03 Hyperemesis Gravidarum


🌟

HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT

Chapter 03 Hyperemesis Gravidarum

🌟

Aku mematut diri di depan cermin, dan aku tidak menemukan pantulanku lagi. Ini… bukan aku.

Muram sekali durjanya. Matanya adalah relung vakum di lubang hitam. Ronanya begitu kelabu. Lekuk parasnya setajam ujung tombak. Bibirnya seputih kapas.

Siapa ini? Mayat hidup?

Di mana Melati? Sudah matikah dia?

Kalau belum, matikan saja. Dia tidak ada artinya sebagai perempuan, dan sebagai manusia. Dia hanyalah sampah yang setiap pagi memuntahkan limbah apa saja yang dimakan. Dia hanyalah beban bagi teman-teman dan dosen-dosennya yang kerap jatuh pingsan saat perkuliahan.

Dia hanyalah pecundang yang menyembunyikan kehamilannya yang masih trimester awal. Jangan terkejut jika besok, dia akan muncul di pojok bawah koran lokal dengan tajuk “Hamil di Luar Nikah, Mahasiswa Kedokteran Bunuh Diri”.

Melati, Ini tidak begitu sulit.

Genggamku tidak mantap, namun tekadku sudah bulat. Kutoreh saja pisau itu di nadi pergelangan tanganku. Denyutnya semakin hebat. Wah, ini tidak sakit. Sebentar saja, darahku akan habis, begitu juga nyawa dan sengsaraku.

Merah segar menganak sungai, terjun bebas menjadi noda di lantai bersih. Darah hangat bertemu kulit dingin, ah, ini nyaman sekali. Kutambahi satu sayat lagi supaya segera menjadi mayat.

Ini nikmat.

"Melati."

Abaikan. Jangan dengarkan.

"Melati, kamu di dalam? Saya mengantar teman sekamarmu."

Pisau meluncur dari genggamku, membentur lantai. Aku mengerjap berulang. Pergelanganku normal tanpa lubang, apalagi darah. Lantaiku masih mengilap. Suara Bu Karlina, ibu kosku, bergaung di kepala.

Teman sekamar? Sejak kapan?

Kucabut sehelai tisu dari kotak dan mengusap kasar jejak air mata di wajahku. Tanganku bergerak memutar kunci dan segera menarik gagang pintu.

Seorang gadis berambut setengkuk dengan tinggi sedikit di bawahku tersenyum lebar. Senyum itu sedikit luntur karena syok mendapatiku, calon teman sekamarnya, yang berwajah zombie.

"Kamu sakit lagi, Melati?"

Tidak terhitung berapa orang yang rajin menanyaiku, termasuk Bu Karlina. Aku memaksakan seringai.

"Sedikit, Bu, nggak apa-apa."

Bu Karlina menoleh pada gadis itu. "Melati, ini Elia. Elia, ini Melati. Sesama maba, kalian yang akur, ya."

Kami bersalaman. Dari auranya, jelas dia adalah gadis baik-baik, ceria, dengan senyum menawan. Sayang sekali dia harus sekamar dengan perempuan jalang.

***

Cadaver selalu menjadi mimpi buruk bagi hampir semua mahasiswa (dan calon) kedokteran. Sejak masih SMU, aku mempersiapkan mental sebaik mungkin. Aku tidak takut kotor, darah, bau anyir ataupun busuk. Hmm tidak juga. Aku takut dengan darah keperawanan yang kemarin mengalir di pahaku.

Saat Fathir dan Saskia terus mengedipkan mata karena aroma formalin yang membakar mata, aku justru bersemangat mengidentifikasi regio capitis 'guru besar' kami. Ya, gelar guru besar disematkan untuk cadaver, karena besarnya jasa jasad itu dalam riset dunia medis. Sebelum praktikum, aku selalu berdoa untuk para cadaver yang entah siapa itu, semoga arwahnya damai di sana dan ilmunya sampai kepadaku.

