04 Tidak Menang, Jangan Kalah
🌟
HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT
Chapter 03 Hyperemesis Gravidarum
🌟
Tranduser bergulir di permukaan perutku, sedikit nyeri karena dokter Zesta harus menekan untuk mendapat tampilan di layar USG. Tampilan monokrom yang aku tidak mengerti, sampai akhirnya dokter Zesta menjelaskan.
"Sudah 12 minggu ini, Mel. Sudah ada kepala, dua tangan, dua kaki," beliau menunjuk bagian yang kukenali sebagai janin di layar. Bentuknya mirip bayi hamster. "Jantungnya sehat, jarinya lengkap, geraknya aktif. Jenis kelamin belum kelihatan, paling cepet bulan depan. Calon anak pinter ini."
Haruskah aku mengucap alhamdulillah?
"Anaknya pinter, ibunya juga harus sehat, Mel," jelas beliau lagi, merapikan tranduser lalu mencetak hasil USG-ku. Seorang perawat menyeka perutku dengan kain steril, dan aku dipersilakan menutup baju kembali. "Ketuban kamu kurang, harus banyak minum. Janin itu senang berenang di perut ibunya, lho."
Dokter Zesta sudah duduk di bangkunya kembali, dan aku di hadapannya, dipisahkan oleh meja kerja. Beliau menulis sesuatu di map berisi rekam medisku. Sesekali wanita kepala empat itu melirikku.
"Mualnya masih?" Aku mengangguk. "Tapi nggak ada flek atau bleeding, kan?" Aku menggeleng.
Dokter Zesta meletakkan penanya, sejurus kemudian melekatkan pandangnya padaku. Kurasa beliau menangkap keganjilan dari kebisuanku. Kuhindari mata dokter Zesta dengan menunduk. Mataku sendiri, memanas, ketika akhirnya ayat keji itu meluncur dari lidahku.
"Dok, saya ingin aborsi."
Aku memejam kuat hingga bulir air mata luruh di atas meja. Ada sumbat besar di tenggorokanku, mencekat nafasku. Pelipisku berdenyut hebat saat kuingat siluet makhluk mungil di rahimku.
Maaf, Nak...
Tubuhku lunglai direngkuh dokter Zesta.
"Malam itu saya dijebak, Dok. Saya nggak—" suaraku memudar. "nggak tahu siapa ayahnya..."
"Melati."
Nafasku makin memburu tak karuan. Dr. Zesta membelai puncak rambutku.
"Melati." Aku seperti anak kecil yang merengek dipeluk ibunya. Beliau berbisik parau. "Terlepas dari bagaimana prosesnya, setiap nyawa dalam rahim itu suci, Nak. Dia nggak punya dosa. Dia nggak tahu apa-apa."
Aku tahu, Dok.
"Kamu boleh kecewa, kamu boleh marah, tapi jangan bunuh dia, Melati. Lahirkan dia, peluk dia, cium dia, beri dia nama. Saya janji kamu nggak akan menyesal. Kamu akan menyesal seumur hidup kalau kamu putus nyawanya, Melati."
Aku tahu, Dok. Berhenti.
"Melati, lihat saya," Bahuku menegak diraih dr. Zesta, yang menahan nafas setelah menemukan wajah marutku. "Ayo janji sama saya, kamu akan lahirkan dia. Bilang, ‘Dia akan lahir dengan selamat’.”
Kuhindari mata dolter Zesta. Pecundang sepertiku tak bernyali mengikrarkan sumpah yang ingin kuingkari.
Kelingking dokter Zesta terulur di depan hidungku. Kaca mengaburkan pandangku, namun dapat kulihat beliau melukis senyum lembut.
"Semua biaya sampai persalinan dan perawatan di klinik ini, saya bebaskan. Obat sudah dicover asuransi kesehatan kamu. Saya hanya minta satu: selamatkan anak ini. Cuma kamu yang bisa, Melati."
***
Istimewanya menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran di kampusku adalah tidak ada UTS (Ujian Tengah Semester) dan UAS (Ujian Akhir Semester). Bahagia? Tidak, karena di tempat kami ada yang namanya UTB (Ujian Tengah Blok) dan UAB (Ujian Akhir Blok). Dalam 1 semester ada 2 blok, yang artinya, dalam 1 semester kami ujian 4 kali.
