Aku menjatuhkan diri di sebuah kursi besi panjang, menjaga barang-barang titipan mereka. Sama sekali tidak kulirik Saskia dan Disya sejak itu. Aku lebih banyak menyendiri, berjalan di belakang rombongan.
Semua hambar. Kubelai rahimku yang menegang lagi untuk keseratus kalinya.
"Kita nggak boleh kalah, Nak," bisikku kepadanya.
Seseorang meletakkan sesuatu di atas kepalaku. "Iya, Melati calon dokter, nggak boleh kalah dengan penyakit."
Kuraih benda di atas kepalaku, yang ternyata segelas cokelat dingin, kemudian Fathir menaruh diri di sebelahku. Aku menoleh Tsunami lagi, baru kusadari Fathir memang tidak ada di deretan teman-temanku. Bisa kulihat Saskia menjatuhkan pandang pada kami dari atas Tsunami.
"Fathir," Kutatap temanku lekat dengan bibir tergigit. "Orang yang kamu suka, siapa?"
Pupil Fathir melebar. Alih-alih menjawab pertanyaanku, dia malah bisu, mengunci matanya denganku.
"Jawab," Kudesak Fathir yang masih bungkam. "Jangan suka sama aku, bisa?"
Reaksinya adalah tawa sumbang yang dipaksakan. Tangannya terulur mengacak poni miring di dahiku.
"Sayangnya aku nggak suka cewek cebol." Selanjutnya, dia mencubit kecil pucuk hidungku. "Jangan geer."
Jawaban yang menyesakkan dadaku. Tawa Fathir tidak bisa kubalas. Kusingkirkan tangannya dari wajahku yang memanas karena sengat mentari, dan panas dalam. Tawanya menguap setelah kalimatku selanjutnya.
"Demi Allah, jangan suka sama aku."
Dia bergeming. Segaris senyum getir dengan sorot nanar meliputi wajahnya.
"Why so?"
Kuangkat kepala pada teriakan teman-temanku di atas. Air turun dari sudut mataku, tapi tak kuacuhkan. Cepat atau lambat Fathir akan mengetahuinya, jadi mengapa harus kututupi lagi.
"Aku hamil. Empat bulan. Tanpa aku tahu siapa ayahnya."
***
Karena dipaksa Joko dan Sandra, aku terpaksa memilih satu wahana: Rumah Hantu. Wahana yang tidak akan dipilih Saskia dan Disya karena, yah, mereka takut dengan makhluk gaib itu. Pernah kuajak mereka mencicipi House of Nightmare di Matos, yang waktu itu hanya ada seminggu, mereka menggeleng kuat-kuat. Akhirnya hanya aku, Fathir, dan Joko yang mendapat sertifikat Holy Brave setelah mengenyam House of Nightmare selama 30 menit.
Baguslah. Aku tidak ingin masuk di wahana yang sama dengan pengkhianat macam mereka berdua.
Aku melenggang duluan, diikuti Fathir, Sandra, Ayudia, Joko, Nindy, Danny, dan Roman. Tepat sebelum gerbang neraka kumasuki, Fathir menarik lenganku.
"Tukar. Kamu jangan di depan."
Kuturuti Fathir tanpa sepatah katapun. Suaranya sama sekali tidak terdengar seperti Fathir yang biasa.
Dari gesturnya, aku mengerti Fathir tidak mengizinkanku paling depan karena ada larangan bagi ibu hamil untuk masuk wahana angker ini. Sikap protektifnya justru membuatku serba salah.
Kami memasuki lorong dingin dan gelap. Ayudia dan Nindy komat-kamit melantunkan ayat kursi saat suara decit kursi goyang terdengar. Asap dingin menggigit pori, sewarna darah, menyembur dari arah depan. Aku memejam.
"MAMAAA!!!"
Bukan aku, itu Nindy yang menjerit. Langsung mendapat celaan usil dari para cowok.
Kami masih berjalan diwarnai pekik Ayudia dan Nindy, makian Joko, ejekan Roman, serta godaan Danny untuk kedua gadis itu. Kucengkram punggung kemeja di depanku, sebab pelipisku berdenyut hebat imbas dari kegaduhan ini.
"Gengs, jangan lihat bawah, ya."
Dasar Sandra, tidak mungkin kami tidak menunduk. Kutemukan sebuah sarkofagus menyala berisi hantu biarawati yang tidak kukenal, mata merahnya melotot dengan mulut menganga.
"VALAAAKKK!!!"
Ini yang namanya Valak? Woah, cantik.
"Fathir lari! Cepetan!"
"Udah dibilang jangan lihat bawah nengok juga! Ayu, jangan dorong-dor--"
Tungkaiku hilang keseimbangan karena desakan dari belakang. Kalau bukan karena sepasang lengan Fathir menangkap tubuhku, aku pasti sudah tersungkur dan terinjak teman-temanku yang histeris.
"Rek, kalem! Merem kalo takut!"
Seruan Fathir bergaung di dadaku, karena dia masih mendekapku sambil terus berjalan perlahan. Aku menegak, menepis lengannya dari tubuhku.
"Makasih," bisikku. "Lebih baik aku yang di depan."
Tanpa menunggu persetujuan Fathir, aku berjalan memimpin rombongan, sekaligus menjaga jarak setidaknya satu meter dari Fathir di belakangku.
***
"Melati Pusparana, wonder woman of the year!"
Joko bertepuk tangan hiperbolis sekeluarnya kami dari Rumah Hantu. Semua ikut bertepuk tangan, termasuk Saskia dan Disya, walaupun kudapati jelas senyum sentimen di wajah mereka.
Aku meringis, bukan karena tersipu atas pujian mereka, tapi karena rahimku kontraksi lagi.
"Wig-nya kuntilanak jatoh malah dibantu pasang lagi ke kepalanya si Kunti, kurang goblok gimana?"
"Kasian, Man," jawabku seadanya. "Masak kuntilanak plontos, ya bantu pasang dah. Malah dia bilang makasih tadi."
"Yang ini nggak ada apa-apanya sama House of Nightmare di Matos kemaren, Man," Joko memiting leher Roman. Kami berjalan menuju wahana selanjutnya. "Melati nyusun organ perutnya sundel bolong yang kececeran di lantai. Berasa praktikum faal kali. Gore parah, mana dia diajarin sama sundel bolongnya, 'Keliru Mbaaak... lambung duluuu... usus halus... usus besarnya di bawah... aduh Mbak woles... loro...' aku di belakang sama Fathir belepotan komat-kamit ayat kursi."
"Heh, dulu aku kemana kok nggak ikut kalian?" decak Sandra menyesal.
"Kamu manggung di pensi SMA 8, San."
"Heish, padahal kayaknya seru tuh House of Nightmare."
Aku menyimak dari belakang dan hanya tersenyum simpul, tak berminat masuk di obrolan, terlebih karena kudengar diam-diam Disya mendesis pada Saskia, "Bisa banget milih Rumah Hantu, pamer nyali di depan terong."
Nggak berdarah, tapi sakit.
-BERSAMBUNG-
Malang, Februari 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top