Praktikum hari ini yang kurasakan adalah sebaliknya. Baru saja kuinjakkan kaki di lab Anatomi, aroma formalin yang biasanya bersahabat, tiba-tiba menjadi musuh saraf penciumanku. Kenaikan hormon human chorionic gonadotropin (hcg) dalam darahku adalah penyebabnya. Aku meremas lengan Saskia erat.

"Melati?"

Buru-buru kulepas tanganku. Bukan Saskia, melainkan Mbak Kirana, asisten dokter Wahyu. Seniorku itu mengernyitkan dahi.

"Kamu pucet. Bisa ikut praktikum?" tanyanya.

Aku mengangguk lemah. Praktikum dimulai setelah Mbak Kirana memimpin doa di kelompokku. Kuhentikan nafas saat tanganku yang berbalut handscoon menyusuri area columna vertebralis. Kudekatkan wajah untuk mengamati lebih jelas.

Kemudian gada menghantam kepalaku; badai mengaduk isi perutku.

"Ugghh—"

"Mel?!"

Beberapa lengan kuat menopang tubuhku yang melumpuh. Selanjutnya aku hanya melihat sekelebat bayangan, menggiringku duduk di sebuah kursi. Mereka mengerubungiku bagai lalat dan aku tahinya. Suara mereka berdenging. Pendengaranku terganggu.

Badai beraksi lagi di perutku.

Dengan sisa tenaga, kupaksa kakiku berdiri. Aku berlari keluar lab Anatomi tanpa mengacuhkan suara-suara yang memanggil namaku. Nafasku memburu naik-turun, pelipisku becek keringat, kakiku masih berlari ke arah toilet.

Belum mencapai toilet, tubuhku limbung menubruk sesuatu. Wangi citrus merasuk hidungku. Seharusnya ini wangi maskulin yang segar, kalau saja aku tidak terganggu hcg.

Citrus yang memuakkan. Aku muntah di tempat.

***

"Hyperemesis gravidarum."

Aku tahu apa itu dan aku benci, tolong jangan jelaskan.

"Maksudnya, kondisi mual dan muntah berlebih pada ibu hamil." Mengapa Anda teruskan, Dok? Aku tidak ingin dengar. "Melati, apa kamu tahu kamu hamil, dan sebentar lagi masuk bulan ketiga?"

Aku membuang pandang pada jendela kamar rumah sakit. Ada yang meremas dadaku hingga remuknya tak bisa kudeskripsikan.

"Melati, saya akan serahkan perawatanmu ke obgyn. Saya sudah injeksikan antiemetik intravena, supaya kamu bisa makan."

Kupandang dokter wanita sebaya Mama itu dengan berat hati. Dia tersenyum seolah mengerti apa yang menimpaku.

"Jaga calon bayi itu, dia karunia. Segera konsultasi dengan obgyn yang datang kesini, ya? Jangan lupa atur waktu dengan baik untuk kuliah dan istirahat."

Kuteguk ludah kasar, dan mataku mulai panas berselaput kaca. Untuk pertama kalinya, suara parau meluncur dari bibirku.

"Dok," sial, lidahku kelu. "Tolong jangan beritahu siapapun."

Dokter itu mengusap bahuku perlahan. "Menjaga kerahasiaan data pasien adalah tugas dokter."

***

"Makane, tho, Mel. Makan jangan pilih-pilih, embat semuanya. Kamu kalo makan porsi nasi kucing gitu."

Seandainya Saskia tahu, bukannya aku tidak mau makan. Aku tidak bisa makan; apapun yang kumasukkan, kumuntahkan 10 menit kemudian. Hcg keparat.

"Iya, Mel. Kayak Saski tuh, beling juga dicemilin sama dia," timpal Mbak Anggun, kakak tingkat sekaligus teman kosku, disambut derai tawa teman-temanku.

Saskia mendelik lebar. "Dipikir aku iki jaran kepang."

"Bukan jaran kepang memang," ralatku cepat. "Jaran goyang, akibat terlalu lama menjomblo."

"Kampret Mel. Koyok awakmu ora jomblo ae," Saskia mencebik tidak terima.