EMPAT KALI, GAN. Dua kali lipat ujian fakultas lain.
Belum termasuk ujian pleno dan prapraktikum yang diadakan setiap minggu. Namun istimewanya lagi—kali ini dalam arti positif—kami tidak mengenal project akhir. Tidak ada project perseorangan ataupun kelompok, tidak perlu mabuk karena begadang tiga hari tiga malam bersama teman kelompok. Kami sudah cukup migrain dengan tutorial setiap minggu. Sekian dan terima nilai A.
Berita bagus lainnya, nilai UAB2-ku 80. Setelah semua hangover hampir 4 bulan ini, nilai kuliahku masih selamat sentosa, walau memang sedikit turun. Tidak mengapa, akan kuperbaiki di ujian OSCE (ujian simulasi) minggu depan.
Kabarnya, ujian OSCE itu seram. Ada 12 pos, mahasiswa perseorangan harus mendatangi semua pos bergantian. Setiap pos dijaga oleh seorang dokter penguji, kami akan diberikan kasus, dan harus mensimulasikan pemeriksaan. Intinya, pura-pura jadi dokter beneran. Aku memvisualisasikan seorang dokter Melati Pusparana melakukan anamnesis.
"Selamat pagi, Mas. Saya dokter Melati, silakan duduk. Ada keluhan apa?"
"Nganu, Dok, hati saya,"
"Kenapa, Mas? Nyeri? Ngilu? Kayak ditusuk-tusuk?"
"Mengapa hatiku cenat-cenut tiap ada kamu?"
"Ada kemungkinan aritmia. Mungkin juga Mas salah lapak, di sini bukan audisi personil SMASH."
Dijamin dokter penguji akan memberi rating TL (Tidak Lulus) tanpa amnesti. Itu tidak akan terjadi padaku. Dari cerita para senior, kusimpulkan bahwa OSCE tidak seram. Yang membuat seram adalah kurangnya rasa percaya diri. Lack of confident. Karena dokter pengujinya diam saja seperti kambing congek, lantas serangan panik menyergap mahasiswa.
Aku tidak seperti itu. Semua dokter penguji kuanggap sebatang sempol; tidak perlu takut.
"Rek, Matos yuk. Nonton apa gitu," ajakku, seraya melalang ke situs resmi 21 via browser smartphone untuk melihat jadwal pemutaran film.
"Boleh, Spiderman: Homecoming," Fathir yang pertama merespon. "Ada yang jam 11. Bayarin ya, Mel. Aku miskin dan terlantar."
Seperti biasa gurauan Fathir berbuah jitak di kepala dari Saskia. "Ada juga kamu yang traktir kita. Besok ae, Rek. Hari ini 1000 hari Uti-ku, hiks lah ngebabu di rumah."
Jawaban Disya senada dengan Saskia. "Aku juga skip, ada kencan."
What? Di saat mood-ku baik, mengapa teman-temanku sibuk semua? Sepertinya hanya Fathir teman sehatiku.
"Siapa?" Aku dan Fathir bersuara bersama.
"CEO korporat internasional yang jomblo muda tampan dingin dan psiko, Dis?" celetuk Saskia yang penikmat 50 Shades of Grey.
Disya tertawa renyah. "Nguawur, cowok biasa ini. Yang pasti memang tampan ora umum."
"Memangnya ada yang lebih tampan dari aku?"
Celetuk Fathir kontan mendapat hujan cubitan dari Saskia dan Disya. Yang lebih tampan dari Fathir? Aku mesam-mesem saat fatamorgana dokter McFord berputar di kepalaku. Eh bentar.
Dear Cupid, harus banget si dokter nganu yang muncul?!
"Aduh!"
Kuusap kasar pipiku yang dicubit seseorang. Kupikir itu salah satu dari ketiga temanku, namun kutemukan Mas Diandra sudah duduk di sampingku, entah sejak kapan. Dia memasang senyum itu; yang selalu membuat Disya dan Saskia kejang-kejang setiap fangirling Nistagram Mas Diandra.
"Senyam-senyum, dipanggil nggak noleh. Kalo aku sorong nyegur kolam nggak sadar juga mungkin, ya."
Sekilas kulirik kolam air mancur, yang pembatasnya kududuki bersama teman-teman. Kolam depan Perpustakaan Pusat ini selalu jadi spot penganiayaan bagi sesiapa yang berulang tahun. Lihat saja hijau jalinan lumutnya, serta ikan kometnya yang menggelinjang sepanjang hidup. Sedap lah kalau sempat mencicipi kolam ini.
"Iyo, Mas, ancen Melati," Aku melotot tak terima atas seloroh Saskia. "Habis sakit fisik, terbitlah sakit jiwa."
Kupaksakan senyum yang berujung ringisan. "Hehehe, maaf. Mas nggak UAS?"
"Aku nggak ada UAS, cuma presentasi project. Aku WA kamu, Mel, belum di read," Aku meneguk kasar saliva. Sejak pagi aku memang belum mengintip smartphone. "Ayo nonton Peter Parker, kemarin kita gagal nonton Gal Gadot karena kamu sakit."
Peter Parker? Spiderman?
Aku berpandangan dengan ketiga temanku, memberi gestur supaya siapapun bersedia pergi denganku dan Mas Diandra; aku butuh orang ketiga. Aku tidak mau memberi harapan pada Mas Diandra dengan menerima ajakan kencannya begitu saja.
Aish, mereka cuma main mata macam disemprot gas air mata. Aku berbalik dan berinisiatif mengajukan usul.
"Mas, sama Fathir juga ya? Dia juga mau nonton Peter Parker."
Fathir dan Mas Diandra sama melototnya. Lantas kujejak keras ujung sepatu Fathir dan kuberikan senyum tak-celurit-sampeyan-lek-ngelawan-aku. Dia meneguk ludah dan tampaknya mengerti kodeku.
"Tapi, Mel—"
"Eh iya Mas. Aku mau nonton Spiderman sebenernya. Aku fans Marvel, samean juga tho?" serobot Fathir. Bagus, Nak. Untuk memperkuat, aku memasang tampang terbloon-ku.
"Tambah rame tambah seru. Aku ajak temen satu kos boleh? Dia aku yang bayarin," Entah mengapa aku merasa wajib membalas budi sempol pada Elia.
"Boleh sangat. Biar aku nggak jadi setan… ehm, biar rame. Kalo bisa yang titisan Pevita Pearce."
Ehladalah, Fathir miskin.
Aku dan Fathir ber-highfive. Mas Diandra tak berkata sepatahpun, kecuali ekspresinya yang menyeringai kaku. Tanpa menunggu persetujuannya, kuhubungi Elia melalui smartphone.
Kalau setelah penolakan tersirat ini Mas Diandra masih mencariku, aku harus melayangkan penolakan tersurat. Mas Diandra terlalu santun untuk perempuan jalang ini.
***
Film superhero bukan genre kesenanganku. Aku lebih senang film horror, thriller, atau psikopat. Tapi tidak ada salahnya sekali-kali mencicip genre sebelah. Film masih berjalan separuh, di scene Tony Stark kecewa dan mengambil spider-suit dari Peter Parker, ketika Elia di kiriku mendekat.
"Aku punya temen yang dari bayi cita-citanya mau jadi Iron Man," bisiknya, selagi mengunyah popcorn. "Dia jeniuuusss buanget. Dia bisa buat alat-alat aneh. Sebelum dia pergi, dia ngasih aku alat buatannya, namanya Giant's Microphone. Sehancur-hancurnya suara, misalnya suara Giant, kalo karaokean pake mic itu langsung auto-merdu deh pokoknya."
Jemariku mencomot popcorn di peluk Elia tanpa mengalihkan pandang dari layar. "Boleh tuh dipesen. Temen mana? Cowok cewek?"
"Cowok. Bapaknya Indo, ibunya US. Bapaknya dimutasi ke Indo pas dia kelas 6 SD, jadi pindah sekeluarga."
Aku merogoh wadah popcorn yang... sudah kosong. Otomatis aku mendengus keras. Soal makanan, Elia kebalikan 180° dariku. Aku jarang lapar, dia lapar sepanjang hayat. Aku makan setahun, dia makan seloyang pizza personal dalam 2 menit—ciyus no tipu-tipu. Aku makan lima sendok, dia makan satu magic jar. Makanan favoritku sempol, makanan favorit dia nggak ada; semuanya favorit.