Aku akan menjomblo selamanya karena tidak ada laki-laki baik yang mau dengan perempuan kotor, Ki.

Disya menepuk bahu Saskia. "Ki, Melati gampil, tinggal tunjuk cowok manapun pasti mau sama dia. Kamu khawatirin diri sendiri aja, jangan sampe jomblo di liang lahat."

"Yo, besok aku jaran goyang dulu si V."

"Mel, kamu sudah makan?" tanya Fathir yang sejak tadi diam. Mendadak semua mata tertuju padanya.

"Waini! Terong ini!" Disya berseru cepat, menarik-narik Fathir yang gugup mendekati ranjangku. "Dari hari pertama registerasi maba sudah modus ke Melati. Gercep banget langsung minta nomer WA buat ngebahas ospek."

Dahiku mengernyit. Fathir baik, kok. Dia polos, tidak pernah modus. Fathir memang satu kelompok ospek denganku, bagiku wajar dia meminta kontakku.

"Apaan Dis!" sergah Fathir bingung.

"Heleh, ora perlu malu-malu anjing, Thir. Biasanya juga malu-maluin," tambah Saskia mengompori.

"Owalah, ancen Fathir miskin dan anak-anak terlantar," seloroh Mbak Anggun, menunjuk Fathir. "Eh Terong Arab, di angkatanku banyak yang nanyain kamu, lho. Degan, jare. Dedek ganteng."

"Fathir menang banyak!"

"Hush ojo ngono, Rek. Lihat dong Fathir mbathin, 'Apalah arti menang banyak jika Melati bukan untukku?' Icikiwir!" Saskia memang paling semangat membuli Fathir.

"Pipis belum lurus beraninya modusin Melati."

"Wes, Rek, sakno Fathir wes abang kabeh."

"Rapopo durung kobong, Mbak, gas wae."

Astaga dragon, mereka ini.

Aku tidak bisa tidak tergelak. Fathir di sebelah ranjangku, berpangku tangan membekap wajahnya yang terbakar. Aduh, maaf, Fathir. Aku kasihan, tapi juga geli melihat reaksi Fathir. Dia melirikku dari sela jemari.

U-dah-ma-kan?

Gerak bibir Fathir terbaca olehku. Dia tidak berani bersuara karena bulian tiga mahasiswi itu masih menyerangnya. Aku meringis dengan bahu terangkat, mengisyaratkan 'aku mual, aku belum makan, there's nothing I can do about it'.

Sepertinya percakapan rahasia kami terbaca oleh Saskia. Dia segera mendorong overbed table berisi senampan makan siang dari rumah sakit, memberi gestur mengusir Fathir, kemudian duduk di bangku sebelah ranjangku. Jemarinya meraih piring berisi bubur.

"Waktunya makan, Princess."

Ugh… bubur rumah sakit. Melihatnya saja perutku meletup hebat. Aku meringis dan menggeleng, tanganku menolak lemah.

"Ntar aku makan sendiri, Ki."

"Nggak, makan sekarang," potong Mbak Anggun, mendekat dan menjewer telingaku gemas. "Pilih mana, disuapin Saskia atau Fathir miskin dan anak-anak terlantar?"

"Atau minta Mas Amerta Diandra Mahesaputra?" ejek Saskia, menyodorkan sesuap bubur di depanku. Aku menggeleng kuat; sudah kubilang aku tidak mau.

"Ooh, Melati maunya tidak lain tidak bukan dokter Lucas Saveronus McFord."

Kontan semua tergelak mendengar penuturan Disya, kecuali Fathir yang mesam-mesem melirikku, dan aku yang celingukan bagai kambing congek.

Ada yang salah. Perasaanku tidak enak.

"Kenapa dokter itu?"

"Lhaa, wes lali, Mel?" Tawa Mbak Anggun makin heboh. "Kamu muntahin dr. McFord trus semaput dipelukan dia. Unch-unch puol, harga cabe langsung anjlok pas dr. McFord meluk Melati. Mau lihat fotonya, Mel?"