"Ganteng gak?" godaku iseng. "Emang dia pergi kemana? Kalo ganteng dan masih deket kamu move on, gih."
"Hmm, aslinya lumayan sih. Cuman dia tuh puuutiiih banget. Kamu kalah bening, Mel. Kalo Edward Cullen kena matahari jadi bling-bling, kalo temenku ini kena matahari langsung merah-merah kebakar gak rata gitu kulitnya. Ada kelainan pigmen, jadi kemana-mana kudu luluran sunblock."
Terlalu putih dan bercak merah abstrak yang parah. Bisa kubayangkan.
Elia melanjutkan. "Dia kuliah di US, nggak di sini. Tapi keluarganya masih di sini."
"Wik ntap bos, di US," decakku spontan. "Pepet keluarganya dulu, dianya mah gampang."
"Yekali babi di pepet, Mel."
Dahiku mengernyit. "Maksud piye?"
"Kuwi lho, babi pepet, siluman babi. Ih jadi garing. Auk ah, Mel, bolot akut kamu!"
Dengan gerak cepat Elia mengayunkan wadah popcorn-nya ke arahku, mau nampol sepertinya, tapi refleks menghindarku bagus. Jadi alih-alih mengenaiku, wadah popcorn itu justru mendarat di pipi Mas Diandra di kananku.
Syit.
Belingsatan aku mendekat pada pemuda korban itu dan menyingkirkan si wadah popcorn laknat.
"Ma-maafin kita, Mas—"
Wadah popcorn lain yang masih berisi separuh muncul di depan hidungku, memenggal kalimatku. Popcorn caramel itu milik Mas Diandra, dia berikan padaku, dengan senyum yang tidak kalah manis dari popcorn-nya.
"Kamu udah sehat, Mel. Sukur, deh," Duh Gusti, tangan besarnya terulur mengacak puncak kepalaku. "Makan yang banyak, buat ngerapel berat badan yang ilang."
Kurapikan posisi duduk kembali, sambil mengunyah popcorn caramel dalam pelukan. Scene yang muncul adalah adegan asistennya Tony Stark mengomeli Spiderman. Namun rasaku, jangan tanya, mencair akibat perbuatan Mas Diandra.
***
"Maaf, Dok. Iya... Iya besok jam 9 saya kontrol... Di rumah? Baik, Dok... Maaf, Dok, bisa share loc rumahnya ke saya?... Baik, terima kasih banyak, Dok. Sekali lagi maaf... Waalaikumsalam."
Setelah mengunci layar, kujejalkan smartphone di saku jas labku. Karena terbentur jadwal OSCE, kontrol kandunganku harus ditunda besok. Dokter Zesta benar-benar memerhatikan kondisiku (dan janinku). Beliau rutin meneleponku 2-3 kali seminggu, hanya untuk memastikan bahwa aku sehat. Sepertinya beliau khawatir aku menempuh jalur aborsi illegal.
Bisakah ini kuanggap sebagai pertolongan dari Tuhan?
Sejak dokter Zesta, aku lebih berani menghadapi kenyataan. Mual dan pusingku sudah hilang, walaupun aku sering kelelahan karena padatnya kuliah, dan ditambah harus mengunyah buku-buku medis di kamar kos. Hal yang belum berani kulakukan adalah memberitahu dunia tentang kehamilanku.
Masih sendirian menunggu lift, kubelai perutku yang masih datar, dan pertanyaan itu tercetus lagi. Pertanyaan yang menggangguku belakangan.
Maukah kamu menjadi anakku?
Lift dari basement terbuka, aku berjengit pelan mendapati seorang pria kusut yang iris samuderanya menggulungku ke dasar. Asma menyerangku setiap kali ada pria ini.
Pintu lift akan menutup ketika dokter McFord menekan tombol yang menahan pintu tersebut. "Kamu ikut nggak?"
Tanpa menjawab aku bergegas memasuki lift. Akibat terlalu lama berpikir sebaiknya aku tetap naik lift atau naik tangga saja. Perjalanan ke lantai 5 akan terasa panjang.
Kulirik dia yang tidak melirikku sama sekali. Kelopak matanya menutup separuh, dan tampak kantung sabit hitam di lingkar matanya. Kemeja birunya kusut, sebagian keluar dari celana. Rambut keemasannya mencuat kesana-kemari seperti kembang api tahun baru. Aroma antiseptik bercampur keringat menggantikan citrus yang biasa kuhirup darinya. Tebakanku, dia baru selesai jaga malam di rumah sakit dan belum sempat pulang ke rumah.