***

Terima kasih kepada foto-foto yang ditunjukkan Mbak Anggun, aku semakin kehilangan selera makan. Hanya dua sendok bubur yang dapat melalui kerongkonganku. Kalau bukan karena nutrisi dari cairan infus mungkin aku sudah mati dehidrasi.

Mentari sudah terlelap, malam sudah turun. Kuraih smartphone di sampingku, menimbang apakah aku harus memberitahu Mama tentang ini. Bukan tentang kehamilanku, hanya tentang aku yang check in di rumah sakit.

Kuputuskan untuk tutup mulut. Aku tidak mau Mama kena serangan panik dan langsung beli tiket penerbangan kemari. Papa akan menghapus namaku dari Kartu Keluarga jika beliau tahu putrinya mengandung janin haram.

Tuhan, bolehkah aku meminta-Mu meluruhkan isi rahimku?

Argh!

Calon dokter jahanam. Aku tidak pantas jadi dokter. Aku bahkan tidak pantas jadi manusia.

Aku kotor, namun janin ini suci. Ruh telah bersemayam padanya. Ada dua jantung berdenyut di tubuhku, dan seperti kata dokter itu, si jantung kedua adalah karunia.

Dokter adalah perpanjangan tangan Tuhan. Dokter memperbaiki, bukan merusak. Dokter mengobati, bukan meracuni. Dokter berusaha menyelamatkan, bukan mencelakakan.

Ingat, Melati, mengapa kamu memutuskan untuk jadi dokter?

Lamunanku terhambur saat derit pintu berdecit. Sosok berseragam putih memasuki ruanganku, kupikir itu adalah obgyn yang diutus untuk menanganiku. Jantungku hampir mencelat—lagi? Mengapa ia selalu membuatku serangan jantung?—karena alih-alih obgyn, yang kini berdiri di dekat tiang infusku adalah seorang ophthalmologist.

Ophthalmologist yang kumuntahi tadi pagi.

Seseorang, tolong! Aku bunting bukan bintitan!!!

Tanpa merasa perlu beramah-tamah padaku, dia segera mengganti kantung cairan infusku yang memang sudah kritis, dengan infus baru yang dibawanya. Rambut keemasannya berpendar lembut diterpa cahaya lampu. Setelah mengatur debit infusku, iris samuderanya beralih padaku.

Aku tersedot ke palung samudera itu.

Heh, apa yang aku pikirkan barusan?

Tangannya mengeluarkan sebuah spuit kecil dan sebungkus kasa steril dari saku snelli. Tanpa melepas spuitnya, dokter McFord meraih tanganku yang dipasangi infus. Dengan cekatan ia merobek bungkus kasa steril, menyeka injection site infusku, lantas membuka tutup spuit.

Dingin mengalir di intravena-ku saat dokter itu menginjeksikan cairan spuit itu ke infusku. Tanganku kesemutan dalam genggam hangatnya. Mataku, sungguh terlaknat, tidak bisa beralih dari wajahnya. Kurasakan pipiku memanas.

Gila dokter ini. "Makan apa kok ganteng badai?"

"Iya?"

Kubekap mulut dengan tangan yang lain. Mampus. Lambe suwek.

"Bukan. Maksud saya—" Aku berseru cepat saat dokter McFord melepas tanganku dan menutup spuitnya kembali. "Lee Min-ho! Lee Min-ho suami saya, Dok, ganteng badai topan. Tak lekang oleh waktu."

Sableng. Melati sableng.

Dokter McFord menarik kursi lipat lalu duduk di sebelahku. Lalu senyum bibirnya… sianjir, siapa yang main qasidah di jantungku?

"Saya juga nggak berharap dianggap ganteng oleh mahasiswi yang melempar kondom ke wajah saya dan muntah di badan saya."

Mateque.

"Dokter!" Kutungkupkan tangan di depan dahi. "Saya menyesal, saya minta maaf. Tolong jangan DO saya, Dok! Kasihan orang tua saya. Saya mohon, saya mau lakukan semua yang Dokter minta asal jangan DO saya!"