Gila ini dokter. "Ucul banget."
"Ya?"
Kubekap mulut sialanku. Melati gobloooggg!
Akibat lambe suwek ini, dokter McFord menampakkan wajah angkernya padaku.
"What is ucul?"
Alhamdulillah ya, walau dia spesialis mata, dia buta kosakata kids jaman now. Kuturunkan tangan, sementara otakku mulai menebak berapa kira-kira usia dokter ini. Dia masih sangat muda, mengapa dia tidak tahu apa itu ucul?
"Bukan apa-apa. Maaf Dok," jawabku gamang, seraya menunduk. Bagaimana bisa ada orang ancur malah makin seksi.
"Apa itu ucul?"
Aduhai dasar dokter tukang ngotot. Selamat, pintu lift terbuka di lantai 5, aku segera melesat setelah sebelumnya membungkuk untuk berpamitan.
***
Ayudia adalah mahasiswa pertama yang dipanggil untuk memasuki gerbang neraka... eh, ruang OSCE. Dua puluh menit berlalu sejak gadis itu masuk, kelompokku segera menyerbu padanya. Dia keluar dengan mata berselaput bening, nyaris tumpah air matanya.
"Gimana, Yu?!" desak Disya tak sabar.
"Aku di rajam, gak paham lagi Dis."
"Sama?" kejar Joko yang dapat urutan ketiga.
"Pos terakhir, antropometri, dokter Lucas McFord."
Kuremas rahimku yang kontraksi. Oke, dokter itu nggak ucul. Kupikir dia pangeran karena walau sudah kulempar kondom dan kumuntahi dia mau menyuapiku kemarin, namun sepertinya aku salah besar. Dia iblis.
Berdasarkan cerita Ayudia, pos pertama adalah cuci tangan, lalu wawancara, cek vital sign, terakhir antropometri. Ayudia melewati pos cuci tangan dan wawancara dengan mulus, kemudian di pos vital sign, dia gugup dan tidak sengaja melepas bulb tensimeter. Yaelah, bisa-bisanya bulb lepas? Selamat, dokter Yuan di pos vital sign tidak mempermasalahkannya.
Di post antropometri, menurutku Ayudia mendapat tugas yang mudah: mengukur berat dan tinggi badan, yang mana dari sejak brojolpun kita sudah pernah diukur. Kesalahannya adalah Ayudia tidak meminta si pasien simulasi untuk melepas jaket dan sepatu.
Ayudia (A): "Berat 63.7 kg tinggi 165 cm, Dok."
Dokter (M): "Yakin kamu?"
A: "Iya, Dok, 63.7 kg dan 165 cm."
M: "Kamu tau jaket pasien beratnya berapa? Sepatu pasien tingginya berapa?"
A: (diam) (ngomong ke pasien) "Bapak, silakan buka jaket dan sepatu—"
M: "Ngapain kamu? Saya nggak minta kamu ngukur lagi. Saya nanya, kamu tau nggak jaket itu beratnya berapa? Sepatu itu tingginya berapa? Kalau tau bilang tau, kalau nggak tau jangan pura-pura tau."
A: (pasrah) "Nggak tau, Dok."
M: "Jaket setebal itu minimal beratnya 0.5 kg, rata-rata 1 kg. Sol sepatunya minimal 3 cm. Masih yakin pengukuran kamu bener?"
A: (lemes) "Salah, Dok."
M: "Keluar, waktu habis."
A: "Emm, saya lulus, Dok?"
M: (mengibas tangan) "Keluar."
End of story. Ayudia keluar seperti Nobita yang habis dibogem Giant. Entah mengapa, aku tidak secemas teman-teman lain. Kalau aku tidak melakukan kesalahan sama sekali, tidak ada celah bagi dokter McFord untuk mengeksekusi aku.
Oke, jangan kasih kendor.
Menunggu giliran, aku dan teman-teman kelompok berlatih OSCE-OSCE-an dengan peralatan seadanya: stetoskop, termometer, tensimeter. Juga saling menguji anamnesis, padahal kami sendiri ragu anamnesis kami benar atau salah, haha. Kami hanya berpedoman pada check-list penilaian yang ada.