Sial. Setelah kupikir lagi, kata-kataku ambigu. Kuharap itu tidak terdengar murahan.

"If you say so," Beliau meraih sepiring bubur dari nampan makan malamku, lalu menyerahkan padaku. Oh, jangan lagi. "Makan."

Ya amplang, tidak Mama, tidak Saskia, tidak dokter McFord. Mengapa orang senang sekali mencekokiku makanan? Kudorong sopan piring itu, seraya tersenyum kaku.

"Iya, Dok, nanti saya makan."

Dr. McFord tidak terlihat senang dengan jawabanku. Dia menyendok bubur dan mencungkil bibirku lembut dengan ujung sendok. Tak ayal mataku membulat, perutku tergelitik.

Ciyus? DISUAPIN?

Pandang intimidasi itu menggilas nyaliku. “Makan sekarang atau DO? Sepuluh menit lagi saya harus praktik.”

Daripada terancam DO, kupaksa membuka mulut. Lagian yang menyuapi ganteng badai topan.

***

Sebenarnya, bagi sebagian orang, rumah sakit bukan tempat istirahat yang tepat. Dirawat inap di rumah sakit justru membuat mereka insomnia; misalnya aku. Sudah jam 10 malam dan aku tidak juga bisa memejamkan mata. Malah, aku berkirim pesan dengan Mas Diandra yang menyesal belum bisa membesukku karena terjebak asistensi dengan praktikan.

[MIPA-Diandra]: maaf ya, Mel
[MIPA-Diandra]: oh ya
[MIPA-Diandra]: km suka makan apa?
[MIPA-Diandra]: Mel picky eater ya?

Ampun Mbah, sampai via chat-pun aku dicekoki makanan. Sudah cukup aku disuapi dr. McFord walau hanya masuk 5 suapan.

[Mel]: ndak mas, cuma g doyan makan
[Mel]: hehe

[MIPA-Diandra]: o pantes cebol :v

Untungnya aku kebal. Mas Diandra bukan orang pertama yang mengatai aku cebol. Aqurafofo.

[Mel]: kalo tinggi egrang mas

[MIPA-Diandra]: sa ae kembang kantil
[MIPA-Diandra]: italian cuisine?

[Mel]: b aja mas

[MIPA-Diandra]: chinese food?

[Mel]: b juga mas

[MIPA-Diandra]: japanese?

[Mel]: b-ncong

[MIPA-Diandra]: indonesian?

[Mel]: b-mper

[MIPA-Diandra]: jadi apa yang A?

[Mel]: sempol ayam

[MIPA-Diandra]: hahanjir asli gak kepikiran lol
[MIPA-Diandra]: Mel jangan lucu2 bisa?
[MIPA-Diandra]: nanti banyak yg sayang

Haha, banyak yang sayang?

Kita lihat berapa hati yang sayang padaku jika mereka tahu usia kandunganku sudah hampir tiga bulan, tanpa suami.

Bahasan sayang-menyayang ini membuatku gerah, dan kusimpan smartphone di bawah bantal tanpa membalas Mas Diandra. Kumiringkan tubuh ke kanan, pandangku mengambang di kursi yang tadi ditempati dr. McFord.

Aku menyesal hanya makan lima suap, sekarang aku sudah tidak mual; aku lapar. Tapi makanan yang dibawakan Saskia cs—buah dan roti—tidak membangkitkan nafsu makanku. Aku ingin bubur yang disuapi dokter McFord. Aku tidak yakin apakah yang kuinginkan buburnya, atau disuapi-dokter-nya.

No, Melati!

"Aku nggak pantas untuk dia dan dia sudah punya pacar."

Ya, Melati. Sadarilah, sebentar lagi dr. McFord akan tahu kamu hamil dan memandangmu sebelah mata.

"Aku nggak punya pacar."

Suara itu mengejutkanku. Tak percaya dengan penglihatanku, aku mengucek mata.

"Dokter?!"

Tubuhku menegak. Jam 10 malam, mau apa dia kemari?! Apa ini masih efek hangover?