Aku mendapat giliran terakhir di kelompokku. Setelah Ayudia, ternyata ada juga beberapa makhluk yang selamat dari maut. Meski, tidak sedikit yang keluar sambil berkata, "Aku ikhlas lahir-batin untuk remedial."
"Melati Pusparana."
Namaku dipanggil untuk dihisab.
***
"Gimana, Mel? Disleding nggak?"
"Nggak dimuntahin balik sama dokternya?"
Pertanyaan kampret itu meluncur dari Saskia dan Fathir yang masih setia menungguku di luar walaupun giliran mereka sudah selesai. Aku mendengus bangga dan menjentikkan jemari.
"Semulus paha Syahrini."
Keduanya melotot tidak terima karena sebelumnya Saskia disemprot dokter Yuan di pos vital sign, dan mental Fathir dipelintir dokter McFord di pos antropometri.
Kuceritakan bagaimana aku selamat mental dari neraka dokter Yuan dan dokter McFord. Sama seperti Ayudia, di pos dokter Yuan aku sempat bingung karena bulb tensimeter jatuh. Sepertinya alat itu sudah waktunya pensiun. Bedanya dengan Ayudia, aku dapat mengendalikan panikku, sehingga tidak berefek domino saat aku di pos dokter McFord.
Padahal saat di pos antropometri, aku dapat tugas yang paliiing tidak kuharapkan: pengukuran lingkar dada dan perut. Dalam kebisuan, manik samudera dokter McFord tidak seincipun beralih dariku, atau paling tidak menurutku begitu. Mungkin juga aku terlalu ge-er.
"Cukup. Silakan keluar."
Begitu katanya setelah aku melaporkan hasil pengamatanku. Sedikit ragu, aku malah bertanya sableng, "Nggak dimarahin, Dok?"
Dokter McFord meringis. "Kamu mau saya marahi?"
Ya nggak gitu juga, Dok. Tapi yaudah lah kalau nggak dipancung, rejeki anak sholeh di rahimku. Aku juga yakin tidak melewatkan satu poin pun dari check list penilaian.
Baru saja aku mau melangkah keluar, pertanyaan dokter McFord mencegahku.
"Satu lagi. Apa itu ucul?"
Entah ini masih bagian dari ujian atau tidak. Dia bertanya seolah ucul adalah sejenis epidemi yang viral di dunia medis, dan dia akan dicap dokter cupu jika tidak mengetahuinya.
"Mbak, ucul itu lucu. Bahasa walik'an," bisik polos si pasien padaku, dan terima kasih banyak, dokter McFord juga mendengarnya dengan jelas.
Aku berlari keluar dengan wajah semerah kepiting rebus, tanpa mau repot melihat reaksi dr. McFord. Semua kuceritakan pada Fathir dan Saskia, minus bagian ucul—justru bagian itu yang paling horror—agar tidak jadi bahan bulian.
"Nggak herpes, Mel, dipendelikin dokter Yuan sama dokter McFord?"
Saskia menoyor Fathir. "Nervous, gebleg."
Aku mengendikkan bahu, kemudian menepuk dada semringah. "Kan aku bilang, jangan nervous. Percuma kalian belajar jungkir-balik kalo nevous di lapangan. Anggap tuh dokter makanan kesukaan. Karena aku sukanya sempol, dokter Yuan jadi sempol Tionghoa dan dokter McFord sempol bule."
"Sst, Mel."
Kusadari raut Fathir dan Saskia yang tetiba mengeras. Saskia memberi gestur yang membuat leherku gatal dan berputar ke belakang, untuk menemukan dua pemuda. Seorang Tionghoa, seorang kaukasia.
Jantungku mencelat dari rongga.
Kedua dokter muda berlalu setelah memberiku tatapan urusan-kita-belum-selesai.
-BERSAMBUNG-
Glossarium
. Tranduser: bagian mesin USG yang ditempelkan di kulit guna mendeteksi gelombang
. Anamnesis: wawancara untuk mengetahui riwayat kesehatan pasien
. Antropometri: pengukuran tubuh (tinggi, berat, lingkar lengan, lingkar dada-pinggul, tebal lemak, dsb)
Malang, Januari 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top