"Eciyeciye, dokter siapa, Mel?"

Dokter McFord mencubit gemas pucuk hidungku hingga aku mengaduh, lalu dia bertransformasi menjadi… Elia?

"Ngapain kamu di sini?" tanyaku, setelah Elia melepas cubitannya. Kuusap hidungku yang berdenyut. Gila, cubitan Elia persis cubitan Saskia: nyelekit. "Jam besuk udah tutup, kok boleh masuk?"

Dia duduk, kemudian meringis seraya mengaduk isi kresek yang dibawanya. "Aku bilang aku yang nunggu kamu, jadi diijinin masuk," Dia mengeluarkan sebungkus makanan kesukaanku, mataku membulat sempurna. "Maaf, aku baru denger tadi dari Mbak Anggun kalo kamu sakit. Kata dokter kenapa, Mel? Jatuh ya?"

Elia melahap makanan itu bulat-bulat. Aroma umaminya merasuk hidung. Aku meneguk ludah.

"Mel?"

"Eh, ya?" Aku mengerjap. Makjang, kenapa Elia bawa sempol, sih? "Iya aku jatuh pingsan di kampus, Li, hahaha."

"Oh, kirain jatuh hati sama seorang dokter."

Serasa ingin kutampol wajan wajah cengengesan Elia.

Untungnya, dia menyodorkan bungkus sempolnya padaku, yang langsung kusambut semringah. Siapapun yang menciptakan sempol ini, seharusnya dia dapat Nobel Prize di bidang pangan. Makanan ini memenuhi Pedoman Gizi Seimbang (PGS) karena mengandung karbohidrat (tepung), protein hewani (daging, telur), protein nabati (saus kacang), dan serat (wortel).

Yang paling penting, rasanya enak. Apalagi kalau gratis.

"Kata seseorang, waktu aku masih sekolah," Elia menatapku lekat. Aku menyimak selagi melumat sempol. "Ada dua tipe orang: dominan matanya, atau dominan telinganya. Kebanyakan orang dominan matanya. Jadi kalo mereka jatuh cinta, wajah semua orang berubah kelihatan seperti orang yang dicintai, tapi suaranya tetap. Sedangkan orang dominan telinga—yang mana jarang banget—kalo mereka jatuh cinta, suara semua orang berubah kedengeran seperti suara orang yang dicintai, tapi wajahnya tetap.

"Barusan kamu lihat wajahku dan denger suaraku, jadi si dokter itu, ya? You must be deeply fall for him."

No way. Hanya saja, aku merasa aneh saat ada iris samuderanya. Firasat seolah akan datang badai.

Kurasakan wajahku menghangat, tapi kutampik pernyataan Elia, sebelum hatiku membenarkan. "Nggak, ya. Tadi itu aku dibawah pengaruh obat penenang," padahal dokter McFord hanya menginjeksi vitamin B6 padaku. "Seseorang itu siapa? Kesayangan?"

Elia merebahkan kepala di sebelahku. "He is timeless. Dia selalu bilang, dia dengar suaraku di mana-mana. Gonggong anjing pun pernah dia kira aku. Asli cheap banget, Mel."

Kuletakkan bungkus sempol, lalu jemariku bergerak mengusap rambut jamurnya. "Uluh-uluh, itu ucul parah, Li. Kenapa nggak jadian?"

Terdengar tawa sumbang dari bibirnya. "Pernah jadian, Mel."

"Pernah? Lalu?"

"Lalu karena kesalahanku, dia pergi," Ibu jariku menyentuh air saat melewati paras Elia. "selamanya."

-BERSAMBUNG-


Glossarium

. Regio capitis: area kepala
. Handscoon: sarung tangan medis
. Columna vertebralis: tulang belakang
. Obgyn: obstetrics and gynaecology, dokter spesialis kandungan
. Antiemetik: obat anti mual
. Spuit: suntikan

Kalo ada yang nggak paham bahasa Jawa, bilang ya. Ntar ku translate 😄

Malang, Januari 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top